63 belum banyak digunakan karena jumlahnya yang terbatas, sehingga sebagian
mereka merontok gabah dengan cara diinjak atau memukulkannya ke kayu maupun bambu.
Kelembagaan sosial utama yang ada di wilayah ini adalah kelompok tani yang dianggap dapat membantu upaya peningkatan produksi padi. Penyaluran
pupuk dengan sistem tertutup melalui RDKK hanya memungkinkan anggota kelompok tani saja yang boleh atau dapat membeli pupuk. Selain itu bantuan
modal dari dana APBD untuk kegiatan usahatani padi hanya diterima oleh mereka yang terdaftar sebagai anggota kelompok tani saja. Kegiatan gotong
royong seperti penanaman padi dan pengolahan tanah masih sering ditemui di wilayah ini. Terdapat 7 kelompok tani dan satu gabungan kelompok tani di Desa
Simpang Nungki. Hubungan kekerabatan yang relatif dekat merupakan salah satu faktor yang membuat ikatan sosial masyarakat di wilayah ini cukup kuat.
Sistem sewa lebih banyak dilakukan di wilayah ini dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Sewa lahan sawah untuk yang umum berlaku di wilayah ini adalah
1,5 atau 2 blek gabah per borong.
Pemasaran hasil pertanian umumnya dilakukan di desa atau di rumah petani kepada pedagang pengumpul yang biasanya juga bertindak sebagai
pemberi pinjaman modal usaha. Dalam setiap musim panen, sekitar 50 gabah terpaksa dijual pada saat musim panen untuk keperluan biaya panen itu sendiri
dan membayar hutang. Padahal pada masa-masa ini harga jual gabah berada pada titik harga terendah. Fluktuasi harga gabah antara masa panen Agustus-
Oktober dengan masa paceklik Pebruari-April berkisar antara Rp 5.000,- hingga Rp 10.000,- per
blek GKG.
4.4 Ikhtisar: Perbandingan Desa Penelitian
Desa-desa penelitian merupakan wilayah yang telah lama ada, bahkan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Keempat desa yang dipilih dalam
penelitian ini merupakan desa pertanian dengan komoditas utama tanaman padi, sebagaimana desa-desa lain yang ada di Kabupaten Barito Kuala.
Masing-masing desa mewakili karakteristik lahan rawa pasang surut yang dominan di wilayah tersebut, yakni: Desa Tabunganen Muara lahan rawa
pasang surut tipe A, Desa Sungai Tunjang lahan rawa pasang surut tipe B, Desa Mekarsari lahan rawa pasang surut tipe C, dan Desa Simpang Nungki
lahan rawa pasang surut tipe D.
64 Secara agro-ekologis wilayah Desa Tabunganen Muara merupakan
wilayah lahan rawa pasang surut tipe A. Gerakan air pasang dan surut dipersawahan terjadi setiap hari sehingga aktivitas petani dalam sistem
budidaya padi sangat dipengaruhi oleh kondisi tersebut. Genangan air sawah di sawah yang mencapai 50 cm pada saat pasang dan kering pada saat surut
hanya memungkinkan sawah ditanami dengan varietas lokal dengan sistem pembibitan yang khusus
transplanting. Kondisi agro-ekologis seperti inilah yang melahirkan pengetahuan lokal petani untuk mengembangkan varietas padi
lokal yang adaptif dengan kondisi setempat. Fluktuasi genangan air yang tinggi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan sistem pertanian padi
unggul hingga hingga kini masih belum bisa diterapkan. Kondisi agro-ekologis di lahan rawa pasang surut tipe B yang hanya
terluapi air pada saat pasang besar saja memberikan kemungkinan untuk pengembangan sistem pertanian yang lebih bervariasi. Begitu juga halnya
dengan agro-ekosistem lahan rawa pasang surut tipe C dan D yang gerakan pasang surutnya hanya berpengaruh pada permukaan air tanah saja. Kendala
teknis dalam pengembangan pertanian modern berbasis padi unggul lebih disebabkan oleh kemasaman tanah dan senyawa beracun pirit yang dapat
menghambat pertumbuhan tanaman padi. Persawahan di lahan rawa pasang surut tipe A merupakan wilayah yang
pertama dikembangkan untuk pertanian padi oleh petani setempat. Oleh karena itulah, ikatan sosial dan kelembagaan sosial lokal di wilayah ini lebih
berkembang dibandingkan dengan di tipe B, C dan D. Kelembagaan handil
sangat berperan, terutama dalam proses pembukaan lahan persawahaan. Komunitas dan desa-desa di lahan rawa pasang surut yang terbentukpun
umumnya berada di sepanjang sungai maupun anak-anak sungai. Berbeda halnya dengan komunitas di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D,
perkembangan komunitas dan desa-desanya lebih banyak dipicu oleh kegiatan pengembangan lahan rawa pasang surut yang dilakukan oleh pemerintah.
Pengerukan handil dan pembukaan lokasi transmigrasi merupakan program
pemerintah yang turut mendorong perkembangan desa tersebut. Secara ringkas perbandingan desa-desa yang menjadi lokasi penelitian pada keempat
agro-ekosistem lahan rawa pasang surut ini dapat dilihat pada Tabel 8.
65
Tabel 8 Ikhtisar perbandingan empat desa lokasi penelitian di lahan rawa pasang surut No Parameter
Desa Tabunganen Muara tipe A
Desa Sungai Tunjang tipe B
Desa Tinggian Darat tipe C
Desa Simpang Nungki tipe D
1 Luas wilayah
1.500 hektar 1.750 hektar
2.000 hektar 1.950 hektar
2 Luas sawah
1.183 hektar 502 hektar
846 hektar 711 hektar
3 Jumlah penduduk
1.485 jiwa 519 jiwa
2.597 jiwa 2.599 jiwa
4 Jumlah keluarga
500 KK 130 KK
770 KK 636 KK
5 Matapencaharian utama
Petani padi Petani padi
Petani padi Petani padi
6 Matapencaharian sampingan
Kebun kelapa, tanaman buah-buahan
mangga dan jeruk, mencari ikan di sungai
dan di laut. Tanaman buah-buahan
rambutan, jeruk,mangga,
mencari kayu galam, mencari ikan di
sungaisawah, kerajinan anyaman
’purun’ Mencari ikan di
sungai handil, dan
sawah, berkebun nanas dan kelapa,
anyaman ’purun’ Mencari kayu galam,
tukangburuh bangunan, sebagian
kecil mengusahakan tanaman buah-
buahan rambutan dan mangga
7 Aksesibilitas
Transportasi air dan kendaraan roda 2
Kendaraan roda 2 dan 4
Transportasi air serta kendaraan roda 2 4
Kendaraan roda 2 dan 4
8 Komposisi penduduk
Suku Banjar 90, suku lainnya Jawa,
Bugis, Sunda Suku Banjar 80,
bakumpai 15, Lainnya seperti Jawa
dan Bugis 5 Suku Banjar 95
dan Jawa 5 Banjar 51, Jawa
49, masuknya transmigrasi tahun
2005,2006, dan 2007
66
No Parameter Desa Tabunganen
Muara tipe A Desa Sungai Tunjang
tipe B Desa Tinggian Darat
tipe C Desa Simpang
Nungki tipe D 9
Varietas padi yang dominan ditanam
Varietas lokal, terutama dari
kelompok Bayar dan Siam ‘banih ganal’
berumur 10-11 bulan Varietas lokal Siam
Mutiara yang sejak tahun 2008 ditetapkan
sebagai varietas unggul lokal 9 bulan
Varietas lokal dari jenis Siam Unus,
Perak, Putih, dan Kuning dengan umur
sekitar 9-10 bulan Varietas lokal dari
jenis Siam Unus, sebelas, dan mutiara
dengan umur sekitar 9 bulan
10 Kendala usahatani padi
Masuknya air asin ke sawah dan serangan
hama tikus Serangan hama tikus
dan kemasaman tanah Kemasaman tanah,
serangan tikus, harga nanas dan kelapa
yang rendah Kemasaman tanah,
serangan tikus, kurangnya modal
usahatani.
11 Produksi rata-rata
35,0 – 42,0 kwha 28,0 – 35,0 kwha
24,5 - 31,5 kwha 21,0 - 28,0 kwha
12 Sistem pemasaran
Petani gabah Æ pengumpul desa
beras Æ pedagang beras di Banjarmasin
dan Kalimantan Tengah Kapuas
Petani gabah Æ pengumpul desa
beras Æ pedagang beras di Banjarmasin
dan Kalimantan Tengah Buntok dan
Muara Teweh Petani gabah Æ
pengumpul desa beras Æ pedagang
beras di Banjarmasin Petani gabah Æ
pengumpul desa beras Æ pedagang
beras di Banjarmasin
13 Kepemilikan lahan
usahatani padi Petani pemilik
penggarap 66,7, petani pemilik 5,6,
petani penggarap 22,2 dan buruh tani
5,6 Petani pemilik
penggarap 85,0, petani penggarap
5,0 dan pemilik penggarap +
penggarappenyewa 10,0
Petani pemilik penggarap 62,5,
petani penggarap 19,4 dan buruh
tani 18,1 Petani pemilik
penggarap 85,0 dan petani pengarap
15,0. Lanjutan
67
No Parameter Desa Tabunganen
Muara tipe A Desa Sungai Tunjang
tipe B Desa Tinggian Darat
tipe C Desa Simpang
Nungki tipe D 14
Kelembagaan ekonomi Bagi hasil : penggarap
23 dan pemilik 13, saprodi ditanggung
bersama, kecuali benih dari penggarap
Sewa lahan : dibayar setelah panen 2
blekborong 7 kwha.
Upah kerja per setengah hari.
Gotong royong ’baharian’ untuk
kegiatan tanam Bagi hasil : penggarap
23 dan pemilik 13, saprodi ditanggung
bersama
Sewa lahan : dibayar saat panen sebanyak 2
blek borong 7kwha.
Upah kerja berdasarkan volume
pekerjaan atau upah harian
Gotong royong terutama untuk
kegiatan penanaman Bagi hasil :
penggarap 23 dan pemilik 13, saprodi
ditanggung bersama
Sewa lahan : dibayar saat panen, sebanyak
2 blek borong 7
kwha. Upah kerja
berdasarkan volume pekerjaan atau upah
harian
Gotong royong terutama untuk
kegiatan penanaman Bagi hasil :
penggarap 23 dan pemilik 13, saprodi
ditanggung bersama
Sewa lahan : dibayar saat panen, sebanyak
1-2 blek borong 3,5-
7,0 kw ha, tergantung kondisi
sawah.
Upah kerja berdasarkan volume
pekerjaan atau upah harian
Gotong royong terutama untuk
kegiatan penanaman
15 Kelembagaan sosial
lainnya Kelompok
handil mulai mulai digantikan
peranannya dengan kelompok tani.
Terdapat 8 kelompok tani dan 1 gapoktan
Kelompok tani 5 buah, 1 kelompok perikanan
dan 1 gapoktan. Kelompok tani 16
kelompok, dan 2 gapoktan, serta 3
buah kios saprodi Terdapat 7 kelompok
tani dan 1 gapoktan Lanjutan
68
No Parameter Desa Tabunganen
Muara tipe A Desa Sungai Tunjang
tipe B Desa Tinggian Darat
tipe C Desa Simpang
Nungki tipe D 16
Pengenalan terhadap introduksi teknologi
pertanian modern Pupuk buatan Urea
dan TSP dikenal sejak 1983 dan
meluas pada tahun 1990. Pestisida
meluas digunakan sejak 2003. kapur
pertanian dikenal sejak 1985. Sabit dan
mesin perontok banyak digunakan
sejak 2004. Penggunaan Urea dan
TSP meluas tahun 1980-an, Herbisida
dikenal sejak 1995 dan meluas pada tahun
2000. Penggunaan kapur telah meluas
sejak tahun 2000. Tahun 1995 telah
mengenal traktor tangan, tetapi tidak
berkembang. Sabit dan mesin perontok
meluas penggunaannya sejak
2003. Urea sudah dikenal
sejak 1975 dan meluas
penggunaannya 1980, kapur bakar
sejak 1980 dan dolomit 1990.
Herbisida, sabit bergerigi dan mesin
perontok meluas penggunaannya sejak
tahun 2000 Benih unggul
diperkenalkan sejak tahun 1980. Pupuk
buatan baru meluas penggunaannya sejak
1995. Pestisida, terutama herbisida
meluas penggunaannya sejak
tahun 2000. Sabit dan mesin perontok
mulai digunakan secara luas pada
tahun 2005
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Lanjutan
69 Secara keseluruhan keempat desa yang mewakili empat agroekosistem
lahan rawa pasang surut tersebut memiliki beberapa perbedaan spesifik baik dari aspek biofisik maupun dari aspek sosial ekonomi. Desa Tabunganen Muara
yang merupakan tipikal desa di wilayah lahan rawa pasang surut tipe A sistem budidaya padinya hanya menggunakan varietas lokal. Bahkan varietas lokal
yang digunakan lebih banyak didominasi oleh varietas Bayar berumur 10-11 bulan. Kondisi lahan yang selalu tergenang merupakan salah satu alasan
mengapa di wilayah ini tidak ada yang menanam varietas unggul. Sebaliknya di Desa Sungai Tunjang tipe B, Tinggiran Darat tipe C, dan Simpang Nungki
tipe D varietas lokal yang digunakan umumnya dari jenis Siam berumur 9-10 bulan. Bahkan di Desa Sungai Tunjang tipe B, varietas lokal yang ditanam
merupakan varietas lokal yang telah mendapat sertifikat sebagai varietas unggul lokal Siam Mutiara.
