Pemanenan Budidaya Padi Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut

92 Kegiatan pemeliharaan tanaman padi umumnya banyak dilakukan oleh kaum perempuan, terutama untuk kegiatan pembersihan galangan atau bedengan. Untuk kegiatan pengendalian hama dan penyakit tanaman, pemberian kapur dan pupuk maupun penyemprotan herbisida umumnya dilakukan oleh laki-laki. Kegiatan pemeliharaan hanya dilakukan pada waktu- waktu tertentu saja, selebihnya digunakan untuk kegiatan lain baik di sektor pertanian maupun di luar sektor pertanian. Khusus kaum perempuan, kalau tidak ada kegiatan di sawah, sebagian dari mereka memanfaatkan dengan membuat kerajinan anyaman dari daun Purun Lepironia mucronata terutama tikar. Tikar atau alas dari daun purun ini selain untuk keperluan sendiri yang digunakan pada saat menjemur padi, juga dapat dijual kepada petani lainnya.

5.2.7 Pemanenan

Kegiatan panen tanaman padi lokal biasanya sudah mulai dilakukan pada bulan Juli dan berlangsung hingga bulan Agustus. Kegiatan panen ini memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang banyak dan umumnya harus menggunakan tenaga kerja upahan. Tenaga kerja upahan ini baik yang berasal dari desa setempat maupun dari luar desa atau bahkan dari luar kabupaten dari daerah hulu sungai. Sebagian petani masih menggunakan ani-ani atau ranggaman untuk memanen padi dan sebagian lagi dari mereka menggunakan sabit atau arit. Pemanenan dengan menggunakan sabit lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan ani-ani, tetapi petani memiliki alasan tersendiri dalam penggunaan peralatan panen ini. Ani-ani digunakan jika dalam hamparan padi di sawah tersebut tingkat kemasakannya tidak merata, sehingga dalam memanen dapat dipilih malai yang sudah masak siap untuk dipanen. Selain itu petani yang lahannya tidak terlalu luas kurang dari satu hektar dan masih banyak terdapat tenaga upahan, mereka umumnya lebih senang menggunakan ani-ani. Penggunaan ani-ani ini juga terkait dengan proses perontokan yang akan dilakukan pada tahap selanjutnya. Karena perontokan padi masih dilakukan dengan cara manual, yakni dinjak-injak dengan kaki atau diirik maka umumnya mereka lebih senang menggunakan ani-ani dalam memanen padi. Selain itu padi yang dihasilkan diyakini lebih bersih dan tidak banyak mengandung kotoran atau potongan daun atau malai padi. 93 Penggunaan sabit atau arit untuk kegiatan pemanenan padi lokal mulai meluas penggunaannya sejak tahun 2000. Walaupun penggunaan sabit ini dapat lebih cepat dilakukan, tetapi proses perontokannya relatif lambat, terutama jika dilakukan secara manual dibanting atau diinjak dengan kaki. Oleh karena itu sebagian petani ada yang telah menggunakan mesin perontok untuk mempercepat proses pemilahan gabah dari malai atau batang padi tersebut. Keterbatasan jumlah mesin perontok di wilayah ini juga menjadi pertimbangan petani untuk memilih cara perontokan secara manual maupun pemanenan dengan ani-ani. Sebagian kecil petani yang tidak menggunakan mesin perontok beralasan bahwa penggunaan mesin perontok tersebut dapat menyebabkan beras yang dihasilkan banyak yang patah, terutama untuk padi-padi dengan bentuk butir panjang seperti jenis Siam. Perbandingan upah kerja antara menggunakan sabit dengan ani-ani tidak terlalu berbeda yakni berkisar antara Rp 4.000,- sampai Rp 5.000,- per blek hasil padi 1 blek = 20 liter. Upah panen ini sudah termasuk perontokan padi, sehingga jika menggunakan mesin perontok, pekerja panen harus mengeluarkan biaya tambahan sewa mesin sebanyak Rp 1.000,- per blek. Terkait dengan kapasitas kerja petani yang memanen ini dikemukakan oleh Tlb 64 th seorang petani di Desa Tinggiran Darat: “Lamun mangatam baranggaman, paling pakulihnya sakitar 6 balik sahari, tapi amun baharit lawan maruntuknya mamakai masin paruntuk kawa baulih sampai 15 balik sahari. Mangatam baranggaman atau baharit biasanya tasarah nang ampun pahumaan” [ Jika panen dilakukan dengan menggunakan ani-ani hasilnya hanya mencapai 6 blek per hari, tetapi jika menggunakan sabit serta dikombinasikan dengan mesin perontok hasilnya dapat mencapai 15 blek sehari. Cara panen dengan menggunakan ani-ani atau menggunakan sabit tergantung pada keinginan petani yang memiliki lahannya ] Sebelumnya sekitar sepuluh tahun yang lalu kegiatan pemanenan ini banyak menggunakan sistem bagi hasil, dimana setiap lima bagian hasil panen, pemilik padi memperoleh empat bagian sedangkan pekerja panen memperoleh satu bagian. Seiring dengan perkembangan waktu, sistem ini dianggap kurang praktis karena umumnya pekerja panen memerlukan uang dalam waktu segera untuk keperluan sehari-hari. Jika pembayaran yang diperoleh dalam bentuk padi, maka harga jual pada saat musim panen umumnya rendah dan pekerja tersebut hanya memperoleh uang relatif sedikit jika dibandingkan dengan 94 pembayaran dalam bentuk uang. Selain itu, karena sekarang banyak pekerja panen yang berasal dari luar daerah, mereka umumnya lebih menyukai pembayaran dalam bentuk uang atau sistem tebus. Tenaga kerja upahan selain memperoleh upah kerja juga mendapat minuman dan kue-kue serta makan siang. Bagi tenaga kerja panen yang didatangkan dari luar desa atau luar daerah, maka pemilik lahan juga menyediakan penginapan biasanya di rumah pemilik lahan serta makan tiga kali sehari. Kegiatan pemanenan ini dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, khusus untuk tenaga kerja upahan biasanya lebih didominasi oleh kaum perempuan. Pemanenan padi di lahan rawa pasang surut tipe A umumnya hanya bisa dilakukan setengah hari karena kondisi lahan yang berair pada saat pasang. Alat panen yang digunakanpun kebanyakan adalah ani-ani, dan hasil panen berupa malai padi dibawa ke rumah dengan menggunakan perahu atau jukung maupun perahu motor atau kelotok. Umumnya perontokan padi tidak menggunakan mesin perontok mengingat susahnya membawa mesin perontok tersebut ke areal persawahan. Padi-padi ini selanjunya dirontok dengan cara diinjak-injak atau diirik.

5.2.8 Pascapanen