Tabel 7 lanjutan Kepmen Perdagangan RI
no.02MKepXII2004. Tgl 7 Desember 2004
Perubahan atas
keputusan menteri
perindustrian dan
perdagangan no.527MPPKep92004
tentang impor
gula tanggal 21 April 2005
Peraturan Menteri Perdagangan RI no.07M-
DAGPER42005 Tentang perubahan atas
lampiran keputusan
Menperindag no.558MPPKep121998
tentang ketentuan umum dibidang
ekspor yaitu
menperindag no.385MPPKep62004
Kepmendag RI no.08M- DAGPER42005
Perubahan atas keputusan menteri perdagangan no.
02MKepXII2004 tentang perubahan atas
keputusan
Menperindag no. 527MPPKep92004
tentang impor gula Mengatur tentang harga
patokan gula dan jumlah pasokan gula impor.
Peraturan menteri Perdagangan RI no.18M-
DagPER42007 Perubahan keempat atas
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan no.
527MPPKep92004 tentang ketentuan impor
gula
Peraturan menkeu no.86PMK.0102005
Tentang keringanan tarif bea masuk atas impor gula
Kepmenkeu no. 240KMK.0102006
Pembebasan bea masuk atas impor raw sugar oleh
industri gula rafinasi
Permentan no. 57 Permen KU. 43072007
Pedoman pelaksanaan
kredit ketahanan pangan dan energi. Kredit usaha
tani tebu Rp.12.500.000,-
Permendag RI No. 83M- INDPER112008
Tentang Perlakuan Standar Nasional Indonesia Gula
Kristal Rafinasi
secara wajib
Tabel 7 lanjutan
Permen No. 20M- DAGPER52010
Penetapan Harga
Patokan Petani HPP Gula
Kristal Putih
Rp.6.350Kg Permen No. 28 Tahun
2012 Penetapan
Harga Patokan
petani Gula
Kristal Putih
HPP ditetapkan
sebesar Rp.8.100 Kg
Sumber: Sudana et al, 2000; Susila 2002 dalam Mardianto et al,2005; Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2008
Integrasi antara usaha perkebunan tebu dan pabrik gula pengolah tebu merupakan faktor kunci efisiensi industri gula. Pada zaman kolonial, integrasi
sistem agribisnis dapat dijamin melalui kuasi organisasi yang melibatkan kekuatan memaksa dari pemerintah. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial
untuk menanam tebu, sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan jadwal panen yang disiapkan oleh pabrik. Menanam tebu merupakan prioritas wajib bagi
petani. Prioritas peruntukan lahan di Jawa adalah untuk perkebunan tebu, bukan untuk padi. Dengan begitu, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku
yang cukup sepanjang musim giling. Hal ini yang membuat industri gula di Jawa sangat efisien. Pada tahun 1930-1940, rendemen gula dapat mencapai 12 persen
lebih, sementara saat ini hanya sekitar 6-7 persen Mardianto et al, 2005.
Dari sisi petani, adanya inpres no. 51998, 21 Januari 1998 dan UU no.121992 yang memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas
sesuai dengan prospek pasar, menyebabkan petani tebu tidak tertarik untuk menanam tebu. Rohman et al 2005 menyatakan juga bahwa biaya yang
diperlukan untuk menanam tebu termasuk tinggi Rp14-16 juta, jangka waktu panen yang lama 12-13 bulan, kebijakan pemerintah akan impor gula yang
dianggap tidak mendukung petani dan harga gula impor cenderung lebih murah dari harga gula dalam negerimerupakan penyebab produksi gula dan pasokan tebu
rendah.
2.3 Produk Derivasi Tebu PDT
Pemerintah dengan berbagai kebijakan promotif dan protektifnya telah menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pengembangan industri gula
berbasis tebu. Seperti menetapkan harga patokan petani, rencana pembangunan PG di Glenmor Kabupaten Banyuwangi-Jawa timur, perluasan areal tebu di Pulau
Madura, dan membangun pabrik bioethanol pertama milik BUMN yang berada di GempolKrep Kabupaten Mojokerto, Jawa timur. Di gula, beberapa produk
derivate tebu PDT sepertietanol, ragiroti, inactive yeast, wafer pucuk tebu, papan partikel, papan serat, pulp, kertas, ca-sitrat dan listrik mempunyai peluang
pasar yang cukup terbuka, baik di pasar domestik maupun internasional. Guna mewujudkan sasaran pembangunan industri gula berbasis tebu, maka diperlukan
investasi baik pada usaha tani, pabrik gula dan produk derivatnya, serta investasi pemerintah Deptan, 2005.
Berbagai produk dapat dihasilkan dari kegiatan budidaya tebu dan selama pengolahan tebu di pabrik gula PG, mulai dari pucuk cane top, serasah trash,
ampas bagasse, tetes molasse, blotong filter cake, abu ketel boiler ash dan gas buang flue gas. Selama ini sebagian kecil pucuk dan serasah dimanfaatkan
untuk pakan ternak. Ampas dibakar kembali untuk menghasilkan energi untuk keperluan proses di PG. Beberapa PG yang mengalami kekurangan ampas juga
menggunakan serasah trash untuk bahan bakar. Tetes menjadi bahan baku produk proses fermentasi, seperti alkohol, spiritus, mono sodium glutamat MSG,
ragi roti dan protein sel tunggal PST. Blotong dan abu ketel dikembalikan ke lahan sebagai sumber bahan organik dan pupuk Toharisman dan Kurniawan,
2012.
Produk pengolahan hasil ikutan tebu semakin bernilai ekonomi tinggidan bahkan bisa lebih tinggi dari pada produk utamanya gula Toharisman dan
Kurniawan, 2012. Diversifikasi produk turunan ini tidak hanya terkait dengan diversifikasi risiko dan pendapatan, melainkan juga bisa menjadi sandaran kinerja
perusahaan gula Toasa, 2009. Ke depan, kinerja keuangan PG akan lebih banyak ditopang oleh pengembangan pasar produk hilir tebu non gula. Pemanfaatan
produk hilir non gula bisa berkontribusi 60 persen terhadap total pendapatan PG Subiyono, 2013.
Selama ini tanaman tebu lebih difokuskan untuk diproses menjadi produk gula tebu dengan skala besar dibuat pabrik-pabrik gula sebagai tempat produksi
gula tebu. Kemudian banyak manfaat untuk memenuhi kebutuhanbanyak hal dari mulai pakan ternak. Dengan memanfaatkan tanaman tebu untuk dio lah
selain menjadi gula maka produktivitas perusahaan dalam pengolahan tebu akan meningkat, secara tidak langsunghal ini akan meningkatkan produktivitas
perusahaansecara umum dan akan meningkatkan keuntunganperusahaan. Ditegaskan oleh penelitian Malian 2004 untuk meningkatkan daya saing
industri gula nasional, setiap PG perlu melakukan diversifikasi produk gula dan produk turunannya. Begitu pula penelitian Cahyani 2008, menggunakan metode
SWOT bahwa pemanfaatan hasil samping produk gula sebagai salah satu upaya daya saing dan strategi pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Penelitian
Siagian 1999 memaparkan bahwa biaya produksi gula nasional belum efisien, di mana biaya memproduksi gula dan tetes secara bersama-sama lebih murah
daripada biaya memproduksi gula atau tetes saja, dengan demikian untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi gula nasional diperlukan peningkatan skala
usaha dan diversifikasi produk dari pabrik gula yaitu gula dan tetes.
Penelitian Dibyoseputro 2012 menggambarkan bahwa pelaku usaha agroindustri gula tebu mengharapkan pengembangan produk alternatif sebagai
upaya meningkatkan kinerja agroindustri gula tebu di masa depan dan sebagai upaya meningkatkan daya saing baik di tingkat domestik maupun internasional.
Sedangkan mengenai pengembangan kinerja agroindustri gula tebu dilaporkan bahwa kinerja agroindustri gula tebu dapat tercapai secara optimal apabila
pemangku penentu kebijakan memutuskan kebijakan pengembangan produk alternatif sebagai kebijakan utama.
Kajian Toharisman dan Kurniawan 2012 tebu merupakan sumber biomassa yang sangat besar yang tersebar ke dalam berbagai komponen tanaman.