110
6.1.2 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan
Lahan atau tanah merupakan modal utama petani dalam kegiatan pertanian yang berperan penting dalam proses produksi. Pemilihan lahan yang
sesuai untuk dijadikan sawah dan pengelolaannya memerlukan pengetahuan khusus, mengingat lahan rawa pasang surut merupakan lahan spesifik dengan
berbagai kendala dalam pengelolaannya. Dalam sejarah pembukaan lahan rawa pasang surut, wilayah yang pertama dibuka untuk dijadikan sawah adalah
lahan-lahan yang berada di sepanjang sungai besar karena pengaturan airnya mudah dilakukan. Salah satu kunci keberhasilan pertanian padi di lahan rawa
pasang surut dengan kendala kemasaman tanah yang tinggi adalah menyangkut tata air. Umumnya daerah-daerah sepanjang pinggiran sungai
merupakan wilayah yang bisa langsung dipengaruhi gerakan pasang surut air. Petani memiliki pengetahuan bahwa air pasang yang masuk ke sawah pada
wilayah ini banyak mengandung bahan-bahan organik yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu proses pasang surut air juga berfungsi untuk
proses pencucian leaching bahan-bahan yang menyebabkan terjadinya
kemasaman tanah. Dalam pengembangan selanjutnya, di mana lahan-lahan di sepanjang
pinggiran sungai sudah habis terbuka, maka para petani kemudian memanfaatkan lahan-lahan di bagian dalam yang tidak langsung dapat
dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air. Untuk memecahkan kendala ini maka dibuatlah saluran-saluran yang disebut
handil agar gerakan pasang surut air ini dapat mencapai persawahan pada bagian dalam tersebut. Pada awal
pembuatannya, handil ini dikerjakan secara bergotong royong dan dilakukan
secara bertahap hingga handil-handil ini menjangkau jarak yang cukup jauh dari
sungai besar hingga ada yang mencapai 5 km atau lebih. Handil-handil ini
diperpanjang sejauh gerakan pasang surut air masih dapat berlangsung lancar. Untuk menjamin kelancaran
handil-handil ini, setiap tahun dilakukan gotong royong untuk membersihakannya dari sedimentasi atau tumbuhan-tumbuhan liar
yang dapat menghambat aliran air. Sawah-sawah dicetak di sepanjang
handil ini untuk kemudian ditanami dengan padi. Penentuan lahan yang akan dicetak ini juga dipengaruhi oleh
kondisi awal lahan tersebut. Petani harus mampu menentukan mana lahan yang subur atau baik untuk ditanami padi. Pengetahuan tentang lahan di
wilayah pasang surut ini mutlak dimiliki agar usaha pertanian padi yang akan
111 dilakukan dapat memberikan hasil yang baik. Secara sederhana, petani
mengenali lahan yang subur dengan memperhatikan atau mengamati kondisi fisik tanah tersebut dan vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Tanah
subur atau baik untuk dijadikan sebagai sawah adalah tanah yang pada lapisan bagian bawahnya sekitar 20-30 cm mengandung tanah liat yang diketahui
dengan cara menusukkan parang golok ke tanah dengan kedalaman sekitar 30
cm. Jika parang tersebut dicabut, terdapat tanah liat yang menempel pada parang tersebut, maka ini menunjukkan bahwa tanah di areal tersebut cocok
untuk tanaman padi. Sebaliknya jika parang yang ditusukkan tersebut tidak terdapat tanah liat yang menempel atau bagian tanahnya sangat dalam maka
tanahnya kurang cocok untuk dijadikan sawah. Cara lain adalah dengan cara menginjakan kaki ke dalam tanah tersebut, jika bagian tanah tersebut tidak
banyak menempel di kaki terlepas sendiri artinya tanah tersebut mengandung gambut dan kurang baik untuk dijadikan sawah. Pengetahuan dan teknik
mengidentifikasi kesuburan tanah ini merupakan hasil pengalaman yang diperoleh selama puluhan tahun dan ditularkan secara turun temurun antar
generasi. Pengenalan kesuburan lahan ini juga dapat dilakuan melalui pengenalan
jenis vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Lahan yang sebelumnya banyak ditumbuhi Piai atau Kelakai
Achrosticum aureum merupakan tanda bahwa lahan tersebut baik untuk dijadikan sawah. Sebaliknya, lahan-lahan yang
sebelumnya didominasi oleh tumbuhan Galam Melaleuca leucadendron, Purun
Tikus atau Purun Bundung Eleocharis dulcis dan Karamunting Melastoma
affine merupakan indikasi bahwa tanahnya mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi pH tanah rendah. Lahan-lahan seperti ini perlu dikelola secara
hati-hati agar lapisan pirit atau lapisan yang mengandung bahan-bahan
penyebab kemasaman dan mengandung racun bagi tanaman tidak terangkat atau terbongkar ke atas.
