Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Sains

23 pemarjinalan. Bahkan Shiva 1997 menyatakan bahwa pengembangan sains di bidang pertanian melalui pembangunan pertanian dengan teknologi modern ternyata bukan hanya mengikis pengetahuan lokal masyarakat tetapi juga memarginalkan kaum perempuan. Hal ini sejalan dengan pandangan Giddens 2003, yang menyatakan bahwa modernitas dapat menghancurkan tradisi. Menurut Nababan 1995, disintegrasi sosial dan budaya lokal merupakan masalah yang umum ditemukan sebagai akibat pemaksaan nilai-nilai baru dari luar yang sudah berlangsung lama. Masuknya sistem pemerintahan yang baru di tingkat desa dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa semakin menjauhkan masyarakat dari adatnya. Hukum adat yang dulu sangat efektif mengatur penggunaan sumberdaya alam untuk kepentingan serta menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat menjadi kehilangan kekuatannya. Sementara itu, sistem dan peraturan-peraturan baru dari pemerintah belum bisa diterima dan ditegakkan dengan efektif. Terkait dengan kendala yang dihadapi pengetahuan lokal dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi, Blaike 1992 menyebutkan lima keadaan atau goncangan yang sangat menantang dalam penggunaan dan pemeliharaan pengetahuan lokal: a wilayah dengan pertumbuhan penduduk tinggi dan diiringi dengan penurunan sumberdayanya akibat tekanan eksternal memerlukan adaptasi khusus teknologi pertanian baru untuk meningkatkan produksi dan keanekaragaman pencarian nafkah; b pada keadaan di mana terjadi perpindahan penduduk yang cepat, dapat menyebabkan struktur sosial ekonomi yang membentuk pengetahuan lokal tidak sesuai dengan kondisi lingkungan yang baru; c pada keadaan di mana bencana dan kejadian ekstrim lainnya yang secara material dan budaya menghilangkan pengetahuan lokal karena banyak orang yang memiliki pengetahuan lokal meninggal; d adanya proses-proses yang secara perlahan bergerak merubah lingkungan seperti perubahan iklim, meluasnya deforestrasi, dan degradasi lahan yang menantang daya lentur dan kemampuan adaptasi pengetahuan lokal; dan e tekanan ekonomi dan komersialisasi yang berlangsung cepat dapat merusak pengetahuan lokal

