Lahan rawa pasang surut tipe B

162 Sebaliknya, pupuk anorganik dan peralatan baru seperti sabit bergerigi dan mesin perontok mulai meluas digunakan oleh para petani.

7.1.2 Lahan rawa pasang surut tipe B

Lahan rawa pasang surut tipe B merupakan tipikal lahan yang hanya terluapi oleh air pada saat pasang besar pasang tunggal. Dibandingkan dengan wilayah di pasang surut tipe A, kegiatan introduksi pertanian modern lebih berkembang dan banyak dilakukan dilakukan di lahan rawa pasang surut tipe B ini. Hal ini karena secara teknis, budidaya padi unggul dapat dilakukan walaupun dengan kendala kemasaman tanah yang cukup tinggi. Selain itu, pada wilayah ini juga bisa diterapkan sistem pertanian padi dengan pola dua kali tanam setahun. Introduksi varietas unggul ini menimbulkan konflik kepentingan antara petani dengan pemerintah atau petugas penyuluh. Petani umumnya menolak untuk menanam padi unggul sebagai pengganti padi lokal terutama pada musim tanam Maret-Agustus dengan alasan rasa nasi yang kurang cocok maupun masalah harga dan pemasaran yang sulit. Walaupun tidak terjadi pemaksaan kepada petani untuk menanam padi unggul, tetapi banyak bantuan sarana produksi dan kredit usahatani yang dikaitkan dengan kegiatan penanaman padi unggul. Petani yang mau menanam padi unggul akan memperoleh bantuan bibit, pupuk maupun kredit usahatani. Ternyata insentif ini tetap tidak mampu mendorong petani untuk mengganti varietas lokal yang selama ini dengan varietas unggul yang dianjurkan pemerintah seperti IR-36,IR-42, IR-66, Cisokan, hingga varietas Ciherang seperti saat ini. Pola dua kali setahun yang memungkinkan diterapkan pada wilayah ini adalah pola tanam padi lokal-unggul, dimana pada musim tanam pertama Maret-Agustus ditanam bibit padi lokal, sedangkan pada musim tanam kedua Oktober-Pebruari ditanam bibit padi unggul nasional berumur pendek. Walaupun memungkinkan untuk ditanam dengan pola padi unggul-unggul, tetapi secara sosial hal ini sulit dilakukan karena para petani setempat masih belum bisa meninggalkan padi lokal, terutama untuk keperluan konsumsi rumah tangga sendiri. Pola tanam padi lokal-unggul ini pada tahun 1995 digalakkan pemerintah Kalimantan Selatan dengan nama program penanaman padi dengan pola sawit dupa yang merupakan singkatan dari ‘satu kali mewiwit dua kali panen’ yang berarti satu kali membibit, dua kali panen. Pola sawit dupa ini 163 dilakukan dengan melaksanakan pembibitan padi lokal dan unggul pada waktu bersamaan, sekitar bulan Oktober. Setelah disemai sekitar 20-25 hari, bibit padi unggul selanjutnya ditanam pada lahan yang telah disiapkan, sedangkan padi lokal proses pembibitannya siap ditanam berlangsung hingga sekitar bulan Maret, setelah selesai panen padi unggul pada akhir Pebruari. Penanaman padi unggul pada musim tanam kedua Oktober-Pebruari inipun ternyata kurang banyak diminati petani dengan berbagai pertimbangan teknis dan sosial ekonomi. Petani yang mau menanam padi unggul pada musim kedua ini umumnya hanya dalam luasan yang kecil 0,5-1,0 ha dan terkait dengan program yang dilaksanakan pemerintah, misalnya program SLPTT. Petani yang mengikuti program seperti ini akan memperoleh bantuan benih dengan cuma-cuma serta kredit untuk pembelian sarana produksi lainnya seperti pupuk dan pestisida. Hasil dari kegiatan ini baik produksi maupun pendapatan menjadi pertimbangan bukan hanya petani yang mengikuti program ini, tetapi juga petani sekitarnya. Secara teknis, penamanan padi unggul pada musim kedua Oktober- Pebruari mengandung risiko kegagalan yang cukup tinggi karena serangan hama dan penyakit. Hama utama bagi pertanian padi di Kalimantan Selatan, terutama di wilayah lahan rawa pasang surut adalah tikus. Intensitas serangan ini akan semakin besar dirasakan karena pada musim tanam kedua ini hanya sebagian kecil petani yang melakukan penanaman padi. Akibatnya serangan tikus akan terfokus pada wilayah tersebut. Secara sosial ekonomis, biaya yang dikeluarkan relatif besar terutama untuk biaya pupuk dan pestisida, sedangkan hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan padi lokal serta adanya risiko gagal panen akibat serangan tikus. Di sisi lain, harga jual gabah padi unggul relatif rendah serta sulit dipasarkan. Bagi sebagian petani pada bulan-bulan tersebut Oktober-Pebruari umumnya mereka menekuni pekerjaan sampingan seperti mencari ikan, mencari kayu galam, maupun bekerja sebagai tukang kayu atau buruh bangunan. Selain itu, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka selama ini, sawah di lahan rawa pasang surut perlu diistirahatkan agar kesuburan tanahnya dapat lebih terjaga. Untuk penggunaan pupuk buatan atau pupuk anorganik telah dikenal dan digunakan petani sejak tahun 1980, penggunaan pestisida sejak tahun 1995 dan mulai meluas penggunaannya pada tahun 2000. Untuk kapur pertanian digunakan petani secara