17 lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman
mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur. Kadang-kadang persepsi tentang pengetahuan lokal ini berbeda dengan orang luar di luar komunitas
bersangkutan. Menurut Geertz 2003, bahasa sebagai sistem simbol dan dialektika diperlukan untuk memahami tentang pengetahuan lokal ini karena
pengertian ‘benar’ dan ‘salah’ haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang ‘benar’ dan apa yang disebut ‘salah’ dalam konteks
komunitas lokal. Senada dengan hal tersebut Warren dan Rajasekaran 1993, menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan sesuatu yang unik yang
terdapat dalam suatu kultur atau masyarakat. Dalam konteks antropologi, Wahyu 2007 menggunakan konsep
kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai
hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan
pengetahuan baru. Dengan kata lain, merupakan pengetahuan lokal yang unik, berasal dari budaya masyarakat setempat serta menjadi dasar pengambilan
keputusan pada tingkat lokal dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan lokal
meliputi tradisi-tradisi dan praktik-praktik sudah berlangsung lama dan berkembang di wilayah tertentu, asli berasal dari tempat tersebut atau
masyarakat-masyarakat lokal yang terwujud dalam kebijaksanaan, pengetahuan, dan pembelajaran masyarakat. Dalam banyak hal pengetahuan
lokal ini disampaikan antar generasi secara lisan dari orang ke orang dan dapat berbentuk kisah-kisah, legenda-legenda, dongeng-dongeng, upacara agama,
lagu-lagu, dan bahkan hukum.
2.3.2 Perkembangan Pengetahuan Lokal
Sifat dinamis pengetahuan lokal yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya membuat pengetahuan lokal dapat berkembang dan
eksis dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut Sundar 2005, pengetahuan lokal bukan merupakan entitas abadi dan stagnan, tetapi
mengalami perubahan sesuai dengan kondisi-kondisi material pengetahuan tersebut, perubahan lingkungan di mana mereka berada dan bagaimana mereka
menempatkan penggunaannya. Oleh karena itulah Nababan 1995 menyatakan
18 bahwa pengetahuan masyarakat tentang lingkungan lokalnya berkembang dari
pengalaman sehari-hari. Berdasarkan sistem pengetahuan lokal ini, kebudayaan mereka beradaptasi dan berkembang dalam menjawab berbagai
persoalan-persoalan yang dihadapi. Kedalaman penghayatan masyarakat tradisional terhadap prinsip-prinsip konservasi alam tercermin dari sistem
budaya dan sosial mereka yang memiliki rasa hormat kepada alam sehingga menjadi bagian darinya. Prinsip ini juga tercermin dalam perangkat sistem
pengetahuan dan daya adaptasi penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi alam serta nilai distribusi dan pengalokasian hasil alam yang menjamin
kepuasan kepada semua pihak tanpa berlebihan. Melalui sifat dinamis dari pengetahuan lokal ini, masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan di dalam lingkungan mereka dan menyerap dan mengasimilasi gagasan-gagasan dari bermacam sumber yang berbeda.
Pengetahuan lokal berkembang dari kemampuan masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti pandangan teori koevolusi
coevolution yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah
dan umat manusia. Teori koevolusi menunjukkan bagaimana sistem sosial terutama sistem pengetahuan, dan ekosistem saling berhubungan, dan
bagaimana mereka mempengaruhi satu sama lain FAO 2004. Terkait dengan koevolusi antara sistem sosial dan ekosistem dari pertanian tradisional ke arah
pertanian modern digambarkan oleh Marten 2001 sebagai perubahan bersama changing together kedua sub sistem tersebut dalam menanggapi proses
modernisasi. Perubahan dalam sistem sosial, terutama pengetahuan lokal masyarakat terjadi sebagai tanggapan atas perubahan pada sistem pertanian,
seperti perubahan dari sistem pertanian polikultur menjadi monokultur, skala usaha dan orientasi produksi, mekanisasi, serta pandangan tentang dunia
pertanian sebagai sebuah bisnis agribisnis. Pengetahuan lokal yang dimiliki petani bersifat dinamis, karena itu dapat
dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian para ilmuwan, penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani
dari wilayah lain, dan berbagai informasi melalui media masa. Meskipun berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, tetapi tidak semua
diterima, diadopsi dan dipraktikkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan di mana ia tinggal dan bercocok tanam, petani
19 memiliki kearifan
farmer wisdom tertentu dalam mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan
teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat Mulyoutami dkk. 2007
Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Dinamisasi
pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal Mulyoutami dkk.
2007. Banyak praktik sistem pertanian lokal yang dapat memberikan ide potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara lestari.
Petani mengembangkan pengetahuan baru dari pengetahuan dasar yang sudah mereka miliki ditambah dengan masukan eksternal. Apabila ada inovasi baru
yang diperkenalkan kepada petani, maka mereka akan melakukan serangkaian penelitian sederhana untuk menguji efektivitas dan manfaat dari inovasi baru
tersebut. Berdasarkan uji-coba yang mereka lakukan, kemudian mereka membuat keputusan apakah akan menerapkan inovasi baru tersebut atau tidak.
Jika hasilnya seperti yang mereka harapkan maka mereka akan mengadopsi pengetahuan tersebut. Untuk memantapkan keberlanjutan pengembangan
pengetahuannya, masyarakat dapat menyerap pengetahuan luar, memahaminya, dan menginterpretasikannya serta menyesuaikan dengan
kebutuhan lokal dan selanjutnya menghasilkan pengetahuan lokal yang bersesuaian dengan hal tersebut. Oleh karena itu menurut Hans-Dieter Evers
dan Gerke 2003, dalam interaksi dengan pengetahuan luar maka akan terjadi penyesuaian dengan persyaratan-persyaratan lokal sehingga menjadi suatu
pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat. Proses ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis dan selalu mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu. Di sisi lain, sistem dan kelembagaan sosial dalam kehidupan masyarakat
sangat menentukan perkembangan pengetahuan lokal terutama sebagai perwujudan dan eksistensi pengetahuian lokal tersebut dalam kehidupan
masyarakat. Menurut Yurisetou 2003, kelembagaan lokal ternyata dapat menjembatani semua kepentingan dalam kehidupan masyarakat lokal. Bahkan
peran pengetahuan lokal menjadi lebih efektif jika terdapat kerjasama dari berbagai pihak yang memberi penguatan terhadap peran lembaga adat. Hal ini
ditunjukkan oleh Azhari 2006, di mana lembaga ’Tuah Bano Safakat” di
20 Kabupaten Simeulue sebagai sebuah organisasi lokal berfungsi sebagai
pengatur masalah pertanian dan mediator antara petani dengan pemerintah untuk mengangkat permasalahan lokal dalam kebijakan pembangunan daerah.
Hal ini bertujuan agar pembangunan pertanian yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi daerah.
Adanya mekanisme kerja yang tumpang tindih antara sistem dan kelembagaan sosial lokal dengan kelembagaan sosial modern, misalnya antara
sistem pemerintahan desa dengan pemerintahan adat dapat menyebabkan terjadinya konflik. Menurut Achadiyat 1995, konflik ini dapat dihindarkan
melalui penggabungan subsistem-subsistem dalam masyarakat ke dalam suatu kesatuan yang utuh
crafting institutions, yaitu menjalin hubungan sosial menjadi satuan yang utuh. Upaya-upaya ini dapat berupa penggabungan
institusi-institusi lokal dengan institusi-institusi yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Senada dengan hal tersebut, Kusumaatmadja 1995 menyatakan
bahwa untuk menjembatani agar pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat berfungsi dalam kehidupan modern salah satunya dengan membuat padanan
organisasi-organisasi adat dengan organisasi modern. 2.3.3 Kendala Pengembangan Pengetahuan Lokal
Ketika munculnya dikotomi antara tradisional dengan modern, maka sebenarnya terdapat pandangan yang berbeda mengenai alam. Bagi
masyarakat tradisional umumnya mereka menganut pikiran harmoni dengan alam sekitar, sedangkan masyarakat modern dibentuk oleh jalan pikiran yang
menyatakan bahwa manusia mempunyai hak untuk memanipulasikan dan mengubah alam. Sistem pengetahuan lokal sebagai bagian dalam kehidupan
masyarakat tradisional sering diabaikan atau dianggap jelek oleh agen perubahan yang mengintrodusir inovasi. Kepercayaan yang kuat terhadap
keuntungan relatif dari ide baru sering membimbing para teknokrat untuk berasumsi bahwa dalam kenyataan praktis mereka dapat menanggulangi untuk
mengatasi berbagai kekurangan tersebut. Padahal dalam kenyataannya berbagai inovasi tersebut diambil atau diperoleh dari praktik-praktik dalam
kehidupan masyarakat tradisional Rogers 2003. Adanya anggapan yang membedakan secara dikotomi antara
pengetahuan lokal dengan sains karena adanya beberapa perbedaan
21 karakteristik dasar antar kedua jenis pengetahuan tersebut. Agrawal 1995
melihat perbedaan ini baik dari aspek substansi, metodologis dan kontekstual. Secara substansi pengetahuan lokal dalam kehidupan masyarakat sangat
terkait dengan adaptasi mereka untuk hidup berinteraksi dengan alam dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan sains lebih menekankan pada
konstruksi dan eksplanasi atas fenomena yang terjadi secara global. Secara metodologis jelas tergambar bahwa pengetahuan lokal berkembang melalui
pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam sehingga lebih banyak menggunakan cara
trial and error dan tidak berdasarkan logika deduktif, lebih holistik daripada analitis, nonsistematis, dan relatif tertutup. Sains justru
sebaliknya diperoleh melalui kerangka ilmiah yang objektif analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian
rigorus sebelumnya, sistematis, dan terbuka. Secara kontekstual pengetahuan lokal sangat terkait dengan kondisi
lingkungan sosial biofisik dengan konteks spesifik lokal, sedangkan sains atau sains lebih menekankan pada pengetahuan global dengan batasan-batasan
epistemologi dalam mencapai validitasnya secara universal. Pengaruh luar terhadap masyarakat tradisional di Indonesia mencapai
puncaknya ketika bangsa Indonesia menerapkan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Dove 1985, pembangunan
di Indonesia diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan dibutuhkan sehingga apa saja yang dianggap kuno dan tidak mengalami perubahan dengan
sendirinya dianggap sebagai keterbelakangan, termasuk kebudayaan tradisional yang dipandang sebagai penghalang proses pembangunan. Pada konteks ini
pembangunan diartikan sebagai modernisasi, sehingga semua yang tradisional harus disingkirkan Padahal menurut Dove 1985, budaya tradisional tidak
harus ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan atau modernisasi, tetapi dalam batas-batas tertentu dapat berperan positif untuk mendorong
terjadinya laju modernisasi di dalam kehidupan masyarakat Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan terutama pembangunan
pedesaan, Narwoko dan Suyanto 2006, menyatakan bahwa kebijaksanaan pembangunan yang lahir dan serba dikendalikan oleh negara, bukan cuma
menelikung pranata-pranata komunitas desa yang tradisional, tetapi dalam banyak kasus juga makin menambah beban kemelaratan golongan miskin desa
dan mengakibatkan merebaknya polarisasi sosial di kalangan masyarakat desa. Demi efisiensi, stabilitas, dan ketertiban adminsitrasi, modernisasi dan kegiatan
22 pembangunan yang serba sama dan tersentralistik mungkin benar diperlukan
untuk mendukung kelancaran tugas birokrasi. Namun campur tangan negara yang cenderung otoriter dan bersifat sangat sentralistis dalam pelaksanaan
kebijaksanaan dikhawatirkan di saat yang bersamaan juga akan melahirkan berbagai masalah. Upaya penyeragaman kegiatan pembangunan nasional yang
melalaikan eksistensi adat istiadat, kepercayaan, dan budaya lokal cenderung akan menimbulkan ketegangan daripada kelancaran pelaksanaannya. Bahkan
menurut Sundar 2005, pengetahuan mereka akan terpinggirkan oleh retorika pembangunan melalui proses sosial ekonomi.
Perspektif klasik pembangunan yang mendasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan hanya akan berlangsung kalau masyarakat desa dipenetrasi dari
luar, yaitu dari kota, sektor industri atau dari sektor modern lainnya Maliki 1999. Pembangunan atau modernisasi dalam hal ini dilihat sebagai proses yang
berasal dari luar, yakni dari kota atau sektor modern. Desa digambarkan sebagai kelompok tradisional sehingga dengan demikian ditempatkan sebagai
pihak yang harus menerima kekuatan perubahan. Masyarakat desa secara konstan ditempatkan sebagai masyarakat statik, marginal dan didominasi oleh
kekuatan negara. Oleh karena itu dalam pandangan Fakih 1995, proses bagaimana modernisasi berhadapan dengan tradisi adalah proses penjinakan
dan dominasi. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan dalam konteks modernisasi melahirkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi ternyata
juga disertai berbagai persoalan kesenjangan bagi masyarakat di pedesaan. Keberhasilan modernisasi pertanian ternyata tidak banyak dinikmati oleh
masyarakat petani di pedesaan, melainkan justru dinikmati oleh mereka yang terlibat proyek industrialisasi substitusi impor Maliki 1999. Bahkan dalam
perkembangannya tidak mengubah bargaining position para petani, baik secara
ekonomi maupun politik dan petani tetap saja diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, tidak siap menerima inovasi.
Kendala yang dihadapi dalam perkembangan pengetahuan lokal juga karena terjadinya pemaksaan kepentingan para elit penguasa terhadap
kelembagaan yang tumbuh dalam masyarakat petani. Menurut Gany 2002, kehadiran lembaga dan pranata formal yang sebenarnya dimaksudkan untuk
membantu mereka, justru akan menumbuhkan dualisme format kelembagaan, tidak jarang saling bertentangan. Oleh karena itu akibat pendekatan dan
intervensi yang arusnya lebih banyak dari atas, inisitatif petani justru mengalami
23 pemarjinalan. Bahkan Shiva 1997 menyatakan bahwa pengembangan sains di
bidang pertanian melalui pembangunan pertanian dengan teknologi modern ternyata bukan hanya mengikis pengetahuan lokal masyarakat tetapi juga
memarginalkan kaum perempuan. Hal ini sejalan dengan pandangan Giddens 2003, yang menyatakan bahwa modernitas dapat menghancurkan tradisi.
Menurut Nababan 1995, disintegrasi sosial dan budaya lokal merupakan masalah yang umum ditemukan sebagai akibat pemaksaan nilai-nilai
baru dari luar yang sudah berlangsung lama. Masuknya sistem pemerintahan yang baru di tingkat desa dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa
semakin menjauhkan masyarakat dari adatnya. Hukum adat yang dulu sangat efektif mengatur penggunaan sumberdaya alam untuk kepentingan serta
menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat menjadi kehilangan kekuatannya. Sementara itu, sistem dan peraturan-peraturan baru dari
pemerintah belum bisa diterima dan ditegakkan dengan efektif. Terkait dengan kendala yang dihadapi pengetahuan lokal dalam
menghadapi modernisasi dan globalisasi, Blaike 1992 menyebutkan lima keadaan atau goncangan yang sangat menantang dalam penggunaan dan
pemeliharaan pengetahuan lokal: a wilayah dengan pertumbuhan penduduk tinggi dan diiringi dengan penurunan sumberdayanya akibat tekanan eksternal
memerlukan adaptasi khusus teknologi pertanian baru untuk meningkatkan produksi dan keanekaragaman pencarian nafkah; b pada keadaan di mana
terjadi perpindahan penduduk yang cepat, dapat menyebabkan struktur sosial ekonomi yang membentuk pengetahuan lokal tidak sesuai dengan kondisi
lingkungan yang baru; c pada keadaan di mana bencana dan kejadian ekstrim lainnya yang secara material dan budaya menghilangkan pengetahuan lokal
karena banyak orang yang memiliki pengetahuan lokal meninggal; d adanya proses-proses yang secara perlahan bergerak merubah lingkungan seperti
perubahan iklim, meluasnya deforestrasi, dan degradasi lahan yang menantang daya lentur dan kemampuan adaptasi pengetahuan lokal; dan e
tekanan ekonomi dan komersialisasi yang berlangsung cepat dapat merusak pengetahuan lokal
2.3.4 Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Sains