Produktivitas padi yang dihasilkan juga memperlihatkan hasil yang berbeda, berturut-turut yang tertinggi di lahan rawa pasang surur tipe A, B, C,
dan terendah di tipe D. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh kesuburan dan kemasaman tanah, serta adanya luapan air yang membawa bahan-bahan
organik. Pada lahan rawa pasang surut tipe A, luapan air yang masuk ke sawah banyak membawa bahan-bahan organik dan kemasaman tanahnya relatif
rendah dibandingkan dengan tipe B, C dan D. Sebaliknya, pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D, luapan air pasang tidak sampai ke persawahan dan
kebanyakan lahannya merupakan lahan sulfat masam. Hal ini mengakibatkan proses pencucian kemasaman tanah lebih banyak tergantung pada air hujan.
Kondisi sosial ekonomi masyarakatnya juga memperlihatkan pola yang berbeda. Walaupun masyarakat pada ke empat desa ini memiliki
matapencaharian utama sebagai petani padi, tetapi matapencaharian sampingan mereka menunjukkan pola yang berbeda. Usahatani padi lokal
memungkinkan petani memiliki waktu luang yang banyak untuk mengerjakan kegiatan di luar usahatani padi. Inilah salah satu yang menjadi alasan
masyarakat setempat sehingga mereka lebih tertarik untuk mengusahakan budidaya padi lokal. Matapencaharian sampingan ini biasanya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari. Untuk pengeluaran yang besar dan bersifat insidentil, biasanya diperoleh dari penjualan hasil padi.
Bagi masyarakat Desa Tabunganen Muara tipe A, usaha tanaman kelapa merupakan kegiatan yang cukup memberikan penghasilan tambahan
70 bagi keluarga mereka. Kondisi desa yang dekat dengan laut juga dimanfaatkan
masyarakat setempat untuk mencari ikan dan mengusahakan tambak ikan dan udang tambak tradisional. Masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe B juga
memiliki mata pencaharian berupa usaha tanaman buah-buahan rambutan dan jeruk dan mencari ikan di sawah atau sungai. Untuk masyarakat di Desa
Tinggiran Darat tipe C matapencaharian sampingan yang banyak dilakukan adalah mengusahakan tanaman nanas yang terkenal dengan “Nanas Tamban”.
Bagi masyarakat di Desa Simpang Nungki, pekerjaan sebagai pencari kayu Galam dan buruh bangunan merupakan matapencaharian sampingan yang
banyak terdapat di desa tersebut. Perkembangan organisasi sosial yang utama di wilayah lahan rawa
pasang surut seperti organisasi handil memperlihatkan pola perkembangan yang
berbeda pula. Pembentukan organisasi sosial petani berupa kelompok tani telah menghilangkan peranan
handil ini dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini terutama terjadi di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D. Khusus untuk
lahan rawa pasang surut tipe A, eksistensi handil ini masih ada, walaupun juga
telah berkurang dengan dibentuknya kelompok tani. Terkait dengan masuknya sains dan teknologi pertanian modern,
masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A lebih sedikit menyerap masuknya sains dan teknologi modern ini. Kondisi agroekosistem yang kurang cocok untuk
pengembangan pertanian modern melalui pengusahaan padi unggul merupakan faktor utama yang menyebabkan sains dan pertanian modern ini kurang
berkembang. Sebaliknya, di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D, perkembangan sains dan pertanian modern relatif lebih banyak diterima oleh
petani. Walaupun demikian, sains dan teknologi pertanian yang diterima masyarakat masih terbatas pada aspek yang mampu memecahkan
permasalahan kesuburan tanah seperti pupuk kimia, kemasaman tanah penggunaan kapur dan penghematan tenaga kerja penggunaan alat panen
dan mesin perontok.
71
V SISTEM PERTANIAN PADI LOKAL DI LAHAN RAWA PASANG SURUT
5.1 Sejarah Pembukaan Lahan Rawa Pasang Surut