Sejarah Pembukaan Lahan Rawa Pasang Surut

71 V SISTEM PERTANIAN PADI LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

5.1 Sejarah Pembukaan Lahan Rawa Pasang Surut

Lahan rawa pasang surut termasuk dalam kategori lahan marginal karena adanya berbagai kendala sifat biofisik seperti tingkat kesuburan yang kurang, kendala kemasaman tanah, adanya gambut, dan lainnya. Walaupun demikian, lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan ini telah lama dimanfaatkan oleh petani Banjar untuk kegiatan pertanian, terutama padi. Bahkan pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian ini sejak jaman kolonial Belanda. Menurut Idak 1982, petani setempat sebelumnya mengenal sawah pasang surut ini dengan sebutan sawah bayar 4 . Istilah sawah pasang surut digunakan secara meluas sejak tahun 1958 ketika dilaksanakannya Rice Project di Kalimantan Selatan tepatnya di wilayah Balandean, Kabupaten Barito Kuala. Padi yang ditanam di lahan rawa pasang surut ketika itu bukan hanya varietas Bayar saja yang ditanam, tetapi varietas lainnya seperti Lemo 5 . Pembukaan lahan yang dilakukan oleh petani Banjar umumnya dilakukan secara berkelompok di sepanjang Sungai Barito. Mengapa lokasi yang dipilih pertama untuk dibuka adalah wilayah sekitar bantaran sungai? Hal ini terkait dengan pengetahuan yang telah turun temurun, bahwa umumnya lahan di sepanjang bantaran sungai merupakan lahan-lahan subur dan cocok untuk tanaman padi. Selain itu, masuk dan keluarnya air pada petak sawah lebih mudah diatur sehingga kendala kesuburan lahan dan kemasaman tanah dapat diatasi. Air sungai yang masuk ke petak-petak sawah mengandung bahan- bahan organik yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman sekaligus proses pencucian leaching kemasaman tanah dan bahan-bahan beracun berlangsung lancar. Wilayah-wilayah sekitar bantaran sungai ini dalam tipologi pembagian lahan rawa pasang surut berdasarkan luapan airnya dikenal dengan wilayah pasang surut tipe A. Inilah sebabnya komunitas-komunitas awal petani 4 Istilah sawah Bayar ini terkenal sejak tahun 1920, karena padi yang ditanam di sawah ini adalah Varietas Bayar. Nama Bayar ini mengandung makna bahwa petani yang menanam padi ini akan mampu melunasi hutang-hutangnya berkat hasil panen yang diperolehnya. Varietas padi Bayar ini seperti : Bayar Putih, Bayar Kuning, dan Bayar Malintang. 5 Ditanam sejak tahun 1956 dan umurnya lebih pendek 1 bulan dari varietas Bayar, rasanya sesuai selera masyarakat setempat serta mutu berasnya lebih baik. 72 Banjar terbentuk di sepanjang Sungai Barito dan mereka mengusahakan tanaman padi di wilayah tersebut. Perkembangan selanjutnya, lahan-lahan sawah dicetak ke daerah pedalaman dengan pembuatan saluran-saluran air yang disebut dengan istilah handil Gambar 2. Handil ini dibuat secara bergotong royong oleh mereka yang akan terlibat bertani di sepanjang handil tersebut. Handil dibuat dengan menggunakan peralatan sederhana yang disebut sundak. Sawah-sawah dicetak di sepanjang handil tersebut dan dilengkapi dengan saluran sederhana untuk masuk dan keluarnya air Gambar 3. Setiap tahun handil-handil ini dapat diperpanjang jika ada petani yang ingin mencetak sawah baru dengan seijin kepala handil atau kepala padang. Kepala handil adalah orang yang dipercaya untuk memimpin dan mengatur pembagian lahan untuk pertanian di sepanjang handil tersebut. Kepala handil biasanya adalah orang yang pertama mempelopori pembukaan handil tersebut atau orang yang dituakan serta memiliki kemampuan untuk menjaga keutuhan kelompok handil tersebut. Pencetakan sawah yang disertai perpanjangan handil ini dilakukan sejauh air pasang bisa masuk ke petak-petak sawah tersebut agar proses pencucian kemasaman tanah dapat berlangsung baik. Gambar 2 Kedudukan handil terhadap sungai. S u n g a i Handil utama anak sungai Handil Handil Handil Handil Handil Handil Handil Handil 73 Handil-handil ini diberi nama sebagai identitas dan eksistensi kelompok tersebut, dan biasanya yang sering digunakan adalah nama wilayah asal kelompok tersebut, seperti Handil Mahang nama desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Handil Amuntai nama kota di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Handil Pekapuran nama wilayah di Banjarmasin, dan lain-lain. Selain itu, banyak juga digunakan nama-nama orang yang menjadi kepala handil atau orang-orang yang mempelopori pembukaan handil tersebut, seperti Handil Anang, Handil Hasim, Handil Aji dan lainnya. Pemberian nama ini juga bisa dikaitkan dengan kondisi-kondisi khusus yang dianggap memiliki nilai-nilai sejarah atau nilai tertentu seperti Handil Masjid, Handil PU, Handil Gantung, Handil Setia Kawan dan lain-lain. Gambar 3 Sawah yang dicetak di antara dua buah handil. Pembukaan wilayah lahan rawa pasang surut untuk keperluan pertanian dalam skala yang lebih besar dilakukan seiring dengan pengerukan kanal atau anjir di wilayah Anjir Serapat Kabupaten Barito Kuala. Wilayah persawahan di Anjir Serapat diawali setelah terjadinya kebakaran kebun karet di lahan gambut pada tahun 1928. Petani setempat memanfaatkan bekas kebun karet dengan mencetak sawah-sawah dan menanaminya dengan padi. Sepanjang Anjir Serapat Km.14 hingga Km. 28 ini kemudian berkembang menjadi wilayah persawahan. Anjir Serapat yang menghubungkan Sungai Barito dan Sungai Kapuas Kalimantan Tengah sepanjang 28 km ini selesai dikeruk pada tahun Sawah Anak sungai Handil utama H a n d i l 74 1935 dengan menggunakan kapal keruk. Pengerukan yang dilakukan selain untuk memperlancar transportasi air, juga berdampak terhadap lancarnya keluar masuk air ke persawahan. Perkembangan persawahan di wilayah Anjir Serapat ini juga didorong oleh masuknya pendatang dari wilayah hulu sungai, terutama pada tahun 1937 Idak 1982. Hingga kini wilayah Anjir Serapat merupakan salah satu sentra tanaman padi di Kabupaten Barito Kuala. Setelah pengerukan Anjir Serapat selesai, selanjutnya dilakukan juga pengerukan Anjir atau Sungai Tamban yang menghubungkan antara Sungai Barito di Kalimantan Selatan dengan Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah oleh pemerintah kolonial sekitar tahun 1936. Pembangunan anjir ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1890 secara manual untuk keperluan transportasi sungai. Kegiatan pengerukan ini diikuti dengan program kolonisasi dengan mendatangkan para kolonis dari pulau Jawa pada periode 1932-1940 di bawah pimpinan H.G. Rokmoker Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan 2008. Pengerukan anjir Tamban ini mendorong para pendatang dari wilayah Kalimantan Selatan untuk mengembangkan pertanian dengan membuat handil-handil di sepanjang anjir Tamban tersebut. Kegiatan percetakan sawah di wilayah ini diikuti dengan pengembangan tanaman kelapa, hingga sekarang wilayah Tamban menjadi salah satu sentra kelapa di Kalimantan Selatan, khususnya bagi Kabupaten Barito Kuala. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1944 kegiatan pembukaan sawah juga dilakukan dengan pengalian Sungai Puntik hingga ke wilayah Kecamatan Gampa sepanjang 21 km. Penggalian ini bertujuan untuk memasukkan air dari Sungai Barito sehingga lahan-lahan di sepanjang sungai tersebut dapat dicetak menjadi sawah-sawah yang subur. Kegiatan penggalian seperti ini dilanjutkan pada masa NICA Belanda pada tahun 1946 dengan penggalian parit induk di wilayah Alalak, yakni Sungasi Piulan sepanjang 11 km dan Sungai Tanipah sepanjang 14 km Idak 1982. Kegiatan pengerukan anjir ini selanjutnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yakni Anjir Talaran 1969 yang juga menghubungkan Sungai Barito di Kalimantan Selatan dengan Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah. Proyek pembukaan lahan rawa pasang surut secara besar-besaran dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1968 melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut P4S. Pembukaan lahan rawa pasang surut ini dikaitkan dengan program transmigrasi. Sejak masa Prapelita hingga tahun 75 2008 di Kabupaten Barito Kuala telah dibangun sebanyak 21 unit pemukiman transmigrasi dengan jumlah transmigran mencapai 9.850 KK Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan, 2008. Berdasarkan sejarah pengembangan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan ini maka terbentuk komunitas-komunitas penduduk lokal yang menempati dan berusaha di sepanjang Sungai Barito serta anak-anak sungainya yakni di lahan rawa pasang surut tipe A dan B. Untuk penduduk pendatang yang mengikuti program transmigrasi umumnya berada di wilayah- wilayah lahan rawa pasang surut tipe C dan D serta sebagian kecil di tipe B. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan pertumbuhan penduduk serta berkurangnya areal-areal di sepanjang sungai yang dapat dicetak menjadi persawahan, banyak penduduk setempat yang membuka lahan di lahan rawa pasang surut tipe C dan D untuk keperluan pertanian, terutama padi. Selama kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir 1983-2008 luas tanam padi sawah di Kabupaten Barito Kuala hanya mengalami peningkatan sebesar 1,11 pertahun, sedang pertumbuhan penduduknya mencapai 1,57 pertahun. Walaupun demikian, produksi padi di kabupaten ini mengalami peningkatan sebesar 3,05 pertahun Tabel 9. Tabel 9 Pertumbuhan penduduk dan pangan di Kabupaten Barito Kuala selama duapuluh lima tahun terakhir Variabel 1983 2008 Pertumbuhan thn Penduduk jiwa 184.464 272.332 1,57 Luas tanam hektar 72.729 95.869 1,11 Produksi ton GKG 158.753 336.062 3,05 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Barito Kuala, 2009 Sejarah pengembangan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan, khususnya Kabupaten Barito Kuala terkait erat dengan kedatangan penduduk dari wilayah hulu sungai disebut juga orang pahuluan yang membuka dan mencetak sawah-sawah di sepanjang Sungai Barito. Transportasi sungai yang menghubungkan antara wilayah Sungai Barito dengan Sungai Nagara merupakan jalur utama kedatangan mereka. Oleh karena itu, hampir semua informan dalam penelitian ini berasal dari rumpun keturunan penduduk di wilayah hulu sungai Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu 76 Sungai Selatan serta Kabupaten Tapin. Mereka datang sejak ratusan tahun silam ke wilayah ini dan berinteraksi dengan penduduk dari etnik Bakumpai dan hidup secara berdampingan. Interaksi dan pemahaman terhadap kondisi lingkungan setempat membentuk suatu sistem pengetahuan lokal yang mampu dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai kendala dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Dalam proses pengembangannya pengetahuan lokal masyarakat ini menjadi dasar utama yang membentuk karakter dan sistem sosial masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Sistem pertanian, terutama padi sawah yang dikembangkan bersifat spesifik untuk wilayah lahan rawa pasang surut. Walaupun sistem pengetahuan lokal yang dikembangkan dalam mendukung pertanian padi sawah dianggap masih tradisional, tetapi peranannya sangat berarti dalam mendukung kemajuan pertanian di Kalimantan Selatan, khususnya Kabupaten Barito Kuala.

5.2 Budidaya Padi Lokal di Lahan Rawa Pasang Surut