Desa Tinggiran Darat Profil Desa Penelitian di Lahan Rawa Pasang Surut .1 Desa Tabunganen Muara

56 menggarap sawah milik petani lain dengan sistem bagi hasil atau sewa. Sistem bagi hasil yang umum berlaku di wilayah ini adalah 13 bagian untuk pemilik tanah dan 23 bagian untuk penggarap, dimana saprodi seperti benih dan pupuk ditanggung bersama. Pada sistem sewa, penggarap dikenakan biaya sewa sebanyak 2 blek per borong sawah yang disewa dan semua sarana produksi menjadi tangungjawab penyewa lahan tersebut. Sistem upah yang berlaku dapat diperhitungkan dengan volume yang dikerjakan atau upah per setengah hari. Di Desa Sungai Tunjang untuk kegiatan upahan hanya berlangsung setengah hari saja dengan upah rata-rata Rp 15.000,- per setengah hari pukul 07.00 hingga pukul 12.00. Kegiatan gotong royong atau yang sering disebut handipan biasanya dilakukan dalam kegiatan penanaman padi dan dilakukan secara bergilir untuk masing-masing pesertanya. Setiap orang yang terlibat wajib ikut serta dalam kegiatan tersebut dan dia berhak untuk memperoleh satu hari kerja pada lahan usahataninya. Konsumsi kegiatan ini berupa makan siang, minuman dan kue ditanggung oleh petani yang lahannya mendapat giliran untuk dikerjakan pada hari itu.

4.3.3 Desa Tinggiran Darat

Desa Tinggiran Darat merupakan salah satu desa di Kecamatan Mekar Sari yang terletak di sepanjang Handil Soebardjo 3 . Luas wilayah desa ini 2.000 ha dan 846 hektar 42,3 merupakan areal sawah potensial, 630 hektar 31,5 kebun, berupa hutan 443 hektar 22,2, pekarangan 19 hektar 0,9 dan lainnya 62 hektar 3,1. Penduduk Desa Tinggiran Darat sebanyak 2.597 jiwa terdiri atas 1.276 laki-laki dan 1.321 perempuan serta terhimpun dalam 770 KK. Masyarakat desa ini didominasi oleh suku Banjar 95 dan suku lainnya seperti Jawa. Masyarakat di wilayah ini berasal dari wilayah Banjarmasin Kuin dan Alalak serta wilayah hulu sungai yang datang sebelum masa kemerdekaan sekitar tahun 1900. Rumpun masyarakat dari wilayah hulu sungai terutama dari Kabupaten Hulu Sungai Utara Kelua, Pasar Arba, dan Banua Lawas, Hulu Sungai Selatan, dan Hulu Sungai Tengah. Mereka umumnya mengelompok dalam handil-handil yang dibangun untuk tujuan bercocok tanam padi. Oleh 3 Nama handil diambil dari nama Gubernur Kalimantan Selatan yang menjabat pada masa itu 1970-1980 57 karena itulah umumnya mereka memiliki ikatan sosial yang kuat dan antar tetangga masih dalam ikatan keluarga dekat. Sejak dilakukannya pengerukan kanal yang disebut Handil Soebardjo pada tahun 1970 hingga 1972, pertanian padi di wilayah ini semakin berkembang. Produksi padi yang sebelumnya rata-rata hanya 1,75 tonha meningkat menjadi 2,45-3,15 tonha serta semakin banyak lahan-lahan tidur yang dibuka menjadi areal persawahan. Mata pencaharian utama penduduk di wilayah ini adalah bercocok tanam padi sawah secara tradisional dengan menggunakan bibit lokal yang ditanam satu tahun sekali. Mata pencaharian sampingan penduduk adalah mencari ikan di sungai dan sawah, berkebun kelapa, nanas, dan kerajinan anyaman purun. Petani di wilayah ini sekitar 839 orang dan sebagian besar 62,5 merupakan petani pemilik penggarap, petani lainnya adalah petani penggarap 19,4, dan buruh tani 18,1. Rata-rata kepemilikan lahan sawah adalah 1,0 hektar dan umumnya terpencar dalam beberapa persil lahan. Selain itu, petani di wilayah ini juga memiliki kebun yang ditanami kelapa, nanas, dan jenis buah- buahan lainnya dengan kepemilikan rata-rata 0,75 ha per keluarga. Wilayah ini sebagian besar 80 merupakan areal persawahan pasang surut tipe C. Kendala utama pertanian di wilayah ini adalah kemasaman tanah yang tinggi, serangan tikus, dan harga produk pertanian seperti nanas dan kelapa yang terus merosot. Mengingat wilayah ini merupakan lahan rawa pasang surut tipe C, dimana air pasang hanya mempengaruhi tinggi permukaan tanah saja. Air sawah lebih banyak dipengaruhi oleh hujan dan pembuatan saluran berfungsi untuk menjaga ketinggian air tanah serta untuk drainase saat musim hujan. Oleh karena itulah kapur pertanian merupakan alternatif utama mengatasi permasalahan kemasaman tanah di wilayah ini. Penggunaan kapur berarti biaya tambahan bagi petani, padahal berdasarkan rekomendasi penyuluh pertanian dosis kapur rata-rata untuk wilayah ini adalah 1-2 tonha dengan periode pemberian 3-5 tahun sekali. Harga kapur pertanian ini sekitar Rp 600,-kg, sehingga mereka memerlukan biaya tambahan antara Rp 600.000 hingga Rp 1.200.000,- per hektar dalam periode 3- 5 tahun. Karena keterbatasan modal, biasanya petani hanya melakukan pengapuran dengan dosis 300-500 kg per hektar dan diberikan setiap tahun. Untuk mengefektifkan penggunaan kapur, mereka biasanya menaburkannya 58 pada tempat-tempat yang dianggap memiliki tingkat kemasaman tinggi. Seperti yang dituturkan Mhd 65 th, seorang petani di wilayah Handil Mahang: ”Pahumaan nang saban tahun dipupuk lawan Urea tanahnya jadi bakaras lawan batambah masam. Supaya bakurang masamnya, dibarii kapur. Biasanya aku mangapur saadanya haja, paling-paling 5 sak gasan nang 20 borongan ini. Nah supaya tanah pahumaan jangan karas harus dibari uyah. Uyahnya dihambur di tanah-tanah nang karas atau tinggi. Mauyahi pahumaan ini kada saban tahun, tapi bisa 3 tahun atau 5 tahun sakali. Banyaknya paling-paling 2 sampai 3 kilo saborongan tagantung kaadaan pahumannya.” [Sawah yang tiap tahun dipupuk dengan Urea tanahnya menjadi keras dan meningkat kemasamannya. Supaya berkurang kemasamannya, diberi kapur. Biasanya saya memberi kapur secukupnya saja, sekitar 5 sak 150 kg untuk sawah seluas 20 borong 0,57 ha. Nah, supaya tanah sawah tidak menjadi keras harus diberi garam. Garam ditebar pada tanah yang keras atau tinggi. Pemberian garam ini tidak tiap tahun, tetapi bisa 3-5 tahun sekali. Dosisnya sekitar 2 sampai 3 kg per borong 70-105 kgha tergantung kondisi sawahnya.] Hama tikus di wilayah ini selain menyerang tanaman padi pada masa pertanaman di sawah juga menyerang lumbung padi yang dimiliki petani. Untuk mengatasi serangan hama tikus di sawah, selain menggunakan bahan kimia, beberapa petani menggunakan peralatan sederhana. Alat ini dapat menghasilkan bunyi sehingga tikus seperti kebingungan dan tidak bisa berlari sehingga mudah ditangkap. Alat tersebut mereka buat sendiri dengan bahan- bahan sederhana yang terdiri atas kaleng bekas botol pestisida, dinamo pemutar VCD, bambu dan sumber tenaga dari aki baterai sepeda motor. Alat ini biasanya digunakan pada malam hari yang dikombinasikan dengan kegiatan gerpyokan dengan beberapa petani lainnya. Untuk mengatasi serangan tikus pada lumbung padi, petani membuat bangunan lumbung secara khusus disamping atau di dekat tempat tinggal mereka. Bangunan yang dibuat dari bahan kayu dengan dinding yang tertutup rapat sehingga tidak ada celah untuk masuknya tikus ke dalam lumbung tersebut. Cara ini agak berbeda dengan petani di wilayah lain yang menyimpan gabah hasil panennya dalam karung- karung. Beberapa petani yang mengusahakan tanaman kelapa dan nanas juga mengalami kendala pemasaran. Merosotnya harga kelapa hingga kini masih belum banyak dapat diatasi, beberapa petani menyiasatinya dengan cara menjual kelapa dalam bentuk kopra untuk meningkatkan harga jual. Walaupun demikian, kebanyakan petani masih menjualnya dalam bentuk butiran karena 59 untuk membuat kopra diperlukan tenaga kerja dan modal tambahan. Khusus untuk komoditas nanas, penurunan harganya lebih disebabkan karena adanya panen raya dan harganya dapat turun hingga 70. Jika harga normal dapat mencapai Rp 1.000,-buah, pada masa panen raya hanya mencapai Rp 300,- buah. Untuk mengatasi kendala ini, para petani menggunakan bahan perangsang buah, sehingga nanas bisa berbuah sesuai dengan waktu yang diinginkan. Kebun nanas biasanya dibagi dalam beberapa petak, selanjutnya masing-masing petak disemprot dengan bahan kimia perangsang buah dengan selang satu bulan. Teknik ini dapat menghasilkan panen nanas yang berlangsung setiap bulan sepanjang tahun, sehingga harga nanas tidak mengalami fluktuasi akibat adanya panen raya. Kegiatan gotong royong yang dikembangkan sejak dulu melalui kelompok handil kini semakin berkurang intensitasnya dan mulai digantikan dengan sistem upah serta sistem bagi hasil. Sistem upah kegiatan pertanian yang berlaku umumnya berupa upah borongan atas pekerjaan tertentu. Misalnya upah untuk kegiatan pengolahan tanah ‘menajak’ sekitar Rp 25.000,- - Rp 30.000,- per borong 1 hektar = 35 borong, upah tanam Rp 15.000,- borong, dan upah panen Rp 5.000,-blek 1 blek = 20 ltr. Kegiatan kelompok handil kini sudah jarang dilakukan, dan digantikan dengan kegiatan kelompok tani yang dibentuk berdasarkan domisili atau tempat tinggal petani. Bagi hasil yang umum berlaku adalah 13 bagian untuk pemilik lahan dan 23 bagian untuk penggarap, serta sarana produksi ditanggung bersama. Untuk sewa lahan, sebesar 2 blekborong per musim tanam atau sekitar 7 kwha dan dibayarkan pada saat masa panen berlangsung. Di wilayah ini juga terdapat 16 kelompok tani, 2 gabungan kelompok tani, dan 3 kios sarana produksi saprodi. Sarana transportasi sungai merupakan moda transportasi utama bagi penduduk Desa Tinggiran Darat. Sejak dibangunnya jalan untuk transportasi darat pada tahun 1978, kendaraan roda dua mulai digunakan. Bahkan sejak tahun 2000-an sudah dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Masuknya listrik pada tahun 1992 menjadi tonggak penting dalam kehidupan masyarakat Desa Tinggiran Darat. Selain untuk penerangan, masyarakat mulai mengenal peralatan elektronik seperti televisi, lemari es, VCDDVD dan lainnya. Kini barang-barang elektronik tersebut, telepon genggam handphone, kendaraan roda dua bukan lagi merupakan barang mewah karena rata-rata setiap rumah tangga di desa ini telah memilikinya. 60 Kegiatan pemasaran produk-produk pertanian selain menggunakan transportasi sungai juga dilakukan dengan angkutan darat, baik roda dua maupun roda empat. Umumnya petani setempat hanya memasarkan produk pertaniannya di dalam desa saja. Pedagang pengumpul yang ada di desa ini selanjutnya membawa hasil pertanian tersebut ke Banjarmasin atau ke wilayah Kalimantan Tengah terutama Kapuas. Modal usahatani merupakan salah satu kendala petani dalam berusahatani, dan biasanya mereka meminjamnya kepada pemilik modal yang ada di desa atau kepada pedagang pengumpul. Bunga yang harus ditangung petani cukup tinggi, yakni sekitar 30 untuk masa pinjaman 8 bulan sekitar 45 setahun yang dibayar pada saat panen padi. Masyarakat Desa Tinggiran Darat telah mengenal berbagai teknik pertanian modern seperti pupuk kimia Urea sejak tahun 1975 dan meluas penggunaanya sejak tahun 1980. Kapur pertanian kapur bakar sudah mulai digunakan sejak tahun 1980 dan kemudian beralih menggunakan kapur dolomit pada tahun 1990. Herbisida untuk pengendalian gulma mulai meluas penggunaannya sejak tahun 2000, begitu juga penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok. Walaupun demikian, masih sedikit sekali petani yang menanam padi lokal, hanya mereka yang ikut dalam program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu SL-PTT yang menanamnya. Kegiatan SLPTT ini salah satunya memberikan bantuan benih ungul varietas Ciherang untuk dikembangkan petani.

4.3.4 Desa Simpang Nungki