Perumusan Masalah Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu Sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah Di Jawa Timur
penelitian dan pengembangan, pendukung; 2. Rencana Aksi Jangka Menengah 2015-2019; 3. Rencana Aksi jangka Panjang 2020-2024 Kemenperin, 2010.
Sejak awal berdiri, industri gula di Indonesia tidak dirancang sebagai industri gula yang terpadu dengan industri lainnya. Hal ini karena sebagian besar
pabrik gula merupakan peninggalan jaman Hindia Belanda yang telah berumur ratusan tahun terutama milik BUMN. Kondisi ini berbeda dengan Brazil yang
memiliki industri gula yang terintegrasi dengan produk turunan tebu seperti pabrik bioethanol dan penghasil listrik atau disebut dengan co-generation
Gunawan, 2013. Mayoritas PG hanya menyetor bahan baku ke pabrik-pabrik pengolahan selanjutnya, sehingga PG memperoleh nilai tambah yang relatif kecil
dari pengolahan produk turunan tebu Toharisman dan Kurniawan, 2012.
Peluang untuk meningkatkan produksi pada Produk Derivasi Tebu PDT sangat besar, sebagaimana penelitian Martini 2008 menyatakan bahwa hasil
PDT mempunyai peluang pasar yang masih terbuka, baik pasar domestik maupun Internasional. Industri berbasis tebu memiliki potensi besar untuk dikembangkan
karena produk-produk yang dihasilkan dibutuhkan dipasaran. Kartiko 1998 juga menyatakan bahwa agroindustri tebu mendorong tumbuhnya industri-
industri baru yang bergerak disektor produksi berbahan baku tebu seperti industri gula, industri kertas, industri bahan makanan dan farmasi. Keterkaitan kebelakang
agroindustri tebu terhadap perkembangan wilayah ditunjukkan penggunaan input-input produksi berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Brazil
sebagai produsen gula terbesar dunia pada tahun 2008, mampu menghasilkan sekitar 32,96 juta ton gula dan naik menjadi 572 juta ton gula, 7 milyar gallon
ethanol, dan 16.000GWh listrik. Brazil juga menggunakan ethanol sebanyak 18- 25 sebagai campuran bahan bakar kendaraan Phillips, 2011; Sergio et al, 2010;
dan Sawit et al, 2004. Begitu pula di India, setelah melalui beberapa tahap pengembangan kapasitas giling pabrik menjadi 6000 TCD Ton Cane per Day,
co-generation
30 MW Mega Watt dan pabrik ethanolnya menjadi 120 KLPD Kilo Liter per Day Wibowo, 2012. PG di Thailand juga menghasilkan ethanol
2.925 juta liter per hari dan listrik dari uap pengolahan 925 MW Mega Watt pada tahun 2011 Feryanto, 2012.
Indonesia sebagai negara yang menduduki peringkat 10 besar dunia dalam hal produksi gula, tidak terlepas dari kontribusi daerah-daerah
penyumbang gula di Indonesia. Salah satunya adalah Provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai sentra produksi tebu di Indonesia menguasai produksi tebu
sebesar 49,22 dari produksi nasional BPS, 2012.
Gambar 2 menunjukkan bahwa produksi tebu terbesar berasal dari Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2011 produksi tebu yang berasal dari Provinsi
Jawa Timur sebesar 1,05 juta ton yang berarti sekitar 49,22 persen dari total produksi tebu Indonesia. Sementara provinsi lainnya yang juga penghasil tebu
yang cukup besar yakni Lampung sebesar 631.53 ribu ton 29,70, Jawa Tengah sebesar 182.29 ribu ton 8,57 dan Jawa Barat 90.40 ribu ton 4,25.
Gambar 2 Provinsi Sentra Produksi Tebu 2009-2011 Sumber: BPS 2012, data diolah
Perkembangan produksi gula di Jawa Timur dan Nasional dari tahun 2007 sampai tahun 2013 Tabel 4 mengalami penurunan sebesar 2,05 persen per tahun,
pada tahun 2010 penurunan ini diakibatkan karena kondisi iklim yang tidak mendukung. Sedangkan di Jawa Timur pada tahun 2007-2013 terjadi peningkatan
produksi sebesar 2,80 persen. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh areal dan produktivitas yang meningkat. Dukungan produksi gula Jatim terhadap
produksi Nasional mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 15,41 persen pertahun. Peningkatan produksi gula yang cukup mencolok pada tahun 2012 di
tingkat nasional sebesar 2,591 juta ton dan tahun yang sama 2012 peningkatan terjadi di Jawa Timur sebesar 1,254 juta ton. Kontribusi produksi gula di Jawa
Timur tahun 2013 terhadap produksi gula nasional adalah sebesar 51,32 persen. Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia setelah provinsi
Lampung dan provinsi Jawa Tengah Dinas Perkebunan Disbun Jawa Timur, 2012a.
Tabel 4 Perkembangan produksi gula di Jawa Timur dan Nasional Tahun 2007-2013
Tahun Prod Jatim
ton Prod
Nasional ton
Kontribusi Pertumbuhan
Jatim Nas
2007 1.048.735
2.448.143 42,84
- -
2008 1.065.523
2.703.976 39,41
1,60 10,45
2009 1.020.481
2.624.068 38,89
-4,23 -2,96
2010 1.014.272
2.388.636 42,46
-0,61 -8,97
2011 1.051.642
2.228.259 47,20
3,68 -6,71
2012 1.254.860
2.591.687 51,58
16,2 -2,05
2013 1.241.958
2.551.024 51,32
-1,04 -1,59
Rata-Rata 1.040.130
2.478.616 15,41
2,80 -1,57
Sumber: Tahun 2007- tahun 2011 Dinas Perkebunan Jatim, 2012 Data diolah;Tahun 2012-tahun 2013 DGI, 2014 data diolah
Data pada Tabel 5 menjelaskan bahwa perkembangan luas areal tebu pada tahun 2007-2013 berfluktuasi baik di tingkat nasional maupun di Jawa Timur.
Luas areal di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen per tahun, sedangkan di tingkat nasional juga mengalami penurunan dengan nilai lebih kecil,
49 30
9 4
8 Jawa Timur
Lampung Jawa Tengah
Jawa Barat Propinsi Lain
yaitu sebesar -0,06 persen pertahun. Pertumbuhan luas areal tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 215.847 Ha. Kontribusi luasan lahan tebu Jatim terhadap
nasional dari tahun 2009-2013 sebesar 54,73 persen. Hal ini terjadi karena adanya pengembangan luas areal tanaman perkebunan di Madura, Lamongan, Bojonegoro
dan Tuban. Menolak impor raw sugar dan menolak menutup sejumlah PG yang mengalami kerugian Disbun Jatim, 2014. Peningkatan luas areal perkebunan
tebu akan berpengaruh kepada penyerapan tenaga kerja di subsektor perkebunan dan produksi gula. Sejalan penelitian Tchereni et al 2012 menyatakan bahwa
ukuran lahan merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi.
Jatim sebagai penghasil gula terbesar di Indonesia dan ditunjang dengan luas areal yang selalu meningkat Tabel 4 dan Tabel 5, menyebabkan Jawa
Timur mengalami kondisi surplus gula Disbun Jatim, 2011. Kelebihan gula tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan provinsi lain di Indonesia. Dalam
rangka mendukung program swasembada gula nasional, pemerintah pusat pada tahun 2011 memberikan target bagi Jatim untuk meningkatkan produksi gula
menjadi 1,65 juta ton.
Tabel 5 Perkembangan Luas Areal Tebu Tahun 2007-2013 Tahun
Giling Areal Jatim
Ha Areal
Nasional ha Kontribusi
Pertumbuhan Jatim
Pertumbuhan Nasional
2007 174.463
- -
- -
2008 206.263
- -
18,23 -
2009 186.026
422.867 43,99
-9,81 -
2010 193.396
436.570 44,30
3,96 3,24
2011 194.910
434.962 44,81
0,78 -0,37
2012 200.928
451.191 55,47
3,09 3,73
2013 215.847
469.228 54,00
6,91 -3,84
Rata-Rata 195.976
442.963 54,73
5,00 -0,06
Sumber: Tahun 2007- 2011 sumber dari Dinas Perkebunan Jatim 2012b data diolah; Tahun 2012-2013 sumber dari DGI 2014
Pentingnya peningkatan produktivitas PDT sebagaimana penelitian Sundari 2000 menyatakan bahwa perhitungan secara agregat sektor industri
pengolahan selain gula adalah sektor yang paling dominan terhadap pembentukan output domestik, yaitu sebesar 34,8 persen disusul sektor perdagangan sebesar
13,2 persen dan sektor bangunan berada pada posisi ketiga yaitu sebesar 11,8 persen, sedangkan sektor tebu hanya menyumbang 1,3 persen dari keseluruhan
output. Begitu juga dilihat dari pembentukan nilai tambah bruto, ternyata sektor industri pengolahan selain gula memberikan kontribusi yang paling besar, disusul
sektor perdagangan dan sektor jasa. Ditegaskan pula oleh Murdiyatmo 2006 bahwa penyerapan tenaga kerja satu pabrik ethanol berkapasitas 50 juta liter per
tahun yang membutuhkan bahan baku yang berasal dari 10.000 hektar lahan adalah 20.000 orang tenaga kerja.
Kementerian Perindustrian 2010 menyatakan bahwa pembangunan industri bioetanol bisa mendukung pengembangan industri berbahan baku produk
turunan dan industri berwawasan lingkungan eco-friendly industry yang mampu mengurangi dampak perubahan iklim. Sejalan dengan penelitian Murdiyatmo
2006 bahwa pemakaian ethanol dalam campuran bahan bakar karena ramah
lingkungan emisi karbon monoksida kurang dari 19-25, nilai oktan yang lebih tinggi, dan terbarukan renewable. Cahyati 2012menjelaskan mengenai
rekayasa model penilaian kinerja PG berdasar eco-maintenance,mampu menghemat konsumsi energi per masa giling sebesar Rp.440.361.576,- sedangkan
total reduksi polutan gas CO
2
yang dapat direduksi adalah sebesar 1.122.213 Kg. Senada dengan pernyataan Subiyono 2013 bahwa diversifikasi produk bukan
hanya karena keuntungan yang menjanjikan, tetapi pengolahan produk turunan tebu bisa menghasilkan energi dan barang yang ramah lingkungan. Penelitian
Ariesa dan Tinaprilla 2012 menyatakan bahwa penggunaan mesin tua menyebabkan banyaknya gula yang hilang dalam proses produksi. Hal ini berarti
jam henti giling tinggi dan polusi yang ditimbulkan tinggi. Penelitian Rahmatulloh et al 2007 menjelaskan bahwa limbah vinase hasil pengolahan
etanol dapat dijadikan pupuk cair sehingga limbah tidak mencemari lingkungan.
Pada masa yang akan datang, penggunaan ethanol sebagai campuran bahan bakar minyak bisa menghemat penggunaan bahan bakar minyak BBM
dan subsidi di Indonesia yang terus mengalami kenaikan karena harga minyak dunia juga mengalami kenaikan. Tahun 2011, harga minyak mentah Indonesia
per barel US 90 atau Rp792.000,- berdasarkan kurs 1 US = Rp 8.800. Dalam bulan Maret 2012 harga minyak di dunia terus meningkat naik. Awal Maret 2012
harga minyak mentah Indonesia sudah mencapai per barel US 112 atau Rp 1.008.000 berdasarkankurs 1 US = Rp 9.000, atau Rp 6.340 per liter. Harga
minyak mentah tersebut belum diolah menjadi bensin premium. Sehingga terjadi peningkatan subsidi dari Rp.168,55 T menjadi Rp.230,43 T Kementrian Energi
Sumber Daya dan Mineral, 2012.
Fakta yang ada, sebagian besar 53 pabrik gula di Jawa didominasi oleh pabrik dengan kapasitas giling kecil lebih besar dari 3.000 TCD, 44
berkapasitas giling 3.000 sampai 6.000 TCD dan hanya 3.0 persen yang berkapasitas giling diatas 6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula
yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun umumnya berskala kecil serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi
yang rendah. Biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru Sawit et al,
2004; Rohman et al, 2005; Kudhori dalam Thoha, 2010. Parameter inefisiensi secara luas sebagai berikut: 1. Produktivitas lahan, 2. Kandungan gula dalam
tanaman tebu, 3. Rendemen, 4. Konsumsi energi, 5. Nilai tambah produk, 6. Produktivitas tenaga kerja, 7. Biaya maintenance, 8. Jam berhenti, dan 9.
Konsumsi air Subiyono, 2013. Didukung oleh penelitian Mardianto 2005 menyatakan bahwa penyebab efisiensi rendah yakni keterbatasan sumber daya PG
seperti teknologi proses sudah usang, mesin produksi kurang perawatan, dan kapasitas giling rendah.
Tabel 6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Industri Gula Indikator
Dunia India
Indonesia Rata-
Rata BUMN
Produktivitas Lahan TonHa 80-90
70-85 Mak 105
65-70 62
Kandungan Gula Tebu 14-16
12.5-13.0 10.0-10.2 9.80-10.0
Total kehilangan Tebu 2.0
2.0 -
- Rendemen
12-14 10.5-11.0
7.0-7.5 7.2
Konsumsi Uap tebu 40
42-45 52-60
55-65 Daya Konsumsi KWHTCH
25 30
- -
Jam Berhenti Pabrik usia 2.5
2.5 -
- Keseluruhan tingkat Efisiensi
Pabrik 85-87.5
85-87 70-75
72 Sumber: Baghat, 2011
Tabel 6 menjelaskan tingkat efisiensi di India, Indonesia dan beberapa negara dunia seperti Australia, Brazil, India, Thailand, Colombia dan Afrika
Selatan. Target efisiensi untuk PG di Indonesia, yaitu tingkat produktivitas 75-80 tonha, gula yang hilang kurang dari 2, rendemen 8,5-9, konsumsi uap
45-50, tingkat efisiensi 80-82. Tabel6 menjelaskan bahwa tingkat efisiensi industri gula di Indonesia lebih rendah dibandingkan denganindustri gula dunia.
Di India wilayah Maharashtra dan Karnataka memiliki kandungan gula yang tinggi antara 15-15,5 dengan tingkat rendemen 13,0-13,5. Tingkat efisiensi
yang rendah ini menyebabkan biaya tinggi dan daya saing rendah.
Walaupun kondisi PG yang berada di bawah naungan BUMN kurang efisien dan kapasitas pabrik kecil, tidak bisa serta-merta menutup PG-PG yang
ada, nilai investasi untuk membangun industri gula sangat besar yang tidak dapat dialihkan ke bidang lain atau disebut investasi terperangkap. Nilai investasi
untuk membangun satu PG berkisar antara US130 juta sampai 170 juta Susmiadi, 1998 dalam Susila dan Sinaga, 2005, maka dengan melakukan
diversifikasi akan menurunkan unit cost produksi gula, dari sisi petani tebu dan pabrik gula sama-sama akan memperoleh keuntungan.
Dari sisi pendapatan, Brazil sebagai negara produsen gula terbesar di dunia yang mencatat pendapatan nasional pertahun dari sektor gulatebu hampir
US 28 milyar tahun 2011, devisa US16.2 milyar tahun 2011, investasi langsung lebih dari 20 M, penyerapan TK di sektor formal 1,18 juta tenaga kerja,
sumbangan terhadap sumber energi 18 dan mengurangi penggunaan emisi CO
2
lebih dari 600 milyar ton sejak 1975. Produksi ethanol Brazil menyumbang 20 produksi dunia dan menyumbang 20 ekspor dunia Phillips, 2012.
Gambar 3 Kontribusi Sektor Perkebunan terhadap PDRB Jatim tahun 2000-2010 Sumber: BPS Jatim, 2011
Pada Gambar 3 terlihat bahwa kontribusi sub sektor perkebunan terhadap PDRB Jatim menunjukkan trend menurun. Kontribusi sub sektor perkebunan juga
menunjukkan jumlah yang relatif kecil sebesar 2-3,3 per tahun. Sumbangan sub sektor perkebunan pada tahun 2010 sebesar Rp. 6,66 Milyar dan mengalami
peningkatan sebesar Rp. 7,23 Milyar pada tahun 2010. Jika dilihat jumlah output sub sektor perkebunan dari tahun 2000-2010 berfluktuasi, namun kontribusinya
jika dibandingkan dengan PDRB Jatim mengalami penurunan 4,15 persen dari tahun 2000-2010. Diharapkan peningkatan produksi GKP dan PDT mampu
memberikan peningkatan kontribusi terhadap PDRB Jatim.
Pencapaian produksi GKP dan PDT dihadapkan pada berbagai tantangan dari sisi on farm dan off farm serta melibatkan kepentingan stakeholder mulai dari
pemerintah, PG, dan petani tebu. Untuk itu diperlukan pendekatan sistem dengan cara membangun model yang mampu merepresentasikan sistem industri
pergulaan nasional sehingga dinamika untuk mewujudkan peningkatan produksi gula dan PDT dapat disimulasikan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan
yang tepat. Model PDT dibangun dengan pendekatan sistem dinamis karena mampu menjelaskan sistem pergulaan nasional yang bersifat dinamis dari waktu
ke waktu. Setiap kebijakan didasarkan pada kondisi sosial, ekonomi dan politik. Sistem pergulaan nasional ini berkaitan erat dengan PDT. Kesuksesanprogram
swasembada gula melalui RIGN, dapat menjadi salah satu pengungkit untuk peningkatan gula dan PDT.
Pendekatan sistem dinamis tepat karena mampu menjelaskan kompleksitas permasalahan yang terjadi pada sistem industri gula khususnya
GKP dan PDT dan menyederhanakannya dalam bentuk model. Dari model pengembangan agroindustri gula tebu, dapat diketahui dinamika pengembangan
gula tebu dalam kaitannya dengan perekonomian daerah, serta dapat dilakukan simulasi dampak kebijakan RIGN terhadap pengembangan gula tebu dan
penyusunan skenario kebijakan alternatif untuk mendukung pengembangan gula tebu.
Berdasarkan pada berbagai permasalahan yang terungkap di atas, mengenai kondisi PG yang usianya tua, bahan baku yang kurang memadai, dan
kapasitas mesin yang rendah, untuk meningkatan masa depan industri pergulaan
2 2.2
2.4 2.6
2.8 3
3.2 3.4
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010
P e
rsen
Tahun
Kontribusi Perkebunan Thd PDRB ADHK Jatim
dan keterkaitannya dengan perekonomian wilayah, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Pada kondisi aktual, bagaimana dampak agroindustri gula tebu terhadap, produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan
profit petani dan perekonomian wilayah? 2. Bagaimana dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional RIGN
terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan profit petani dan perekonomian
wilayah?
3. Bagaimana skenario dan alternatif kebijakan untuk peningkatan GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan profit petani dan
perekonomian wilayah JawaTimur?