166
7.1.3 Lahan rawa pasang surut tipe C
Lahan rawa pasang surut tipe C adalah tipe lahan yang tidak terluapi air pasang walaupun pasang besar, air pasang hanya berpengaruh secara tidak
langsung terhadap permukaan air tanah yang kedalamannya kurang dari 50 cm. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C, pertanian modern yang
diintroduksi pemerintah melalui kegiatan penyuluhan pertanian ditandai dengan diperkenalkannya bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida. Pupuk
anorganik seperti Urea dan TSP mulai dikenal petani sejak tahun 1980-an dan mulai meluas penggunaannya sejak tahun 1985.
Terhadap introduksi varietas unggul, petani di wilayah ini juga kurang berminat untuk menanamnya. Menurut mereka varietas unggul memerlukan
modal yang relatif besar terutama untuk keperluan pembelian pupuk, pestisida dan upah kerja karena ada kegiatan pembersihan gulma atau penyiangan.
Rasa nasi yang kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat serta harga yang rendah dan sulitnya pemasaran merupakan faktor yang juga membuat
petani enggan menanam padi unggul. Aspek sosial lainnya terkait dengan berkurangnya kesempatan untuk melakukan kegiatan lain di luar usahatani padi.
Hal ini karena padi unggul memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif dibandingkan dengan padi lokal. Akibatnya mereka tidak bisa mengerjakan
pekerjaan sampingan lainnya untuk menambah ekonomi keluarga. Penggunaan pupuk buatan, terutama Urea pada awalnya hanya sebagai
pelengkap untuk menambah kesuburan tanah selain penggunan bahan organik dari sisa-sisa gulma dalam pengolahan tanah. Dalam perkembangan
selanjutnya Urea ini juga digunakan untuk memupuk bibit padi lokal pada fase lacak dengan tujuan agar diperoleh bibit yang besar dengan anakan yang
banyak. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman petani setempat, pupuk Urea sangat cocok untuk mempercepat pertumbuhan bibit dan perkembangan
padi pada awal pertanaman. Mereka juga mengetahuan bahwa varietas padi lokal tidak boleh dipupuk dengan Urea dalam jumlah yang banyak karena
tanaman akan mudah roboh dan dapat berpengaruh buruk berupa peningkatan kemasaman tanah. Rekomendasi penggunaan pupuk anorganik dari penyuluh
pertanian untuk wilayah ini per hektarnya adalah: Urea 150 kg, SP 100 kg, dan NPK atau Ponska 50 kg.
167 Mengenai penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman
tanah telah lama dikenal dan direkomendasikan melalui kegiatan penyuluhan pertanian. Tetapi penggunaan garam untuk tujuan mengurangi kemasaman
tanah menurut Kepala Balai Penyuluhan Pertanian BPP Tamban belum dibuktikan secara ilmiah. Pada awalnya sekitar tahun 1980 petani setempat
menggunakan kapur bakar untuk mengatasi kemasaman tanah, dan pada tahun 1990 mulai menggunakan kapur pertanian
dolomit. Rata-rata penggunaan kapur pertanian oleh petani di wilayah ini sekitar 1-2 tonha tergantung tingkat
kemasaman lahannya. Walaupun petani mengetahui dengan pasti bahwa kapur pertanian dapat mengurangi tingkat kemasaman tanah, tetapi karena
keterbatasan modal usahatani hanya penggunaannya masih di bawah rekomendasi rekomendasi 3-5 tonha.
Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian padi sudah dikenal sejak tahun 1995 dan meluas penggunaannya sejak tahun 2000. Khusus untuk
herbisida atau bahan kimia pengendali rumput dan gulma penggunaanya juga meluas sejak tahun 2000. Herbisida ini digunakan untuk mempermudah
kegiatan pengolahan tanah dan mempercepat proses pembusukan gulma dari hasil pengolahan tanah tersebut. Seiring dengan pesatnya penggunaan
pestisida di wilayah lahan rawa pasang surut dan kekhawatiran akan dampak negatifnya. Dinas pertanian setempat melaksanakan kegiatan sekolah lapang
pengendalian hama terpadu SLPTT sebagai implementasi dari pertanian yang berwawasan lingkungan. Kegiatan ini telah dilaksanakan di wilayah ini sejak
dua tahun terakhir melalui kegiatan kelompok tani. Teknologi pertanian modern lainnya yang saat ini sedang dilakukan
ujicobanya di wilayah ini adalah penggunaan trichoderma sebagai upaya untuk
mengintensifkan penggunaan pupuk organik yang ada di lahan pertanian dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Uji coba penggunaan
trichoderma ini dilakukan pada lahan petani dan melibatkan petani setempat dalam
kegiatannya. Penggunaan trichoderma dalam kegiatan usahatani padi ini salah
satunya dilatarbelakangi dengan seringnya terjadi kelangkaan pupuk anorganik yang berimbas terhadap menurunnya produksi padi. Teknologi baru ini belum
menyebar luas di kalangan petani karena masih dalam tahap uji coba lapangan. Peralatan pertanian yang diintroduksi melalui kegiatan penyuluhan
pertanian di wilayah ini antara lain penggunaan sabit bergerigi dan mesin perontok. Penggunaan kedua peralatan pertanian ini mulai banyak digunakan
168 petani sejak tahun 2005. Walaupun demikian, masih ada petani yang
menggunakan ani-ani ranggaman dan merontok padi dengan cara diinjak-injak
diirik. Umumnya petani yang memiliki tenaga kerja keluarga yang cukup dan lahan yang diusahakan tidak terlalu luas biasanya lebih senang menggunakan
cara lama tersebut. Salah satu pertimbangannya adalah menyangkut biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan mesin perontok.
7.1.4 Lahan rawa pasang surut tipe D