Ikhtisar: Sistem Pertanian Padi yang Adaptif Lingkungan

98 Keterangan : Peka fotoperiodik artinya tanaman padi tersebut hanya berbunga pada musim tertentu saja, yakni ketika penyinaran matahari berlangsung lebih pendek daripada panjang hari kritik. Fotoperiodik kritis untuk tanaman padi sekitar 12-14 jam, sedangkan fotoperiodik optimum sekitar 9-10 jam. Varietas lokal yang disemai pada bulan Oktober- Nopember umur berbunganya sekitar 162-218 hari dan umur panennya sekitar 300 hari Sulaiman, S 1998. Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009

5.3 Ikhtisar: Sistem Pertanian Padi yang Adaptif Lingkungan

Sistem pertanian padi lokal yang dikembangkan oleh masyarakat petani lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi biofisik lahan rawa pasang surut yang bersifat marginal dengan kendala utama kemasaman tanah dan genangan air. Proses adaptasi ini secara bersamaan juga diikuti dengan terbentuknya sistem sosial yang juga beradaptasi dengan kondisi tersebut Marten 2001. Proses koadaptasi antara sistem sosial dengan sistem biofisik ekosistem inilah yang melahirkan budaya pertanian di 12 Cara panen Dengan ranggaman atau ani-ani dan beberapa menggunakan sabit Dengan sabit bergerigi 13 Produksi potensial 35 – 50 kwha 40 – 60 kwha 14 Produksi aktual A : 35 – 42 kwha B : 28 – 35 kwha C : 24 – 32 kwha D : 21 – 28 kwha A : - B : 28 – 42 kwha C : 24 – 35 kwha D : 24 – 28 kwha 15 Perontokkan gabah diirik atau dinjak-injak, sebagian petani ada yang sudah menggunakan mesin perontok thresser Perontokan menggunakan mesin perontok thresser atau dengan memukul- mukulkan ke bambu kayu 16 Pembersihan gabah bernas dari gabah hampa atau kotoran Menggunakan alat gumbaan Menggunakan alat gumbaan 17 Tekstur nasi Relatif pera dan disukai masyarakat setempat Umumnya pulen dan kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat Lanjutan 99 lahan rawa pasang surut. Pengalaman yang telah diperoleh selama ratusan tahun mampu memberikan pelajaran tentang bagaimana menghadapi kondisi alam dengan berbagai kendalanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan mereka. Secara skematis proses koadaptasi antara sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Proses koadaptasi sistem sosial dengan ekosistem lahan rawa pasang surut Proses di atas memperlihatkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem sosial masyarakat akan berpengaruh terhadap sistem pertanian dan juga diikuti dengan perubahan pada sistem biofisik di lahan rawa pasang surut. Begitu juga sebaliknya, perubahan pada sistem biofisik ini juga akan berpengaruh terhadap sistem pertanian dan sistem sosial masyarakat. Perubahan yang terjadi pada sistem sosial sebagai reaksi atas perubahan SISTEM PERTANIAN LRPS Tata air Sistem surjan Varietas lokal Sistem pembibitan Peralatan usahatani Pupuk organik Sistem Penanaman KOMPONEN BIOFISIK LRPS Kemasaman tanah Genangan air SISTEM SOSIAL Sistem Kerjasama dan Gotong royong Kelembagaan handil Pola kepemilikan lahan Sistem upah Bagi hasil Pola mata pencaharian Pemeliharaan tanaman 100 lingkungan biofisik ini menghasilkan pengetahuan lokal masyarakat setempat dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Pengetahuan-pengetahuan lokal ini diwujudkan dalam bentuk praktik-praktik pertanian adaptif dengan kondisi lahan rawa pasang surut. Sistem pertanian padi lokal yang selama ini dilakukan masyarakat setempat merupakan bentuk penerapan pengetahuan lokal yang didasarkan atas kekhasan kondisi setempat. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal memang bersifat dinamis dan tanggap terhadap perubahan- perubahan lingkungan Marten 2001; Little 2000; Kalland 2005; Sundar 2005. Dinamika inilah yang menjadikan pengetahuan lokal petani tetap eksis dalam kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pola interaksi sistem sosial masyarakat dengan kondisi biofisik inilah yang menghasilkan proses penyesuaian bersama atau koadaptasi Marten 2001. Padi lokal merupakan salah satu jenis padi-padian liar yang berumur relatif panjang dan produksi aktualnya di lahan rawa pasang surut relatif rendah 21 - 35 kwha. Walaupun demikian jenis padi ini mampu beradaptasi dengan kondisi genangan yang dalam serta kemasaman yang tinggi. Sistem budidaya padi lokal ini relatif berbeda dengan budidaya padi unggul, terutama dalam sistem persemaiannya. Sistem persemaian secara bertahap transplanting dengan waktu yang relatif panjang 3-4 bulan pada budidaya padi lokal ini dimungkinkan karena tanaman ini bersifat fotoperiodik. Sistem ini juga memungkinkan bibit yang ditanam dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan persawahan dengan genangan air yang tinggi dan relatif masam. Jenis padi lokal ini juga kurang rersponsif terhadap pemupukan kimia anorganik seperti Urea dan TSP maupun KCl, sehingga tidak memerlukan input luar yang besar. Selain itu dalam fase pertumbuhannya, jenis padi lokal ini mampu bersaing dan menekan pertumbuhan gulma sehingga kegiatan pembersihan atau penyiangan relatif tidak diperlukan. Oleh karena itu, dalam pengusahaan padi lokal ini petani tidak banyak mengeluarkan biaya. Kebutuhan unsur hara sebagian besar diperoleh dari pupuk organik yang diperoleh dari hasil pembusukan rumput atau sisa tanaman pada kegiatan pengolahan tanah. Sistem pengolahan tanah dengan peralatan tradisional tajak memungkinkan lahan hanya diolah pada bagian atasnya saja kurang dari 5 cm sehingga tidak membongkar lapisan pirit yang merupakan senyawa beracun yang umum terdapat di lahan rawa pasang surut. Sisa hasil dari pengolahan tanah inilah yang keudian dibusukkan dan digunakan sebagai pupuk organik 101 bagi tanaman padi. Proses pembusukan sisa tanaman atau rumput ini biasanya berlangsung 2-3 bulan dan berjalan paralalel dengan kegiatan persemaian atau pembbibitan tanaman yang dilakukan. Pengaturan waktu tanam pada pertengahan musim penghujan Pebruari-April juga terkait dengan proses pencucian kemasaman di sawah secara alamiah oleh air hujan terutama di lahan rawa pasang surut tipe C dan D. Kegiatan gotong royong dalam penanaman padi merupakan bentuk adaptasi sistem sosial terhadap upaya percepatan waktu tanam dalam suatu petak sawah. Kegiatan gotong royong yang dikenal dengan istilah handipan atau baharian ini dulu diikuti 30-50 petani hingga bisa menyelesaikan kegiatan tanam untuk areal seluas 1-2 hektar sehari. Kini, kegiatan ini sering dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil dengan anggota 15-20 orang, dan sebagian sudah dilakukan dengan sistem upah. Dalam kegiatan tanam digunakan alat bantu yang disebut tatajuk atau tutujah. Peralatan ini membantu petani menancapkan bibit padi ke tanah agar dapat menancap kuat dan tidak rebah jika terkena arus pasang atau surut. Pemeliharaan tanaman umumnya tidak dilakukan secara intensif, karena umumnya lahan yang ditanami padi lokal tidak memerlukan penyiangan khusus di sawah. Kegiatan pembersihan lahan hanya dilakukan pada galangan atau surjan yang dilakukan sekaligus pembersihan tanaman hortikultura yang ditanam di surjan tersebut. Karena relatif tidak dilakukan pemeliharaan yang intensif sering disebut sistem pertanian padi lokal ini dengan istilah ‘tanam- buang’. Istilah ini menunjukkan bahwa setelah kegiatan tanam bisa ditinggalkan dan kembali didatangi pada saat akan panen. Istilah ini sebenarnya muncul dari strategi adaptasi yang diterapkan oleh petani setempat untuk bekerja di luar kegiatan pertanian seperti mencari kayu galam, mencari ikan, menjadi buruh bangunan atau kegiatan lainnya. Strategi