meluas sejak tahun 2000. Penggunaan kapur dalam 164 kegiatan pertanian, bagi petani setempat bukan hanya untuk mengatasi kemasaman tanah tetapi juga digunakan untuk mempercepat proses pembusukan sisa-sisa gulma dari kegiatan pengolahan tanah dengan peralatan tajak. Beberapa petani kini juga menggunakan herbisida sebelum kegiatan pengolahan tanah untuk mempermudah proses pengolahan tanah serta mempercepat proses pembusukan gulma-gulma tersebut. Penggunaan peralatan pertanian seperti traktor tangan walaupun pernah dilakukan pada tahun 2001 melalui program mekanisasi pertanian yang dilaksanakan pemerintah,. Penggunaan traktor tangan ini terkendala kondisi lahan yang kurang sesuai dapat menyebabkan terbongkarnya lapisan pirit sehingga tidak diminati petani. Untuk penggunaan peralatan panen seperti sabit bergerigi dan mesin perontok mulai digunakan sejak empat tahun terakhir. Penggunaan peralatan panen dan pasca panen ini mulai banyak diminati hingga kini karena areal panen yang cukup luas dan untuk mempersingkat masa panen serta tenaga kerja upahan yang semakin sulit diperoleh dan upah yang relatif mahal. Teknologi pertanian modern lainnya yang diintroduksi ke wilayah sejak tahun 2003 adalah praktik pertanian yang berwawasan lingkungan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu SLPHT. Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi penggunaan pestisida dengan menggunakan pengendalian mekanis dan biologis terutama penggunan musuh alami. Konsep SLPHT ini dikembangkan seiring dengan semakin meningkatnya kekhawatiran akan pencemaran lingkungan dan penggunaan bahan kimia bagi petani pemakainya maupun produk pertanian yang dihasilkan. Menurut petani, walaupun konsep ini sangat sesuai dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan, tetapi dalam aplikasinya sulit untuk dilakukan serta memerlukan tenaga kerja tambahan. Di sisi lain, ketergantungan terhadap bahan kimia baik pestisida maupun herbisida sudah cukup tinggi maka sulit untuk menerapkan konsep ini di lapangan. Teknologi pertanian terbaru yang sekarang diintroduksi ke wilayah ini adalah Sekolah Lapang Pengelolan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu SLPTT. Program ini merupakan salah satu program nasional yang diaplikasikan di lahan rawa pasang surut. Program ini dilatarbelakangi karena kegiatan pertanian yang selama ini ada wilayah pasang surut di dominasi oleh varietas lokal sekitar 90 produksi disumbangkan oleh padi varietas lokal 165 dengan produksi rendah. Oleh karena itu untuk meningkatkan produkstivitas padi perlu dilakukan efisiensi usahatani dengan penerapan teknologi yang memiliki efek sinergis dimana petani berpartisipasi mulai dari perencanaan ampai pengembangannya. Terdapat sebelas 15 komponen utama dalam kegiatan SLPTT ini, yang salah satunya adalah penggunaan variteas unggul. Terkait dengan hal inilah, kemungkinan teknologi SLPTT ini tidak dapat diharapkan dapat diadopsi petani secara cepat. Seperti halnya dengan wilayah pasang surut tipe lainnya, di wilayah ini masyarakat petaninya bersifat terbuka dengan pembaharuan dan modernisasi pertanian yang dilaksanakan pemerintah sejauh kegiatan atau introduksi tersebut mengarah pada upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Terbukanya dan semakin membaiknya akses transportasi darat serta akses informasi di wilayah lahan rawa pasang surut tipe B membuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat juga semakin meningkat. Perkembangan ini berimplikasi terhadap pola pikir dan orientasi petani setempat ke arah sistem pertanian yang semakin komersial. Pengembangan tanaman hortikultura seperti jeruk, rambutan dan mangga semakin mendorong petani setempat untuk memanfaatkan surjan atau tukungan yang ada di sawah untuk mengembangkan jenis-jenis tanaman tersebut. Faktor lain yang juga turut berpengaruh adalah banyaknya kegiatan penelitian dan uji coba sistem pertanian modern dengan pola terpadu di lahan rawa pasang surut tipe yang dilakukan oleh lembaga penelitian seperti Balai Penelitian Petanian Lahan Rawa Balittra maupun Dinas Pertanian setempat. Keterlibatan petani dalam berbagai uji coba dan penelitian di wilayah ini secara tidak langsung memberikan pengetahuan dan wawasan baru bagi mereka tentang upaya-upaya peningkatan produksi pertanian di lahan rawa pasang surut. 15 Komponen teknologi utama dalam SLPTT meliputi : 1 varietas unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungan, 2 benih bermutuberlabel, 3 pengolahan tanah secara sempurna, 4umur bibit sesuai anjuran, 5 pengaturan jarak tanam, 6 pemberian pupuk organik, 7 pupuk anorganik sesuai kebutuhanberimbang, 8 pemberian air secara efektif dan efisien, 9 pengendalian HPT secara terpadu, 10 pengendalian gulma secaar tepat, dan 11 penanganan panen dan pascapanen dengan baik 166

7.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C