Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan

26 dikembangkan melalui pengalaman langsung di lapangan sehinggga dapat berkelanjutan sustainable.

2.4 Pandangan tentang Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan

Terkait dengan pandangan tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai, Habermas 1990, telah menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya tidak bebas nilai atau kepentingan tetapi juga menyatakan bahwa ilmu-ilmu hanya dapat terbentuk dalam medium sebuah kepentingan. Habermas selanjutnya membedakan kelompok ilmu-ilmu ini berdasarkan kepentingannya menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok ilmu pengetahuan empiris analitis seperti ilmu-ilmu alam. Kelompok ilmu-ilmu ini berupaya mencari hukum-hukum yang pasti nomologis sehingga manusia dengan cara penyesuaian atas hukum-hukum alam dapat memanfaatkan alam untuk kepentingan hidupnya. Tujuan ilmu-ilmu empiris-analitis ini adalah untuk penguasaan alam. Kedua, adalah ilmu-ilmu historis hermeneutis, seperti ilmu sejarah. Kelompok ilmu-ilmu ini berupaya untuk pemahaman, di mana diusahakan adanya saling pengertian dengan tujuan tindakan bersama untuk menangkap suatu makna. Ilmu-ilmu ini mengorganisasikan obyeknya di bawah kepentingan perluasan intersubyektivitas. Ketiga, ilmu-ilmu tindakan atau ilmu-ilmu kritis seperti ilmu ekonomi, sosiologi, politik, kritik ideologi, filsafat, dan lainnya. Kepentingan ilmu-ilmu ini adalah pembebasan, dan lingkungannya adalah kekuasaan. Metode dasar ilmu-ilmu ini adalah refleksi kritis atas sejarah subyek manusia dan bentuk pengetahuan ini hanya dapat dicapai melalui refleksi atas proses pembentukan diri, sehingga dengan cara demikian pengetahuan reflektif tersebut bersifat emansipatoris. Secara sederhana pengelompokan ilmu-ilmu berdasarkan kepentingan ini oleh Hardiman 1990 disusun dalam matrik seperti Tabel 2. Habermas melihat proses interaksi dalam konteks tindakan dasar manusia yang terjadi dalam dunia sosial, yakni berupa tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Tindakan strategis memiliki orientasi pada sukses, sedangkan tindakan komunikatif beorientasi pada pencapaian pemahaman. Tindakan-tindakan strategis ini adalah tindakan rasional bertujuan yang dikategorikan ke dalam interaksi sosial, tetapi tidak bersifat genuine. Suatu interaksi yang bersifat genuine adalah interaksi yang dilakukan dalam tindakan- 27 tindakan komunikatif. Tindakan rasional bertujuan ini ditentukan oleh aturan- aturan teknis yang berdasarkan pengetahuan empiris. Tindakan ini juga bersifat strategis dalam arti tergantung pada penilaian yang tepat mengenai pilihan- pilihan alternatif yang mungkin berdasarkan perhitungan nilai-nilai dan kaidah- kaidah. Berbeda halnya dengan tindakan komunikatif yang mengacu pada tindakan yang diarahkan oleh norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik di antara subyek-subyek yang berinteraksi Hardiman 1990, 1993. Tabel 2 Pertautan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan Medium Kerja Dimensi Kerja Medium Bahasa Dimensi Komunikasi Medium Kekuasaan Dimensi Kekuasaan Kepentingan Teknis Praksis Emansipatoris Pengetahuan Informasi Interpretatif Analitis Tindakan Rasional bertujuan Tindakan komunikatif Tindakan revolusioner- emansipatoris Ungkapan Linguistik Proposisi- proposisi deduktif nomologis monologal Bahasa sehari-hari, permainan bahasa, ungkapan dialogal Dialog emansipatoris Metodologi Empiris analitis Historis- hermeneutis Refleksi diri Sistematika Metodis Ilmu-ilmu empiris analitis ilmu-ilmu pengetahuan alam Ilmu-ilmu historis hermeneutis ilmu- ilmu pengetahuan sosial-budaya Ilmu-ilmu Kritis Teori kritis Sumber : Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Interaksi antara pengetahuan lokal dengan sains ini dalam teori tindakan Habermas dapat terwujud dalam kerangka tindakan strategis yang menghasilkan proses dominasi dan koeksistensi, maupun dalam kerangka tindakan komunikatif yang menghasilkan proses hibridisasi. Dalam proses dominasi terjadi hegemoni, terutama sains atas pengetahuan lokal, dimana dalam perkembangan masyarakat modern pandangan-pandangan tradisional akan diganti dengan pandangan produksi kapitalis. Begitu juga halnya pada proses koeksistensi, walaupun masing-masing bentuk pengetahuan ini tidak 28 saling mendominasi, tetapi akan ada proses marginalisasi, terutama terhadap bentuk pengetahuan lokal. Eksistensinya dianggap kurang berperan dalam mewujudkan kepentingan produktivitas dan efisiensi pada masyarakat modern. Dalam kerangka tindakan komunikatif yang menghasilkan hibridisasi terjadi perpaduan antara pengetahuan lokal dengan sains yang membentuk moda pengetahuan baru sebagai hasil dari pemahaman bersama. Konsep rasionalitas komunikatif yang ditawarkan oleh Habermas ini merupakan rasionalitas kritis untuk menciptakan masyarakat komunikatif yang bebas dominasi. Konsep rasionalitas komunikatif ini mengandung pengertian yang didasarkan pada pengalaman inti yang bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus yang melampaui pandangan subyektif partisipan yang terlibat Habermas 2006. Dengan demikian melalui tindakan komunikatif inilah pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan rawa pasang surut yang menekankan pada aspek ekologis, ekonomis dan sosial diharapkan dapat terwujud. Teori tindakan komunikatif yang diajukan Habermas ini berhubungan dengan rasionalitas tindakan yang terkait dengan sistem sosial masyarakat. Rasionalitas yang muncul ini bukan hanya menyangkut pemahaman atas perilaku berdasarkan tindakan yang disadari tetapi juga terkait dengan proses rasionalisasi masyarakat. Proses rasionalisasi masyarakat ini menganggap sesuatu bersifat rasional jika hal tersebut menyentuh aspek-aspek kehidupan serta dapat dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan. Proses seperti ini hanya dapat tercapai jika tercipta komunikasi yang bebas dari dominasi. Mengacu pada pemikiran Habermas tentang pertautan antara pengetahuan dengan kepentingan, maka dalam penelitian tentang pengetahuan lokal dan kontestasinya dengan sains akan diperoleh suatu pemahaman kritis tentang kedua entitas pengetahuan tersebut. Dengan demikian, klaim-klaim kebenaran dari kedua entitas pengetahuan tersebut dapat dipahami dan direfleksikan dalam kerangka membangun kesadaran untuk menuju masyarakat komunikatif yang bebas dari dominasi. 29 III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian