Penduduk Miskin Pendatang Kecenderungan Keadaan Sosial, Ekonomi dan Budaya yang mempengaruhi Kemiskinan di DKI-Jakarta

dibandingkan penduduk pendatang. Sebagai contoh fenomena pada penduduk Latin. Menurut World Bank 1992, jumlah penduduk miskin yang lebih besar terjadi pada penduduk Amerika Latin vis-a-vis penduduk pendatang. Lebih dari setengah penduduk di Bolivia tergolong miskin dan dua pertiga dari penduduk miskin tersebut adalah penduduk asli. Di Guatemala, lebih dari dua per tiga penduduknya tergolong miskin dan dari jumlah tersebut, sembilan puluh persennya adalah penduduk asli. Dihubungkan dengan fenomena penduduk asli dan pendatang, hal yang sedikit berbeda terjadi di DKI Jakarta. Betawi sebagai penduduk asli Jakarta cukup banyak yang telah mencapai posisi-posisi penting. Misalnya tokoh Betawi seperti Dr. Ing. H. Fauzi Bowo yang menjabat Gubernur DKI Jakarta, Dr. RUsm Heriawan yang menjabat Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Prof. Yasmine Shahab Haddar yang berkiprah sebagai salah satu atropolog yang cukup populer dari Universitas Indonesia, Ridwan Saidi – seorang Budayawan Betawi, mantan anggota DPR, almarhum Benyamin Sueb yang berprofesi sebagai artis yang penuh ketrampilan, Alya Rohali yang berprofesi sebagai pembawa acara, merangkap artis, almarhum Firman Muntaco -- seorang maestro satrawan Betawi, dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, mengapa secara umum Betawi semakin hari tempat tinggalnya cenderung semakin ke pinggir Jakarta terpinggirkan, terdesak oleh kehadiran para pendatang yang terus berdatangan ke Jakarta? Melihat relatif banyaknya penduduk Betawi yang memetik kesuksesan, dapat dipastikan bahwa dari aspek kelembagaan, tidak terjadi perihal deskriminasi antara penduduk asli dengan penduduk pendatang, seperti halnya yang ditengarai terjadi di Amerika Latin. Mengenai akses terhadap infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan sepertinya juga tidak terjadi suatu hambatan. DKI Jakarta sebagai metropolitan, mempunyai anggaran yang relatif besar untuk menyediakan fasilitas infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan bagi masyarakatnya, meskipun masih sering terdengar keluhan terhadap kualitas pelayanannya. Keadaaan geografis DKI Jakarta pun berupa dataran yang relatif sangat mudah untuk dilalui, kecuali pada Kabupaten Kepulauan Seribu. Di 9 Kemitraan Partnership Governence Reform in Indonesia, “Partnership Governance Index”, Mengukur Tata Pemerintahan yang Demokratis, handout video conference Jakarta: 28 Januari, 2010 wilayah ini kecuali Kepulauan Seribu, tidak terdapat daerah sulit remote area yang untuk mencapainya sangat terbatas transportasinya. Penduduk Betawi seharusnya tidak memiliki alasan untuk menjadi terpinggirkan. Apalagi umumnya mereka dibekali tanah warisan oleh orang tuanya dan tinggal berdekatan dengan keluarga, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk saling tolong-menolong. Jumlah penduduk Betawi menurut Sensus Penduduk tahun 1930 sekitar 64 persen jumlah penduduk Jakarta Shahab, 2004, merupakan suatu besaran yang masih mendominasi penduduk yang bermukim di wilayah ini. Namun, perlahan- lahan Betawi pindah ke daerah pinggiran Jakarta dan jumlahnya mulai menjadi keadaan yang cenderung minoritas. Jumlahnya tidak sampai sepertiga penduduk Kota Jakarta yang ditunjukkan dalam hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2000. Jumlah mereka hanya tinggal sekitar 27,65 persen dari jumlah penduduk Jakarta. Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat suatu keadaan yang menyebabkan sebagian Betawi belum mampu bertahan untuk bersaing dengan pendatang. Hal ini diperkuat pula dengan hasil pengolahan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004 angka tidak dipublikasikan yang menunjukkan persentase penduduk miskin Betawi yang lebih tinggi dari penduduk pendatang, yaitu 3,6 persen pada Betawi dan 3,1 persen pada pendatang. Apakah fakta yang diungkapkan oleh berbagai literatur yang menunjukkan pada masa lalu Betawi cenderung mengesampingkan pendidikan formal karena cenderung hanya mengutamakan pendidikan agama, masih membekas pada keadaan sekarang ini? Apakah steorotip yang mengungkapkan bahwa Betawi cenderung kurang tekun dalam bekerja karena terbiasa mudah hidupnya akibat disokong oleh kepemilikan tanah warisan akhirnya benar berdampak terhadap keadaan kemiskinan?

7.2. Ketidakberdayaan dan Budaya Konservatif

Hasil studi mendalam menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta bukanlah karena faktor alam seperti bencana alam besar yang menghilangkan semua kapital yang dimiliki oleh penduduk yang terkena bencana. Di Jakarta, bencana yang cukup sering terdengar adalah masalah banjir. Namun banjir di sini pun bukanlah banjir bandang yang sampai meninggalkan penderitaan besar bagi korbannya. Bila ditinjau dari aspek kemiskinan struktural, keadaan penduduk miskin yang penuh keterbatasan memang menyebabkan mereka tidak leluasa mengakses program pemerintah. Misalnya ingin mengakses kredit perbankan, tidak bisa memenuhi segala persyaratannya, mau bekerja di sektor formal terhambat oleh kualifikasi pendidikan yang dimiliki, mau menyekolahkan anak sampai tingkat pendidikan menengahtinggi, tak kuasa karena uang yang dimiliki cenderung habis untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Namun, pemerintah terlihat secara nyata memfasilitasi program-program pengentasan kemiskinan yang mengupayakan agar penduduk miskin dapat bersekolah, terjamin kesehatannya, juga memberikan peluang bagi penduduk miskin untuk mendapatkan kredit usaha, dan sebagainya. Penyebab yang cukup relevan tentang kemiskinan pada penduduk di DKI Jakarta adalah mereka dari asalnya memang sudah miskin. Betawi miskin yang diwawancarai saat studi mendalam memang paling tidak dari satu generasi sebelumnya telah jatuh miskin. Hal ini terindikasi dari sempitnya warisan tanah yang diterima oleh responden, bahkan hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali. Sebagai contoh seperti yang dikatakan oleh responden Myi “punya tanah dikit warisan emak 50 m 2 ”. Mengapa pada Betawi golongan ini dari generasi sebelumnya cenderung sudah miskin? Barangkali mereka turun temurun termasuk Betawi yang terlena dengan warisan tanah dan hidup tolong menolong dengan keluarga yang tinggal berdekatan seperti gambaran steorotip orang Betawi. Modal dasar yang mereka miliki cenderung dialokasikan untuk sesuatu yang konsumtif, bukan untuk berinvestasi dalam rangka kemajuan di masa mendatang. Bahkan harapan terhadap bantuan pun berupa uang untuk membeli kebutuhan, sebagai contoh seperti yang dikatankan responden Mnr 48 tahun “kepengennya dapet bantuan uang buat beli kebutuhan sehari-hari”. Sementara itu, pendatang miskin yang berada di Jakarta umumnya berasal dari keadaan yang miskin pula di kampung halamannya. Sebagian besar responden pendatang mengakui bahwa meskipun di Jakarta hidup dalam keadaan keterbatasan, bahkan kekurangan, tetap saja keadaan tersebut lebih baik dibandingkan keadaan di tempat asal mereka. Responden pendatang umumnya berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Menurut mereka, mata pencaharian di tempat asal pilihannya adalah buruh tani. Pekerjaan ini selain pendapatannya relatif sangat rendah, sifatnya pun tergantung musim panen. Resp Kusr 33 tahun mengatakan ”di kampung lebih susah lagi, paling jadi buruh tani, masih mending di Jakarta”. Sebenarnya di DKI Jakarta, perencanaan sudah mulai berdasarkan permasalahan akar rumput yang permasalahannya dihimpun melalui kegiatan pertemuan antara aparat, tokoh masyarakat, pihak yang berkepentingan, perwakilan masyarakat setempat, dan sebagainya di tingkat kelurahan yang memberikan peluang bagi perwakilan kaum miskin untuk memberikan pendapat. Di sisi lain, pendataaan penduduk miskin pun seiring dengan perjalanan waktu terus disempurnakan untuk memperkecil kemungkinan implementasi program pengentasan kemiskinan yang salah sasaran. Tetapi mengapa angka kemiskinan di DKI Jakarta tidak mudah untuk turun? Apakah hal ini disebabkan karena penduduk miskin itu sendirilah yang masih sulit untuk berubah? Bagaimana suatu negara berubah dari negara yang cenderung miskin menjadi negara maju, atau negara yang masing sulit untuk berubah sehingga kondisinya cenderung „jalan di tempat‟dapat dilihat sebagai salah satu contoh. Seperti yang sering diungkapkan dalam literatur, Hutington 2006, mengemukakan ekonomi Ghana dan Korea Selatan pada tahun 1960 memiliki kemiripan yang dalam hal ini dua negara tersebut memiliki tingkat Produk Domestik Bruto PDB per kapita yang setara, dengan struktur yang serupa seperti produk, manufakturing, dan jasa primer, serta berlimpahnya ekspor produk primer. Kedua negara ini menerima bantuan ekonomi dalam jumlah yang seimbang. Namun, tiga puluh tahun kemudian, Korea Selatan menjadi raksasa industri dengan ekonomi terbesar keempat belas di dunia serta pendapatan per kapita yang mencapai sekitar lima belas kali lebih tinggi dibandingkan Ghana. Bagaimana menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini? Banyak faktor yang berperan, namun menurut Hutington 2006, budaya memainkan peran besar. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemat, investasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin. Orang Ghana mempunyai nilai- nilai yang berbeda. Dengan perkataan lain, budaya mempunyai andil. Kelemahan pada penduduk miskin di DKI Jakarta adalah mereka hidup dalam keadaan yang sangat terbatas, bukan saja terbatas akan modal untuk berusaha, akses pendidikan dan kesehatan, mereka juga terbatas dalam memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan. Terlebih lagi, penduduk miskin, baik Betawi maupun pendatang umumnya masih cenderung belum berpikir ke arah kemajuan budaya konservatif.

7.3. Kurang produktifnya perilaku rumah tangga miskin Betawi

Ditengarai ada sesuatu hal yang sebenarnya sebagian dari kita telah menyadari namun sejauh ini belum diimplementasikan dalam program pengentasan kemiskinan penyebab kemiskinan adalah kurang produktifnya perilaku rumah tangga miskin. Terlebih prilaku pada penduduk miskin Betawi. Tabel 55 menunjukkan kecenderungan prilaku responden penduduk miskin Betawi vis-a-vis pendatang tahun 2007. Meskipun latar belakang kemiskinan pada Betawi dan pendatang cenderung berbeda, keadaan mereka pada saat ini cenderung berimbang. Namun dalam menjalani perjuangan hidup, pendatang cenderung lebih mandiri. Betawi dengan status ekonomi di bawah garis kemiskinan ini seringkali seringkali mengandalkan tanah warisan dan berprilaku seolah-olah menjual tanah itu merupakan mata pencaharian. Responden Afn 41 tahun menceritakan “sebenarnya mertua punya tanah luas, semua abis dijual uangnya buat kebutuhan hidup, termasuk juga dibeli ama developer untuk perumahan, warisan tinggal nyisa 50 m 2 buat tempat tinggal ini”. Penduduk miskin Betawi lebih pasif dalam menjalani hidup dibandingkan pendatang. Hal ini sebagai contoh seperti yang dikatakan oleh responden Md 63 tahun ”ibu mah ngejalanin aja hidup ini apa adanya seperti aer ngalir”. Sementara itu, pendatang terlihat besar keinginannya untuk mencari peluang untuk memperoleh tambahan penghasilan. Cukup banyak responden pendatang yang mempunyai beberapa jenis pekerjaan, namun karena jenis pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang relatif tinggi membutuhkan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi, penghasilan yang mereka dapat belum cukup membawa mereka untuk keluar dari kemiskinan. Mengenai upaya untuk mendapat penghasilan tambahan seperti yang dikatakan responden pendatang Ksnr 60 tahun “dulu pernah punya warteg, pernah buka warung, pernah kreditin pakaian, tapi ada saja halangannya. Sekarang jualan kripik pisang di rumah sambil manfaatin lahan kosong milik orang lain untuk nanem sayuran. Lumayan bisa sambil menjaga cucu”. Tabel 56 Kecenderungan Prilaku Responden Penduduk Miskin Betawi vis-a-vis pendatang tahun 2007 No. Betawi Miskin Pendatang Miskin 1. Menggantungkan diri kepada keluargawarisan Mandiri 2. Cukup pasif Cukup aktif 3. Berpikir jangka pendek Mulai berpikir jangka menengah 4. Cenderung konsumtif Cenderung produktif 5. Cenderung belum berpikir terencana Mulai berpikir terencana 6. Sedikit yang memiliki jiwa berdagang Lebih banyak yang memiliki jiwa berdagang 7. Sedikit yang berpikiran memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia Lebih banyak yang gemar memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti memanfaatkan lahan tidur, membuat pupuk kompos. 8. Memilih pekerjaan Cenderung mau mengerjakan pekerjaan apa saja 9. Memiliki keinginan memberikan pendidikan yang lebih tinggia kepada anak, namun cenderung belum diikuti dengan upaya yang konkrit. Memiliki keinginan memberikan pendidikan yang lebih tinggia kepada anak, cenderung sudah diikuti dengan upaya yang konkrit. Sumber: Data primer. Bila Betawi berpikiran rezeki yang didapatkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pendatang selain untuk memenuhi kebutuhan, mereka mulai berpikiran produktif. Misalnya, untuk menjual bunga bougenvile salah satu modalnya adalah pupuk. Salah seorang responden mengemukakan lebih baik pupuk dibuat sendiri dari sampah daun-daunan kompos, uang yang seharusnya dibuat untuk pupuk, digunakan untuk membeli buku sekolah anak. Keinginan akan pentingnya pendidikan bagi generasi berikutnya sudah disadari baik pada penduduk miskin Betawi dan pendatang. Namun upaya yang dilakukan oleh penduduk miskin Betawi cenderung terlihat belum kongkrit.