Bentuk Koeksistensi Bentuk-Bentuk Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut

171 melalui program pembangunan pertanian telah mengintroduksi sistem pertanian modern dan teknologi baru berbasis sains dalam kehidupan masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Introduksi ini ini membawa dinamika perubahan yang bukan hanya terkait pada aspek teknis pertanian semata, tetapi mencakup perubahan pada sistem kehidupan masyarakat setempat. Dinamika perubahan ini dapat terjadi pada aras suprastuktur yang mencakup perubahan nilai-nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat, aras struktur yang mencakup kelembagaan masyarakat serta aras infrastruktur dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan baru yang masuk dalam kehidupan petani ini berinteraksi dengan pengetahuan lokal yang selama ini telah dimiliki petani setempat. Proses kontestasi kedua entitas pengetahuan ini dapat menghasilkan bentuk koeksistensi, dominasi, dan hibridisasi. Bentuk-bentuk kontestasi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan sistem sosial masyarakat, termasuk berbagai bentuk intervensi pemerintah melalui program pembangunan pertanian. Dalam konteks ini, aspek kepentingan dan proses komunikasi yang merupakan bagian penting yang akan membawa kemana arah kontestasi tersebut akan terbentuk.

7.2.1 Bentuk Koeksistensi

Koeksistensi terjadi jika kedua entitas pengetahuan tersebut masing- masing mempertahankan keberadaannya. Walaupun keberadaan kedua entitas ini diakui dalam kehidupan masyarakat, proses lebih lanjut akan menghasilkan marginalisasi terhadap salah satunya. Hal ini karena adanya suatu entitas pengetahuan yang lebih berkembang dan diakui oleh masyarakat setempat. Proses koeksistensi antara sains pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut terkait erat dengan introduksi sistem pertanian padi modern berbasis padi unggul dengan sistem pertanian padi tradisional yang mengusahakan varietas lokal. Walaupun di lahan rawa pasang surut tipe A tidak ada petani yang menanam varietas unggul, tetapi beberapa paket teknologi yang menyertai sistem pertanian modern ini ada yang diadopsi oleh petani setempat. Penggunaan peralatan panen dan pasca panen dalam pertanian modern seperti sabit bergerigi telah digunakan petani di wilayah ini. Teknologi ini dikembangkan untuk mempercepat proses pemanenan dan mengurangi kehilangan hasil. Walaupun demikian, sebagian petani lainnya masih 172 menggunakan cara lama dengan ani-ani atau ranggaman dan merontoknya dengan cara dinjak-injak atau diirik. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani setempat bahwa padi varietas lokal mudah rontok sehingga ani-ani merupakan alat tepat untuk memanen padi. Bagi petani yang menggunakan sabit bergerigi dan mesin perontok pertimbangannya karena keterbatasan tenaga pemanen dan perlunya segera padi yang masak untuk dipanen. Petani yang memiliki lahan relatif luas dan tenaga kerja upahan sulit diperoleh biasanya akan menggunakan sabit bergerigi dan mesin perontok. Pada sisi lain, pertimbangan untuk memilih cara pemanenan ini juga tergantung dari keputusan petani pemilik sawah, sehingga pekerja panen harus mengikuti keinginan pemilik sawah tersebut. Oleh karena itu, hingga sekarang kedua cara memanen dan merontok padi tersebut masih dilakukan di wilayah lahan rawa pasang surut. Pada wilayah-wilayah yang sulit untuk mencari tenaga pemanen, perubahan ini akan cepat berlangsung karena tananam padi yang terlambat dipanen mudah rontok atau rusak. Gambaran di atas menunjukkan bahwa sistem upah yang berkembang di masyarakat turut berpengaruh terhadap eksistensi pengetahuan lokal masyarakat, terutama kaitannya dengan pengetahuan tentang peralatan panen dan pasca panen. Khusus untuk agroeksistem lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D, sistem pertanian padi unggul sudah mulai berkembang dan ditanam pada musim tanam kedua Oktober-Pebruari. Luas pertanaman padi unggul yang ditanam pada musim kedua tahun 20082009 mencapai 1.342 hektar 1,26 dari 106.629 hektar areal sawah pasang surut di Kabupaten Barito Kuala. Pada musim tanam pertama Nopember-Agustus para petani di lahan rawa pasang surut sebagai besar tetap mengusahakan tanaman padi lokal. Pada periode Oktober-April merupakan