Identifikasi TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Kemiskinan
budak dari Arakan Burma, Andaman dan Malabar India, juga dari beberapa daerah di Indonesia seperti Bali. Pada era Gubernur General Van der Varra
1761-1765 terjadi pendatangan budak dalam jumlah besar. Budak-budak ini dipekerjakan di perkebunan, penebangan hutan dan buruh bangunan.
Setelah perusahaan yang mendatangkan budak tidak berfungsi lagi, maka para budak mencari pekerjaan bebas dan berdiam di pemukiman yang ditentukan
pemerintah Hindia Belanda. Para budak ini, yang mayoritas adalah non muslim umumnya para budak telah dikristenkan, tidak kawin-mawin dengan penduduk
asli setempat, kecuali mereka yang ditempatkan di daerah Kreol. Sebagai catatan, budak-budak kristen yang dimerdekakan disebut Mardijker orang merdeka.
Mereka kemudian berbahasa Betawi sebelumnya berbahasa Portugis Kreol, tetapi tetap mempertahankan identitas kulturalnya, seperti agama dan pemberian
nama anak umumnya nama-nama khas kristen Belanda. Periode selanjutnya, Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan
menduduki berbagai wilayah dan kota-kota di Indonesia termasuk Batavia. Namun dengan perjuangan yang berat, rakyat Indonesia berhasil membebaskan
negaranya dari penjajah dan menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta dan sejak itu
nama Jakarta singkatan dari Jayakarta dipakai secara populer menggantikan nama-nama sebelumnya.
Selama berabad-abad lamanya wilayah yang saat ini disebut Jakarta menjadi tempat berkumpulnya berbagai bangsa dan suku bangsa dengan bermacam-
macam adat istiadat, bahasa dan budaya daerahnya masing-masing. Namun, siapakah kiranya yang dapat disebut sebagai penduduk asli Jakarta? Pada
awalnya para pendatang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda ini masih menyandang budaya asalnya masing-masing. Kemudian terjadi proses
asimilasi dari unsur-unsur beragam budaya dari kelompok-kelompok tertentu yang sudah hadir di Jakarta. Berbaurnya migran dari berbagai suku bangsa di
seluruh tanah air dengan penduduk yang sudah ada di Kalapa pada saat itu, juga dengan bangsa-bangsa lain seperti Cina, Arab, Turki, Persia, Portugis, Inggris dan
Belanda, mengakibatkan terjadinya perkawinan diantara mereka, sehingga terjadilah perpaduan adat istiadat, budaya dan falsafah hidup hingga melahirkan
suatu corak budaya dan tatacara yang baru. Dengan demikian sejak abad ke-19 nampak suatu proto type etnik Betawi yang kemudian melembaga dan
melahirkan etnik Betawi. Menurut Grinjs dan Nas, 2000, yang diterjemahkan pada tahun 2007,
pandangan dominan yang lazim adalah Betawi merupakan keturunan budak atau bangsa Asia kelas rendah yang banyak terdapat di Batavia pandangan ini ditinjau
dari sudut demografi oleh Lance Castle pada tahun 1967. Karena kebijakan pemisahan etnik VOC, diperlukan hampir dua abad sebelum Betawi tampil
sebagai kelompok etnik tersendiri yang lahir dari kawin campur berbagai keturunan, termasuk Cina, Bali, Jawa, Sunda dan orang-orang dari berbagai latar
belakang etnik lainnya. Kehadiran etnik ini, menurut Castle dalam Shahab, 2004, baru tercatat pada Sensus Penduduk tahun 1930. Bersumber dari catatan
kependudukan yang dikumpulkannya, secara demografi dapat disimpulkan etnik ini muncul antara tahun 1815 hingga 1893.
Pandangan lain berpendapat bahwa proses asimilasi pembentukan komunitas baru sudah berlangsung setidaknya sejak abad ke-10 M. Dari sudut
pandang linguistik, menurut Nothofer pakar linguistik Melayu dalam Saidi, 2004, bahwa dialek Melayu yang kini dipakai masyarakat Jakarta juga beberapa
tempat lainnya seperti Bangka, Palembang, Pontianak, Serawak, merupakan variasi bahasa Melayu Purba Polinesia yang berasal dari Kalimantan Barat, yang
menyebar lebih dari seribu tahun yang silam. Migran dari Kalimantan Barat ke Kalapa pada masa itu diperkirakan jumlahnya lebih besar dari penduduk setempat
yang berbahasa Sunda Kuno. Proses asimilasi penduduk awal yang berbahasa Sunda Kuno dengan pendatang dari Kalimantan Barat yang berbahasa Melayu
Polinesia ini membentuk suatu etnik baru dan terus berlangsung bercampur dengan unsur budaya yang beragam dari para pendatang pada periode berikutnya.
Hingga abad ke-19 etnik baru tersebut dikenal dengan Melayu Jawa. Menurut Saidi 2004, Betawi merupakan masyarakat yang terdiri dari
orang-orang yang datang dari berbagai penjuru dunia dan suku bangsa di Indonesia Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda. Berbagai suku
bangsa ini telah banyak kehilangan ciri asli nenek moyang mereka yang melalui pergaulan perdagangan dan perkawinan campur telah menjadi satu etnik khusus
yaitu Betawi Koentjaraningrat, 1997. Etnik ini dikenal sebagai masyarakat yang “meltingpot”.
Dalam sebuah karangan pada abad ke-19 yang berjudul Kawantonan Ing Nagari Batawi yang ditulis oleh Raden Arya Sastradarma, pada tahun 1865 ia
melihat kelompok etnik Melayu Jawa menyebut dirinya sebagai ”orang Betawi”, bercampur dengan sebutan ”orang Selam”. Penyebutan diri sebagai orang Selam
tampaknya tidak banyak dipakai oleh orang Betawi pada abad ke-20. Orang Arab lebih suka menyebut orang Betawi sebagai orang Melayu.
Ada sebutan yang tidak populer untuk kelompok etnik ini pada sekitar abad ke-13, yaitu orang Semanan berasal dari bahasa iban Senganan yang artinya
orang yang baru masuk Islam. Dalam kitab Sanghyang Siksakhanda yang merupakan pedoman etik bagi orang Pajajaran dan taklukannya, diuraikan ketika
pesisir utara Jawa mulai dari Cirebon, Kerawang, Bekasi terkena pengaruh Islam yang disebarkan oleh orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu
Jawa yang memeluk Islam. Penguasa Pajajaran menyebut mereka sebagai kaum langgara, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya orang yang telah berubah
atau beralih. Tempat berkumpul mereka disebut langgar sampai saat ini orang Betawi masih menyebut langgar sebagai padanan musholah. Kaum langgara ini
yang disebut Semanan. Dalam perkembangannya masyarakat Betawi tinggal menyebar di Batavia.
Berdasarkan daerah
penyebarannya serta
kehidupan budaya
yang mempengaruhinya, masyarakat Betawi dibagi dua kelompok Ramto, 1986 dalam
Nilamsari, 2005, yaitu masyarakat Betawi Tengah dan masyarakat Betawi Pinggiran.
Masyarakat Betawi Tengah meliputi wilayah yang dulu disebut ”Gemente Batavia” minus Tanjung Priok dan sekitarnya, atau pada keadaan saat ini meliputi
radius kurang lebih tujuh kilometer dari monas. Mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari budayanya yang
mencerminkan budaya Islam dan Melayu, seperti samrah, zapin dan rebana. Kelompok ini pada masa lalu mendapat kesempatan untuk maju, lebih jika
dibandingkan Betawi pinggiran sehingga mencapai kedudukan The Rulling Class.
Masyarakat Betawi Pinggiran terbagi dua yaitu pinggiran bagian Utara dan pinggiran bagian Selatan. Masyarakat Betawi pinggiran bagian Utara pada
keadaan saat ini meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Tangerang. Mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina, dapat dilihat dari corak keseniannya
antara lain gambang kromong cokek dan lenong. Sementara itu, masyarakat Betawi pinggiran bagian Selatan, yang pada keadaan saat ini meliputi wilayah
Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bogor dan Bekasi yang. Mereka sangat kuat dipengaruhi kebudayaan Jawa dan Sunda tanpa menghilangkan unsur kebudayaa
Betawi-Melayu itu sendiri. Kelompok ini memiliki keanekaragaman seni yang lebih kuat dibandingkan kelompok masyarakat Betawi lainnya, seperti kesenian
topeng Betawi, tanjidor, rebana, wayang kulit, wayang wong, dan juga memiliki sebagian besar kesenian dari masyarakat Betawi bagian tengah maupun Utara.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, tidak ada lagi istilah Betawi Tengah maupun Betawi Pinggiran. Mereka lama kelamaan berbaur menjadi satu hingga
yang ada hanya istilah Betawi Shahab, 2004.