Proses Penanaman Padi Budidaya Padi Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut

87 tergantung dengan kondisi air di persawahan, saat memulai persemaian dan umur tanaman varietas berumur pendek atau banih ringan dan varietas berumur panjang atau banih barat. Implikasi dari pemilihan cara persemaian dengan dua tahapan adalah diperlukan jumlah benih yang lebih banyak dibandingkan dengan proses persemaian dengan tiga tahapan. Hal ini karena bibit yang dihasilkan dari persemaian dua tahapan lebih sedikit, tetapi waktu pelaksanaannya menjadi lebih singkat. Secara diagram proses persemaian hingga panen padi lokal dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. B u l a n Tipe lahan 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tipe A Tipe B,C, D Keterangan : - Tahapan persemaian di tipe A : 1 palai ; 2 lacak; 3 tangkar anak - Tahapan persemaian di tipe B, C, dan D : + Tiga tahap : 1 taradaktugal; 2 ampaklambak; 3 lacak + Dua tahap : 1 taradaktugal; 2 lacak Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009 Gambar 4 Proses dan waktu persemaian hingga panen padi di lahan rawa pasang surut.

5.2.5 Proses Penanaman Padi

Kegiatan penanaman padi biasanya dilakukan pada akhir Pebruari atau awal Maret, dan dapat berlangsung hingga bulan April. Masa pertanaman ini biasanya berlangsung lama dan memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak, diperlukan sekitar 15-20 hari kerja orang HKO untuk menyelesaikan areal pertanaman padi seluas satu hektar. Kegiatan pertanaman padi sawah ini terdiri atas dua kegiatan utama, yakni proses pencabutan dan penyiapan bibit dan proses penanamannya. PERTANAMAN PERTANAMAN PERTANAMAN Panen Panen Panen 88 Bibit dari lokasi persemaian lacak dicabut dengan menggunakan alat parang, dipangkas batang dan daun bagian atas serta bagian akarnya untuk mempermudah penanaman. Biasanya satu orang yang bertugas mencabut bibit dapat melayani 5-6 orang penanam. Kegiatan penanaman umumnya dilakukan secara berkelompok, baik dalam jumlah kecil kurang dari 10 orang maupun dalam kelompok-kelompok besar lebih dari 10 orang hingga 40 orang. Panjang bibit biasanya disesuaikan dengan ketinggian air di sawah, dan umumnya berkisar antara 25-35 cm. Penanaman bibit padi ini menggunakan alat yang disebut tatajuk atau tutujah untuk mempermudah menancapkan bibit padi ke tanah. Jarak tanam yang digunakan umumnya lebih jarang dibandingkan dengan pertanaman padi unggul, yakni 25x25 cm hingga 35x35 cm. Ukuran jarak tanam ini disesuaikan dengan kondisi lahan, terutama kesuburan tanahnya serta jenis varietas lokal yang digunakan dengan jumlah 1-2 bibit perrumpun tanam. Di daerah-daerah yang relatif subut dan berlumpur serta air pasang surut berlangsung lancar, seperti di tipe A umumnya digunakan jarak tanam yang relatif jarang, sekitar 30x30 cm atau 35x35 cm. Begitu juga halnya dengan jenis varietas yang berbatang tinggi dan berumur relatif panjang banih barat seperti jenis Bayar dan Datu juga menggunakan jarak tanam yang relatif jarang, hingga 35x35 cm. Dalam kehidupan sosial masyarakat, dikenal istilah gotong royong untuk kegiatan pertanaman yang disebut handipan atau baharian. Kegiatan ini pada dasarnya berupa pertukaran tenaga kerja antara anggota yang terlibat. Setiap orang yang ikut dalam kegiatan tersebut berhak menggunakan tenaga kerja anggota gotong royong tersebut secara bergantian. Aturan dan urutan dalam pelaksanaannya dilakukan secara musyawarah antar anggota kelompok tersebut. Seiring dengan perkembangan waktu, kegiatan gotong royong dengan anggota yang besar sudah mulai berkurang dilakukan masyarakat. Berdasarkan penuturan masyarakat dalam diskusi kelompok di lahan rawa pasang surut tipe A, mulai berkurangnya kegiatan gotong royong dalam kegiatan tanam ini salah satunya karena pertimbangan harus segera dilakukannya tanam, bibit yang sudah tua, areal lahan terletak di daerah agak tinggi serta digunakannya padi berumur relatif pendek banih ringan. Selain itu, untuk kegiatan tanam ini, banyak tersedia tenaga upahan, baik yang berasal dari desa itu sendiri, desa sekitar terutama desa eks transmigrasi seperti Desa Wonorejo dan Desa 89 Beringin Kencana maupun dari daerah lain Kabupaten Banjar dan Banjarmasin. Pertimbangan penggunaan tenaga kerja upahan ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa cara ini lebih praktis, waktu tanam dapat disesuaikan dengan kondisi bibit dan lahan. Upah untuk kegiatan tanam ini berkisar antara Rp 20.000,- hingga Rp 25.000,- per borong 1 hektar = 35 borong atau Rp 15.000,- per orang untuk kerja setengah hari. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap kondisi ini karena umumnya petani memiliki lahan sawah tidak dalam satu hamparan tipe lahan. Petani di lahan rawa pasang surut tipe A ada yang memiliki sawah seluas tiga hektar, tetapi terpencar dalam 11 tempat, walaupun masih dalam desa yang sama. Kondisi lahan persawahan yang terpencar-pencar ini di satu sisi menjadi salah satu alasan petani yang bersangkutan tidak ikut kegiatan gotong royong handipan. Hal ini karena dengan kondisi lahan yang beragam di daerah tinggi hingga rendah petani tersebut dapat mengatur waktu tanam pada sawahnya, sehingga lahan seluas tiga hektar tersebut dapat ditanami dengan tenaga kerja dalam keluarga sendiri isteri beserta anaknya. Kegiatan gotong royong atau handipan saat ini lebih banyak yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil 6-10 orang antar petani petani yang sawahnya berdekatan atau dalam satu handil saluran air. Secara sosial kelompok-kelompok gotong royong ini umumnya masih memiliki ikatan keluarga, sehingga pengaturannya dapat lebih mengakomodir kebutuhan masing-masing anggotanya, terutama untuk menentukan kapan mulai dilakukan dan siapa yang mendapat giliran pertama dan seterusnya hingga terakhir. Walaupun bukan merupakan kelompok formal seperti kelompok tani, kelompok dalam handil ini secara sosial memiliki ikatan yang kuat untuk menggalang kebersamaan dalam berusahatani. Dalam kegiatan tanam ini, kaum wanita biasanya lebih mendominasi dibandingkan dengan pria, bahkan hasil kerjanya relatif dianggap lebih baik dibandingkan dengan pria. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, kegiatan tanam tidak bisa dilakukan setiap saat, hanya dilakukan pada saat pasang kecil. Selain itu kegiatan tanam ini umumnya hanya bisa dilakukan setengah hari, yakni pada saat air surut. Hal ini dikemukakan oleh Utr 54 th, seorang petani di Tabunganen: 90 “Urang bagawian di sini kawa satangah hari haja pas waktu banyu pandit, amun banyu pasang kada kawa lagi batanam. Makanya lamun dihitung harinya bisa talawas pada di lain.” [ Petani di wilayah ini bekerjanya hanya setengah hari saja, yakni pada saat air surut, jika air pasang tidak bisa lagi melakukan penanaman. Oleh karena itu jika diperhitungkan jumlah hari kerjanya lebih lama dibandingkan dengan wilayah lainnya ] Kondisi pasang surut inilah yang turut berperan mengatur ritme dan mekanisme kegiatan pertanian padi di lahan rawa pasang surut tipe A, sehingga bukan hanya kegiatan tanam saja yang hanya dapat dilakukan selama setengah hari, tetapi juga kegiatan seperti pengendalian hama dan pemupukan.

5.2.6 Pemeliharaan tanaman