Lahan rawa pasang surut tipe A

159 mengusahakan padi lokal. Kondisi lahan rawa pasang surut dengan tingkat kemasaman tinggi di lahan rawa pasang surut, pada awal penempatan mereka memaksa mereka untuk menanam varietas lokal yang memang toleran dengan kondisi ini. Perkembangan sains dan pertanian modern pada masing-masing tipe lahan rawa pasang surut memperlihatkan kondisi yang tidak sama.

7.1.1 Lahan rawa pasang surut tipe A

Lahan rawa pasang surut tipe A, merupakan lahan yang selalu terluapi oleh air baik pada saat pasang besar maupun saat pasang kecil. Pertanian di lahan rawa pasang surut tipe A merupakan wilayah pertama yang dikembangkan oleh petani setempat. Sejak ratusan tahun silam petani di lahan rawa pasang surut tipe A mengusahakan varietas lokal. Daerah-daerah yang termasuk kategori pasang surut tipe A ini umumnya terletak di pesisir atau di pinggiran sungai Barito. Semenjak masuknya era revolusi hijau di wilayah ini, terutama di Kecamatan Tabunganen yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan rawa pasang surut tipe A, pertanian modern diintroduksi ke wilayah ini. Untuk mendukung pengembangan pertanian, pada tahun 1983 dibangun Balai Penyuluhan Pertanian BPP. Benih unggulpun mulai dikenalkan kepada petani, tetapi tidak diminati petani, terutama karena secara teknis tidak cocok untuk ditanam di wilayah yang selalu terluapi air pada saat pasang. Menurut salah seorang petani Dmw, 65 tahun, beberapa petani pernah menamam padi unggul ini pada lahan-lahan yang agak tinggi. Ternyata jenis padi unggul yang ditanam ini justeru diserang hama walang sangit dan berakibat lahan-lahan di sekitarnya juga ikut terserang hama tersebut. Begitu juga dengan penanaman padi unggul pada musim tanam kedua, karena yang menanamnya hanya beberapa petani, kebanyakan mengalami kegagalan akibat serangan tikus. Akibatnya hingga sekarang petani tidak tertarik lagi untuk mengusahakan padi unggul yang berumur pendek baik pada saat bersamaan dengan varietas lokal maupun pada musim tanam kedua setelah penanam varietas lokal. Secara sosial, budidaya padi unggul ini juga kurang sesuai dengan pola kebiasaan masyarakat setempat. Padi unggul harus dikelola dengan pemeliharaan yang intensif sehingga curahan waktu kerja juga lebih banyak. Padahal masyarakat setempat memiliki pola pembagian waktu baik harian, mingguan, maupun bulanan yang disesuaikan dengan ritme kondisi alam serta 160 berbagai jenis mata pencaharian lainnya. Selain mengusahakan tanaman padi, masyarakat setempat juga mengusahakan tanaman perkebunan seperti kelapa dan usaha penangkapan ikan perikanan darat maupun perikanan laut Berbeda halnya dengan penggunaan pupuk buatan seperti Urea dan pestisida direspon positif oleh masyarakat. Walaupun demikian, pupuk buatan ini baru meluas penggunaannya semenjak tahun 1990-an. Selain untuk memupuk tanaman, pupuk Urea ini juga digunakan pada fase pembibitan lacak dan tangkar anak. Penggunaan pestisida secara meluas baru lima tahun terakhir, terutama untuk pengendalian walang sangit dan tikus. Penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman tanah justeru telah lama dikenal dan digunakan oleh petani dibandingkan dengan pupuk buatan dan pestisida. Para petani di wilayah ini telah mengenal kapur untuk mengurangi kemasaman tanah sejak tahun 1985. Kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini menurut pandangan petani baru dilakukan secara intensif dalam lima tahun terakhir. Kelompok tani sebagai salah satu organisasi sosial dalam kehidupan masyarakat petani di wilayah ini digunakan oleh penyuluh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan di bidang pertanian. Materi penyuluhan yang diberikan menyangkut aspek pengendalian hama tikus pada tanaman padi, diversifikasi pertanian dengan pemanfaatan surjan atau tembokan untuk tanaman sayuran, pemeliharaan saluran air, dan pengembangan ternak itik dan ayam buras. Tata air merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi peningkatan produksi padi di wilayah lahan rawa pasang. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan pertanian di wilayah ini lebih difokuskan pada teknik pembuatan dan pemeliharaan saluran air di sawah petani. Penggunaan peralatan pertanian modern di wilayah pasang surut tipe A terbatas pada peralatan panen dan pasca panen. Peralatan tradisional untuk kegiatan panen yang umum digunakan petani adalah ani-ani disebut juga ranggaman. Alat panen ini berbahan utama dari kayu, bambu dan potongan pisau silet, selain itu juga banyak di jual di warung atau kios-kios yang ada di desa. Pemerintah melalui kegiatan penyuluhan pertanian telah lama memperkenalkan alat panen berupa sabit bergerigi sebagai pengganti ani-ani atau ranggaman ini. Sebelumnya petani enggan mengganti ani-ani dengan sabit bergerigi ini. 161 Penolakan petani ini didasari oleh oleh alasan yang bersifat teknis dan nonteknis. Secara teknis, menurut mereka menggunakan sabit bergerigi mengakibatkan malai padi yang masih belum masak sempurna akan ikut terpanen dan akan berpengaruh terhadap kualitas gabah yang diperoleh nantinya. Begitu juga dengan menggunakan mesin perontok, akan mengakibatkan beras yang dihasilkan nantinya akan banyak yang patah atau rusak. Aspek nonteknis terkait dengan kepercayaan petani tentang perlakuan terhadap padi sebagai bahan makanan. Padi yang dipanen dengan cara disabit harus dirontok dengan dipukul-pukulkan pada alas kayu atau bambu maupun dengan menggunakan mesin perontok. Menurut kepercayaan sebagian besar petani, merupakan pantangan pamali memperlakukan padi dengan cara dipukul-pukul tersebut. Seiring dengan semakin luasnya areal tanam serta semakin susahnya untuk mencari tenaga upahan, sejak empat tahun terakhir petani mulai menggunakan sabit bergerigi untuk kegiatan panen. Dalam teknis pelaksanaannya, para petani menyabit tanaman padi lebih dekat ke arah tangkai malai. Hal ini dilakukan terkait dengan teknik perontokan yang masih menggunakan cara diinjak-injak diirik. Mesin perontok juga mulai digunakan tetapi dengan pengaturan khusus pada kecepatan putarannya. Berdasarkan pengalaman petani, agar beras yang dihasilkan nantinya tidak banyak yang rusak atau patah, maka putaran mesin perontok harus diatur atau diperlambat. Secara sosial, masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat dan terhimpun dalam kelompok-kelompok handil. Kegiatan gotong-royong sebagai modal utama dalam usahatani padi masih tetap dipertahankan terutama dalam kegiatan penanaman. Pengembangan usaha tani padi modern yang ditujukan untuk peningkatan produksi bagi mereka merupakan program pemerintah yang perlu didukung selama kegiatan tersebut juga mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, kesesuaian teknologi yang diintroduksi dengan kondisi alam dan sistem sosial masyarakat menjadi pertimbangan utama penerimaan masyarakat. Bibit unggul nasional yang diintroduksi ternyata secara teknis sangat tidak cocok dengan kondisi lingkungan yang ada sehingga pada wilayah lahan rawa pasang surut hingga kini tidak ada petani yang menanam bibit unggul tersebut. Bibit unggul yang ditanam pada umur 21-28 hari mempunyai batang kecil dan tinggi 10-15 cm, sementara air di sawah pada saat pasang mencapai kedalaman 40 cm. 162 Sebaliknya, pupuk anorganik dan peralatan baru seperti sabit bergerigi dan mesin perontok mulai meluas digunakan oleh para petani.

7.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B