79 Pembukaan lahan rawa pasang surut di tipe C dan D yang lahannya
tidak sampai terluapi oleh air pasang, bahkan oleh pasang besar sekalipun hanya mempengaruhi tinggi rendahnya pemukaan air tanah, pembuatan
galangan selain sebagai pembatas lahan juga lebih ditujukan sebagai penahan air hujan. Surjan maupun
tukungan dibangun selain untuk keperluan penamanan palawija dan tanaman keras rambutan, mangga, jeruk juga bagian
tanah yang digali untuk menimbun tanah pada surjan tersebut digunakan sebagai saluran atau parit dalam petak sawah. Untuk pengaturan air, terutama
air dari air hujan dibangun bendungan sederhana atau yang disebut tabat pada
muara handil atau anak sungai. Dengan adanya tabat ini diharapkan air hujan
dapat ditahan selama mungkin untuk keperluan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan gambaran rangkaian kegiatan pembukaan lahan untuk
sawah tersebut, ada dua hal yang menjadi pengetahuan umum bagi petani dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Pertama, bahwa lapisan tanah yang
mengandung sifat masam adanya lapisan pirit jika sampai terbongkar atau
terangkat ke permukaan dapat mengakibatkan keracunan bagi tanaman. Kedua, pada kondisi tergenang, sifat masam ini secara alamiah tidak akan
mengganggu bagi pertumbuhan tanaman, oleh karena itu pengaturan air menjadi kunci utama dalam keberhasilan mengelola lahan tersebut.
Upaya-upaya petani dalam mencegah atau mengurangi kemasaman tanah juga dilakukan dengan pemberian kapur pertanian. Pemberian kapur ini
umumnya dilakukan pada lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D yang memang permasahan kemasamannya lebih berat dibanding tipe A.
Pengetahuan petani tentang manfaat kapur ini sebagai salah satu kegiatan yang dapat mengurangi kemasaman tanah diperoleh setelah era revolusi hijau dan
kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan secara intensif.
5.2.2 Pengolahan Tanah
Kegiatan pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut yang dilakukan petani setempat sangat berbeda jauh dengan pengolahan tanah yang dilakukan
dalam kegiatan petanian umumnya terutama seperti di Jawa. Pengolahan tanah ini terkait dengan kondisi fisik lahan rawa pasang surut yang umumnya
mengandung lapisan masam pirit pada lapisan bagian bawahnya. Pada
dasarnya prinsip pengolahan tanah yang dilakukan hanya ditujukan untuk
80 memotong atau mengikis rumput dan gulma yang tumbuh di sawah serta hanya
sedikit lapisan tanah yang ikut terkupas kurang dari 5 cm. Pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut tipe A menggunakan alat
‘parang’ atau golok untuk memotong rumput, gulma dan sisa-sisa bekas tanaman padi musim sebelumnya disebut juga
tampilai banih. Kegiatan pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut tipe A ini relatif lebih mudah
dibandingkan dengan tipe lahan rawa pasang surut lainnya karena rumput atau gulma yang tumbuh umumnya hanya sedikit. Kondisi ini dapat terjadi karena
pada areal lahan rawa pasang surut tipe A, air pasang dan surut terjadi setiap hari sehingga rumput dan gulma sulit tumbuh atau berkembang. Kegiatan
pembersihan rumput ini biasanya hanya pada bagian sekitar galangan maupun tembokan.
Pengolahan tanah rawa pasang surut di tipe B, C dan D dilakukan dengan penggunaan alat
tajak, yakni sejenis parang tetapi pada bagian ujungnya diberi tangkai agak panjang yang membengkok ke atas sebagai
pegangan. Prinsip kerja alat tajak ini adalah memotong atau memangkas rumput-rumputan, gulma maupun sisa tanaman padi tahun sebelumnya dengan
mengupas tipis lapisan tanah kurang dari 5 cm. Hal ini seperti dikemukakan oleh Atm 64 th, petani di Desa Sungai Tunjang:
“Urang disini matan dahulu mamakai tajak gasan manatak. Pabila mamakai tajak tanahnya kada taumpat tabalik, lamun tanahnya tabalik
masamnya bisa naik lawan banih nang ditanam bisa kada baik.” [ Petani di wilayah ini sejak dulu menggunakan ‘tajak’ untuk mengolah
tanah. Dengan menggunakan tajak, tanahnya tidak ikut terbalik, sebab jika tanahnya terbalik, lapisan pirit yang bersifat masam akan terangkat
dan pertumbuhan padi menjadi tidak baik ]
Alat ini dikembangkan petani sejak ratusan tahun silam sebagai bentuk peralatan adaptif yang sekaligus dapat mencegah terbongkarnya lapisan
pirit pada bagian bawah jika terbongkar dapat menyebabkan kemasaman tanah dan
meracuni bagi tanaman. Pengolahan tanah dilakukan ketika lahan di persawahan sudah mulai digenangi air agar proses pelaksanaannya dapat
mudah dilakukan serta hasil pengolahan tersebut terendam air dan cepat membusuk. Alat
tajak ini efektif digunakan jika kedalaman air pada saat pengolahan tanah berkisar 5-15 cm. Sistem pengolahan tanah dengan alat
tajak ini dalam bidang pertanian modern dikenal dengan istilah pengolahan tanah
81 secara minimum
minimum tillage. Untuk mengolah tanah dengan peralatan tajak ini rata-rata dibutuhkan sekitar 20-30 HKO per hektar.
Periode pengolahan tanah berlangsung antara bulan Oktober hingga Pebruari. Rumput, gulma dan sisa batang padi tahun sebelumnya setelah
dipangkas, dibiarkan sekitar 15 hari kemudian dikumpulkan dalam bentuk baluran atau memanjang di sawah. Beberapa petani ada yang membentuknya
berupa puntalan berbentuk tumpukan bundar dengan diameter 30-50 cm.
Untuk bentuk baluran atau memanjang petani menggunakan alat bantu yang disebut
kakakar sejenis garu dari bahan kayu. Tumpukan sisa gulma dan rumputan ini dibiarkan di persawahan agar membusuk. Untuk mempercepat
pelapukan dan agar prosesnya lebih merata, tumpukan atau baluran ini setelah sekitar 15-30 hari kemudian dibalik. Biasanya setelah dibalik, sebulan kemudian
rumput dan gulma ini sudah melapuk dan kemudian ditebar di persawahan sebagai pupuk organik. Para petani memiliki pengetahuan tentang cara
mempercepat proses pelapukan sisa potongan rumput dan gulma ini, yakni dengan cara pembalikan. Dan ternyata proses pembalikan ini dapat
meningkatkan dan mempercepat proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri
aerob. Walaupun petani tidak mengetahui tentang peranan bakteri ini, tetapi pengalaman dan pengetahuan mereka telah memberikan pelajaran
tentang cara efektif untuk membusukkan sisa-sisa gulma dan rumput tersebut. Menurut Noor 1996, pemberian kapur pada lahan pertanian dapat
meningkatkan jenis, populasi, dan aktivitas mikroba tanah. Jika karena kondisi lahan dan keterlambatan dalam kegiatan pengolahan
tanah dan mengakibatkan proses pelapukan tidak berlangsung sempurna, maka tidak dilakukan penebaran di sawah. Bentuk
puntalan akan diangkut ke pinggir galangan dan jika bentuk tumpukan tersebut berupa
baluran maka tetapt dibiarkan di tempatnya dan akan ditebar pada musim tanam tahun berikutnya.
Kegiatan mengangkut sisa potongan gulma dan rumput ini dikenal dengan istilah bahangkut dan dilakukan secara manual atau dengan bantuan alat kakakar.
Setelah gulma ditebas atau ditajak, areal persawahan ini kemudian diberi
kapur dengan dosis sesuai kemampuan petani rata-rata hanya sekitar 350 kgha. Pada areal sawah yang airnya agak dalam lebih dari 30 cm, setelah
gulma ditebas atau ditajak dan diberi kapur, dibiarkan hingga membusuk
lamanya sekitar satu bulan. Areal sawah yang kedalaman airnya pada saat pengolahan tanah tidak terlalu dalam 15-30 cm setelah gulma ditebas atau
82 ditajak dan diberi kapur dibiarkan selama 15 hari, kemudian dibalik agar proses
pelapukannya merata. Sedangkan areal sawah yang kedalaman airnya pada saat pengolahan tanah agak surut 15 cm, setelah gulma atau rumputnya
ditebas atau ditajak dan diberi kapur kemudian dibiarkan selama 15 hari.
Selanjutnya tebasan gulma atau rumput ini dibuat dalam bentuk bundaran atau puntalan maupun dalam bentuk baluran, dan dibiarkan selama 15 hari Setelah
itu puntalan dan baluran ini dibalik dan dibiarkan selama 15-30 hari agar proses
pelapukannya merata dan sempurna. Puntalan maupun baluran ini selanjutmya
disebarkan dipersawahan sebagai pupuk organik.
5.2.3 Pemilihan Varietas Padi