Pengetahuan mengenai kondisi fisik lahan ini terkait langsung dengan teknik pengolahan lahan yang harus dilakukan. Penggunaan alat
tajak untuk kegiatan pengolahan tanah merupakan pilihan tepat pada lahan-lahan yang
pada lapisan bawahnya mengandung bahan-bahan beracun bagi tanaman. Pengetahuan tentang sifat-sifat lahan rawa pasang surut dan kendala
kemasaman tanah ini mendorong berkembangnya pengetahuan tentang pengendalian kemasaman tanah melalui pembuatan bedengansurjan atau
112 tukungan untuk keperluan penanaman tanaman tahunan seperti jeruk, mangga,
rambutan, kelapa dan lainnya atau tanaman sayuran. Kombinasi pembuatan surjan atau
tukungan dengan pengaturan air menjadikan lahan rawa pasang surut yang sebelumnya memiliki tingkat kemasaman relatif tinggi dapat
digunakan untuk budidaya tanaman padi sekaligus dengan tanaman tahunan atau tanaman sayuran.
Khusus di lahan rawa pasang surut tipe A, pembuatan bedengan atau surjan selain berfungsi untuk penananam kelapa, juga sebagai tempat untuk
menaikkan lumpur atau sedimen yang masuk ke areal persawahan. Lumpur sedimen ini perlu dinaikkan ke bedengan atau surjan agar tanaman padi tidak
mudah tumbang atau rebah karena lumpur yang terlalu dalam. Di sisi lain, pengangkatan lumpur sedimen ini ke bedengan sekaligus berfungsi untuk
meningkatkan kesuburan tanaman kelapa atau tanaman lain yang ditanam di atas bedengan atau surjan tersebut. Untuk memperlancar aliran air ke petak
sawah dan di dalam sawah, petani membuat saluran kecil yang disebut saluran cacing di sekeliling atau di bagian tengah sawah. Kelancaran air pasang surut ini
merupakan salah satu kunci keberhasilan usahatani padi di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang pengaturan air dan teknik pembuatan bedengan
atau surjan ini merupakan hasil proses adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan spesifik yang ada.
Kondisi lingkungan lahan rawa pasang surut yang memerlukan penanganan dan pengelolaan khusus mendorong ikatan kerjasama antar petani
menjadi lebih erat. Pengaturan air dan pengelolaan lahan harus dilakukan secara bersama dalam suatu wilayah hamparan. Kelancaran arus pasang surut
air ke persawahan harus dijaga dan membutuhkan kerjasama antar petani. Masalah pengaturan tata air di lahan rawa pasang surut telah lama mereka
ketahui dan pahami sebagai faktor penentu keberhasilan usahatani di wilayah ini. Mereka menyadari bahwa tanpa kerjasama dalam pengaturan air maka
lahan tersebut tidak akan dapat menghasilkan produksi padi yang tinggi. Pengetahuan dan praktik-praktik yang terkait dengan pengelolaan lahan
ini membentuk sistem sosial tersendiri dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut. Kegiatan gotong royong dalam pembuatan dan
pemeliharaan handil menciptakan kelompok-kelompok petani di suatu handil.
Terbentuknya struktur sosial masyarakat dalam bentuk kelompok handil ini
merupakan implementasi dari sistem kerjasama untuk menghadapi tantangan
113 dan kendala dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Kelompok ini dipimpin
oleh seorang tokoh petani yang disebut kepala handil. Norma dan aturan dalam
kegiatan berusahatani diterapkan dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Keberhasilan usahatani di suatu wilayah atau
handil merupakan kebanggaan tersendiri bagi para petani yang tergabung dalam kelompok tersebut. Umumnya
anggota kelompok dalam suatu handil berasal dari wilayah asal yang sama
walaupun tidak selalu sehingga mereka memliki solidaritas sosial yang tinggi. Selain itu organisasi sosial berdasarkan
handil ini juga merupakan eksistensi kelompok-kelompok petani pelopor yang memulai usahatani di wilayah itu.
Penggunaan nama-nama handil yang terdapat di lokasi penelitian seperti Handil
Mahang, Handil Barabai, Handil Amuntai dan lainnya merupakan eksistensi
kepeloporan petani-petani yang berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Pola dan teknik pengelolaan lahan ini juga memungkinkan petani
mengembangkan komoditas tanaman sayuran dan buah-buahan selain padi. Khusus petani di lahan rawa pasang surut tipe A, mereka juga dapat
menanaminya dengan tanaman kelapa pada bagian surjannya. Kepemilikan lahan umumnya adalah hak milik di mana petani menggarap sendiri lahan
tersebut. Jika-lahan–lahan tersebut disewakan maupun disakapkan kepada orang lain, maka penyewa atau penggarap hanya mengelola lahan untuk
tanaman padi. Tanaman yang tumbuh di atas surjan atau tukungan tetap merupakan bagian pemilik lahan, kecuali ada perjanjian sebelumnya untuk
membagi hasil dari tanaman yang tumbuh pada tukungan atau surjan tersebut. Norma dan aturan-aturan tentang sistem sakap dan sewa ini berlaku umum di
wilayah lahan rawa pasang surut. Pelanggaran akan kesepakatan yang telah dibuat bukan hanya penyewa atau penggarap ini tidak bisa lagi menjalin kerjama
dengan pemilik lahan tersebut, tetapi juga kemungkinan dengan pemilik lainnya di sekitar wilayah tersebut.
Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut pengelolaan lahan rawa pasang surut dan hubungannya dengan kegiatan
pertanian padi serta sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 8.
114
Gambar 8 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang
surut
6.1.3 Pengetahuan tentang pemeliharaan dan kelestarian lingkungan