b KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan

Kota Administrasi : Jakarta Selatan Kecamatan : Tebet Kelurahan : Menteng Dalam No. Responden : 22 Nama : Dsp - Pendatang ______________________________________________________________________________ Dsp seorang kepala rumah tangga. Ia tinggal di pinggir tempat pemakaman umum. Mata pencarian utamanya adalah usaha warung yang menjual minuman, kudapan, rokok, dan beberapa keperluan sehari-hari seperti, obat nyamuk, korek api, obat ringan yang boleh dijual bebas, dan sebagainya. Ia merasa kehidupannya saat ini masih perlu diperbaiki. Ada usaha konkrit yang diupayakannya agar hidupnya dapat lebih baik. Ia berpikir jangan sampai anaknya putus sekolah. Oleh sebab itu, untuk menambah penghasilannya, ia menjual tanaman hias di dalam pot. Tanaman yang akan dijual ia tanam sendiri. Ia menggunakan pupuk yang dibuatnya sendiri, berupa pupuk semacam kompos. Menurutnya, uang untuk membeli pupuk lebih baik dipergunakan untuk menambah ongkos anak sekolah. Selain itu, ia sering menjajakan minuman dagangannya kepada pengunjung makam yang sedang berziarah. Di sela kesibukannya bekerja untuk mencari rezeki, ia ingin memajukan usaha dagangnya dengan anggapan bila dagangannya lebih banyak dan lebih bervariasi, maka tingkat penghasilannya dapat lebih banyak. Ia merasa cocok dengan pekerjaan yang dilakukannya. Menurutnya, dengan pendidikan yang hanya hingga kelas tiga SD, ia tidak mungkin mencari jenis pekerjaan yang lain. “Kepengen memperbaikin hidup, biar anak gak putus sekolah, nanam bunga bougenvile, jualan teh botol di pemakaman, penggali kuburan, bikin warung usaha saya. Pendidikan hanya sampe kelas tiga SD, ga ada pilihan lain mending berdagang aja ” kata Dsp. Dsp beranggapan bahwa dalam hidup ini masih ada masa depan yang perlu dipikirkan. Ia sering menabung untuk membayar uang sekolah dan keperluan untuk sekolah bagi kedua anaknya yang saat ini duduk di kelas dua SD dan kelas tiga SMEA. Ia juga beranggapan bahwa hidup berhemat itu penting. Ia berharap bila saat ini keadaannya penuh kesulitan, pada masa yang akan datang jangan sampai terus seperti ini. Dsp menghabiskan masa kecilnya di Pekalongan. Ia tidak sempat lulus dari pendidikan dasar yang ditekuninya karena putus sekolah di kelas tiga SD akibat keterbatasan biaya. Ketika ia beranjak remaja, salah seorang teman mengajaknya untuk ke Jakarta, bekerja di toko yang menjual sembako sembilan bahan pokok, bertempat di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pukul tiga dini hari ia harus membungkus gula dan sembako lainnya. Kemudian ia menjaga toko dan membereskannya ketika toko tutup. Ia baru bisa beristirahat pukul 24.00. Walau pekerjaan tersebut melelahkan, upah yang diterimanya relatif rendah. Akhirnya ia meninggalkan pekerjaan tersebut. Dari daerah Pasar Minggu, Dsp pindah ke daerah Kramat, Jakarta Pusat untuk berjualan teh botol. Menurutnya, ketika berjualan teh botol terkumpul uang sekitar 750 ribu rupiah yang disimpannya untuk modal. Dari daerah Kramat, ia pindah ke daerah Mampang untuk ikut saudara yang mempunyai usaha kecil membuat tempe dan menjualnya. Bersama saudaranya itu, usaha pindah ke Bandung. Sayang beberapa waktu kemudian usaha terpaksa terhenti karena pada saat itu ada kasus keracunan makanan yang pada akhirnya berimbas ke usahanya. Dari Bandung ia bersama saudaranya kembali ke Jakarta, tinggal di daerah Cipayung, Jakarta Timur. Di sana ia hanya berjualan tempe. Beberapa saat kemudian, ia pindah dan mengontrak di Rawabuaya. Ia berpisah dengan Saudaranya karena konflik internal. Di tempat yang baru ia berjualan cincau. Di sinilah ia bertemu dengan Siti Mariyam yang kemudian menjadi istrinya. Kota Administrasi : Jakarta Selatan Kecamatan : Tebet Kelurahan : Menteng Dalam No. Responden : 26 Nama : Usm – Pendatang ______________________________________________________________________________ Usm 53 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai kenek tukang batu ini merasa bahwa kehidupannya saat ini susahburuk. Ia menginginkan dan berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih baik, cara yang ia lakukan adalah dengan bekerja tambahan dan mencari modal untuk berdagang. Kehidupan yang lebih baik adalah keinginan Usm yang belum tercapai hingga saat ini. Hakikat bekerja bagi Usm adalah untuk menafkahi keluarga. Baginya, pekerjaannya