60 Kegiatan pemasaran produk-produk pertanian selain menggunakan
transportasi sungai juga dilakukan dengan angkutan darat, baik roda dua maupun roda empat. Umumnya petani setempat hanya memasarkan produk
pertaniannya di dalam desa saja. Pedagang pengumpul yang ada di desa ini selanjutnya membawa hasil pertanian tersebut ke Banjarmasin atau ke wilayah
Kalimantan Tengah terutama Kapuas. Modal usahatani merupakan salah satu kendala petani dalam berusahatani, dan biasanya mereka meminjamnya kepada
pemilik modal yang ada di desa atau kepada pedagang pengumpul. Bunga yang harus ditangung petani cukup tinggi, yakni sekitar 30 untuk masa
pinjaman 8 bulan sekitar 45 setahun yang dibayar pada saat panen padi. Masyarakat Desa Tinggiran Darat telah mengenal berbagai teknik
pertanian modern seperti pupuk kimia Urea sejak tahun 1975 dan meluas penggunaanya sejak tahun 1980. Kapur pertanian kapur bakar sudah mulai
digunakan sejak tahun 1980 dan kemudian beralih menggunakan kapur dolomit pada tahun 1990. Herbisida untuk pengendalian gulma mulai meluas
penggunaannya sejak tahun 2000, begitu juga penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok. Walaupun demikian, masih sedikit sekali petani yang menanam
padi lokal, hanya mereka yang ikut dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu SL-PTT yang menanamnya. Kegiatan SLPTT ini salah
satunya memberikan bantuan benih ungul varietas Ciherang untuk dikembangkan petani.
4.3.4 Desa Simpang Nungki
Desa Simpang Nungki merupakan salah satu desa di Kecamatan Cerbon yang hampir semua wilayah persawahannya merupakan sawah lahan rawa
pasang surut tipe D. Oleh karena itu sistem pengairannya sangat tergantung dengan air hujan yang turun. Desa ini memiliki luas 1.950 ha dan 711 ha
36,5 merupakan areal sawah potensial, 188 hektar 9,64 tegalan, berupa hutan 608 ha 31,8, perkebunan rakyat 195 ha 10,0, pekarangan 25 ha
1,3, dan lainnya 223 ha 11,4. Penduduk Desa Simpang Nungki sebanyak 2.599 jiwa yang terhimpun dalam 636 KK termasuk penduduk
transmigran dari Jawa. Masyarakat asli penduduk ini berasal dari suku Banjar dan Bakumpai, Penduduk pendatang umumnya adalah warga transmigran yang
didatangkan dari Jawa tahun 2005, 2006, dan 2007 dengan jumlah 325 KK atau 1.296 jiwa. Bagi warga masyarakat setempat, kedatangan transmigran ini
61 disambut baik dan program ini memang atas keinginan pemerintah Kabupaten
Barito Kuala dalam rangka pengembangan wilayah pertanian baru. Wilayah Desa Simpang Nungki ini telah ratusan tahun dibuka untuk
keperluan pertanian, terutama padi. Mereka mengusahakan tanaman padi secara tradisional dengan periode tanam satu kali setahun. Varietas yang
ditanampun adalah varietas lokal yang memang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat yang memiliki kemasaman tanah yang cukup tinggi pH
tanah 4,5 hingga 6,0. Dibandingkan dengan wilayah lainnya tipe A, B, dan C, produktivitas padi yang dihasilkan tergolong rendah, rata-rata hanya 21,0-2,80
tonha. Dalam sejarah kehidupan petani di desa ini, beberapa kali masyarakat
mengalami kegagalan yang mengakibatkan mereka harus meninggalkan desa ini untuk berusahatani padi ke wilayah lain, bahkan hingga ke wilayah
Kalimantan Tengah. Menurut petani setempat pada tahun 1950, wilayah ini terpaksa ditinggalkan karena lahan sawah terendam air dalam jangka waktu
yang lama sehingga tanaman padi menjadi rusak. Sebagian dari mereka pergi ke wilayah Kecamatan Gampa Batola, Anjir, hingga wilayah Margasari
Kabupaten Tapin dan Talaran wilayah Kalimantan Tengah. Pada tahun 1952, dengan dipelopori warga pendatang dari Margasari, wilayah ini dibuka
kembali dan ditanami kembali dengan padi varietas lokal. Pada tahun 1965, terkait dengan kekacauan politik dan peristiwa
Gestapu hampir semua penduduk di wilayah ini pergi meninggalkan desa. Kebanyakan penduduk pindah ke wilayah Palingkau Kalimantan Tengah dan
beberapa ada yang pindah ke Kecamatan Sungai Gampa karena memiliki lahan di sana. Setelah kondisi politik normal, pada tahun 1974, mereka kembali lagi
ke Desa Simpang Nungki ini dan mulai membuka lahan untuk bertani lagi. Matapencaharian penduduk selain bertani padi adalah mencari kayu
galam yang memang banyak terdapat di hutan-hutan sekitar desa mereka. Selain mencari kayu galam, banyak juga penduduk yang menangkap ikan, baik
untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual. Sejak pembukaan areal transmigrasi pada tahun 2004, usaha mencari kayu galam dan ikan ini semakin
berkurang. Kini usaha mencari kayu galam ini semakin terdesak dengan adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini dan desa-desa sekitarnya.
