Super-kultur metropolitan Indonesia masih dalam proses pembentukan, baru berusia dua atau tiga generasi. Isi super-kultur yang paling maju terdapat dalam
bidang ideologi politik, gaya artistik dan kebudayaan material. Sementara itu, ciri khas super-kultur itu yang paling menonjol adalah penggunaan bahasa Indonesia
setiap hari, dan hal-hal yang langsung berhubungan dengan bahasa itu adalah sastra Indonesia baru, lagu populer, film dan tulisan-tulisan tentang sejarah,
politik, perkembangan ekonomi dan kemajuan bangsa. Ciri-ciri yang dapat dilihat dari para pendukung super-kultur metropolitan Indonesia misalnya, berpendidikan
universitas, mampu berbahasa asing, pernah ke luar negeri dan memiliki materi ukuran barat, seperti mobil. Sebagaimana halnya dengan setiap ukuran
kebudayaan, hanya golongan elite intelek dan politik dan orang-orang kaya yang tinggal di kota-kota besarlah yang menjadi pendukung super-kultur metropolitan
itu sepenuhnya Mereka terdiri dari pegawai-pegawai tinggi pemerintah, para tenaga ahli, para pemimpin partai politik, perwira tinggi militer dan para
pengusaha yang berhasil. Kalau status sosial seseorang menurun maka neraca budaya rangkap cenderung lebih berat kepada kebudayaan daerah asalnya.
Dibawah kelompok-kelompok elite kota, terdapat suatu kelas menengah kota. Mereka terdiri dari para pegawai menengah seperti tenaga kesehatan, guru-
guru sekolah dan perwira menengah di kalangan angkatan bersenjata dan kepolisian. Mereka cenderung ingin mencapai super-kultur metropolitan. Bagian
menengah pekotaan lainnya yaitu buruh ahli seperti tukang jahit, tukang batu, tukang besi juga pedagang pasar atau toko kecil yang berhasil. Selain itu
kelompok ini juga mencakup ahli listrik, pekerja jalan, sopir truk atau montir mobil. Beberapa anggota kelas menengah kota adalah pendatang baru yang
berasal dari kota kecil atau desa. Sementara yang lainnya adalah keturunan keluarga-keluarga yang telah lama tinggal di kota itu.
Kelompok terakhir adalah golongan proletar kota, yang jumlahnya lebih besar. Mereka terdiri dari para buruh, pembantu rumahtangga, pedagang kaki
lima, dan sebagainya. Mereka umumnya tidak mempunyai keahlian tertentu dan berpendidikan rendah bahkan tidak pernah bersekolah. Seiring dengan waktu,
jumlah mereka semakin memadati kota-kota besar. Secara sosial dan kebudayaan, mereka tampaknya berada dalam keadaan yang amat berbeda dengan dunia kaum
pegawai dan para pekerja ahli. Sedikit sekali dari mereka yang ingin ikut serta dalam super-kultur metropolitan. Kepatuhan sosial dan identitas kebudayaan
adalah terhadap desa tempat asal atau kebudayaan daerah asalnya, walaupun beberapa diatara mereka telah lama tinggal di kota karena nenek-moyang mereka
telah bergenerasi-generasi lamanya tinggal di kota sebagai pedagang kecil. Secara logis para anggota dari kelas sosial terendah itu biasanya pindah ke
kota dari desa-desa sekeliling kota itu berbeda dengan pegawai-pegawai yang barangkali lahir beberapa ribu mil jauhnya dari tempat itu. Mereka selalu pulang
mudik ke desanya. Kebanyakan anggota kelompok ini, sekurang-kurangnya generasi pertamanya, tinggal dalam suatu lingkungan yang umumnya terdiri dari
kelompok suku bangsa dan bahasa yang sama, terus berbicara dengan mempergunakan bahasa daerah aslinya di rumah dan tetap mempertahankan pola
kebudayaan daerah asal mereka dengan beberapa variasi kota.
2.6. Nilai Budaya dan Tipologi Budaya
Menurut Koentjaraningrat 1993, sistem nilai budaya cultural value system merupakan bagian dari adat-istiadat dengan tingkat yang paling abstrak.
Terdiri dari konsepsi-konsepsi dalam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka anggap paling bernilai dalam
hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia yang lebih
konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, juga berpedoman pada sistem nilai-budaya itu. Sementara itu, sikap mental adalah suatu disposisi
atau keadaan mental dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan
alamiahnya, maupun lingkungan fisiknya. Sikap mental dapat dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada sistem nilai budaya.
Grondona, 1999, dalam Harrison dan Hutington 2006 mengemukakan bahwa dari beragam studi kasus yang telah dianalisis oleh Hutington, ia berusaha
membuat tipologi budaya dimana dua tipe ideal sistem saling berhadapan, yaitu yang secara total memihak pembangunan ekonomi dan yang menentang habis-
habisan. Tipologi tersebut mencakup dua puluh faktor yang dipandang sangat berbeda dalam budaya yang memihak dan menolak pembangunan. Tipologi ini
sebenarnya ditujukan untuk negara Argentina dan Amerika Latin. Namun, tipologi tersebut masih cukup relevan dalam penggunaan yang lebih luas seperti
sebagai alat analisis dengan memilih bagian dari tipologi tersebut yang paling sesuai.
1. Agama
Grondona mengemukakan bahwa menurut Max Weber, terdapat dua aliran agama sebagai contoh, yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Yang
pertama, aliran agama yang menunjukkan keberpihakan terhadap kaum miskin dibandingkan dengan kaum kaya. Sementara yang kedua adalah yang
menunjukkan keberpihakan kepada kaum kaya dibandingkan kaum miskin. Bila aliran pertama yang dominan dalam suatu negara, maka
pembangunan ekonomi akan sulit. Menurutnya, kaum miskin akan merasa dibenarkan dengan kemiskinan mereka dan yang kaya akan merasa tidak nyaman
karena mereka melihat diri sendiri sebagai pendosa. Sebaliknya, bila aliran kedua yang dominan, maka hal ini akan menunjang pembangunan ekonomi. Kaum kaya
akan merayakan kesuksesan mereka sebagai bukti berkah Tuhan, dan kaum miskin akan melihat keadaan mereka sebagai hukuman Tuhan. Baik pihak yang
kaya maupun pihak yang miskin mempunyai dorongan yang kuat untuk memperbaiki kondisi mereka melalui pengumpulan kekayaan dan investasi.
Dalam konteks tipologi ini, aliran pertama menyokong nilai-nilai yang menolak pembangunan ekonomi, sedangkan aliran kedua menyokong nilai yang memihak
pembangunan.
2. Kepercayaan dalam individu
Mesin utama pembangunan ekonomi adalah kerja dan kreativitas individu- individu. Sikap seperti ini memungkinkan untuk ditemukannya penemuan baru,
namun hal ini dapat terwujud bila terdapat suatu iklim kebebasan. Dengan demikian, masing-masing individu dapat memegang kendali atas diri mereka.
Bila masing-masing individu merasa ada yang bertanggung jawab atas diri mereka, maka mereka cenderung mengurangi upaya mereka dalam berusaha.
Dalam kasus lain, bila masing-masing individu diarahkan untuk memikirkan ataupun mempercayai sesuatu, maka konsekuensinya adalah hilangnya motivasi
dan kreativitas. Selain itu, hal tersebut konsekuensinya adalah pilihan sikap antara kepatuhan atau pembangkangan.
3. Tatanan moral
Tingkat dasar moralitas pada masing-masing individu dapat digolongkan tiga tingkat dasar. Pertama, tingkat moralitas yang tertinggi yaitu sikap
mengutamakan kepentingan orang lain dan meniadakan kepentingan sendiri. Kedua, tingkat moralitas pertengahan atau seperti yang diistilahkan Raymon Aron
dengan ”egoisme yang masuk akal”. Masing-masing individu bertindak masuk akal mencari kesejahteraannya sendiri dalam batasan-batasan tanggungjawab
sosial dan hukum. Sementara, tingkat moralitas yang terendah yaitu sikap yang tidak menghormati hak-hak orang lain dan hukum, licik dengan kemunafikan
dimana-mana imoralitas. Dalam budaya yang memihak pembangunan, terdapat banyak kesesuaian
yang lebih fleksibel pada hukum dan norma sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian, hukum moral dan realitas dapat berjalan seiring. Sebaliknya, dalam
budaya yang menolak pembangunan, terdapat dua dunia yang tidak berhubungan sama sekali, seperti pada tingkat moralitas tertinggi dan terendah yang telah
dijelaskan.
4. Dua konsep kekayaan
Dalam masyarakat yang menolak pembangunan, kekayaan dilihat dari sudut pandang apa yang ada, sementara yang memihak pembangunan memandang
hal itu dari sisi apa yang belum ada. Di negara-negara yang masih tertinggal, kekayaan yang pokok terletak pada tanah dan apa yang diperoleh dari tanah itu.
Di negara maju, kekayaan pokok terletak pada proses inovasi yang menjanjikan.
5. Dua pandangan tentang persaingan
Kebutuhan bersaing untuk mencapai kekayaan dan keunggulan mencirikan masyarakat yang memihak pembangunan, tidak hanya bidang ekonomi namun
juga dalam berbagai hal dalam kehidupan masyarakat. Pada masyarakat yang menolak pembangunan, persaingan dianggap memiliki nilai-nilai yang negatif,
yang mencerminkan pengesahan kedengkian. Sekalipun masyarakat ini mencela persaingan dan menghargai kerjasama, namun kenyataannya kerja sama justru
sering terjadi dalam masyarakat kompetitif. Sesungguhnya, persaingan adalah