Keterkaitan Pembangunan Kota dan Desa

Faktor-faktor lain yang berpengaruh dapat berupa lancarnya komunikasi dan transportasi, integrasi nasional, kebiasaan untuk merantau, dan sebagainya. Kebiasaan merantau sering dimiliki oleh beberapa etnik bangsa di Indonesia, misalnya etnik Minangkabau. Mereka tidak segan meninggalkan kampung halamannya, bahkan sebagian pemuda merasa malu bila tetap berada di kampung halamannya. Demikian halnya dengan suku Batak, kebiasaan meninggalkan kampung halaman sudah merupakan kebiasaan sejak dulu. Bahkan menjadi suatu kebanggaan kalau anggota marga clan maupun kerabatnya subclan yang merantau tersebut berhasil dalam hidupnya dan hal ini menjadi inspirasi bagi yang lain untuk bermigrasi pula. Untuk suku bangsa lain seperti Banjar, Ambon, Bugis, Jawa dan sebagainya, kebiasaan merantau semakin hari semakin meresap di kalangan mereka Naim, 1976 dalam Ismani, 1991. Sementara itu, faktor-faktor kepribadian sangat dominan pengaruhnya untuk menimbulkan perpindahan penduduk. Termasuk dalam hal ini adalah keberaniaan seseorang untuk menanggung resiko, kemampuan dalam berbagai bidang, kemampuan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daerah baru dan ketrampilan serta keahlian. Selanjutnya, migrasi dari desa ke kota disebut urbanisasi. Gejala urbanisasi banyak terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia. Terlebih lagi negara berkembang seperti Indonesia, arus urbanisasi semakian hari semakin meningkat. Keadaan urbanisasi di sini tidak bisa dipisahkan dari pola pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Orientasi pembangunan yang bias urban telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan antar sektor dan antar lokasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa urbanisasi itu timbul karena ketimpangan keruangan spatial imbalance, termasuk didalamnya ketimpangan penduduk dan ekonomi Bintarto, 1984 dalam Ismani, 1991. Namun seperti yang telah dikemukakan di atas, perbedaan desa dan kota tersebut sudah makin menjadi samar akhir-akhir ini. Menurut Ismani 1979 dalam Ismani 1991, penduduk yang melakukan urbanisasi umumnya memiliki keluarga atau teman dekat yang sudah tinggal di kota dan bersedia membantu mereka untuk memberikan informasi ataupun pertolongan lainnya. Para pendatang baru itu ditampung dan dibantu mendapatkan pekerjaan sehingga akhirnya mampu berdiri sendiri. Mereka yang datang itu makin banyak jumlahnya dan membina pemukiman sendiri dalam kelompok mereka. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai di kota-kota besar yang penghuninya berasal dari desa yang sama atau kelompok etnik yang sama. Selain penduduk yang melakukan urbanisasi untuk menetap di kota, terdapat pula yang hanya sementara musiman saja menetap. Mereka yang melakukan hal ini biasanya bertujuan mencari nafkah sambil menunggu waktu senggang, saat pekerjaan pada bidang pertanian di pedesaan sudah selesai. Pada saat pekerjaan di bidang pertanian memerlukan tenaga mereka, mereka akan pulang kampung mudik. Di kota, mereka mengandalkan fisiknya dalam berusaha mendapatkan pekerjaan apa saja di sektor informal. Sementara itu, terdapat pula pola urbanisasi dimana para pelakunya menetap di kota dalam waktu relatif lama. Mereka mencari nafkah di kota dan hasilnya dikirim ke desa. Arus urbanisasi yang terus menerus dan semakin deras baik bagi lingkungan fisik maupun non fisik. Para pendatang cenderung mencari pemukiman yang sesuai dengan tingkat ekonominya. Sebagian besar mereka termasuk golongan ekonomi lemah sehingga mereka tinggal di kampung-kampung yang terdapat di perkotaan yang kemudian menjadi pemukiman kumuh slum area. Sementara itu, dengan keterbatasan kemampuan mereka, umumnya mereka bekerja di sektor informal, karena sektor ini tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan maupun ketrampilan tertentu. Hampir semua dari mereka memasuki sektor ini yang seiring dengan waktu keadaannya semakin jenuh. Persaingan diantara mereka untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat karena jumlah mereka yang berlebih. Sebagian dari mereka yang beruntung mendapat pekerjaan meski penghasilannya rendah. Namun sebagian lagi tidak mendapat pekerjaan dan menjadi pengangguran. Dari situasi yang demikianlah dapat timbul kriminalitas.

2.4. Sejarah Penduduk asli Etnik Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang di DKI Jakarta

a. Identifikasi

Jakarta merupakan ibu kota Indonesia merupakan kota terbesar dan paling padat penduduknya di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang. Dahulu kota ini berasal dari sebuah perkampungan kecil bernama Kalapa, juga merupakan sebuah bandar dari kerajaan Hindu Tarumanagara, dengan rajanya Purnawarman. Kerajaan Tarumanagara memudar pada abad ke-7 M. Pada saat itu terjadi vacuum kekuasaan politik di Kalapa. Pada masa vacuum itu, muncul kekuasaan Budha Sriwijaya sebagai periode interrugnum di Kalapa. Kemudian, pada abad ke-12 daerah Kalapa mulai menjadi bagian kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Pada saat itu, kerajaan pajajaran mendirikan kantor administrasi pelabuhan di Kalapa yang kemudian berfungsi sebagai pelabuhan kecil yang bernama Sunda Kalapa. Pelabuhan ini sudah banyak dikunjungi oleh para pedagang dan pelaut dari Sumatera, Malaka, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Pada saat itu, pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan paling ramai dibandingkan pelabuhan lain yang dikontrol kerajaan Pajajaran, seperti sejumlah pelabuhan di Cimanuk, Tengaran Tanggerang. Pada masa-masa berikutnya, kota pelabuhan ini menjadi tujuan untuk menetap bagi kelompok etnik dari bagian nusantara lainnya, juga warga bangsa-bangsa dari belahan dunia lain. Beberapa waktu setelah itu, yaitu sekitar tahun 1522, Portugis mengadakan perjanjian dengan penguasa Pajajaran untuk bisa membuat kastil di daerah Sunda Kalapa. Kemudian daerah Sunda Kelapa direbut dan dikuasai oleh Portugis. Namun berhasil direbut kembali oleh Fatahillah atau Raden Patah dari kerajaan Islam Demak, pada tanggal 22 Juni 1527. Bersamaan dengan hal tersebut, nama daerah Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah yang artinya kemenangan yang sempurna. Kemenangan bagi kota Jayakarta ternyata tidak mencapai satu abad. Tercatat bahwa pada tahun 1619 Belanda dengan VOC Vereenigde Oost-Indische Compagnie, dibawah kepemimpinan Jan Pieterszon Coen berhasil merebut Jayakarta yang kemudian mendudukinya. Pada tahun yang sama di wilayah tersebut mulai dibangun sebuah kota yang diberi nama Batavia, berfungsi sebagai sebuah benteng dan pos dagang, yang pada perkembangan selanjutnya kota ini menjadi pelabuhan utama VOC dan ibukota Hindia Belanda. Orang Belanda menghancurkan permukiman kaum pribumi dan menjadikan Batavia sebagai jiplakan kampung halaman mereka di Belanda waktu itu, lengkap dengan kanal, jembatan tarik, rumah kanal, kanopi susun, jalanan yang dikeraskan dengan batu- batu dan sebagainya. Untuk membangun kota Batavia, Belanda mendatangkan budak dari Arakan Burma, Andaman dan Malabar India, juga dari beberapa daerah di Indonesia seperti Bali. Pada era Gubernur General Van der Varra 1761-1765 terjadi pendatangan budak dalam jumlah besar. Budak-budak ini dipekerjakan di perkebunan, penebangan hutan dan buruh bangunan. Setelah perusahaan yang mendatangkan budak tidak berfungsi lagi, maka para budak mencari pekerjaan bebas dan berdiam di pemukiman yang ditentukan pemerintah Hindia Belanda. Para budak ini, yang mayoritas adalah non muslim umumnya para budak telah dikristenkan, tidak kawin-mawin dengan penduduk asli setempat, kecuali mereka yang ditempatkan di daerah Kreol. Sebagai catatan, budak-budak kristen yang dimerdekakan disebut Mardijker orang merdeka. Mereka kemudian berbahasa Betawi sebelumnya berbahasa Portugis Kreol, tetapi tetap mempertahankan identitas kulturalnya, seperti agama dan pemberian nama anak umumnya nama-nama khas kristen Belanda. Periode selanjutnya, Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menduduki berbagai wilayah dan kota-kota di Indonesia termasuk Batavia. Namun dengan perjuangan yang berat, rakyat Indonesia berhasil membebaskan negaranya dari penjajah dan menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta dan sejak itu nama Jakarta singkatan dari Jayakarta dipakai secara populer menggantikan nama-nama sebelumnya. Selama berabad-abad lamanya wilayah yang saat ini disebut Jakarta menjadi tempat berkumpulnya berbagai bangsa dan suku bangsa dengan bermacam- macam adat istiadat, bahasa dan budaya daerahnya masing-masing. Namun, siapakah kiranya yang dapat disebut sebagai penduduk asli Jakarta? Pada awalnya para pendatang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda ini masih menyandang budaya asalnya masing-masing. Kemudian terjadi proses asimilasi dari unsur-unsur beragam budaya dari kelompok-kelompok tertentu yang sudah hadir di Jakarta. Berbaurnya migran dari berbagai suku bangsa di seluruh tanah air dengan penduduk yang sudah ada di Kalapa pada saat itu, juga dengan bangsa-bangsa lain seperti Cina, Arab, Turki, Persia, Portugis, Inggris dan Belanda, mengakibatkan terjadinya perkawinan diantara mereka, sehingga terjadilah perpaduan adat istiadat, budaya dan falsafah hidup hingga melahirkan