saat ini belum memuaskan, namun ia terpaksa menjalaninya karena ia merasa tidak berpendidikan. Usm belum pernah bekerja di bidang lain sebelumnya, namun jika ada kesempatan, ia ingin mencari pekerjaan lain, terutama pekerjaan yang sifatnya tetap, “karena lebih baik”, kata Usm ketika ditanya alasannya. Namun demikian, ia masih bersedia jika terpaksa harus melakukan pekerjaan kasar sekalipun. “Saya biasa jadi kenek tukang batu, sayang pekerjaan begini bukan pekerjaan tetap, tapi terpaksa dijalanin abis ga punya pendidikan. Lagi nyari pekerjaan tambahan sih, pekerjaan kasar juga mau sambil mikir pengen dagang. Sayang modalnya belum ada ”, ungkap Usm. Masa lalu bagi Usm, pantas dijadikan pedoman dalam menjalani hidup saat ini karena ia merasa kehidupannya dulu lebih baik daripada sekarang. Sejalan dengan hal tersebut, Usm tidak setuju jika yang dipikirkan hanyalah masa sekarang saja. Baginya masa depan juga harus dipikirkan, “kehidupan ke depan harus lebih baik daripada sekarang”, jelasnya. Bagi Usm, merencanakan masa depan adalah hal yang penting. Usm pernah menabung, terutama untuk simpanan jika sewaktu-waktu ada anggota keluarga yang sakit. Demikian halnya dengan pola hidup hemat, menurut Usm hal tersebut penting, “dari kecil udah diajarin sama orang tua”, katanya. Menurut Usm, pendidikan anak-anak adalah hal yang penting. Ia sendiri tidak pernah bersekolah, demikian juga dengan istrinya, Sofiah 42 tahun. Tiga anak Usm hanya lulus SMP sedangkan anak bungsunya masih berusia 4 tahun dan belum sekolah. Satu anak Usm sudah berkeluarga, bersama istrinya menantu Usm dan dua anaknya cucu Usm mereka tinggal satu atap bersama Usm dan adik-adiknya. Bagi Usm, pendidikan anak menjadi penting karena akan meningkatkan taraf hidup, namun ia sangat kesulitan untuk membiayai anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah. Meskipun demikian, dengan bekerja, menurut Usm, hal tersebut akan dapat teratasi. Alam bagi Usm harus dijaga kelestariannya, ia pun mengaku senang jika lingkungan sehat. Jika ada sampah menumpuk di selokan depan rumah, akan dibersihkan oleh Usm karena ia mengaku tidak suka melihat sampah. Mantan Presiden Soeharto, rupanya adalah tokoh yang dikagumi Usm dan dijadikan sebagai panutannya. Menurut Usm, presiden Soeharto bagus dalam memimpin rakyat. Dalam hal menjaga hubungan baik dengan tetangga, Usm menganggap hal tersebut sangat penting, menurutnya: “kalo saya meninggal, tidak bisa jalan sendiri”, maksudnya jika ia meninggal, tetangganya lah yang akan mengurus pemakamannya. Sungguh rendah hati alasan yang diberikan Usm. Namun demikian dalam hal nasib, menurut Usm yang menentukan nasibnya adalah dirinya sendiri, menurutnya jika bukan diri sendiri yang bekerja, maka kita tidak bisa menafkahi keluarga. Pendapat unik disampaikan Usm dalam memandang pendapat “banyak anak banyak rejeki ”, “bohong”, katanya singkat, “rejeki nggak datang sendiri”, katanya menambahkan. Bagi Usm, yang menyebabkan hidupnya kini terasa sulit adalah karena sulitnya mencari pekerjaan dan tidak adanya modal untuk berusaha. Adapun yang menurutnya dapat membuat kehidupannya menjadi lebih baik adalah program pemerintah dalam membuka lapangan pekerjaan, dengan demikian ia akan berusaha dan giat bekerja untuk memperbaiki hidupnya. Merasa taraf hidup keluarganya saat ini belum wajar, Usm lebih suka menerima bantuan dalam bentuk pekerjaan. Kota Administrasi : Jakarta Selatan Kecamatan : Tebet Kelurahan : Menteng Dalam No. Responden : 28 Nama : Ksh – Pendatang ______________________________________________________________________________ Ksh 60 tahun saat ini tinggal bersama dua orang cucunya, Amanda 8 tahun dan Bilal 4 tahun. Bagi wanita yang sudah bercerai dengan suaminya ini, kehidupannya sekarang terasa susah. Meskipun demikian ia masih optimis, di tengah kesusahan asalkan mau berusaha pasti ada rejeki yang didapat, atau secara lebih sederhana, Ksh berpendapat, “kalo mau rajin, seperak dua perak sih ketemu ,” katanya bijaksana. Ia pun sebenarnya menginginkan kehidupan yang lebih baik. Cara yang ditempuh untuk mencapai keingianan tersebut menurut Ksh adalah dengan melakukan usaha semaksimal mungkin. Adapun usaha yang dilakukan Ksh adalah dengan menanami lahan-lahan kosong dengan singkong yang daunnya dipetik seminggu dua kali untuk dijual, selain itu ia juga membuat dan menjual keripik pisang seminggu sekali. Pekerjaannya tersebut dilakukannya sambil terus menjaga cucu-cucunya. Saat ini keinginan Ksh yang belum terwujud adalah memiliki modal untuk berdagang kecil-kecilan di rumahnya. Menurut Ksh, hakikat bekerja tidak hanya untuk mendapatkan uang, tetapi juga untuk memperoleh kehormatan keluarga dan ia merasa puas dengan apa yang ia kerjakan sekarang ini. Dulu Ksh sempat berdagang warteg, berdagang warung, dan mengkreditkan pakaian,bahkan menjadi pembantu rumah tangga, namun ada saja halangan yang membuatnya harus berhenti melakoni pekerjaan tersebut. Pada waktu dagang warteg ia digusur, demikian juga ketika membuka warung, sementara pada saat mengkreditkan pakaian, banyak pembelinya tidak mau membayar, akibatnya ia menjadi rugi dan usahanya harus gulung tikar. Sekarang Ksh berjualan kripik pisang di rumah dan ingin memiliki pekerjaan lain, yaitu berdagang sembako di rumahnya, ia tidak mau menyewa warung karena biayanya mahal, selain itu dengan membuka usaha di rumah, Ksh merasa tidak repot karena bisa sekaligus menjaga cucu-cucunya. Mengenai pekerjaannya yang sekarang, Ksh mengaku hanya meneruskan apa yang dilakukan oleh mantan suaminya dulu. Ketika masih hidup bersama, sehari-hari suami Ksh menggarap lahan kosong dan ditanami sayur mayur, namun setelah mereka berpisah, Ksh-lah yang meneruskan kegiatan tersebut ”dulu pernah punya warteg, pernah buka warung, pernah kreditin pakaian, tapi ada saja halangannya. Sekarang jualan kripik pisang di rumah sambil manfaatin lahan kosong milik orang lain untuk nanem sayuran. Lumayan bisa sambil menjaga cucu”. Ksh setuju bahwa masa depan harus direncanakan, dulu ia pernah punya keinginan untuk memiliki tabungan, tujuannya untuk simpanan jika ada kebutuhan tak terduga, demikian juga dengan sikap hidup hemat, Ksh memiliki suatu pernyataan yang sederhana namun mengena, demikian katanya: “kalo nggak hemat, dipuas-puasin boros, besok gak makan, tapi kalo dihemat-hematin, besok masih bisa makan, kalo sakit juga masih punya uang ”. Ksh yang berasal dari Pekalongan ini tak pernah mengenyam bangku sekolah. Waktu pertama kali ka Jakarta dulu, ia sudah beranak tiga, ke ibukota dengan maksud mencari pekerjaan dan diajak teman mengontrak di tempat yang ia tinggali hingga kini. Sepanjang hidupnya, Ksh sudah menikah dua kali, suaminya yang pertama meninggal dunia. Walaupun memiliki rumah di daerah asalnya, Ksh jarang pulang ke Pekalongan dan tidak pernah mengirim uang. Anak-anaknya kini sudah bekerja di Jakarta dan ada juga yang di Lampung. Walaupun mengganggap pendidikan anak-anak adalah hal yang penting, hanya satu anak Ksh yang berhasil menamatkan pendidikan SMP, selebihnya putus sekolah dan tidak melanjutkan karena masalah biaya yang tidak dapat teratasi hingga kini. Kini, Amanda, cucu Ksh masih bersekolah kelas 2 SD. Alam bagi Ksh , harus dimanfaatkan, “sayang, peninggalan suami”, katanya. Pun jika ada sampah yang menumpuk di depan rumahnya akan Ksh sapu dan buang supaya bersih. Saat ini Ksh memiliki aset berupa tanah di Pekalongan seluas 420 meter persegi. Tidak ada tokoh yang menjadi panutan hidup Ksh, namun dalam hal bertetangga, ia mengaku setuju harus menjaga hubungan baik, “biar tolong-menolong”, sahut Ksh mencoba bijak. Bagi Ksh, yang menentukan nasibnya adalah dirinya sendiri, bukan orang lain, bukan juga anak- anaknya yang kini sudah memiliki penghasilan, “mau minta uang ke anak gak berani, karena dulu kita nggak modalin maksudnya ia merasa tak pernah memberi bekal, baik pendidikan maupun uang bagi anak-anaknya untuk bekerja kini ,” jelas Ksh. “Kalo dikasih, ya terima ,” tambahnya. Dengan keyakinan “banyak anak banyak rejeki”, Ksh tidak setuju, menurutnya, “banyak anak banyak biaya,” tandasnya. Ksh merasa yang menjadi penyebab ia hidup susah saat ini adalah kerena tidak berpendidikan, ia berharap jika mendapat bantuan dapat berupa modal untuk membuka usaha dagang sembako, karena ia merasa kehidupan keluarganya saat ini belum wajar dan harus diperbaiki. Lampiran 2: Hasil Pengolahan Uji U NPar Tests Descriptive Statistics N Mean Std. Deviation Minimum Maximum Percentiles 25th 50th Median 75th hh 57 2.33 .951 1 3 1.00 3.00 3.00 motivasi 57 1.96 .801 1 3 1.00 2.00 3.00 usaha 57 1.60 .495 1 2 1.00 2.00 2.00 hk 57 1.16 .527 1 3 1.00 1.00 1.00 hw 57 2.14 .480 1 3 2.00 2.00 2.00 ha 57 1.40 .678 1 3 1.00 1.00 2.00 hm 57 1.12 .466 1 3 