Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian

khususnya dan pemerintah Indonesia pada umumnya dalam menyusun kebijakan pengentasan kemiskinan. 2. Memberikan inspirasi bagi pemerintah daerah lainnya dalam mengentasakan kemiskinan. 3. Memberikan informasi bagi para akademisi mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan persoalan kemiskinan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Kemiskinan

Berbagai pendapat dan sudut pandang tentang kemiskinan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Menurut Badan Pusat Statistik BPS, 2007, lembaga resmi pemerintah yang mengeluarkan data makro jumlah penduduk miskin angka kemiskinan di Indonesia, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran basic need approach. Indikator yang digunakan adalah Head Count Index HCI yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Sumber data yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan tersebut adalah data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas, khususnya modul konsumsi dan pendapatan rumahtangga dan Susenas KOR. Selain itu, digunakan pula hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar SPKKD, yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan. Data makro berupa perkiraan penduduk miskin ini hanya dapat disajikan sampai tingkat provinsikabupaten. Salah satu sudut pandang yang umum dikemukakan misalnya, dengan mengaitkan kemiskinan dengan tingkat pendapatan. Ditinjau dari sisi tingkat pendapatan, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sementara itu, berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu kemiskinan natural alamiah, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural Kartasasmita, 1996 dalam Ahmad, 2006. Seseorang dikatakan miskin secara absolut jika penghasilannya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, baik berupa makanan maupun non makanan. Kategori miskin tidaknya seseorang disini, ditentukan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar basic need. Kebutuhan dasar tersebut dikonversikan dalam nilai rupiah untuk membentuk suatu batas yang disebut dengan garis kemiskinan. Kemiskinan relatif melihat kondisi miskin dari sisi adanya ketimpangan distribusi pendapatan akibat pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada suatu waktu tertentu. Seluruh penduduk diurutkan menurut tingkat pendapatanpengeluaran. Dari tingkatan tersebut perhatian difokuskan pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20 persen atau 40 persen tingkat pendapatanpengeluaran terendah. Kelompok inilah yang dimaksud dengan penduduk relatif miskin Badan Pusat Statistik, 2007. Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan karena dari asalnya memang sudah miskin. Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai, baik sumberdaya alam, maupun sumberdaya manusia, sehingga mereka tidak dapat ikut serta secara aktif dalam pembangunan. Kalaupun ada yang ikut serta dalam pembangunan, pada umumnya kompensasi yang mereka terima sangat rendah. Kemiskinan natural seperti ini, pada umumnya selalu ada dalam setiap negara yang sedang membangun dan oleh sebab itu salah satu prioritas pembangunan yang dilaksanakan adalah untuk menghilangkan kemiskinan natural ini. Sungguh pun demikian, karena kemampuan dan kepemilikan sumberdaya antar kelompok masyarakat sangat beragam, maka peran serta masyarakat dalam pembangunan juga tidak merata. Perbedaan ini pada akhirnya telah menyebabkan ketimpangan dalam perolehan pendapatan antar satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan perolehan hasil pembangunan ini disebut kemiskinan struktural. Penjabaran konsep kemiskinan struktural seperti yang tersebut di atas antara lain adalah pendapat bahwa penduduk miskin selain tidak bisa mencukupi pangan dan sandang, juga tidak sanggup mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai, serta terkucil dalam pergaulan sosial di lingkungannya. Pendapat lainnya adalah bahwa kemiskinan terkait dengan faktor pemicunya, yaitu kemiskinan yang timbul karena adanya ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi, kemiskinan yang terkait dengan sikap, budaya hidup dan lingkungan mencari nafkah yang terbatas atau ketidakberdayaan terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga sekelompok masyarakat ini berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi BKPRI dan SMERU, 2001 dalam Ahmad, 2006. Sementara itu, kemiskinan kultural mengacu kepada sikap seseorang atau masyarakat yang karena gaya hidup, kebiasaan dan budayanya, mereka sudah merasa berkecukupan dan sama sekali tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan, sulit melakukan perubahan, menolak mengikuti perkembangan dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Akibatnya, penghasilan mereka tergolong rendah, dan jika menggunakan garis kemiskinan absolut, mereka bisa dikategorikan sebagai penduduk miskin, walaupun mereka merasa tidak miskin dan tidak mau dikatakan miskin. Selanjutnya, ditinjau dari sudut sosiologi, menurut Soemardjan 1977, berdasarkan penyebabnya terdapat beberapa pola kemiskinan. Yang pertama adalah kemiskinan individual. Kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan- kekurangan yang disandang oleh seseorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk megentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu tersebut sakit-sakitan sehingga tidak dapat bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin ia tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar, tidak mempunyai modal finansial atau pun modal ketrampilan untuk berusaha. Dapat pula individu tersebut tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam kehidupannya. Individu demikian itu dapat menderita hidup miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu tersebut dikaruniai jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi, niscaya ia akan menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Yang kedua adalah kemiskinan relatif, merupakan pengertian sosiologis yang di atas disebut dengan socio-economic-status atau disingkat SES biasanya untuk suatu keluarga atau rumahtangga diadakan perbandingan antara taraf kekayaan materil dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu komunitas teritorial. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas itu. Ukuran yang dipakai adalah ukuran setempat lokal. Dengan demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif miskin dapat saja termasuk golongan kaya diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang lebih miskin.