53 memperoleh keuntungan berupa bunga, pinjaman ini juga merupakan bentuk
ikatan moral agar petani tersebut menjual hasil panen kepadanya. Petani telah mengenal pupuk buatan seperti Urea dan TSP sejak tahun
1983 dan meluas penggunaannya mulai tahun 1990. Begitu juga dengan kapur pertanian sudah digunakan petani sejak tahun 1985. Penggunaan pestisida
dalam kegiatan usahatani mulai digunakan pada tahun 2003. Pestisida ini hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saja karena varietas lokal umumnya tidak
banyak mengalami gangguan hama dan penyakit kecuali tikus. Penggunaan peralatan modern seperti sabit dan mesin perontok mulai meluas sejak tahun
2004.
4.3.2 Desa Sungai Tunjang
Desa Sungai Tunjang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cerbon Kabupaten Barito Kuala dengan luas wilayah 1.750 ha. Potensi areal
pertaniannya meliputi persawahan seluas 502 ha 28,7, tegalan 210 ha 12,0, pekarangan 340 ha 19,4, kebun rakyat 200 hektar 11,4, hutan
248 ha 14,2, dan lainnya 250 ha 14,3. Jumlah penduduk Desa Sungai Tunjang sebanyak 519 jiwa yang terhimpun dalam 130 KK. Sebanyak 126
keluarga 97 di wilayah ini merupakan keluarga dengan matapencaharian utama sebagai petani. Masyarakat desa ini umumnya adalah penduduk suku
Banjar 80, Bakumpai 15 dan lainnya sepeti Jawa dan Bugis 5. Komunitas masyarakat yang tinggal di wilayah ini sudah sejak lama
tinggal dan membuka lahan untuk pertanian padi. Bahkan menurut Atm 64 thn salah seorang tokoh masyarakat Desa Sungai Tunjang, lahan pertanian di
wilayah ini sudah dibuka sebelum tahun 1900. Mereka yang pertama membuka wilayah ini umumnya berasal dari rumpun etnis Banjar yang datang dari wilayah
Margasari Kabupaten Tapin dan Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Pada awalnya mereka membuka wilayah-wilayah di sekitar Sungai Barito dan
sepanjang anak sungainya hingga masuk ke daerah pedalaman. Petani di wilayah ini sekitar 85 merupakan petani pemilik penggarap,
sebanyak 5 sebagai petani penggarap, dan petani pemilik penggarap sekaligus sebagai pengarappenyewa sekitar 10. Artinya selain memiliki lahan
sendiri, ia juga menggarap atau menyewa lahan petani lainnya untuk menambah luas areal tanamnya. Faktor inilah yang juga menyebabkan seorang petani
memiliki lahan yang tersebar pada beberapa tempat.
54 Matapencaharian utama penduduk di wilayah ini adalah bercocok tanam
padi yang diusahakan satu kali setahun dengan menggunakan varietas lokal. Varietas Siam Mutiara merupakan varietas yang paling banyak ditanam petani di
wilayah ini luas tanamnya mencapai 300 ha. Varietas Siam Mutiara ini sejak tahun 2008 telah ditetapkan sebagai varietas unggul lokal. Varietas lain yang
diusahakan seperti varietas Siam Unus, Siam Sebelas, Siam Rukut, dan lainnya. Produksi rata-rata berkisar antara 2,8-3,5 tonha. Wilayah persawahan di desa
ini didominasi oleh lahan rawa pasang tipe B yang memungkinkan air masuk ke sawah hanya pada saat pasang besar. Kondisi inilah yang menjadi faktor
penting sehingga pertanian padi di wilayah ini relatif lebih baik dari wilayah lainnya wilayah tipe C dan D.
Selain menanam padi, para petani juga mengusahakan tanaman buah- buahan seperti rambutan, jeruk dan mangga. Tanaman buah-buahan ini selain
ditanam di areal pematang sawah dengan sistem tukungan, juga ditanam di
areal kebun yang tanahnya relatif tinggi. Mata pencaharian lainnya adalah mencari ikan di sungaisawah dan mencari kayu galam untuk keperluan
konstruksi bangunan. Areal tanaman galam ini semakin berkurang karena selain dibuka untuk persawahan juga untuk lokasi transmigrasi dan perkebunan
sawit. Beberapa rumah tangga petani, terutama kaum wanita juga ada yang membuat kerajinan tangan berupa tikar dari tanaman purun dalam skala rumah
tangga. Sebelum tahun 1990 desa ini hanya dapat dicapai melalui transportasi
sungai dan kendaraan roda dua. Kini setelah dibangun jalan yang melintasi desa ini, kendaraan roda empat juga sudah bisa melewati desa ini, bahkan
menjadi poros utama perhubungan dari ibukota kabupaten Marabahan dengan ibukota provinsi Banjarmasin. Keterbukaan akses transportasi darat inilah
yang membuat desa ini mengalami perkembangan yang pesat. Komoditas hasil pertanian dapat dengan mudah dipasarkan baik ke ibukota kabupaten maupun
ibukota propinsi. Walaupun demikian, pemasaran gabah yang dilakukan petani masih di desa kepada pedagang pengumpul setempat.
Teknologi pertanian modern melalui program revolusi hijau yang diintroduksi kepada petani di desa ini kurang mendapat respon positif, terutama
menyangkut penggunaan benih unggul. Bahkan hingga sekarang para petani enggan mengganti sistem pertanian yang selama ini mereka terapkan dengan
cara-cara baru yang diintroduksi melalui program pemerintah tersebut. Alasan
55 mereka tidak mau menanam varietas unggul karena harga gabahnya yang relatif
rendah dibanding varietas lokal, serta produktivitasnya yang tidak jauh berbeda dengan varietas lokal.
Walaupun demikian, respon mereka terhadap pupuk kimia sangat tinggi, dan sejak tahun 1980 penggunaan pupuk kimia seperti Urea dan TSP sudah
meluas di kalangan petani setempat. Bahkan keterlambatan dan kelangkaan pupuk kimia ini menjadi masalah utama yang mereka keluhkan dalam musim
tanam 2009 ini. Untuk penggunaan kapur pertanian sebagai salah satu bahan yang dapat mengurangi kemasaman lahan telah mereka kenal sejak tahun
2000. Sebelumnya mereka menggunakan garam untuk meningkatkan kesuburan dan mengatasi kemasaman tanah. Bahan kimia pestisida dan
herbisida juga telah dikenal di kalangan petani sejak tahun 1995 dan pada tahun 2000 telah meluas penggunaannya.
Terkait dengan mekanisasi pertanian, pada tahun 1995 wilayah ini pernah dijadikan sebagai pusat pengembangan traktor tangan
hand tractor untuk pengolahan tanah yang merupakan proyek bantuan kerjasama pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Korea. Ternyata penggunaan traktor tangan ini kurang diminati masyarakat setempat dan sejak tahun 2000 proyek ini terhenti.
Hal ini selain karena secara teknis dianggap kurang cocok dengan kondisi lahan rawa pasang surut dan merupakan biaya tambahan bagi petani. Faktor lainnya
adalah karena kurangnya tenaga terampil yang mengoperasikan dan merawatnya.
Introduksi peralatan pertanian modern lainnya seperti penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok mulai diadopsi masyarakat sejak lima tahun
terakhir. Beberapa petani masih ada yang menggunakan cara lama, yakni dengan alat ani-ani serta perontokkan dengan menggunakan kaki
diirik. Menurut petani setempat, pemilihan cara pemanenan padi ini biasanya
tergantung dengan varietas padi lokal yang akan dipanen serta perlu tidaknya mempercepat waktu panen. Mereka yang menanam varietas Siam Unus
biasanya memanennya dengan menggunakan ani-ani karena jenis padi ini mudah rontok jika disabit.
Kelembagaan petani yang ada seperti kelompok tani 5 kelompok, kelompok perikanan 1 kelompok dan gabungan kelompok tani 1 kelompok.
Kelembagaan lainnya seperti lembaga bagi hasil, sistem sewa, sistem upah, peminjaman, dan lainnya. Bagi petani yang tidak memiliki sawah dapat
56 menggarap sawah milik petani lain dengan sistem bagi hasil atau sewa. Sistem
bagi hasil yang umum berlaku di wilayah ini adalah 13 bagian untuk pemilik tanah dan 23 bagian untuk penggarap, dimana saprodi seperti benih dan pupuk
ditanggung bersama. Pada sistem sewa, penggarap dikenakan biaya sewa sebanyak 2
blek per borong sawah yang disewa dan semua sarana produksi menjadi tangungjawab penyewa lahan tersebut. Sistem upah yang berlaku
dapat diperhitungkan dengan volume yang dikerjakan atau upah per setengah hari. Di Desa Sungai Tunjang untuk kegiatan upahan hanya berlangsung
setengah hari saja dengan upah rata-rata Rp 15.000,- per setengah hari pukul 07.00 hingga pukul 12.00. Kegiatan gotong royong atau yang sering disebut
handipan biasanya dilakukan dalam kegiatan penanaman padi dan dilakukan secara bergilir untuk masing-masing pesertanya. Setiap orang yang terlibat
wajib ikut serta dalam kegiatan tersebut dan dia berhak untuk memperoleh satu hari kerja pada lahan usahataninya. Konsumsi kegiatan ini berupa makan siang,
minuman dan kue ditanggung oleh petani yang lahannya mendapat giliran untuk dikerjakan pada hari itu.
4.3.3 Desa Tinggiran Darat