ini dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga, karena mereka tahu bahwa padi lokal hanya memberikan produksi yang relatif rendah. Bagi mereka yang memiliki areal sawah luas, hal ini bukan menjadi masalah karena mereka dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dari hasil padi tersebut. Berdasarkan perhitungan petani setempat, untuk keperluan konsumsi keluarga dan memenuhi kebutuhan lainnya diperlukan sekitar 75 blek gabah perkapita pertahun sekitar 7,5 kw. Seorang petani dengan 5 anggota keluarga berarti harus memiliki 37,5 kw gabah untuk keperluan konsumsi keluarga. Untuk 102 menghasilkan produksi padi sebanyak 37,5 kw dengan produksi rata-rata 28 kwha maka kira-kira diperlukan areal sawah seluas 1,34 hektar. Petani yang tidak memiliki lahan yang cukup akan menempuh strategi menambah penghasilan keluarganya dari kegiatan lain pada sektor pertanian maupun di luar sektor pertanian. Kegiatan pemanenan padi masih banyak dilakukan dengan menggunakan ani-ani atau yang dikenal masyarakat setempat dengan nama ranggaman. Umumnya kegiatan ini dilakukan dengan sistem upah atau bagi hasil dan sangat jarang dilakukan secara bergotong royong. Semakin luas areal panen, petani akan memanfaatkan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga upahan. Kesulitan untuk mencari tenaga kerja ini merupakan salah satu pendorong petani merubah cara panen dengan menggunakan sabit yang dikombinasikan dengan mesin perontok. Padahal sebelumnya, penggunaan sabit dan mesin perontok ini kurang diminati petani dengan alasan proses masaknya butiran padi tidak merata dan beras yang dihasilkan berkualitas kurang baik. Seiring dengan penyempurnaan yang mereka lakukan sendiri terhadap mesin perontok tersebut mengatur kecepatan putaran agar tidak terlalu cepat kini mulai banyak petani yang menggunakan peralatan tersebut. Biaya yang harus dikeluarkan untuk memanen padi antara menggunakan ranggaman dan dirontok dengan kaki diirik dibandingkan dengan penggunaan sabit dan mesin perontok relatif sama. Untuk kegiatan pembersihan padi yakni memisahkan gabah yang bernas dengan gabah yang berisi digunakan alat yang disebut gumbaan. Prinsip kerja alat ini adalah dengan menggunakan kipas berputar diarahkan ke corong tempat menjatuhkan gabah tersebut. Gabah-gabah ini akan terpisah dan ditampung pada bagian yang berbeda, yakni gabah yang bernas, gabah yang masih tercampur antara bernas dan hampa serta kotoran dan gabah hampa yang keluar pada bagian ujung alat ini. Sebelum dibersihkan, gabah-gabah yang telah dirontok ini dijemur pada sinar matahari selama 2-3 hari, kemudian dibersihkan dengan alat gumbaan tersebut. Setelah bersih, gabah ini dijemur kembali selama 1-2 hari hingga kering dan disimpan di tempat penyimpanan. Sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut ini secara skematis dapat dilihat pada Gambar 6 berikut. 103 Pembibitan Pengolahan tanah Penanaman Pertumbuhan tanaman Pemanenan Pascapanen Gambar 6 Sistem budidaya padi lokal di lahan rawa pasang surut. 104 Penyimpanan padi atau gabah ini ada yang menggunakan karung- karung bekas pupuk maupun dengan membuat bangunan lumbung yang dialasi dengan tikar purun. Tikar purun ini merupakan hasil kerajinan masyarakat setempat yang biasanya dianyam oleh kaum wanita ibu-ibu dan remaja putri. Selain untuk alas lumbung, tikar purun ini juga digunakan untuk menjemur padi. Gabah-gabah yang disimpan tersebut dapat bertahan hingga tahun berikutnya, bahkan lebih. Lumbung tempat penyimpanan padi ini biasanya dibangun dekat rumah dengan konstruksi khusus untuk menghindari dari gangguan tikus maupun kejahatan pencurian. VI PENGETAHUAN LOKAL PETANI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

6.1 Bentuk dan makna pengetahuan lokal