Tabel 51.Analisis Regresi Logistik antara Keadaan Rumah Tangga Miskin dengan Peubah Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Peubah respon X
i
Estimasi parameter
Stan-dar
kesalahan Statistik
Wald De-
rajat be-
bas p-
value Sign.
Odd Rasio
Keterangan
Kode Label
Pendidikan X
1
X
10
=0 Jenjang pendidikan menengahtinggi
X
11
=1 Jenjang pendidikan dasar 1.451
.012 13515.951
1 .000
4.268 Status
pekerjaan X
2
X
2
5181.940 4
.000 X
20
=0 Berusaha dibantu buruh
tetaptdk tetap X
21
=1 Berusaha sendiri
-.625 .026
562.366 1
.000 .535
X
22
=2 Buruhkaryawanpegawai
.480 .021
519.019 1
.000 1.616
X
23
=3 pekerja bebas di sekt
pertaniannon pertanianpekerja
keluarga .141
.022 40.489
1 .000
1.152 X
24
=4 tidak bekerja
1.026 .027
1495.945 1
.000 2.790
Jumlah jam kerja X
3
X
30
=0 Bekerja 35 jam seminggu
X
31
=1 Bekerja = 35 jam seminggu tidak bekerja
.231 .017
181.593 1
.000 1.260
Umur X
4
X
40
=0 Usia produktif
X
41
=1 Bukan usia produktif
-.468 .020
550.153 1
.000 .626
Jenis Kelamin
X
5
X
50
=0 Laki-laki
X
51
=1 Perempuan
.066 .016
16.240 1
.000 1.068
Tabel 51. Lanjutan
Peubah respon X
i
Estimasi parameter
Stan-dar
kesalahan Statistik
Wald De-
rajat be-
bas p-
value Sign.
Odd Rasio
Keterangan
Kode Label
Kondisi Kesehatan
X
6
X
6
654.389 2
.000 X
60
=0 Tidak sakit
X
61
=1 Sakit beberapa hari
dalam sebulan yg lalu. -.309
.013 560.254
1 .000
.734 X
62
=2 Sakit sepanjang hari 30
hari dlm sebulan yg lalu .540
.063 73.646
1 .000
1.716 Jaminan
Kesehatan X
7
X
70
=0 Ada jaminan kesehatan
X
71
=1 Tidak ada jaminan
kesehatan .086
.012 49.470
1 .000
1.090 Jumlah
ART X
8
X
8
.511 .002
45246.542 1
.000 1.667
Kredit Usaha X
9
X
90
=0 Menerima
X
91
=1 Tidak menerima
.403 .041
94.422 1
.000 1.496
Suku X
10
X
100
=0 Bukan Betawi X
101
=1 Betawi -.317
.011 769.906
1 .000
.728 Konstanta
-7.750 .051
22684.054 1
.000 .000
Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas KOR 2004, diolah. Keterangan: G
2
= 72709,226 χ
2 0,05;9
6.2. Kecenderungan Budaya yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta
6.2.1. Orientasi Nilai-Budaya pada Penduduk Miskin Betawi vis a vis Pendatang
Hasil penelaahan model regresi logistik pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya yang dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan suku bangsa dengan kemiskinan. Sebelum menelaah lebih lanjut bagaimana hubungan budaya dengan kemiskinan, dalam subbab ini
akan dideskripsikan terlebih dahulu bagaimana kecenderungan keadaan orientasi nilai-budaya pada penduduk miskin Betawi vis a vis pendatang.
Untuk mencapai kemajuan, dalam menghadapi hidup, orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup. Adanya kesengsaraan,
bencana, dosa, dan keburukan dalam hidup memang harus disadari, tetapi hal itu semuanya adalah untuk diperbaiki. Demikian sikap yang aktif dan bukan sikap
yang pasif dan hanya menerima nasib terhadap hidup yang harus dinilai tinggi sebagai pengarah tindakan yang utama Koentjaraningrat, 1971 dalam buku edisi
2007. Tabel 52 menunjukkan kecenderungan orientasi nilai-budaya pada
penduduk miskin Betawi vis a vis pendatang, 2007 Berdasarkan Kerangka Kluckhohn tentang Lima Masalah Dasar dalam Hidup. Mengenai hakikat hidup,
penduduk miskin Betawi umumnya berpandangan bahwa hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik. Hanya saja yang perlu
dicermati adalah sejauh mana mereka berikhtiar sehingga diperoleh suatu kemajuan, yang dapat membawa mereka untuk keluar dari kemiskinan.
Berkaitan dengan orientasi tersebut mereka umumnya mengaku untuk mengupayakan pendidikan yang lebih baik bagi anak. Responden Myt 38 tahun,
yang tidak berkesempatan menamatkan pendidikan dasarnya mengatakan bahwa “Pengennya biar emaknya bodoh, anaknya pinter”. Dalam upaya memenuhi
kebutuhan pendidikan, sebagian istri membantu suami bekerja menjadi buruh cuci, menanam bunga bougenvile dalam pot untuk dijual. Namun, makna
mendasar dari pendidikan itu sendiri belum terlalu dipahami. Meski mereka sering mengungkapkan bahwa sekolah itu penting sering kali masih ditemui
ungkapan yang belum konsisten. Sebagai contoh seperti yang dikatan Responden Tnh 62 tahun
“cita-cita ingin hidup lebih baik, namun gak tahu bagaimana cara mencapainya”. Implikasinya, tak jarang anak usia sekolah lebih memilih untuk
putus sekolah dalam keadaan ekonomi yang terbatas. Pengalaman yang cukup berliku dalam upaya untuk dapat bertahan hidup
di Jakarta pada penduduk miskin pendatang memberikan kepercayaan kepada mereka akan nilai yang mereka pegang yaitu bahwa hidup itu buruk tetapi
manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik. Para kepala keluarga
mereka umumnya berlatar belakang pendidikan SD – SLTP cenderung bekerja
keras untuk mencapai keinginan akan kehidupan pada tingkat yang lebih sekadar subsisten tingkat yang lebih baik. Prilaku mereka cenderung tekun, berani
mencoba berbagai jenis pekerjaan dan cenderung memiliki pola prilaku yang khas berupa keinginan untuk berdagang dan berwirausaha. Di samping itu, mereka
cenderung mengupayakan pendidikan yang lebih baik bagi anak mereka dibandingkan tingkat pendidikan yang telah mereka capai, meski tak jarang hal ini
berujung pada keadaan putus sekolah karena keterbatasan biaya. Mengenai hakikat karya, bagi penduduk miskin Betawi, bekerja tak lain
untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk makan dan untuk membiayai sekolah meski dalam banyak kasus, berakhir dengan putus sekolah. Kapabilitas
pendidikan mereka yang sangat terbatas berimplikasi pada terbatasnya pilihan jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan yang mereka pilih atau mereka peroleh seperti
juru bersih, tukang batu, pembersih makam, buruh konveksi, buruh harian, tukang koran, tukang cuci, supir alat berat, buruh cuci, tukang sampah, buruh empang,
buruh masak, jualan ikan, buruh bangunan, penjual batagor. Ada pula yang hidup dari pemberian anak.
Pada penduduk miskin pendatang, meski sebagian mempunyai jiwa berdagang dan berwirausaha, namun dengan berbagai keterbatasan sumberdaya,
dalam kerangka Kuckhohn masih cenderung berorientasi untuk nafkah hidup. Beberapa diantara mereka berusaha untuk mempunyai pekerjaan lebih dari satu.
Pilihan jenis pekerjaan yang mereka pilih atau yang mereka peroleh seperti pengumpul bunga kamboja kering untuk dijual ke pedagang pengumpul, kenek
tukang batu, pengolah sekaligus pedagang keripik pisang, petani lahan tidur, penjual ketoprak, buruh dan pemilik warung di rumah, istri usaha warung dan
suami tukang ojek, penjual mie ayam yang kadang-kadang sebagai supir bajaj pengganti, penjual bihun di lokasi sekitar SD, penjual gorengan usus, ceker, hati
ala Kentucky fried chicken, penjual balon sambil bekerja serabutan, penggali kubur sambil berusaha warung dan budidaya bunga bougenvile skala kecil untuk
dijual. Gerak sosial penduduk miskin pendatang cenderung ke arah vertikal yang
ditunjukkan dengan keadaan ekonomi yang dirasakan responden sekarang yaitu
lebih baik dibandingkan keadaan ekonomi ketika mereka berada di kampung halamannya. Sebagian dari mereka berpandangan bahwa hidup di Jakarta asalkan
memiliki kemauan dan ketekunan untuk bekerja, tentu akan mendapatkan uang. Responden Syt 71 tahun asal Banyumas yang ketika muda berprofesi sebagai
pedagang sayur-sayuran, mengatakan “asal mau usaha pasti dapat uang”.
Berbeda halnya dengan keadaan di kampung halaman, pilihan hanya seperti menjadi buruh tani yang sangat sulit untuk mendapatkan uang, meskipun
berprilaku rajin bekerja, seperti pengalaman yang telah dilalui oleh Mmn, 72 tahun, yang sebelumnya tinggal di Sukabumi yang beranggapann mencari nafkah
di tempat tinggalnya dulu relatif sulit dibandingkan di Jakarta “kalo di sini asal
ada kemauan dan mau malu, dikit-dikit bisa dapat uang”. Mmn saat ini bekerja
sebagai pengumpul bunga kamboja kering di area pemakaman untuk dijual sebagai pencampur bahan dasar industri minuman jadi.
Mengenai hakikat waktu, pada Betawi orientasi cenderung prioritas keadaan masa kini. Mereka memilih untuk bersikap pasrah dan sederhana dalam
berpikir. Sikap ini terindikasi dari prilaku yang cenderung cukup puas dengan pilihan pekerjaan yang ada. Pola pikir sederhana juga terlihat dari bagaimana
mereka mengelola tanah warisan. Tampak adanya kecenderungan berprilaku menjual tanah warisan sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Padahal sumberdaya lahan tersebut lama-kelamaan luasnya akan semakin sempit bahkan habis.
Mengenai pendidikan, latar belakang pendidikan kepala rumah tangga pada Betawi umumnya tidak tamat SD berbeda dengan pendatang yang
umumnya telah menamatkan SD, namun ada keinginan untuk menyekolahkan anak hingga SLTA. pentingnya pendidikan bagi sebagian responden karena hal
ini akan berkaitan dengan peluang bekerja di masa mendatang. Hsn 61 tahun, duda dengan empat, menyebutkan
“kalo pinter, mudah cari kerja”. Keterbatasan biaya seringkali membuat keadaan putus sekolah, atau hanya sebagian anak yang
sanggup dibiayai hingga SLTA, sebagian lagi putus sekolah. Namun keterbatasan biaya bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya putus sekolah.
Pada beberapa kasus putus sekolah juga disebabkan oleh faktor kemalasan dari pihak yang bersangkutan. Barangkali, orang tua pun belum sepenuhnya
berhasil mengarahkan anak tentang pentingnya pendidikan, karena wawasan orang tua yang masih relatif terbatas, seperti pendapat responden Nr 47 tahun,
“penting memberikan pendidikan tinggi buat anak”. Anak tertua Nur, janda cerai mati yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas tiga SD, berhasil
menamatkan sekolah menengah ekonomi atas SMEA dan bekerja sebagai pelayan toko dengan pendapatan setingkat upah minimum regional yang berlaku.
Sementara anak kedua putus sekolah di SLTP dan anak ketiga putus sekolah di SD.
Berbeda dengan keadaan Nr, responden Nlh, 32 tahun, menceritakan pengalaman pribadinya yang putus sekolah karena sejak kecil telah mengenal
kerja. Nlh menceritakan pengalaman masa kecilnya yang membuat ia malas bersekolah. Sejak berumur 7 tahun ia sudah mencari uang. Waktu itu, ia
berjualan jelly, gambaran semacam komik tetapi tidak berbentuk buku melainkan dikemas dalam selembar karton berukuran kertas folio, cerita tercetak
dalam kotak-kotak kecil bernomor hingga memenuhi karton, sambil menyewakan tiker di kebun binatang Ragunan. Ayah Nlh juga sering membawanya ke Pasar
Minggu untuk membantu memikul barang dagangan. Akhirnya, ia putus sekolah, konsentrasi mencari uang
“Orang tua kita sudah susah, ngapain terus kita gandolin. Kita kan anak laki-laki punya cara sendiri
,” kata Alih. Masih berkaitan dengan waktu, yaitu sikap memiliki banyak anak sebagai
investasi sumber pendapatan atau yang sering dikenal dengan istilah „banyak anak banyak rezeki‟, mereka cenderung tidak sependapat dengan prinsip tersebut “Itu
mah jaman dulu ” responden Hsn, 61 tahun.
Pada pendatang, beberapa kepala rumah tangga mulai berpandangan ingin menyekolahkan anak mereka hingga perguruan tinggi. Keadaan putus sekolah
karena keterbatasan biaya masih ditemui, namun diantara mereka tampak berusaha keras menabung untuk sekadar untuk membeli keperluan sekolah anak.
Dsp 42 tahun, salah seorang responden yang selalu berhemat agar dapat membiayai sekolah anak dan membeli segala keperluannya
“saat ini hidup penuh kesulitan, nanti jangan terus seperti ini”. Di sini tampak prilaku yang lebih fokus
untuk terus melakukan gerak sosial vertikal.
Mengenai hakikat lingkungan alam, penduduk miskin Betawi cenderung belum melihat peluang atas pemanfaatan sumberdaya alam seperti pemanfaatan
lahan tidur yang tentu saja bukan miliknya. Berbeda dengan Betawi, pendatang cenderung berupaya memanfaatkan sumber daya alam, meskipun kesempatan
tersebut sangat terbatas. Diantara mereka tampak mengupayakan lahan tidur, mengumpulkan bunga kamboja yang gugur dari pohonnya dijual untuk industri
minuman teh, mengumpulkan sampah organik untuk dibuat pupuk yang kemudian pupuk tersebut digunakan untuk menyuburkan usaha tanaman hias
bunga bougenvile hasil budidaya sendiri skala kecil. Mengenai hakikat hubungan antara manusia, menyadari akan keterbatasan
dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka menjunjung tinggi prinsip kerukunan hidup dalam bertetangga dengan menjalin hubungan saling tolong-
menolong. Sementara pendatang, umumnya mereka menjaga hubungan baik dengan tetangga. Hubungan ini dijalin dengan tujuan agar dapat saling-tolong
menolong, juga untuk dapat saling berkomunikasi guna mendapatkan informasi. Selain itu, tujuannya adalah untuk menjaga keharmonisan dalam bergaulan
sehingga mereka dapat hidup tenang.