periode bera di mana lahan sawah diistirahatkan dan hanya sebagian kecil sekitar 20 bagian dari lahan digunakan untuk proses pembibitan padi lokal lacak. Pada periode bera inilah pemerintah melalui kegiatan penyuluhan mengintroduksi sistem pertanian padi unggul. Sebagian besar petani tetap dengan pola lama yakni memberakan lahannya untuk menjaga kesuburan tanah, sedangkan sebagian lagi mengusahakannya dengan padi unggul. Koeksistensi pengetahuan lokal dengan sains ini juga terdapat dalam kelembagaan atau organisasi sosial petani. Proses ini terjadi karena masuknya pengetahuan baru sains yang menjadi dasar dalam sistem pertanian modern 173 tersebut juga berpengaruh terhadap kelembagaan dan organisasi sosial petani setempat. Sistem pertanian modern lebih menekankan pada aspek produktivitas dan efisiensi dalam kegiatan pertanian. Praktik-praktik yang dianggap memboroskan biaya seperti penggunaan tenaga kerja yang berlebihan harus dihindari. Begitu juga praktik yang menghambat upaya peningkatan produktivitas seperti ketidakjelasan kepemilikan lahan dan pola pembiayaan usahatani harus diubah dengan pola-pola yang baru. Sebaliknya, sistem pertanian padi lokal yang dilakukan masyarakat setempat masih memiliki keterkaitan erat dengan sistem sosial yang ada. Sistem gadai sanda maupun sistem handipan masih banyak dilakukan masyarakat setempat. Pola penguasaan lahan dalam sistem pertanian modern memegang peranan penting dalam upaya peningkatan produktivitas. Hak milik, sistem sewa maupun bagi hasil telah memberikan batasan yang jelas bagi pelaku atau petani untuk mengelola lahan tersebut. Aturan yang ditetapkan tentang besarnya sewa atau bagian yang harus diserahkan dengan pemilik lahan maupun pihak yang menanggung biaya produksi ditetapkan secara jelas dan telah melembaga. Di sisi lain, sistem pertanian tradisional masih mengenal sistem gadai atau dalam masyarakat setempat dikenal dengan istilah sanda serta status pinjam sementara biasanya karena ada hubungan keluarga. Menurut petani setempat, sistem sanda ini merupakan bentuk kearifan masyarakat untuk saling tolong menolong dalam kegiatan pertanian. Begitu juga halnya dengan modal usaha, selain milik sendiri juga dipinjam dari keluarga dekat. Sistem gotong royong yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan istilah handipan umumnya masih digunakan dalam sistem pertanian padi lokal, terutama untuk kegiatan penanaman. Periode atau masa pertanaman yang relatif lama Pebruari-April memungkinkan petani menerapkan praktik penamanan secara gotong royong dan bergiliran. Berbeda halnya dengan padi unggul, bibitnya harus segera ditanam dan periode tanamnya relatif singkat satu bulan. Sistem upah menjadi pilihan jika tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia tidak mencukupi untuk mengejakan kegiatan tanam tersebut. Sistem upah memungkinkan petani untuk menerapkan efisiensi dan kejelasan dalam perhitungan untung ruginya kegiatan pertanian tersebut. Dalam perkembangannya sekarang ini, sistem upah juga telah digunakan dalam sistem pertanian padi lokal. Implikasi ekonomis dari perkembangan sistem upah ini adalah bertambahnya komponen biaya nyata 174 explicit cost yang harus dikeluarkan oleh petani. Padahal dalam sistem handipan, petani tidak mengeluarkan biaya nyata dan hanya membayarnya dengan sejumlah tenaga kerja secara bergantian dengan petani lain. Biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli makanan dan minuman pada saat kegiatan handipan tersebut dilakukan. Bagi masyarakat setempat, handipan bukan hanya sekedar gotong royong biasa tetapi kegiatan ini juga menciptakan hubungan sosial yang erat antar sesama petani dan proses transmisi atau pertukaran pengetahuan antar petani dapat terjadi. Ruang publik public sphere yang tercipta memungkinkan terjadinya komuinikasi setara yang bebas dari dominasi. Secara ringkas jika dihadapkan vis a vis antara sistem handipan dengan sistem upah ini dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Perbandingan antara sistem handipan dengan sistem upah dalam kegiatan pertanian padi di lahan rawa pasang surut Komponen pembanding Sistem Handipan Sistem Upah Sistem pengetahuan yang menjadi basis pelaksanaan Pengetahuan lokal masyarakat tentang baharian atau batabus hari Efisiensi tenaga kerja dan peningkatan produktivitas Prinsip basis utama KelompokKomunitas Individu Sistem norma yang mengatur Kerakatan dalam kelompok atau komunitas Tingkat upah harian atau borongan Elit yang berperan Ketua kelompok atau kepala handil Pemilik lahan Tujuan Kerjasama kelompok dan solidaritas Ketepatan waktu pelaksanaan usahatani Kepentingan Interest Pengurangan biaya nyata Volume kerja yang dapat diselesaikan Kondisi saat ini Resultan Kedua sistem masih tetap eksis dalam sistem pertanian padi yang dilaksanakan masyarakat terutama padi lokal dan sistem handipan kini terutama hanya pada kegiatan penanaman saja. Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009 Kontestasi yang menghasilkan bentuk koeksistensi ini memberikan gambaran bahwa kedua entitas di atas akan tetap eksis dianut oleh masyarakat di lahan rawa pasang surut. Sistem handipan sebagai bentuk pengetahuan lokal masyarakat lebih menekankan pada kebersamaan dalam sebuah komunitas 175 atau kelompok terkait erat dengan kepentingan untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh petani. Sistem handipan ini merupakan bentuk kooperatif yang sangat tegas dalam memberikan balasan atau pertukaran tenaga kerja. Bagi petani kecil yang yang tidak mampu membayar tenaga upahan, kegiatan seperti ini merupakan bentuk strategi dalam menjaga kelangsungan usaha mereka. Nilai-nilai sosial yang terkandung dalam kegiatan ini juga sarat dengan penguatan ikatan sosial dan solidaritas antar petani. Sebaliknya sistem upah merupakan dikenal masyarakat ketika sistem pertanian padi lebih diarahkan pada kegiatan yang bersifat komersial. Keuntungan, efisiensi dan produktivitas menjadi dasar pelaksanaan sistem ini. Petani yangmemiliki modal kapital besar akan mampu membayar sejumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dan hubungan yang terbentuk mengarah pada pola majikan dan buruh. Kedua bentuk sistem ini merupakan pilihan yang dapat diambil petani sesuai dengan pertimbangan dan kebutuhan yang dirasakan sehingga lebih bersifat substitutif. Pada kondisi seperti ini kontestasi yang terjadi cenderung menghasilkan bentuk koeksistensi di mana aspek kepentingan dan sistem rasionalitas memegang peranan besar. Dalam konteks inilah Habermas mengingatkan bahwa rasionalitas instrumental cenderung menciptakan kepentingan yang menguasai melalui pengetahuan teknisnya sehingga dapat membuat salah satunya menjadi termarjinalkan. Bentuk-bentuk koeksistensi antara pengetahuan lokal dengan sains dalam pertanian padi di lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 16. 176 Tabel 16 Bentuk-bentuk koeksistensi antara sains dengan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut Lahan rawa pasang surut Parameter Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D Teknik budidaya • Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi • Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok • Budidaya padi lokal dan budidaya padi unggul • Penggunaan alat olah tanah tajak dan pengolahan dgn traktor tangan • Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi. • Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok • Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi • Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok • Penggunaan alat panen ani-ani dan sabit bergerigi • Perontokan padi dengan cara diinjak dan penggunaan mesin perontok Organisasi dan kelembagaan sosial • Sistem gotong royong handipan dan sistem upah • Pola penguasaan lahan dgn cara gadai sanda, sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa • Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT • Sistem gotong royong handipan dan sistem upah • Pola penguasaan lahan dgn cara gadai sanda, sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa • Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT • Sistem gotong royong handipan dan sistem upah • Pola penguasaan lahan dgn cara gadai sanda, sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa • Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT • Sistem gotong royong handipan dan sistem upah • Pola penguasaan lahan dgn cara gadai sanda, sakap dan pola penguasaan dgn sistem sewa • Pola pembiayaan UT dgn sistem pinjaman dari keluarga dan pola kredit UT Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009 177 Bentuk koeksistensi pada aspek teknik budidaya di lahan rawa pasang surut tipe B memperlihatkan bentuk yang lebih beragam dibandingkan di tipe A, C, dan D. Hal ini disebabkan sains dan pertanian modern lebih banyak diintroduksi pada lahan rawa pasang surut tipe B. Secara agroekosistem, lahan rawa pasang surut tipe B merupakan wilayah yang ideal untuk pengembangan sistem pertanian padi unggul dengan pola tanam unggul-lokal. Pengaturan air baik untuk irigasi maupun drainase secara teknis mudah dilakukan. Ujicoba dan demostrasi plot untuk pengembangan padi unggul banyak dilakukan di wilayah pasang surut tipe B. Petani memiliki alternatif untuk memilih penggunaan teknologi pertanian yang diinginkan dengan faktor pembatas teknis yang relatif kecil. Eksistensi pengetahuan lokal yang menjadi basis dalam sistem pertanian padi lokal dan sains yang dikembangkan dalam sistem pertanian padi unggul di lahan rawa pasang surut tipe B lebih disebabkan karena faktor preferensi petani dan masuknya program pertanian yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian setempat. Bagi petani yang memilih untuk menanam padi lokal, pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial merupakan dasar mengapa mereka menanam padi varietas lokal tersebut. Sebaliknya petani yang menanam padi unggul lebih disebabkan karena mereka mengikuti program pemerintah yang sedang berjalan saat itu, seperti program SL-PTT yang menyaratkan petaninya kelompok tani mengusahakan varietas unggul berupa varietas Ciherang. Mereka yang mengikuti program ini mendapat bantuan benih gratis, pembinaan dan praktik lapangan yang dibiayai melalui dana program tersebut. Berbeda halnya dengan eksistensi penggunaan peralatan tradisional seperti alat panen antara ani-ani dan sabit bergerigi dan perontok dengan cara diinjak dan dengan mesin, pilihan petani lebih disebabkan karena aspek teknis dan sosial ekonomi. Petani yang memiliki areal pertanian yang luas lebih dari 2 hektar cenderung menggunakan peralatan sabit bergerigi dan mesin perontok. Sebaliknya yang berlahan sempit kurang dari 1 hektar lebih memilih cara panen dengan ani-ani dan meontoknya dengan cara diinjak. Pada kondisi, dimana tenaga upahan sulit diperoleh dan waktu panen yang bersamaan, petani terpaksa memilih penggunaan sabit bergerigi dengan perontokan menggunakan mesin. Pilihan ini tentu juga dipengaruhi oleh ketersediaan mesin perontok yang ada di desa tersebut. 178 Pada aspek organisasi dan kelembagan sosial eksistensi sistem gotong royong dan sistem upah sangat terkait dengan perkembangan teknologi yang digunakan serta kondisi perekonomian petani yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan pola penguasaan lahan dan pembiayaan usahatani tidak memperlihatkan pola yang berbeda pada masing-masing tipe lahan. Bagi petani yang memiliki lahan luas dan modal yang besar mereka lebih memilih sistem upah untuk mengerjakan lahannya. Sebaliknya petani dari golongan menengah ke bawah, pilihan untuk melakukan gotong royong handipan adalah salah satu cara untuk mengurangi pengeluaran dalam kegiatan usahatani menekan biaya eksplisit. Kedua entitas pengetahuan ini memiliki ruang untuk berkembang karena satu sama lain bersifat substitusi. Masuknya sains dalam sistem pertanian petani setempat memberikan pilihan atau alternatif bagi petani tempat untuk menentukan pilihan yang sesuai. Pilihan petani ini umumnya tidak bersifat individualistis, tetapi menyangkut pertimbangan dan sikap anggota komunitas lainnya. Proses komunikasi terjalin melalui perbincangan-perbincangan informal yang bersifat konvergen dan tanpa tekanan baik di warung-warung, teras mushala maupun pertemuan yasinan yang merupakan ruang publik bagi mereka Habermas 2007. Secara proporsional, kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut masih banyak didasarkan pada pengetahuan lokal. Hal ini terkait dengan varietas yang digunakan dalam sistem pertanian yang berimplikasi pada teknik pertanian tradisional yang digunakan. Koeksistensi pengetahuan lokal dan sains ini dapat berlangsung karena adanya praktik pertanaman padi dengan pola sawit dupa tipe B,C dan D yang memungkinkan petani masih dapat menanam padi lokal maupun unggul pada dua musim tanam yang berbeda.

7.2.2 Bentuk Dominasi