Beberapa Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Penduduk Betawi dan Penduduk Pendatang
penduduk dari luar tersebut menimbulkan perubahan fisik maupun pergeseran dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat Condet dan akhirnya memberikan dampak
terhadap tingkat kesejahteraan kualitas sosial ekonomi penduduk asli, pendatang dan perubahan fungsi Kawasan Condet yang sangat besar.
Daya tarik Condet sebagai kawasan pemukiman dikarenakan letaknya yang berekatan dengan pusat kegiatan bisnis dan memiliki aksesibilitas yang tinggi
terhadap wilayah Kota Jakarta serta lingkungan yang relatif nyaman. Berdasarkan letak lokasi tersebut dampak perkembangan Kota Jakarta terhadap kawasan
Condet sangat besar. Pertumbuhan kawasan terbangun menyebabkan terganggunya fungsi kawasan Condet sebagai cagar budaya dan konservasi. Hal
ini terlihat dari adanya penurunan jumlah, lahan pertanian, pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian dan semakin
meningkatkan permintaan lahan pemukiman yang mengakibatkan terjadinya peralihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan bangunan.
Selain itu, akibat adanya pembangunan pemukiman yang baru adalah masalah integrasi masyarakat Condet, yakni bagaimana kelompok baru tersebut
dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya. Dan faktor peralihan peruntukkan lahan khususnya dalam perkembangan pemukiman dapat berpengaruh terhadap
perubahan lingkungan sosial penduduk Condet. Sementara itu, pengertian dari cagar budaya Condet itu sendiri adalah usaha
perlindungan terhadap keseluruhan yang kompleks menyangkut semua aktivitas kegiatan penduduk asli, termasuk perlindungan akan kondisi alamnya sehingga
adanya pengembangan dan pembangunan pemukiman-pemukiman baru merupakan ancaman dalam pelestarian Condet sebagai cagar budaya khususnya
konservasi buah-buahan. Secara spesifik, sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan bahwa
karakteristik sosial ekonomi yang berbeda nyata antara penduduk asli dengan pendatang adalah jumlah anak, alokasi waktu kepala keluarga untuk mencari
nafkah dan kegiatan rumahtangga, pendapatan kepala keluarga, pendapatan istri, pendapatan anak, pengeluaran perbulan untuk konsumsi, transportasi, listrik,
jajan, telepon dan biaya pendidikan. Faktor sosial ekonomi yang dominan menentukan perbedaan penduduk asli dan pendatang adalah besarnya pendapatan
per bulan dari kepala keluarga dan anak, biaya pendidikan per bulan, jumlah anak dan luas lahan.
Dari karakteristik sosial ekonomi yang dominan juga dapat diperoleh tingkat kesejahteraan penduduk pendatang lebih tinggi dibandingkan penduduk asli. Hal
ini juga ditunjukkan dari hasil pengujian dua rata-rata dimana variable total pendapatanbulan, kelurahan Camping Tengah, Balekambang dan Batu Ampar
sudah melebihi proporsi luas bangunan yang diperbolehkan, yaitu sebesar 20 dari luas lahan pertanian.
Prospek kawasan Condet sebagai kawasan konservasi yang salah satunya sebagai daerah resapan air untuk wilayah DKI Jakarta dan luas lahan pertanian
untuk tanaman khas Betawi bukan salak dan dukuh kurang baik dengan meningkatnya luas lahan pemukiman seiring menurunnya luas lahan perkebunan
dan jalar hijau dari tahun 1976 sebesar 81 persen dari dan tahun 1998 hanya tinggal 19 persen dari luas total condet.
Prospek Kawasan Condet sebagai Cagar Budaya mulai menurun dilihat dari perubahan kondisi perumahan dalam bentuk arsitekturnya maupun status
kepemilikannya, keterbukaan masyarakat Condet terhadap perubahan yang terjadi dan persepsi masyarakat terhadap perubahan sosial budaya yang mempunyai
dampak terhadap pelestarian kawasan Condet sebagai Cagar Budaya. Jumlah bangunan pada tahun 1998 yang memiliki arsitektur tradisional 45,33 persen
lebih kecil dibandingkan arsitektur moderen 54,67 persen. Berdasarkan status kepemilikan lahan dari 59,33 persen yang berstatus milik pribadi 28 persen
merupakan milik pendatang. Hal ini menunjukkan adanya pengalihan kepemilikan lahan yang dapat menyebabkan tergesernya penduduk asli dari lahan
mereka sendiri. Untuk melihat perubahan sosial budaya masyarakat Condet dengan
mengkaji keterbukaan masyarakat Condet dalam menerima unsur-unsur baru dari suatu komunitas, dimana mudahnya adaptasi bagi penduduk pendatang dalam
sikap hidup,
maupun dalam
kegiatan-kegiatannya dan
hubungan kemasyarakatanpergaulan penduduk asli yang sangat terbuka mempengaruhi pola
kehidupan maupun aktivitas dari penduduk asli.
Dapat dikatakan telah terjadi integrasi yang baik antara penduduk asli dan pendatang. Kondisi ini merupakan peluang besar terjadinya percampuran
kebudayaan 97,33 persen diantara kedua penduduk. Dan terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya Betawi yang selama ini dikenal sebagai masyarakat yang dekat
dengan orangtuasaudara. Sementara itu kegiatan kesenian Betawi yang ada di daerah Condet selama setahun terakhir ini hanya sebesar 4,67 persen. Hal ini
menunjukkan adanya kecenderungan prospek Condet sebagai cagar budaya Betawi semakin menurun.
Hal penting yang berkaitan dengan studi dalam penelitian ini adalah diketahui bahwa terdapat faktor sosial ekonomi yang dominan menentukan
perbedaan penduduk asli dan pendatang di kawasan Condet. Faktor sosial ekonomi tersebut dalam cakupan yang lebih luas DKI Jakarta akan dilihat dalam
penelitian ini sebagai informasi untuk lebih memahami persoalan kemiskinan pada penduduk Betawi vis-a-vis pendatang.
2.7.3. Analisis Tingkat Kesejahteraan Etnik Betawi di Daerah Pinggiran Jakarta Kasus di Desa Rawapanjang Kecamatan Rawapanjang,
Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat
3
Pembangunan wilayah DKI Jakarta telah menyebabkan berbagai implikasi terhadap banyak hal, baik politik, ekonomi, sosial, tata ruang, lingkungan maupun
terhadap penduduk asli Jakarta yang dikenai sebagai orang Betawi. Terhadap penduduk asli orang Betawi perkembangan ibu kota telah menyebabkan
golongan ini terpaksa maupun sukarela pindah ke daerah-daerah pinggiran Jakarta. Orang Betawi saat ini sebagian besar berdomisili di kawasan Bogor,
Tangerang dan Bekasi. Sehubungan dengan perpindahan orang Betawi ke daerah pinggiran Jakarta,
belum banyak studi tentang keberadaan mereka setelah pindah atau keberadaan mereka di tempat yang baru, terutama tentang kesejahteraannya. Oleh karena itu
studi ini bertujuan untuk melihat kesejahteraan orang Betawi yang berdomisili di
3
Sari Rahmadona, Analisis Tingkat Kesejahteraan Etnik Betawi di Daerah Pinggiran Jakarta Kasus di Desa Rawapanjang Kecamatan Rawapanjang, Kecamatan Bojong Gede Kabupaten
Bogor Propinsi Jawa Barat, Skripsi Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2004.
daerah pinggiran dan kemudian membandingkannya dengan tingkat kesejahteraan mereka sebelum pindah masih berdomisili di Jakarta.
Studi ini mengkaji kesejahteraan dari sudut pandang subjektif. Berdasarkan pandangan objektif, kondisi kesejahteraan orang Betawi diketahui dengan
menggunakan berbagai indikator yang meliputi tingkat konsumsi pangan, tingkat daya beli pakaian, kualitas bangunan tempat tinggal, tingkat pendidikan dan
tingkat kesehatan. Sedangkan dari sudut pandang subjektif, kesejahteraan diungkapkan berdasarkan penilaian subjektif masing-masing responden terhadap
kesejahteraan yang dialaminya atau dirasakannya. Studi tentang kesejahteraan orang Betawi ini dibatasi dengan hanya menggali beberapa bidang kehidupan saja,
yaitu bidang pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan bidang kesehatan. Studi ini dilakukan di Desa Rawapanjang Kecamatan Bojong Gede
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, dengan pertimbangan lokasi ini merupakan daerah pinggiran yang terletak sebelah Selatan wilayah DKI Jakarta.
Disamping itu sebagian besar orang Betawi yang ada di wilayah ini merupakan orang Betawi pindahan migran yang berasal dari DKI Jakarta. Metode yang
digunakan dalam studi ini adalah metode kuantitatif yang diperkuat data kualitatif. Populasi studi ini mencakup semua rumahtangga etnik Betawi yang berstatus
sebagai pendatang di wilayah penelitian. Responden untuk survei diambil secara acak sistematis.
Mayoritas responden berasal dari Jakarta 46,67 persen. Alasan utama responden pindah dan memilih Desa Rawapanjang sebagai tempat tinggal barunya
adalah karena harga tanahharga rumah lebih murah, dibanding bila membeli tanah atau rumah di Jakarta.
Sebagian besar pekerjaan responden adalah buruh 50 persen. Hal ini tidak mengherankan karena ditinjau dari tingkat pendidikannya sebagian besar
responden hanyalah tamatan Sekolah Dasar SD. Profesi 50 persen responden lain juga tidak berbeda jauh dengan buruh, misalnya tukang bengkel, satpam,
sopir, pedagang kaki lima dan sejenisnya. Tingkat kesejahteraan rumahtangga etnik Betawi yang berdomisili di
daerah pinggiran tergolong rendah. Berdasarkan ukuran objektif 63,33 persen
tidak sejahtera. Bahkan berdasarkan pandangan subjektif responden mengenai kesejahteraan lebih banyak lagi yang belum sejahtera, yaitu delapan puluh persen.
Terdapat lima puluh persen rumahtangga etnik Betawi yang tingkat kesejahteraannya sangat buruk. Dikatakan sangat buruk karena dari dua
pendekatan yang dilakukan dalam studi ini untuk mengetahui tingkat kesejahteraan, tidak ada dari satu pendekatan manapun golongan ini dapat
dikatakan sejahtera. Dari ukuran objektif kondisi kesejahteraannya di bawah rata- rata, secara subjektif pun tidak merasa sejahtera. Golongan inilah yang paling
parah kondisi kehidupannya. Dari lima bidang kehidupan yang dianalisis dalam studi ini, khusus di
bidang pakaian sandang tingkat kesejahteraan rumahtangga responden paling baik. Sebaliknya, di bidang makanan pangan kesejahteraan rumahtangga
responden paling buruk. Terbukti berdasarkan indikator objektif dan pandangan subjektif enam puluh persen responden belum sejahtera.
Selanjutnya, 66,67 persen responden pendapatannya lebih kecil dari pengeluarannya untuk pangan. Bila dilihat dari kepemilikan tabungan pun
mayoritas responden 76,67 persen belum sejahtera. Terjadi peningkatan kesejahteraan Orang Betawi antara keadaan sebelum
pindah masih menetap di Jakarta dengan setelah pindah berdomisili di daerah pinggiran, baik dilihat berdasarkan ukuran objektif maupun pandangan subjektif.
Berdasarkan ukuran objektif jumlah rumahtangga yang tergolong sejahtera mengalami peningkatan sebesar 26,67 persen. Berdasarkan pandangan subjektif,
sebagian besar 66,67 persen merasa lebih sejahtera sekarang. Studi ini menambah referensi bahwa memang terdapat fenomena
penduduk Betawi yang pindah ke daerah pinggiran Jakarta.
2.7.4. Akar Penyebab Kemiskinan menurut Rumah Tangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya Kasus di Kota Ambon, Provinsi Maluku, dan
di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo
4
Studi kasus di Kota Ambon Maluku dan Kabupaten Boalemo Gorontalo menunjukkan bahwa akar penyebab kemiskinan menurut rumah tangga miskin
pada tipologi kemiskinan perkotaan dan perdesaan, yaitu kurang produktifnya rumah tangga miskin, kurang normatifnya perilaku elitis, lemahnya kepribadian
rumah tangga miskin, memudarnya sistem nilai budaya, kuatnya kepentingan elitis, ketimpangan infrastruktur, persaingan yang tidak adil, dan deprivasi
kapabilitas aset produksi. Sementara itu, akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan, yaitu kurang produktifnya perilaku rumah tangga miskin tercermin
dari rendahnya tingkat kognitif, sikap mental, dan ketrampilan dalam menanggulangi kemiskinan dan pemiskinan; sedangkan kurang normatifnya
perilaku elitis dan dicermati dari membiasnya pola pikir, pola sikap, dan pola tindak pada elitis dalam menanggulangi kemiskinan.
Tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin berbeda secara nyata menurut tipologi kemiskinan perkotaan dan perdesaan. Tingkat kesejahteraan rumah
tangga miskin menurut tipologi kemiskinan perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Selain itu, tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin berbeda secara
nyata menurut tipologi berdasarkan kondisi sosio-ekologis berbasis mata pencaharian utama. Tingkat kesejahteraan nelayan lebih tinggi dibandingkan
pekerja sektor informal, petani dataran rendah dan dataran tinggi. Strategi utama penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan, yaitu:
pelembagaan tata kelola kepemerintahan yang baik good governence, peningkatan kapabilitas, revitalisasi modal sosial, advokasi kebijakan publik,
keterjaminan sosial, pemberdayaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan redistribusi aset produksi.
4
Eddy Chiljon Papilaya, “Akar Penyebab Kemiskinan menurut Rumah Tangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya Kasus di Kota Ambon, Provinsi Maluku, dan di Kabupaten
Boalemo, Provinsi Gorontalo”, desertasi pascasarjana Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2006.
Peran-peran strategis yang dapat dilakukan oleh seluruh stakeholder pembangunan dalam menanggulangi kemiskinan dan pemiskinan, adalah sebagai
berikut. Pertama, komponen masyarakat sipil, khususnya penyuluh pembangunan, sebagai: inovator, advokator, lobitor, negosiator, dan organizer,
motivator, dan fasilitator. Kedua, pemerintah yang berperan sebagai: fasilitator, akselerator, regulator, protektor, dirigent. Ketiga, pelaku sektor swasta atau dunia
usaha sebagai penghelapendorong kemitraan, investor, stimulator upah yang manusiawi dan implementor budaya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
masyarakat corporate social responsibility.