106 Bagi masyarakat berbagai pengetahuan yang mereka miliki dalam
pengelolaan lahan rawa pasang surut merupakan modal utama untuk mampu mengembangkan sistem pertanian di lahan rawa pasang surut. Petani yang
‘ahli’ adalah mereka yang mampu menangkap dan membaca gejala dan tanda- tanda alam dan mengimplementasikannya dalam kegiatan pertanian.
Pengetahuan tentang ‘perilaku alam’ di lahan rawa pasang surut diperoleh melalui pengalaman dan pemahaman dalam berinteraksi dan mengelola lahan
tersebut untuk kegiatan pertanian. Oleh karena itulah, pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut mengandung makna sebagai perwujudan
hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia dengan alam. Bebagai bentuk selamatan dan pantangan dalam praktik-praktik pertanian
di lahan rawa pasang surut merupakan implementasi dari ungkapan terima kasih mereka terhadap alam sebagai anugrah yang Maha Kuasa yang harus
dipelihara dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan lokal ini ternyata tidak hanya berfungsi sebagai basis
dalam praktik-praktik pertanian saja tetapi mencakup aspek-aspek kehidupan sosial yang lebih luas lagi. Pengetahuan lokal dalam kehidupan sosial
masyarakat juga terkait dengan status dan peranan petani dalam sistem sosialnya. Hal ini karena pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak dimiliki
merata pada setiap orang dalam suatu masyarakat. Misalnya, salah satu pertimbangan dalam memilih atau menunjuk
kepala padang adalah karena ia memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang kondisi lingkungan
setempat. Ini berarti bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam konteks pengelolan lahan rawa pasang surut tidak hanya mengandung makna
sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja, tetapi sekaligus sebagai penentu dalam kehidupan sosial.
6.1.1 Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi
Padi bagi masyarakat petani di lahan rawa pasang surut bukan hanya sebagai komoditas ekonomis semata, tetapi lebih dari itu karena tanaman padi
juga merupakan komoditas sosial. Oleh karena itu sistem budidaya padi yang dikembangkan bukan semata-mata menyangkut aspek produksi saja tetapi juga
menyangkut eksistensinya sebagai komoditas sosial budaya. Padi yang ditanam dan dikembangkan di lahan rawa pasang surut umumnya adalah
107 varietas lokal dan telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan spesifik
setempat. Pemilihan varietas yang mana yang akan ditanam sangat tergantung
pada faktor kondisi kesuburan lahan, tipe luapan lahan, harga jual, rasa nasi, serta pertimbangan sesama petani di lahan yang berdekatan. Berdasarkan
pengalaman yang mereka peroleh selama ini, jenis banih barat berumur
panjang umumnya tumbuh baik pada areal lahan yang selalu terluapi dengan pasang surut air, yakni di lahan rawa pasang surut tipe A. Jenis ini harus
ditanam lebih cepat dibanding dengan jenis varietas lainnya jenis banih ringan,
paling tidak masa tanam harus sudah berakhir pada Akhir Maret atau awal April. Jika terlambat melakukan penanaman, dapat berakibat gagal panen akibat
masuknya air asin pada awal kemarau bulan Juni dimana tanaman belum memasuki fase pengisian buah. Tetapi jika fase pengisian buah ini sudah
dilewati, masuknya air asin ke sawah pada saat pasang tidak berpengaruh terhadap produksi padi.
Kondisi seperti di atas berimplikasi terhadap strategi penentuan luas dan lokasi sawah yang diusahakan. Terkait dengan luas garapan dan kepemilikan
lahan, petani di wilayah ini umumnya mengusahakan lahan yang luas, rata-rata dua hektar serta tersebarterpencar pada berbagai tempat dari lahan rawa
pasang surut tipe A hingga peralihan A ke B. Dengan kata lain, lokasi lahan yang diusahakan terdapat di daerah rendah dan daerah agak tinggi. Lahan-
lahan yang berada di daerah yang agak tinggi tinggi umumnya ditanami dengan varietas padi lokal dari kelompok
banih ringan untuk menghindari kegagalan akibat kemarau yang datang lebih awal. Sebaliknya lahan-lahan yang berada di
daerah rendah dapat dilakukan penanaman lebih belakangan. Oleh karena itu pengetahuan tentang sifat dan karakteristik dari masing-masing varietas padi
lokal ini mutlak harus diketahui oleh petani setempat. Begitu juga halnya dengan petani di wilayah pasang surut tipe C dan D,
dimana air pasang tidak selancar di tipe A, curah hujan dan kondisi iklim sangat menentukan keberhasilan usaha tani padi. Pengetahuan masyarakat tentang
iklim dan penentuan musim hujan atau kemarau lebih berkembang dibandingkan dengan petani di tipe A atau B. Penentuan awal tanam dengan
mempertimbangkan kedudukan bintang-bintang di langit petani setempat menyebutnya sebagai bintang
karantika dan baur bilah merupakan pengetahuan yang diyakini mampu meramalkan kondisi kemarau atau
108 penghujan dengan akurasi yang cukup tinggi. Melalui pengetahuan tentang
kedudukan ini para petani dapat memperhitungkan apakah masa tanam dapat dilakukan lebih lama atau harus segera diselesaikan lebih cepat. Ketidaktepatan
atau perhitungan yang keliru dapat meningkatkan risiko kegagalan panen akibat kekeringan atau kebanjiran. Menurut Idak 1982, pengetahuan tentang musim
inilah yang memungkinkan petani setempat dapat memanfaatkan berbagai jenis sawah untuk mengembangkan budidaya tanaman padi.
Pengetahuan-pengetahuan petani
menyangkut kondisi iklim dan gerakan pasang surut air juga penting untuk menentukan waktu kegiatan penyemaian
bibit. Bagi petani di lahan rawa pasang suru tipe A, waktu penyemaian bibit tahap pertama yang disebut
palai harus dilakukan pada saat pasang kecil terjadi, agar lahan yang digunakan untuk persemaian tersebut tidak terendam air
pasang. Dengan demikian, ketika waktu pasang besar mulai datang, umur persemaian sudah mencapai 7 hari dan siap dipindahkan ke tahap berikutnya
tahap lacak. Begitu juga halnya dengan petani di lahan rawa pasang surut tipe
B, C dan D, selain pengetahuan tentang peredaran bulan dan hubungannya dengan pasang surut air, juga menyangkut peredaran bintang dan hubungannya
dengan musim yang akan terjadi. Khusus di lahan rawa pasang surut tipe C dan D jika diprakirakan terjadi masa kemarau yang agak panjang, maka kegiatan
pembibitan dilakukan lebih cepat awal Oktober serta dengan melakukan pembibitan dengan dua tahapan saja tahapan
taradak dan tahapan lacak. Kondisi-kondisi di atas seperti gerakan pasang surut air yang terjadi
setiap hari di tipe A, ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi iklim di lahan rawa pasang surut tipe C, dan D berimplikasi dalam sistem sosial kehidupan
petani. Gerakan air pasang dan surut yang terjadi setiap hari di lahan rawa pasang surut tipe A tidak memungkinkan kegiatan di sawah dilakukan satu hari
penuh, tetapi hanya sekitar setengah hari. Oleh karena itu kelembagaan ekonomi terutama sistem upah yang dilakukan di daerah ini diperhitungkan
setengah hari saja. Fenomena terjadinya pasang besar yang terjadi dua kali dalam setiap bulan juga membatasi aktivitas-aktivitas dalam usahatani padi di
sawah. Kegiatan gotong royong juga tidak setiap saat memungkinkan untuk dilakukan karena kendala genangan air yang dalam pada saat pasang. Faktor
inilah yang juga menjadi penyebab mengapa kegiatan gotong royong penanaman padi
handipan di tipe A hanya dalam kelompok-kelompok kecil, sekitar 10 orang.
109 Perhitungan tentang musim ini juga mendorong petani melakukan
aktivitas persemaian secara serentak sehingga nilia-nilai kebersamaan dalam kegiatan pertanian padi dapat lebih terjalin. Kegiatan-kegiatan selamatan yang
mengawali penyemaian padi ini masih sering dilakukan karena mereka yakin bahwa keberhasilan penanaman ini sangat ditentukan oleh kondisi musim dan
iklim yang datang dari Tuhan semesta alam. Bagi petani setempat acara selamatan diyakini dapat menghindarkan mereka dari bencana dan kegagalan
baik oleh faktor iklim maupun gangguan hama tanaman. Tokoh masyarakat yang berperan dalam kegiatan ini dahulu adalah
kepala handil, tetapi seiring dengan memudarnya peranan kelembagaan
handil maka guru agama atau ulama menjadi tokoh dalam upacara selamatan ini. Secara skematis keterkaitan
pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut seperti
Gambar 7 berikut.
Gambar 7 Pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa
pasang surut Peredaran
kedudukan bintang di langit
Kedudukan bulan terhadap bumi
Posisi bintang karantika dan
haurbilah Bulan purnama dan
bulan sabit
Gerakan pasang surut air
Kondisi iklim musim kemarau
atau penghujan
Penentuan waktu semai, jenis varietas padi, sistem semai,
masa tanam
Kelembagaan upah kerja, Organisasi
sosial, Nilai dan Norma
110
6.1.2 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan