Tabel 55.Harapan Bantuan menurut Responden Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang
No. Harapan Bantuan
Betawi Pendatang
1. Sekolah gratis beserta biaya
yang menyertainya buku, seragam, bahkan sampai
SLTA V
V
2. Penyediaan lapangan
pekerja, termasuk bagi penduduk miskin dengan
kualifikasi pendidikan yang terbatas
V V
3. Modal untuk
usahamengembangkan usaha
V V
4. Uang untuk membeli
kebutuhan hidup sehari-hari V
V 5.
Uang untuk „menyogok‟ masuk kerja
V -
6. Uang untuk membayar sewa
rumah -
V 7.
Bantuan perbaikan rumah V
V 8.
Bantuan kesehatan bagi lansia
- V
9. Terserah
V V
10. Bingung
- V
Sumber: Data primer.
VII. ANALISIS KEMISKINAN DI DKI JAKARTA
7.1 Kemiskinan dan Betawi yang Terpinggirkan
Pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab kemiskinan di DKI Jakarta sebenarnya bukan sesuatu yang cukup mudah untuk dipahami. Oleh sebab itu,
upaya untuk mengentaskannya pun menjadi tidak terlalu mudah untuk memberikan hasil yang optimal meskipun berbagai program telah dilakukan
dalam rangka pengentasan kemisinan tersebut. Program pengentasan kemiskinan bahkan merupakan salah satu program yang menjadi prioritas bagi Pemerintah
Daerah Provinsi DKI Jakarta. Menurut Anggaran Dinas Sosial Koperasai dan UKM 2008, yang dikutip kembali oleh Kemitraan Partnership Governence
Reform in Indonesia 2010, DKI Jakarta merupakan Provinsi dengan alokasi anggaran paling besar untuk pengentasan kemiskinan yang besarnya sekitar Rp
407.100,00
9
per kapita per tahun. Sementara, alokasi anggaran provinsi lain jauh di bawahnya. Sebagai contoh, Provinsi Aceh yang memiliki posisi tertinggi nomor
dua hanya mengalokasikan anggaran kemiskinan sejumlah Rp 54.801,00 per kapita per tahun.
Anggaran yang relatif besar tersebut tidak serta merta dapat dengan mudah mengentaskan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin bertahan pada besaran tiga
sampai persen pada lebih dari sepuluh tahun terakhir, meskipun program mengatasi kemiskinan di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta telah beragam yang
terbagi dalam empat kelompok. Pertama, kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga. Kedua, kelompok program penanggulangan
kemiskinan berbasis usaha ekonomi kecil dan mikro. Ketiga, kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Keempat,
kelompok program pendukung. Melihat keadaan yang demikian diduga ada suatu aspek yang belum tersentuh oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
mendesain beragam program penanggulangan kemiskinan. Sementara itu, pada banyak literatur, sering ditemukan fakta yang
mengemukakan fenomena penduduk asli yang cenderung terpinggirkan
dibandingkan penduduk pendatang. Sebagai contoh fenomena pada penduduk Latin. Menurut World Bank 1992, jumlah penduduk miskin yang lebih besar
terjadi pada penduduk Amerika Latin vis-a-vis penduduk pendatang. Lebih dari setengah penduduk di Bolivia tergolong miskin dan dua pertiga dari penduduk
miskin tersebut adalah penduduk asli. Di Guatemala, lebih dari dua per tiga penduduknya tergolong miskin dan dari jumlah tersebut, sembilan puluh
persennya adalah penduduk asli. Dihubungkan dengan fenomena penduduk asli dan pendatang, hal yang
sedikit berbeda terjadi di DKI Jakarta. Betawi sebagai penduduk asli Jakarta cukup banyak yang telah mencapai posisi-posisi penting. Misalnya tokoh Betawi
seperti Dr. Ing. H. Fauzi Bowo yang menjabat Gubernur DKI Jakarta, Dr. RUsm Heriawan yang menjabat Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Prof.
Yasmine Shahab Haddar yang berkiprah sebagai salah satu atropolog yang cukup populer dari Universitas Indonesia, Ridwan Saidi
– seorang Budayawan Betawi, mantan anggota DPR, almarhum Benyamin Sueb yang berprofesi sebagai artis
yang penuh ketrampilan, Alya Rohali yang berprofesi sebagai pembawa acara, merangkap artis, almarhum Firman Muntaco -- seorang maestro satrawan Betawi,
dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, mengapa secara umum Betawi semakin hari tempat tinggalnya cenderung semakin ke pinggir Jakarta terpinggirkan, terdesak
oleh kehadiran para pendatang yang terus berdatangan ke Jakarta? Melihat relatif banyaknya penduduk Betawi yang memetik kesuksesan,
dapat dipastikan bahwa dari aspek kelembagaan, tidak terjadi perihal deskriminasi antara penduduk asli dengan penduduk pendatang, seperti halnya yang ditengarai
terjadi di Amerika Latin. Mengenai akses terhadap infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan sepertinya juga tidak terjadi suatu hambatan. DKI
Jakarta sebagai metropolitan, mempunyai anggaran yang relatif besar untuk menyediakan fasilitas infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan bagi
masyarakatnya, meskipun masih sering terdengar keluhan terhadap kualitas pelayanannya. Keadaaan geografis DKI Jakarta pun berupa dataran yang relatif
sangat mudah untuk dilalui, kecuali pada Kabupaten Kepulauan Seribu. Di
9
Kemitraan Partnership Governence Reform in Indonesia, “Partnership Governance Index”, Mengukur Tata Pemerintahan yang Demokratis, handout video conference Jakarta: 28 Januari,
2010