sumber air minum pada rumah tangga miskin dan tidak miskin Betawi vis-à-vis pendatang. Terlihat bahwa hampir seratus persen rumahtangga baik miskin atau
pun tidak miskin, Betawi maupun bukan Betawi telah mempunyai akses terhadap air bersih. Persentase sedikit lebih tinggi terlihat pada tempat tinggal rumah
tangga pendatang. Tabel 49.Persentase Kepala Rumah Tangga menurut Fasilitas BAB pada Rumah
Tangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang, Tahun 2004
Kepala Rumah Tangga Penggunaan Fasilitas BAB
Jamban Sendiri
Jamban Bersama
Jamban umumtdk
ada Tidak Miskin
Bukan Betawi 77,5
17,1 5,4
Betawi 85,0
10,7 4,3
Miskin Bukan Betawi
49,2 20,8
29,9 Betawi
57,7 27,6
14,8 Total
78,4 15,9
5,7
Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas KOR 2004, diolah.
Tabel 49 menunjukkan persentase kepala rumah tangga menurut fasilitas buang air besar pada rumah tangga miskin dan tidak miskin Betawi vis-à-vis
pendatang. Terlihat bahwa sekitar 94,3 persen rumah tangga di DKI Jakarta telah memiliki akses terhadap fasilitas buang air besar dengan penggunaan jambannya
sendiri atau dengan penggunaan jambannya bersama. Masih terdapat 5,7 persen rumah tangga di Jakarta yang tidak memiliki jamban sendiri. Keadaan seperti ini
ditemui pada rumah tangga Betawi sebesar 14,8 persen dan bukan Betawi sebesar 29,9 persen.
Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai tempat untuk berlindung. Meskipun merupakan kebutuhan pokok, aset tempat
tinggal nilai rupiah untuk memilikinya tergolong besar, terlebih di kota metropolitan seperti di Jakarta. Tabel 50 menunjukkan persentase kepala rumah
tangga menurut penguasaan bangunan tempat tinggal. Terlihat pada tabel bahwa kepala rumah tangga Betawi yang memiliki tempat tinggal sendiri persentasenya
lebih tinggi dibandingkan pendatang. Keadaan seperti ini terlihat baik pada kepala rumah tangga Betawi yang miskin maupun yang tidak miskin. Hal ini tak
mengherankan mengingat Betawi lah yang pada masa lampau yang memiliki banyak lahan di Jakarta. Persentase kepemilikan sendiri yang lebih rendah terlihat
pada rumah tangga Betawi miskin, mengindikasikan terjadi penjualan tanah warisan yang lebih besar pada Betawi miskin dibandingkan Betawi yang tidak
miskin. Tabel 50.Persentase Kepala Rumah Tangga menurut Penguasaan Bangunan
Tempat Tinggal pada Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin Betawi vis-a-vis Pendatang, Tahun 2004
Kepala Rumah Tangga Penguasaan bangunan tempat tinggal
Sendiri Kontraksewa
Lainnya Tidak Miskin
Bukan Betawi 51,3
36,5 12,2
Betawi 71,1
14,2 14,8
Miskin Bukan Betawi
43,5 40,4
16,1 Betawi
62,9 19,7
17,4 Total
55,3 31,9
12,8
Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas KOR 2004, diolah.
VI. Kecenderungan Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya yang mempengaruhi Kemiskinan di DKI-Jakarta
6.1. Kecenderungan Keadaan Sosial, Ekonomi yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta
Hasil pengolahan data Susenas Kor DKI Jakarta tahun 2004, dengan regresi logistik dengan menggunakan metode entered dan reference category: First yang
ada dalam paket pengolahan SPSS versi 13.0 for Window menunjukkan bahwa kesepuluh karakteristik sosial, ekonomi, budaya kepala rumah tangga di DKI
Jakarta ternyata berpengaruh secara nyata terhadap keadaan kemiskinan pada rumah tangga mereka.
Untuk mengetahui tingkat taraf nyata masing-masing faktor sosial, ekonomi, budaya dalam model dapat dilihat pada Tabel 51 Hasil Pengolahan Model
Regresi Logistik menurut Variabel dan Parameter Statistik. Dari nilai p-value dapat dilihat tingkat signifikan dari kesepuluh faktor resiko yang masuk dalam
model. Semakin kecil nilai p-value yang diperoleh dari suatu faktor, maka semakin besar pengaruhnya terhadap keadaan kemiskinan suatu rumahtangga.
Pada tabel terlihat bahwa seluruh faktor mempunyai p-value sebesar 0,000 yang jauh lebih kecil dari nilai
=0,01. Kesepuluh karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya kepala rumah tangga tersebut sangat nyata berpengaruh terhadap keadaan
kemiskinan suatu rumahtangga. Hasil ekspektasi dari koefisien masing-masing faktor atau estimasi
parameter diperoleh nilai Odd Ratio OR. Tabel 51 menunjukkan bahwa
kepala rumahtangga yang tidak bersekolah atau bersekolah hanya sampai pada tingkat pendidikan dasar, nilai OR tercatat sebesar 4,268, yang berarti kepala
rumah tangga kelompok pendidikan ini mempunyai peluang sebesar 4,268 kali untuk menjadi miskin dibandingkan kepala rumahtangga dengan tingkat
pendidikan menengah ataupun tingkat pendidikan tinggi, dengan asumsi faktor lainnya tetap. Kepala rumah tangga kelompok tingkat pendidikan dasar cenderung
memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas sehingga kompetensi yang mereka miliki pun akan terbatas. Dengan kualifikasi tersebut, maka mereka
memiliki kesempatan yang relatif terbatas dalam upaya memperoleh penghidupan
yang lebih baik. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa pendidikan mempunyai andil besar dalam kemiskinan.
Kepala rumah tangga memiliki peran diantaranya bertanggung jawab secara ekonomi bagi anggota rumah tangganya. Dengan peran tersebut maka pada
umumnya kepala rumah tangga berusaha untuk bekerja. Berkaitan dengan status dalam pekerjaan, terdapat beragam status dalam bekerja misalnya sebagai pekerja
bebas, karyawan, berusaha sendiri, bahkan berusaha dibantu oleh pekerja atau berkiprah sebagai wirausahawan yang justru menciptakan lapangan pekerjaan.
Pada Tabel 51 terlihat bahwa nilai OR kepala rumah tangga yang tidak bekerja sebesar 2,790 yang berarti mereka mempunyai peluang sebesar 2,790 kali untuk
menjadi miskin dibandingkan kepala rumah yang bekerja dibantu oleh buruh tetaptidak tetap. Kepala rumah tangga yang tidak bekerja ini kehilangan
kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk membeli berbagai keperluan, termasuk kebutuhan dasar, bagi rumah tangganya.
Berkaitan dengan status pekerjaan, Robert Kiyosaki dalam bukunya yang sangat terkenal “Rich Dad Poor Dad”, membagi kategori hidup orang dalam
empat kuadran cashflow quadrant, yaitu kuadran I E employeepegawai, II S self-employedpekerja lepas, kuadran III B business ownerpemilik usaha, dan
kuadran IV I investorpenanam modal. Kiyosaki menganggap kudran E yang paling miskin dan kuadran I yang paling kaya. Pendapat seorang investor yang
juga seorang motivator tersebut tampak sejalan dan memperkuat hasil penelitian ini. Pada Tabel 51 terlihat bahwa kepala rumah tangga yang status pekerjaannya
sebagai pekerja bebas di sektor pertaniannon pertanian atau pekerja keluarga pekerja tidak dibayar kecenderungan menjadi miskin sebesar 1,152
dibandingkan kepala rumah tangga yang berusaha dibantu buruh tetaptidak tetap. Sementara
kepala rumah
tangga yang
status pekerjaannya
sebagai buruhkaryawanpegawai kecenderungan menjadi miskin sebesar 1,616.
Di sisi lain, pada Tabel 51 terlihat bahwa hubungan antara kepala rumah tangga yang status pekerjaannya sebagai berusaha sendiri tanpa dibantu buruh
tetaptidak tetap adalah negatif. Kecenderungan rumah tangga dengan status pekerjaan KRT ini menjadi miskin adalah sebesar 0,535 kali dibandingkan kepala
rumah tangga yang berusaha dibantu buruh tetaptidak tetap. Bila dihubungkan