Sejarah Penduduk asli Etnik Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang di DKI Jakarta

budak dari Arakan Burma, Andaman dan Malabar India, juga dari beberapa daerah di Indonesia seperti Bali. Pada era Gubernur General Van der Varra 1761-1765 terjadi pendatangan budak dalam jumlah besar. Budak-budak ini dipekerjakan di perkebunan, penebangan hutan dan buruh bangunan. Setelah perusahaan yang mendatangkan budak tidak berfungsi lagi, maka para budak mencari pekerjaan bebas dan berdiam di pemukiman yang ditentukan pemerintah Hindia Belanda. Para budak ini, yang mayoritas adalah non muslim umumnya para budak telah dikristenkan, tidak kawin-mawin dengan penduduk asli setempat, kecuali mereka yang ditempatkan di daerah Kreol. Sebagai catatan, budak-budak kristen yang dimerdekakan disebut Mardijker orang merdeka. Mereka kemudian berbahasa Betawi sebelumnya berbahasa Portugis Kreol, tetapi tetap mempertahankan identitas kulturalnya, seperti agama dan pemberian nama anak umumnya nama-nama khas kristen Belanda. Periode selanjutnya, Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menduduki berbagai wilayah dan kota-kota di Indonesia termasuk Batavia. Namun dengan perjuangan yang berat, rakyat Indonesia berhasil membebaskan negaranya dari penjajah dan menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta dan sejak itu nama Jakarta singkatan dari Jayakarta dipakai secara populer menggantikan nama-nama sebelumnya. Selama berabad-abad lamanya wilayah yang saat ini disebut Jakarta menjadi tempat berkumpulnya berbagai bangsa dan suku bangsa dengan bermacam- macam adat istiadat, bahasa dan budaya daerahnya masing-masing. Namun, siapakah kiranya yang dapat disebut sebagai penduduk asli Jakarta? Pada awalnya para pendatang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda ini masih menyandang budaya asalnya masing-masing. Kemudian terjadi proses asimilasi dari unsur-unsur beragam budaya dari kelompok-kelompok tertentu yang sudah hadir di Jakarta. Berbaurnya migran dari berbagai suku bangsa di seluruh tanah air dengan penduduk yang sudah ada di Kalapa pada saat itu, juga dengan bangsa-bangsa lain seperti Cina, Arab, Turki, Persia, Portugis, Inggris dan Belanda, mengakibatkan terjadinya perkawinan diantara mereka, sehingga terjadilah perpaduan adat istiadat, budaya dan falsafah hidup hingga melahirkan