Tanaman buah-buahan yang diusahakan seperti rambutan dan mangga jumlahnya juga terbatas sehingga tidak berarti banyak untuk menunjang
62 ekonomi keluarga. Oleh karena itulah, sekitar 80 penduduk desa Simpang
Nungki perekonomian keluarganya hanya berasal dari usaha pertanian padi sawah.
Usaha sampingan lainnya yang ditekuni oleh masyarakat adalah bekerja sebagai tukang atau buruh bangunan, di ibukota kabupaten maupun ibukota
provinsi di Banjarmasin. Usaha inipun terbatas hanya pada mereka yang memiliki keterampilan atau keahlian pertukangan saja. Kegiatan ibu-ibu rumah
tangga untuk menopang ekonomi keluarganya dilakukan dengan menanam tanaman sayuran di pekarangan atau sekitar rumah maupun di galangan.
Usaha inipun sebagian besar hanya untuk konsumsi keluarga sendiri dan sangat sedikit yang dapat dijual atau dipasarkan.
Kepemilikan sawah oleh petani di wilayah ini rata-rata 1,25 hektar serta dengan produktivitas 2,1-2,8 tonha. Petani di wilayah ini umumnya adalah
petani pemilik pengarap 85,0 dan petani penggarap 15. Tidak mengherankan jika banyak petani sekitar 25 yang dalam usahataninya
mengharapkan modal pinjaman dari pihak luar. Pinjaman modal ini selain dari program bantuan pemerintah melaui dana APBD Pemerintah Kabupaten Batola,
mereka juga terpaksa meminjamnya kepada pedagang pengumpul dengan bunga yang cukup tinggi hingga 40 setahun. Kondisi inilah yang menurut
petani setempat semakin memperlemah posisi dan daya saing petani setempat untuk mengembangkan usahanya.
Benih unggul sebenarnya telah diperkenalkan sejak tahun 1980, tetapi petani kurang berminat untuk mengusahakannya. Tidak berminatnya petani
untuk mengembangkan padi varietas unggul, selain faktor teknis kondisi lahan juga menyangkut ketersediaan perlunya modal dalam jumlah yang relatif besar
untuk mengusahakan padi unggul tersebut. Untuk teknologi pertanian modern seperti penggunaan pupuk, petani memberikan respon positif dan sejak tahun
1995 telah meluas di kalangan petani setempat. Walaupun demikian, penggunaannya masih sedikit hanya 50 dari rekomendasi karena faktor
keterbatasan modal usaha. Begitu juga halnya dengan bahan-bahan kimia seperti pestisida, walaupun telah dikenal luas sejak tahun 2000, penggunaannya
juga masih terbatas dengan dosis yang minimal. Introduksi peralatan pertanian seperti sabit dan mesin perontok gabah mulai diminati sejak tiga tahun terakhir.
Penggunaan sabit dianggap dapat mempercepat kegiatan panen serta kapasitas kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan ani-ani. Mesin perontok masih
63 belum banyak digunakan karena jumlahnya yang terbatas, sehingga sebagian
mereka merontok gabah dengan cara diinjak atau memukulkannya ke kayu maupun bambu.
Kelembagaan sosial utama yang ada di wilayah ini adalah kelompok tani yang dianggap dapat membantu upaya peningkatan produksi padi. Penyaluran
pupuk dengan sistem tertutup melalui RDKK hanya memungkinkan anggota kelompok tani saja yang boleh atau dapat membeli pupuk. Selain itu bantuan
modal dari dana APBD untuk kegiatan usahatani padi hanya diterima oleh mereka yang terdaftar sebagai anggota kelompok tani saja. Kegiatan gotong
royong seperti penanaman padi dan pengolahan tanah masih sering ditemui di wilayah ini. Terdapat 7 kelompok tani dan satu gabungan kelompok tani di Desa
Simpang Nungki. Hubungan kekerabatan yang relatif dekat merupakan salah satu faktor yang membuat ikatan sosial masyarakat di wilayah ini cukup kuat.
Sistem sewa lebih banyak dilakukan di wilayah ini dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Sewa lahan sawah untuk yang umum berlaku di wilayah ini adalah
1,5 atau 2 blek gabah per borong.
Pemasaran hasil pertanian umumnya dilakukan di desa atau di rumah petani kepada pedagang pengumpul yang biasanya juga bertindak sebagai
pemberi pinjaman modal usaha. Dalam setiap musim panen, sekitar 50 gabah terpaksa dijual pada saat musim panen untuk keperluan biaya panen itu sendiri
dan membayar hutang. Padahal pada masa-masa ini harga jual gabah berada pada titik harga terendah. Fluktuasi harga gabah antara masa panen Agustus-
Oktober dengan masa paceklik Pebruari-April berkisar antara Rp 5.000,- hingga Rp 10.000,- per
blek GKG.
4.4 Ikhtisar: Perbandingan Desa Penelitian