1.00 1.00 1.00 suku 57 1.53 .504 1 2 1.00 2.00 2.00 Mann-Whitney Test Ranks N Mean Rank Sum of Ranks hh Betawi 27 27.94 754.50 Pendatang 30 29.95 898.50 Total 57 motivasi Betawi 27 27.56 744.00 Pendatang 30 30.30 909.00 Total 57 usaha Betawi 27 25.72 694.50 Pendatang 30 31.95 958.50 Total 57 hk Betawi 27 27.57 744.50 Pendatang 30 30.28 908.50 Total 57 hw Betawi 27 28.15 760.00 Pendatang 30 29.77 893.00 Total 57 ha Betawi 27 28.69 774.50 Pendatang 30 29.28 878.50 Total 57 hm Betawi 27 29.07 785.00 Pendatang 30 28.93 868.00 Total 57 Test Statisticsa hh motivasi usaha hk hw ha hm Mann-Whitney U 376.500 366.000 316.500 366.500 382.000 396.500 403.000 Wilcoxon W 754.500 744.000 694.500 744.500 760.000 774.500 868.000 Z -.558 -.662 -1.664 -1.255 -.490 -.169 -.072 Asymp. Sig. 2-tailed .577 .508 .096 .210 .624 .866 .942 a Grouping Variable: suku ABSTRACT This Research is aimed generally to understand the problem of poverty from the point of view of socioeconomic and cultural in Betawi as indegenous population in Jakarta vis-a-vis migrant non-indegenous population in there. Particular purpose are: 1 to determine the variation difference the characteristics of poverty in population of Betawi vis-a-vis migrant; 2 to understand the correlation among socioeconomic and culture factors that contribute to the poverty in DKI Jakarta, 3 to know the value orientation and culture on poor population of Betawi vis-a-vis migrant in living their everyday lives, especially those associated with poverty’s exit strategy. The method of analysis in this research is descriptive analysis, logit regression model, and Kluckhohns value model. The result of the research shows: 1 characteristics of expenditure by quintile, the distribution of higher spending on migrant, the percentage is greater than in Betawi. Characteristics of household heads work on the Betawi largest percentage of poor population working in the business sector tenancy rented house, while the migrant, the largest percentage of the work in the trade sector. 2 The level of education, the status of trying, have access to credit, working hours, health conditions, sex female household head is positively correlated with poverty. Age and ethnic the Betawi household heads tend to negatively correlated with poverty. Many of the state in favor of the Betawi than the migrant, such as the existence of inherited land. 3Progressive cultural are owned by the migrant than the Betawi. Keyword : Poverty, Socioeconomic, Cultural, Betawi Indegenous Population, migrant, Kluckhohns value model

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jakarta telah mengalami pertumbuhan dan pembangunan yang sangat pesat sehingga menjadi magnet bagi penduduk di luar Jakarta untuk bermigrasi ke tempat ini. Ada harapan besar dan faktor mental yang mempengaruhi kemajuan mereka seperti semangat untuk berjuang mengadu nasib di daerah orang lain. Bahkan, seiring dengan perjalanan waktu, kehadiran pendatang telah membuat keberadaan penduduk asli Jakarta yang dikenal dengan orang Betawi, cenderung semakin terpinggirkan. Tercatat pada hasil Sensus Penduduk tahun 1930 jumlah mereka sekitar 64 persen jumlah penduduk Jakarta Shahab, 2004. Namun, pada tahun 2000 jumlah mereka hanya tinggal sekitar 27,65 persen dari jumlah penduduk Jakarta Badan Pusat Statistik, 2000. Namun demikian, menurut media on line Berita Jakarta, 2009, banyak pula pendatang yang ke Jakarta tanpa dibekali ketrampilan yang akhirnya menjadi warga miskin di kota ini karena tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan menjadi pengangguran. Berkaitan dengan kehadiran pendatang, urbanisasi di Indonesia tercatat mulai merupakan fenomena yang signifikan sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia Rustiadi dan Panuju, 1999. Awal urbanisasi di Indonesia, faktor dorongan untuk bermigrasi dari pedesaan akibat kemiskinan nampak jauh lebih kuat dari faktor daya tarik perkotaan. Akibatnya karakteristik perkotaan di Indonesia, khususnya kota Jakarta, sangat diwarnai oleh keberadaan tenaga kerja sektor informal dan pengangguran tak kentara atau disguished unemployment Temple, 1974 dalam Rustiadi dan Panuju,1999. Di sisi lain, pembangunan selama masa orde baru yang bias ke perkotaan dan bias Jawa menjadi sebab utama perbedaan karakteristik kota Jakarta dan kota- kota lain di Indonesia sehingga menimbulkan ketimpangan, misalnya ketimpangan distribusi akses penduduk terhadap sumber-sumberdaya, kesempatan kerja dan pendapatan. Ketimpangan tersebut menyebabkan derasnya proses speed up processes migrasi penduduk dari wilayah pedesaan ke kota ini. Mereka, pendatang yang berasal dari sebaran etnik yang beragam multietnik, beramai- ramai mencari rizki di Jakarta. Namun, sebagian penduduk tersebut tidak memiliki keahlian dan ketrampilan khusus sehingga timbul beberapa dampak sosial, seperti masalah pengangguran yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan Affendi, 1999, yang pada akhirnya merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Upaya mengatasi permasalahan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, seperti dalam bidang perbaikan permukiman kampung, persediaan air, sanitasi dan transportasi, serta penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Namun, hasilnya masih kurang memuaskan, masih banyak jumlah penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tercatat jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sekitar 286,9 ribu orang 3,42 persen pada tahun 2002, cenderung bertahan menjadi 294,1 ribu orang pada tahun 2003 Badan Pusat Statistik, 2004. Jumlah tersebut kemudian turun menjadi 277,1 ribu 3,2 persen orang pada tahun 2004 Badan Pusat Statistik, 2004, meningkat menjadi sekitar 405,7 ribu orang 4,61 persen pada tahun 2007 Badan Pusat Statistik, 2007, perlahan-lahan turun hingga menjadi 312,2 ribu 3,48 persen pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2010, dan meningkat kembali menjadi 363,42 ribu 3,75 persen pada tahun 2011 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2011. Persentase penduduk miskin di DKI Jakarta sejak tahun 2002 sampai tahun 2011 seperti yang telah disebutkan, cenderung tidak memiliki pola dengan besaran yang sulit turun dari angka tiga sampai empat persen. Sulit untuk turunnya persentase angka kemiskinan tersebut merupakan perihal yang menimbulkan pertanyaan mengingat pemerintah Provinsi DKI Jakarta cenderung sangat besar perhatiannya terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Apakah kisaran angka tersebut ini mengindikasikan suatu keadaan kemiskinan yang apabila dilihat dari sisi kuantitasnya relatif sudah dalam tingkatan „orang miskin yang tersisa‟ sehingga sangat sulit untuk dientaskan hard core poverty juga merupakan suatu pertanyaan. Barangkali dalam keadaan serupa ini, faktor budaya yang belum berpihak kepada kemajuan seperti prilaku pasrah menjalani kehidupan, sikap yang sudah tidak atau belum termotivasi untuk bekerja keras, berperan bahkan mendominasi prilaku penduduk miskin tersebut. Berkaitan dengan seriusnya perhatian pemerintah Indonesia pada umumnya, maupun pemerintah provinsi DKI Jakarta pada khususnya terhadap pengentasan kemiskinan terindikasi dari sikapnya yang seiring dengan perjalanan waktu, terus menyempurnakan upaya pengentasan kemiakinan. Program penanggulangan kemiskinan yang cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin, seperti beras untuk orang miskin raskin, jaringan pengaman sosial untuk orang miskin JPS, kini juga disertai dengan program yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup, seperti bebas biaya sekolah SD dan SLTP, serta fasilitas kesehatan berupa berobat gratis bagi orang miskin. Selain itu, penanggulangan kemiskinan yang sebelumnya dilakukan secara terpisah oleh suatu instansi maupun departemen, perencanaannya mulai dilakukan dengan lebih terkoordinir dibawah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejateraan Rakyat Menko Kesra agar tidak terjadi tumpang tindih. Tim ini terus disempurnakan. Berdasarkan Perpres Nomor 15 tahun 2010 dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan TNP2K sebagai penyempurnaan dari Perpres Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. TNP2K diketuai oleh Wakil Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden. Selanjutnya, di dunia internasional pada dekade terakhir, strategi pembangunan dan program bantuan yang mempertimbangkan unsur keberagaman budaya telah menjadi perhatian penting dan bersifat global. Melengkapi pemikiran-pemikiran mengenai upaya pengetasan kemiskinan pada masa-masa sebelumnya, faktor budaya kembali diangkat sebagai salah hal yang diperhitungkan dalam pengentasan kemiskinan tersebut. Budaya dipandang sebagai suatu syarat perlu bagi kesejahteraan umat manusia karena suatu kemajuan tak lepas dari peran budaya. Nilai-nilai budaya penting dalam proses kemajuan manusia karena hal ini membentuk cara orang-orang berpikir tentang kemajuan. Kebiasaan, ide dan nilai-nilai yang berkembang pada masing-masing etnik terbentuk dari suatu pengalaman budaya yang panjang dan telah menjadi kebiasaan dari suatu masyarakat. Bahkan, menurut Lindsay, 1999, dalam Harrison dan Hutington, 2006, budaya adalah sebuah penentu penting kemampuan suatu negara untuk makmur karena budaya membentuk pemikiran orang-orang mengenai resiko, penghargaan dan kesempatan. Terkait dengan persoalan kemiskinan di DKI Jakarta, Adiati 2005 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan di Jakarta masih seragam, belum spesifik berdasarkan masing-masing akar permasalahannya. Kembali mengaitkan apakah faktor budaya berperan dalam hal kemiskinan di DKI Jakarta, terdapat fenomena “orang Betawi” yang selama ini dianggap sebagai penduduk asli kota Jakarta. menurut Shahab 2004, secara spasial orang Betawi semakin terdesak ke daerah pinggiran kota Jakarta dan secara sosial, mereka semakin sering berinteraksi dengan etnik-etnik lain yang datang dan berdiam di kota ini. Secara ekonomi maupun budaya, masyarakat Betawi kinipun termasuk kelompok yang kian jauh terpinggirkan. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang masuk dalam kelompok masyarakat berada Bamus Betawi, 2005. Berkaitan dengan pendapat yang menyebutkan suatu kemajuan tak lepas dari peran budaya, sejak lebih dari tiga dekade yang lalu, antropolog Indonesia, Koentjaraningrat 1997, pernah menyarankan pentingnya mengetahui variasi sistem nilai budaya pada masyarakat sebelum membuat perangsang yang tepat bagi masyarakat yang bersangkutan agar memiliki sikap mental yang tepat bagi pembangunan. Fenomena mengenai penduduk miskin yang tidak mudah untuk ditanggulangi, yang terjadi pada penduduk asli dan juga terjadi pada penduduk pendatang, di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta, merupakan topik yang dipandang menarik dan bermanfaat untuk diteliti. Bagaimana karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya dapat menjelaskan kemiskinan pada penduduk Betawi vis-a-vis pendatang menjadi penting untuk dikaji. Penelitian ini akan menganalisis kemiskinan yang akan dibatasi pada kasus penduduk Betawi penduduk asli vis-a-vis penduduk pendatang di DKI Jakarta.

1.2. Perumusan Masalahan Penelitian

Pembangunan yang bias ke perkotaan di Indonesia selama ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan pemerintah pusat dalam memeratakan pembangunan. Akibatnya terjadi ketimpangan yang semakin melebar antara distribusi akses penduduk di kawasan kota, khususnya DKI Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia, dan wilayah lainnya terhadap sumber- sumberdaya, kesempatan kerja dan pendapatan. Gejala pemusatan aktivitas beserta konsekuensinya terjadi di DKI Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia. Hal ini membuat Jakarta mempunyai daya tarik yang besar bagi penduduk Indonesia. Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi, pusat perdagangan, pusat jasa, pusat pendidikan, pusat industri, pusat investasi, dan sebagainya. Kemudian, Jakarta menjadi salah satu kota yang mempunyai daya tarik yang tinggi bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Bagi penduduk yang tinggal di luar Jakarta, kota ini dianggap kota yang dapat memberikan pengharapan akan masa depan. Dengan situasi perdesaan yang semakin sulit, taraf subsisten, terbatasnya fasilitas dan infrastruktur, dapat dipahami bahwa pada akhirnya terjadi migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan maupun kota-kota lainnya ke Jakarta. Arus migrasi yang berlebih pada akhirnya menimbulkan kepincangan- kepincangan pada lembaga masyarakat di Jakarta, yang dapat mengarah pada masalah sosial kemiskinan. Sharp, et. al 1996: 173-191 yang dikutip kembali oleh Kuncoro 2003, mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Selanjutnya, migrasi penduduk dari berbagai wilayah di Indonesia ke Jakarta telah membuat kota ini memiliki kepadatan penduduk yang tinggi juga terdiri dari pendatang yang berasal dari berbagai suku bangsa multietnik. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ismani 1991, salah satu ciri masyarakat kota yang sangat menonjol adalah heterogenitasnya dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Heterogenitas tersebut dapat dilihat dari tingkat sosial ekonominya berbeda-beda, tingkat pendidikan dan agama juga berlainan satu sama lain, mata pencaharian berbeda dan lain sebagainya. Di samping itu, pada berbagai negara yang berpenduduk multi ethnic, penduduk di daerah perkotaannya cenderung berasal dari kelompok-kelompok etnik ethnic group yang berbeda-beda. Meskipun Jakarta terdiri dari masyarakat yang berasal dari beragam suku bangsa, namun penduduk yang dianggap sebagai penduduk asli adalah suku Betawi. Dalam sensus 1930 orang Betawi merupakan mayoritas penduduk kota Jakarta, yaitu sebesar 778.953 orang atau sekitar 64 persen dari jumlah penduduk Shahab, 2004. Seiring dengan perjalanan waktu, komposisi tersebut saat ini telah mengalami penurunan menjadi sekitar 27,65 persen atau sebesar 2.301.587 orang dari 8.324.707 orang penduduk Jakarta pada tahun 2000 Badan Pusat Statistik, 2000. Penduduk Betawi sejak dulu telah hidup berdampingan dan melakukan interaksi sosial dengan penduduk pendatang. Penduduk Betawi sendiri enggan untuk merantau. Menurut Alwi yang dikutip oleh Shahab, 2002, sifat tidak mau meninggalkan kampung atau merantau, memang sifat yang telah turun-temurun bagi orang Betawi. Dalam salah satu bukunya, Shahab mengemukakan enggannya masyarakat Betawi merantau punya kaitan dengan sejarah. Ditetapkannya Batavia sebagai pusat pemerintahan sejak masa Hindia Belanda telah membuat kota ini memiliki banyak fasilitas . “Mau sekolah, tidak usah pergi jauh-jauh. Lapangan pekerjaan relatif banyak tersedia, kantor-kantor bejibun. Dan, yang paling penting dekat dengan keluarga ”, begitu ungkapan mereka. T okoh Betawi Djabir, Alwi Mas‟oed, dan Firman Muntaco seperti yang dikutip oleh Shahab, 2002, mengakui ada faktor negatif akibat enggannya etnis Betawi pergi merantau. Akibatnya, hidup mereka menjadi lebih santai dan kurang menghadapi tantangan. Bagi pendatang, apabila tidak sukses tinggal di Jakarta biasanya malu untuk pulang kampung. Tidak demikian bagi orang Betawi, mereka berkesempatan untuk mendatangi famili yang agak berkecukupan untuk mendapatkan bantuan. Pada masa lampau penduduk Betawi cenderung tertinggal dalam kehidupan masyarakat, padahal mereka adalah penduduk asli Jakarta. Menurut Shahab, 2004, sampai dengan sebelum tahun 1975, tidak satupun literatur yang menyebutkan kelebihan dari etnik ini, bahkan disebutkan bahwa suku Betawi merupakan kelompok inferior di Jakarta. Betawi dianggap merupakan kelompok inferior pada masa itu, sebenarnya dapat dihubungkan dengan kehidupan Betawi pada masa lampau. Menurut hasil penelitian ahli sejarah dan ekonomi, L. Castles, yang meneliti komposisi suku- bangsa penduduk Jakarta melaporkan bahwa jumlah penduduk Betawi yang melek huruf pada tahun 1930 sebesar 11,9 persen, suatu angka yang terlampau rendah untuk daerah perkotaan. Perkembangan selanjutnya, tercatat pada tahun 1961, hanya sekitar dua persen penduduk Betawi yang menamatkan sekolah lanjutan pertama. Bila ditelaah dari sejarah Betawi di masa lampau, seperti yang diungkapkan oleh Castle 1967, yang dikutip kembali oleh Koentjaraningrat 1975, bahwa taraf pendidikan yang rendah dari penduduk Jakarta asli disebabkan karena mulai permulaan abad ke-17 sistem pemerintah kolonial Belanda selalu bersifat langsung, dengan membawa sendiri formasi pegawainya, baik yang berbangsa Belanda maupun yang berbangsa Indonesia dari daerah-daerah lain di Jakarta. Orang Jakarta sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengurusan daerahnya sendiri, sehingga sejak dulu mereka tak pernah dikembangkan keinginannya untuk masuk ke dalam golongan kepegawaian, dan dengan demikian juga suatu keinginan untuk maju dalam pendidikan sekolah. Pada saat itu, orang Jakarta asli jarang ada yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam kepegawaian atau dalam pemerintahan. Tokoh seperti Husni Thamrin misalnya, merupakan terkecualian yang jarang. Sementara, di tempat-tempat lain di Indonesia keinginan rakyat untuk bersekolah sudah lama dirangsang dengan adanya kesempatan-kesempatan untuk menjadi pegawai negeri dan guru. Intepretasi tentang hal yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan penduduk Betawi pada masa lampau seperti yang telah diungkapkan di atas, diperkuat lagi dengan orientasi penduduk Betawi ke arah agama Islam yang amat kuat dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa lampau, sekolah mereka hubungkan dengan cara hidup orang Belanda atau orang Cina, yang dalam hati sanubari mereka tidak mereka sukai. Sedangkan pengaruh dari guru-guru mengaji mendorong mereka untuk memilih belajar mengaji atau masuk pesantren ataupun madrasah dan tidak pergi ke sekolah tempat orang Belanda dan Cina non muslim pergi bersekolah. Menurut Soekanto, 1990, pola prilaku yang dipengaruhi nilai-budaya dapat berubah perubahan sosial apabila pola prilaku tersebut dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Sejalan dengan hal itu, menurut Shahab 2004, perubahan sosial telah terjadi pada penduduk Betawi seperti yan g pernah diungkapkannya “orang Betawi bangkit sehingga menepis pandangan streotype tentang orang Betawi”. Namun, masih ada sebagian pengamat yang memandang betawi sebagai kelompok inferior. Meskipun pendapat ini dibantah oleh Asbah, 1992 yang dikutip kembali oleh Shahab 2004 “Banyak orang sok tahu mengenai Betawi, tetapi sebenarnya pengetahuan mereka cuma di permukaan saja. Jangan katakan bahwa orang Betawi sedang tenggelam, menyingkirlah kamu yang bermaksud demikian ”. Tabel 1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Kepala Rumahtangga Tidak Miskin dan Miskin pada Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang, Tahun 2004 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Tidak belum pernah sekolah Tidak tamat SD SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi Tidak Miskin Pendatang 1,35 5,40 16,05 19,76 42,50 14,94 Betawi 5,65 10,87 25,07 19,14 33,25 6,01 Miskin Pendatang 5,97 14,98 30,54 29,48 19,02 0,00 Betawi 6,05 9,84 34,89 29,63 19,60 0,00 Total 2,33 6,69 18,23 19,85 40,11 12,79 Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Kor 2004, diolah. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kepala rumahtangga Betawi miskin memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah 34,89 persen, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumahtangga tidak miskin dan miskin pada penduduk Betawi dan penduduk pendatang. Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pendidikan berkaitan dengan produktivitas. Produktivitas yang rendah pada gilirannya menyebabkan upah yang rendah. Hal menarik yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan pada tabel tersebut adalah pada penduduk miskin, tingkat pendidikan kepala rumahtangga Betawi relatif sama dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga pendatang. Sementara itu, pada penduduk tidak miskin persentase tingkat pendidikan kepala rumahtangga terlihat semakin rendah dibandingkan tingkat pendidikan kepala rumahtangga pendatang pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Dari data tersebut nampaknya pendapat streotype tentang orang Betawi masih belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Shahab, 2004, pernah mengemukakan bahwa orang Betawi sampai tahun 1960-an mungkin tidak pernah merasakan ada tantangan hidup yang cukup berarti. Pada masa itu mereka masih dininabobokan oleh aset besar yang dimilikinya. Mereka rata-rata masih punya tanah yang luas dengan tanaman yang hasilnya bisa bisa memenuhi kebutuhan hidup. Bila kebetulan ada kesulitan, bisa diatasi dengan menjual sebagian tanah tadi. Keadaan demikian menyebabkan mereka menjadi terlena dan lengah dalam menghadapi dan menuju hari depannya. Keadaan terlena tersebut mungkin masih membekas pada sebagian penduduk Betawi pada saat ini, khususnya bagi mereka yang terlambat untuk berpikir pro- kemajuan. Upaya pemerintah untuk memastikan tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan diantaranya dengan terus konsisten dalam melakukan pengentasan kemiskinan dengan strategi yang diantaranya adalah melalui perbaikan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya, serta melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Namun, pengentasan kemiskinan yang sebelumnya dilakukan melalui pendekatan berdasarkan gejala kemiskinan yang ada dan bersifat seragam, perlu diperkaya dengan pemahaman terhadap orientasi nilai budaya pada penduduk miskin yang diduga akan bersifat beragam. Apalagi untuk kota Jakarta dengan penduduk dengan beragam budaya. Dengan demikian, diharapkan dapat diketahui terapi yang lebih efektif dalam pengentasan kemiskinan.