2.3.4 Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Sains

Pengetahuan lokal umumnya digambarkan sebagai romantika masa lalu, sebagai penghambat utama dalam pembangunan, bukan merupakan sebuah isu 24 penting dan bukan sebagai obat mujarab bagi transaksi dengan permasalahan- permasalahan lingkungan yang utama, dan juga bukan sebagai komponen kritis budaya alternatif dalam modernisasi. Oleh karena itu menurut Nygren 1999 dalam pandangan ahli-ahli pembangunan, pengetahuan lokal dianggap penghambat dalam kemajuan, dan penduduk lokal hidup dibatasi oleh gagasan atau pemikiran tradisional mereka. Dalam pandangan Sillitoe 1998, pengetahuan lokal merupakan pengetahuan praktis masyarakat yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyang mereka dan didasarkan atas pengalaman dan pembelajaran terhadap fenomena alam dan melekat dalam kehidupan sosial budaya mereka. Pengetahuan lokal ini bersifat spesifik secara budaya, lokasi geografi, dan sering meliputi regional ekosistem tertentu. Oleh karena itu dalam menyikapi krisis lingkungan dan pembangunan, pengetahuan lokal memiliki keterbatasan dalam memecahkan isu-isu global dan isu lingkungan atau isu pembangunan pada lokasi atau masyarakat yang berbeda. Sistem pengetahuan lokal sangat jarang dijadikan sebagai dasar dalam pertarungannya dengan sains. Masyarakat lokal akan menggabungkan dan menginterpretasi kembali aspek-aspek pengetahuan dan praktik modern ke dalam tradisi mereka sebagai bagian dari proses globalisasi yang sedang berlangsung. Melalui cepatnya perubahan ini dalam jangka panjang sistem pengetahuan lokal ini mengalami proses modifikasi ke arah perpektif ilmiah. Banyak orang menganggap bahwa pengetahuan lokal bersifat tidak logis, tidak ilmiah dan bahkan terkesan sebagai tahayul. Menurut Nygren 1999, hal ini karena pengetahuan lokal tersebut dianggap lahir dari kebiasaan masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam merubah sikap dan budaya conformism, keterbatasan dalam inisiatif pemecahan masalah fatalism, keterbatasan responsibilitas dan tergantung dengan pemerintah parasitism, percaya dengan hal-hal magis irrationalism dan keterbatasan dalam pendidikan analphabetism. Oleh karena itu dalam pengembangannya pengetahuan lokal ini menurut Sillitoe 1998 memerlukan advokasi melalui peningkatan komunikasi antara ahli ilmu alam, ahli sosial, dan masyarakat lokal. Dalam pandangan Habermas pengembangan pengetahuan lokal ini harus dilakukan dengan komunikasi melalui dialog-dialog yang emansipatoris sehingga terwujud masyarakat 25 demokratis radikal, yakni masyarakat yang berinteraksi dalam suasana komunikasi bebas dari penguasaan Hardiman 1990. Berbeda halnya dalam pandangan Escobar 1999, di mana pengetahuan lokal dalam pertarungan politiknya dengan kepentingan kaum kapitalis dan pakar teknologi scientist akan membentuk suatu hibrid melalui proses hibridisasi budaya cultural hybridization. Dengan kata lain masing- masing pihak yang memiliki basis budaya pemikiran dan basis kepentingan yang berbeda pada akhirnya akan membentuk satu regim politik tunggal menuju kesatuan pandangan politik tentang alam. Oleh karena itulah dalam pandangan Forsyth 2004, konsep hibridisasi antara pengetahuan lokal dengan sains merupakan pengintegrasian keduanya untuk mencari penjelasan secara lokal terkait dengan permasalahan lingkungan. Tujuan hibridisasi ini bukan untuk mengungkap perubahan biofisik secara lengkap, tetapi untuk mengungkapkan seberapa jauh wacana hegemonik permasalahan lingkungan tersebut sesuai dengan pengalaman orang-orang dalam wilayah tertentu. Terkait dengan penerapan sains ke dalam sistem sosial masyarakat yang memiliki pengetahuan lokalnya, Rogers 2003 dalam model adopsi mengemukakan beberapa sifat dari inovasi yang berpengaruh terhadap penerimaan inovasi itu sendiri antara lain : a keuntungan relatif relative advantage, kesesuaian compatibility, kerumitan complexity, kemungkinan dicoba trialability, dan kemungkinan diamati observability. Kesesuaian compatibility antara inovasi sangat terkait erat dengan pengetahuan lokal. Karena jika inovasi tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan cara-cara dan sistem pengetahuan lokal masyarakat setempat maka sulit untuk bisa diterima oleh masyarakat bersangkutan. Pengembangan model sistem pertanian sawit dupa di Kalimantan Selatan merupakan suatu bentuk perpaduan sistem pengetahuan lokal dengan sains di bidang pertanian padi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi padi sekaligus pendapatan petani. Dalam model ini petani tetap dapat mengusahakan komoditas padi lokal yang memang kualitasnya terutama rasa dan teksturnya yang sesuai dengan selera masyarakat setempat dan harga yang tinggi serta sekaligus juga memproduksi padi unggul yang memiliki potensi produksi lebih tinggi dari padi varietas lokal Abbas 1999. Ini memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis, sehingga mampu berkembang menyesuaikan dengan kondisi yang ada kemampuan adaptasi serta 26 dikembangkan melalui pengalaman langsung di lapangan sehinggga dapat berkelanjutan sustainable.

2.4 Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan