134 Berbagai pengetahuan yang terbentuk akan tatap eksis selama praktik-praktik
atau sistem yang digunakan tidak mengalami perubahan. Perubahan penggunaan varietas dari lokal menjadi unggul dan
perubahan pola tanam dari satu kali menjadi dua kali setahun dalam pandangan masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A, akan membawa perubahan besar
dalam sistem pengetahuan yang selama ini mereka miliki. Hal ini karena perubahan tersebut akan berimplikasi dengan perubahan sistem sosial yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Walaupun demikian, menurut mereka pengembangan padi unggul dengan sistem pertanian modern seperti sekarang,
kecil kemungkinannya untuk diterapkan di wilayah ini. Besarnya fluktuasi air di lahan sawah pasang surut tipe 30-50 cm serta kuatnya arus pasang surut
hampir tidak memungkinkan untuk menanam bibit padi unggul di sawah tersebut. Berbeda halnya dengan kondisi di lahan rawa pasang surut tipe B, C,
dan D, dimana secara teknis budidaya padi unggul memungkinkan untuk dilakukan asalkan mampu mengatasi permasalahan tata air dan kemasaman
tanah yang tinggi. Bagi masyarakat, pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa
pasang surut merupakan bentuk penyesuaian terhadap kondisi spesifik lahan rawa pasang surut yang tegolong marginal dengan kendala utama kemasaman
tanah yang tinggi. Pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki menjadi dasar penentu dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan pertanian di lahan rawa
pasang surut. Dengan demikian, pengetahuan lokal ini merupakan salah satu kearifan masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem di lahan rawa
pasang surut. Oleh karena itu, pengelolaan yang salah atau praktik-praktik pertanian yang bersifat merusak seperti pembakaran gambut berarti
penghancuran terhadap sumber-sumber kehidupan mereka.
6.4 Pengaruh Sistem Sosial dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal
Selain kondisi biofisik di lahan rawa pasang surut, sistem sosial masyarakat juga turut menentukan peranan dan eksistensi pengetahuan lokal.
Komponen sistem sosial ini meliputi perkembangan teknologi, pertumbuhan penduduk, keberadaan organisasi sosial serta nilai dan norma yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan dan hubungan timbal balik antara sistem biofisik dan sistem sosial inilah yang menjadi faktor penentu dalam
dinamika pengetahuan lokal masyarakat di lahan rawa pasang surut. Di sisi lain,
135 dinamika pengetahuan lokal masyarakat ini juga berimpliksi terhadap
perubahan-perubahan pada sistem biofisik dan sistem sosial itu sendiri. Teknologi sebagai suatu bentuk nyata dari penerapan ilmu pengetahuan
bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Oleh karena itu ilmu pengetahuan hanya akan terbentuk dalam sebuah medium kepentingan
Habermas 1990. Perkembangan teknologi pertanian yang dintroduksi dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut merupakan faktor penting
yang mempengaruhi dinamika pengetahuan lokal masyarakat petani. Dengan basis sains di bidang pertanian, teknologi pertanian modern merasuk ke dalam
kehidupan masyarakat dan menciptakan ideologi baru sebagai suatu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Praktik-praktik pertanian yang
didasarkan atas pengetahuan lokal dianggap ketinggalan jaman sehingga tidak mampu untuk berproduksi secara efisien dan memberikan keuntungan ekonomi
yang besar. Teknologi pertanian modern yang berbasis pada efisiensi produksi merupakan ciri utama dari sistem kapitalis pada bidang pertanian.
Sistem pertanian yang diterapkan masyarakat petani di lahan rawa pasang surut selama ini masih menonjolkan aspek subsistensi yang cukup
tinggi. Pemenuhan kebutuhan pangan keluarga merupakan faktor utama dalam sistem pertanian padi, dan jika ada kelebihan produksi baru dijual untuk
keperluan hidup sehari-hari. Strategi pengembangan usahatani dengan modal minimal untuk memperoleh hasil tertentu merupakan prinsip ekonomi dasar yang
dianut petani di lahan rawa pasang surut selama ini. Teknologi sederhana yang adaptif dikembangkan untuk mendukung sistem pertanian ini merupakan produk
utama dari pengetahuan lokal masyarakat petani. Masuknya teknologi pertanian modern di bidang pertanian telah menimbulkan goncangan dalam
pengembangan pengetahuan lokal yang menjadi basis sistem pertanian yang selama ini dilakukan masyarakat.
Sistem pertanian modern dengan komponen teknologi utama pada penggunaan benih unggul dan pemakaian bahan-bahan kimia pupuk anorganik
dan pestisida bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya padi. Melalui program peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah
dari model Bimas hingga program Intensifikasi pertanian padi diarahkan pada upaya peningkatan produksi. Padahal, dalam kenyataannya sering terjadi
bahwa peningkatan produksi yang dicapai ternyata tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan petani. Hal ini dapat terjadi karena dalam sistem
136 pertanian modern diperlukan biaya atau modal yang relatif besar. Besarnya
peningkatan atau penambahan modal ini ternyata tidak seimbang dengan kenaikan nilai produk yang diperoleh. Akibatnya walaupun produksi yang
dihasilkan besar tetapi keuntungan yang diperoleh petani tidak mengalami peningkatan. Faktor yang juga menyebabkan penerimaan petani rendah adalah
harga jual gabah varietas unggul relatif lebih murah dari varietas lokal. Sebagai perbandingan harga gabah kering giling varietas lokal jenis Siam rata-rata
mencapai Rp 35.000,- per blek sekitar Rp 3.500,-per kg, harga gabah kering giling varietas unggul Ciherang hanya mencapai Rp 20.000,-blek sekitar Rp
2.000,- per kg. Pengaruh perubahan teknologi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
bukan hanya semata menghambat pengembangan atau menghilangkan pengetahuan lokal, tetapi di sisi lain juga ada yang mendorong ke arah
pengembangan yang lebih dinamis. Penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman dan proses pelapukan sisa potongan gulma di
persawahan merupakan teknologi yang memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat tentang cara yang lebih baik dalam sistem pertanian padi. Begitu
juga penggunaan pupuk anorganik, terutama Urea dalam pembibitan padi fase lacak dan tangkar anak dapat menghasilkan bibit-bibit padi yang berbatang
besar dan panjang sehingga cocok untuk kondisi lahan pasang surut yang berair dalam terutama di lahan rawa pasang surut. Melalui penggunan pupuk ini,
petani memiliki pengetahuan tambahan tentang bagaimana menghasilkan bibit- bibit padi yang baik dan dalam pertanamannya dapat ditanam hanya dengan
satu tanaman per rumpun tanam. Komponen sistem sosial yang juga berperan dalam dinamika
pengetahuan lokal adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk ini terutama menyangkut semakin meningkatnya kebutuhan pangan. Pemenuhan
kebutuhan pangan yang semakin meningkat harus diimbangi dengan peningkatan produksi tanaman pangan itu sendiri. Upaya peningkatan produksi
ini dapat dilakukan melalui peningkatan luas areal persawahan maupun dengan peningkatan produktivitas lahan. Khusus di Kabupaten Barito Kuala, dalam
kurun duapuluh lima tahun terakhir, pertumbuhan penduduknya 1,57 pertahun lebih tinggi dari pertumbuhan luas lahan yang diusahakan 1,11
pertahun. Walaupun demikian, pertumbuhan produksinya 3,05 pertahun ternyata lebih besar dari pertumbuhan penduduk. Dengan keterbatasan jumlah
137 lahan yang dapat digunakan untuk areal persawahan, peningkatan jumlah
penduduk yang terus berlangsung serta kebutuhan areal pemukiman yang semakin meningkat maka upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan
intensifikasi mutlak dilakukan. Selama duapuluh lima tahun terakhir produksi rata-rata tanaman padi hanya mengalami peningkatan sebesar 2,29 pertahun,
dari 16,92 kwha pada tahun 1983 menjadi 35,10 kwha pada tahun 2008. Perubahan strategi peningkatan produksi dari perluasan areal menjadi
intensifikas pertanian mendorong petani mengembangkan pengetahuannya dalam rangka meningkatkan produksi persatuan luas lahan. Upaya peningkatan
produktivitas ini telah dilakukan petani sejak sebelum revolusi hijau melalui perbaikan kualitas lahan dan pengaturan tata air. Untuk menjaga kesuburan
tanah, petani dahulu menaburkan garam pada bagian lahan sawah tertentu yang tanahnya agak keras. Cara ini diyakini dapat memperbaiki kualitas fisik tanah
sehingga tanah menjadi gembur dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Praktik-praktik menabur garam di sawah ini umumnya ditemui pada lahan rawa
pasang surut tipe C dan D. Untuk lahan rawa pasang surut tipe A dan B, upaya meningkatkan produktivitas lahan dilakukan melalui pengaturan tata air sehingga
pasang surut air dapat berjalan lancar sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Teknik-teknik yang dilakukan petani di lahan rawa pasang surut pada era setelah revolusi hijau saat ini selain masih menggunakan teknik atau cara di
atas, juga digunakan pupuk anorganik, pestisida, dan kapur pertanian. Pengetahuan tentang manfaat dan teknik penggunaan bahan-bahan kimia ini
diperoleh melalui program-program penyuluhan pertanian yang dilaksanakan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi padi. Dengan demikian,
desakan pertambahan penduduk yang diiringi dengan keterbatasan jumlah lahan telah mendorong dinamika pengembangan pengetahuan lokal petani di
lahan rawa pasang surut agar dapat eksis mempertahankan kehidupannya. Organisasi sosial sebagai bagian dari sistem sosial merupakan
komponen yang juga berperan dalam dinamika pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut. Ikatan geneologis yang kuat yang terhimpun dalam
kelompok-kelompok handil merupakan organisasi sosial petani yang eksis dan
adaptif terhadap kondisi lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang gerakan pasang surut air hubungannya dengan ukuran
handil, sehingga air dapat lancar keluar masuk ke areal persawahan telah membentuk organisasi
138 handil sebagai organisasi penting dalam proses produksi pertanian. Nilai dan
norma yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mengacu pada kebersamaan yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan gotong royong.
Proses penularan pengetahuan dalam sistem ini menjadi lebih efektif, dimana untuk menjaga kelangsungannya dipilih seorang ‘kepala
handil’ yang bertugas mengatur dan menegakkan nilai-nilai dan norma yang telah ditetapkan,
walaupun secar tidak tertulis. Berbagai permasalahan dan kendala dalam usaha meningkatkan produksi pertanian, khususnya padi dilakukan melalui
musyawarah antar anggotanya. Kegiatan pembersihan handil diatur dan
dilaksanakan secara bergotong royong, termasuk jika ada penambahan anggota atau petani yang ingin berusaha di wilayah
handil tersebut. Seiring dengan perkembangan pertanian dan program pembangunan
pertanian yang dilaksanakan pemerintah, dibentuk kelompok-kelompok tani yang tujuannya untuk mempermudah pembinaan yang dilakukan oleh aparat
pemerintah. Tujuan pembentukan kelompok tani ini lebih berorientasi pada kepentingan kemudahan pembinaan oleh aparat pemerintah, ketimbang
kepentingan petani. Dalam pembentukan kelompok tani ini ada dua dasar yang digunakan, yakni berdasar atas domisili atau tempat tinggal petani dan
berdasarkan atas hamparan. Khusus di lokasi penelitian, pembentukan kelompok tani didasarkan atas domisili atau tempat tinggal petani. Hal ini
dilakukan mengingat, umumnya dalam suatu handil terdapat petani yang tempat
tinggalnya jauh atau di luar desa. Dengan kedekatan domisili, maka penyuluh lebih mudah memberikan penyuluhan atau mengunjungi rumah petani.
Kelemahan pola ini adalah permasalahan spesifik yang dihadapi petani di lokasi lahan pertaniannya berbeda-beda, dan kegiatan gotong royong di lahan
pertanian menjadi kurang efektif. Pola ini berbeda dengan kelompok handil
yang didasarkan atas hamparan lahan, dimana untuk kegiatan gotong royong akan lebih mudah dilaksanakan.
Pembentukan kelompok tani seperti ini memunculkan konflik dalam kehidupan masyarakat karena petani yang lahannya berdekatan belum tentu
tergabung dalam satu kelompok tani. Akibatnya ketika akan dilakukan gotong royong dalam satu hamparan, mereka mengalami kesulitan. Kegiatan kelompok
tani kini lebih pada penataan administrasi petani oleh pemerintah, terutama dalam pemberian bantuan dan subsidi. Banyak petani yang masuk atau
terdaftar sebagai angota kelompok tani hanya sekedar memenuhi persyaratan
139 adminsitratif semata. Walaupun kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan oleh
petugas penyuluh tetapi lebih banyak dilakukan dalam bentuk pertemuan kelompok di rumah ketua kelompok tani.
Terkait dengan pengembangan pengetahuan lokal, kelompok handil
relatif lebih dinamis karena dengan hamparan sawah yang berdekatan, permasalahan dan pengetahuan tentang sistem petanian di wilayah
handil tersebut relatif sama. Proses tukar menukar pengetahuan dan pengalaman juga
akan mudah dilakukan serta jalinan kebersamaan akan berlangsung semakin erat. Memang pembinaan yang dilakukan dengan basis wilayah hamparan lebih
berat dibandingkan dengan kelompok yang dibentuk berdasarkan tempat tinggal, terutama dari sudut pembinaan yang dilakukan oleh aparat penyuluhan.
Konsekuensi lainnya adalah bahwa kegiatan penyuluh akan lebih banyak dilakukan di lahan usaha petani, yang umumnya letaknya cukup jauh serta
sarana transportasi yang terbatas dengan medan yang berat. Secara skematis, pengaruh komponen sistem sosial terhadap
pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Mekanisme pengaruh komponen sistem sosial terhadap pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut
Teknologi Organisasi
Sosial
Populasi Nilai dan Norma
Pengetahuan Lokal
Model penyuluhan komunikasi
Teknik produksi Kelompok
organisasi petani
Pola kerjasama gotong royong
140 Pembentukan kelompok tani sebagai organisasi sosial petani di
pedesaan berpengaruh terhadap eksistensi kelembagaan petani yang telah ada seperti kelompok handil. Peranan kelompok handil dalam mengorganisir dan
mengatur kegiatan pertanian digeser oleh kelompok tani, akibatnya kegiatan petani dalam kelompok hamparan menjadi kurang berkembang. Begitu juga
nilai dan norma yang dikembangkan dalam kelompok tani lebih berorientasi pada penataan administrasi petani dibandingkan pembinaan petani. Model
penyuluhan yang dikembangkan melalui kelompok tani kurang menyentuh kebutuhan mendasar petani dan lebih banyak berfungsi sebagai media
diseminasi program-program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah secara nasional. Permasalahan-permasalahan spesifik lokal kurang mendapat
perhatian dan pembinaan dari petugas penyuluh. Faktor ini tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi pengetahuan lokal.
Perkembangan teknologi pertanian dan tekanan jumlah penduduk merupakan faktor lainnya yang mendorong pemerintah lebih berorientasi pada
peningkatan produksi dalam pembinaan petani secara nasional. Program- program nasional peningkatan produksi ini kebanyakan berbasis pada
pengembangan padi unggul yang selama ini masih belum dapat diterima masyarakat di lahan rawa pasang surut. Konflik kepentingan ini tercipta dengan
penolakan sebagian besar petani untuk mengembangkan padi unggul. Pada sisi lain, program-program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi ini lebih
mengutamakan teknologi yang dikembangkan secara nasional dan kurang sesuai dengan kondisi spesifik di lahan rawa pasang surut. Faktor inilah yang
secara langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut.
6.5 Kendala dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal