Perumusan Masalah Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu Sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah Di Jawa Timur

penelitian dan pengembangan, pendukung; 2. Rencana Aksi Jangka Menengah 2015-2019; 3. Rencana Aksi jangka Panjang 2020-2024 Kemenperin, 2010. Sejak awal berdiri, industri gula di Indonesia tidak dirancang sebagai industri gula yang terpadu dengan industri lainnya. Hal ini karena sebagian besar pabrik gula merupakan peninggalan jaman Hindia Belanda yang telah berumur ratusan tahun terutama milik BUMN. Kondisi ini berbeda dengan Brazil yang memiliki industri gula yang terintegrasi dengan produk turunan tebu seperti pabrik bioethanol dan penghasil listrik atau disebut dengan co-generation Gunawan, 2013. Mayoritas PG hanya menyetor bahan baku ke pabrik-pabrik pengolahan selanjutnya, sehingga PG memperoleh nilai tambah yang relatif kecil dari pengolahan produk turunan tebu Toharisman dan Kurniawan, 2012. Peluang untuk meningkatkan produksi pada Produk Derivasi Tebu PDT sangat besar, sebagaimana penelitian Martini 2008 menyatakan bahwa hasil PDT mempunyai peluang pasar yang masih terbuka, baik pasar domestik maupun Internasional. Industri berbasis tebu memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena produk-produk yang dihasilkan dibutuhkan dipasaran. Kartiko 1998 juga menyatakan bahwa agroindustri tebu mendorong tumbuhnya industri- industri baru yang bergerak disektor produksi berbahan baku tebu seperti industri gula, industri kertas, industri bahan makanan dan farmasi. Keterkaitan kebelakang agroindustri tebu terhadap perkembangan wilayah ditunjukkan penggunaan input-input produksi berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Brazil sebagai produsen gula terbesar dunia pada tahun 2008, mampu menghasilkan sekitar 32,96 juta ton gula dan naik menjadi 572 juta ton gula, 7 milyar gallon ethanol, dan 16.000GWh listrik. Brazil juga menggunakan ethanol sebanyak 18- 25 sebagai campuran bahan bakar kendaraan Phillips, 2011; Sergio et al, 2010; dan Sawit et al, 2004. Begitu pula di India, setelah melalui beberapa tahap pengembangan kapasitas giling pabrik menjadi 6000 TCD Ton Cane per Day, co-generation 30 MW Mega Watt dan pabrik ethanolnya menjadi 120 KLPD Kilo Liter per Day Wibowo, 2012. PG di Thailand juga menghasilkan ethanol 2.925 juta liter per hari dan listrik dari uap pengolahan 925 MW Mega Watt pada tahun 2011 Feryanto, 2012. Indonesia sebagai negara yang menduduki peringkat 10 besar dunia dalam hal produksi gula, tidak terlepas dari kontribusi daerah-daerah penyumbang gula di Indonesia. Salah satunya adalah Provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai sentra produksi tebu di Indonesia menguasai produksi tebu sebesar 49,22 dari produksi nasional BPS, 2012. Gambar 2 menunjukkan bahwa produksi tebu terbesar berasal dari Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2011 produksi tebu yang berasal dari Provinsi Jawa Timur sebesar 1,05 juta ton yang berarti sekitar 49,22 persen dari total produksi tebu Indonesia. Sementara provinsi lainnya yang juga penghasil tebu yang cukup besar yakni Lampung sebesar 631.53 ribu ton 29,70, Jawa Tengah sebesar 182.29 ribu ton 8,57 dan Jawa Barat 90.40 ribu ton 4,25. Gambar 2 Provinsi Sentra Produksi Tebu 2009-2011 Sumber: BPS 2012, data diolah Perkembangan produksi gula di Jawa Timur dan Nasional dari tahun 2007 sampai tahun 2013 Tabel 4 mengalami penurunan sebesar 2,05 persen per tahun, pada tahun 2010 penurunan ini diakibatkan karena kondisi iklim yang tidak mendukung. Sedangkan di Jawa Timur pada tahun 2007-2013 terjadi peningkatan produksi sebesar 2,80 persen. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh areal dan produktivitas yang meningkat. Dukungan produksi gula Jatim terhadap produksi Nasional mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 15,41 persen pertahun. Peningkatan produksi gula yang cukup mencolok pada tahun 2012 di tingkat nasional sebesar 2,591 juta ton dan tahun yang sama 2012 peningkatan terjadi di Jawa Timur sebesar 1,254 juta ton. Kontribusi produksi gula di Jawa Timur tahun 2013 terhadap produksi gula nasional adalah sebesar 51,32 persen. Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia setelah provinsi Lampung dan provinsi Jawa Tengah Dinas Perkebunan Disbun Jawa Timur, 2012a. Tabel 4 Perkembangan produksi gula di Jawa Timur dan Nasional Tahun 2007-2013 Tahun Prod Jatim ton Prod Nasional ton Kontribusi Pertumbuhan Jatim Nas 2007 1.048.735 2.448.143 42,84 - - 2008 1.065.523 2.703.976 39,41 1,60 10,45 2009 1.020.481 2.624.068 38,89 -4,23 -2,96 2010 1.014.272 2.388.636 42,46 -0,61 -8,97 2011 1.051.642 2.228.259 47,20 3,68 -6,71 2012 1.254.860 2.591.687 51,58 16,2 -2,05 2013 1.241.958 2.551.024 51,32 -1,04 -1,59 Rata-Rata 1.040.130 2.478.616 15,41 2,80 -1,57 Sumber: Tahun 2007- tahun 2011 Dinas Perkebunan Jatim, 2012 Data diolah;Tahun 2012-tahun 2013 DGI, 2014 data diolah Data pada Tabel 5 menjelaskan bahwa perkembangan luas areal tebu pada tahun 2007-2013 berfluktuasi baik di tingkat nasional maupun di Jawa Timur. Luas areal di Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 5 persen per tahun, sedangkan di tingkat nasional juga mengalami penurunan dengan nilai lebih kecil, 49 30 9 4 8 Jawa Timur Lampung Jawa Tengah Jawa Barat Propinsi Lain yaitu sebesar -0,06 persen pertahun. Pertumbuhan luas areal tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 215.847 Ha. Kontribusi luasan lahan tebu Jatim terhadap nasional dari tahun 2009-2013 sebesar 54,73 persen. Hal ini terjadi karena adanya pengembangan luas areal tanaman perkebunan di Madura, Lamongan, Bojonegoro dan Tuban. Menolak impor raw sugar dan menolak menutup sejumlah PG yang mengalami kerugian Disbun Jatim, 2014. Peningkatan luas areal perkebunan tebu akan berpengaruh kepada penyerapan tenaga kerja di subsektor perkebunan dan produksi gula. Sejalan penelitian Tchereni et al 2012 menyatakan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi. Jatim sebagai penghasil gula terbesar di Indonesia dan ditunjang dengan luas areal yang selalu meningkat Tabel 4 dan Tabel 5, menyebabkan Jawa Timur mengalami kondisi surplus gula Disbun Jatim, 2011. Kelebihan gula tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan provinsi lain di Indonesia. Dalam rangka mendukung program swasembada gula nasional, pemerintah pusat pada tahun 2011 memberikan target bagi Jatim untuk meningkatkan produksi gula menjadi 1,65 juta ton. Tabel 5 Perkembangan Luas Areal Tebu Tahun 2007-2013 Tahun Giling Areal Jatim Ha Areal Nasional ha Kontribusi Pertumbuhan Jatim Pertumbuhan Nasional 2007 174.463 - - - - 2008 206.263 - - 18,23 - 2009 186.026 422.867 43,99 -9,81 - 2010 193.396 436.570 44,30 3,96 3,24 2011 194.910 434.962 44,81 0,78 -0,37 2012 200.928 451.191 55,47 3,09 3,73 2013 215.847 469.228 54,00 6,91 -3,84 Rata-Rata 195.976 442.963 54,73 5,00 -0,06 Sumber: Tahun 2007- 2011 sumber dari Dinas Perkebunan Jatim 2012b data diolah; Tahun 2012-2013 sumber dari DGI 2014 Pentingnya peningkatan produktivitas PDT sebagaimana penelitian Sundari 2000 menyatakan bahwa perhitungan secara agregat sektor industri pengolahan selain gula adalah sektor yang paling dominan terhadap pembentukan output domestik, yaitu sebesar 34,8 persen disusul sektor perdagangan sebesar 13,2 persen dan sektor bangunan berada pada posisi ketiga yaitu sebesar 11,8 persen, sedangkan sektor tebu hanya menyumbang 1,3 persen dari keseluruhan output. Begitu juga dilihat dari pembentukan nilai tambah bruto, ternyata sektor industri pengolahan selain gula memberikan kontribusi yang paling besar, disusul sektor perdagangan dan sektor jasa. Ditegaskan pula oleh Murdiyatmo 2006 bahwa penyerapan tenaga kerja satu pabrik ethanol berkapasitas 50 juta liter per tahun yang membutuhkan bahan baku yang berasal dari 10.000 hektar lahan adalah 20.000 orang tenaga kerja. Kementerian Perindustrian 2010 menyatakan bahwa pembangunan industri bioetanol bisa mendukung pengembangan industri berbahan baku produk turunan dan industri berwawasan lingkungan eco-friendly industry yang mampu mengurangi dampak perubahan iklim. Sejalan dengan penelitian Murdiyatmo 2006 bahwa pemakaian ethanol dalam campuran bahan bakar karena ramah lingkungan emisi karbon monoksida kurang dari 19-25, nilai oktan yang lebih tinggi, dan terbarukan renewable. Cahyati 2012menjelaskan mengenai rekayasa model penilaian kinerja PG berdasar eco-maintenance,mampu menghemat konsumsi energi per masa giling sebesar Rp.440.361.576,- sedangkan total reduksi polutan gas CO 2 yang dapat direduksi adalah sebesar 1.122.213 Kg. Senada dengan pernyataan Subiyono 2013 bahwa diversifikasi produk bukan hanya karena keuntungan yang menjanjikan, tetapi pengolahan produk turunan tebu bisa menghasilkan energi dan barang yang ramah lingkungan. Penelitian Ariesa dan Tinaprilla 2012 menyatakan bahwa penggunaan mesin tua menyebabkan banyaknya gula yang hilang dalam proses produksi. Hal ini berarti jam henti giling tinggi dan polusi yang ditimbulkan tinggi. Penelitian Rahmatulloh et al 2007 menjelaskan bahwa limbah vinase hasil pengolahan etanol dapat dijadikan pupuk cair sehingga limbah tidak mencemari lingkungan. Pada masa yang akan datang, penggunaan ethanol sebagai campuran bahan bakar minyak bisa menghemat penggunaan bahan bakar minyak BBM dan subsidi di Indonesia yang terus mengalami kenaikan karena harga minyak dunia juga mengalami kenaikan. Tahun 2011, harga minyak mentah Indonesia per barel US 90 atau Rp792.000,- berdasarkan kurs 1 US = Rp 8.800. Dalam bulan Maret 2012 harga minyak di dunia terus meningkat naik. Awal Maret 2012 harga minyak mentah Indonesia sudah mencapai per barel US 112 atau Rp 1.008.000 berdasarkankurs 1 US = Rp 9.000, atau Rp 6.340 per liter. Harga minyak mentah tersebut belum diolah menjadi bensin premium. Sehingga terjadi peningkatan subsidi dari Rp.168,55 T menjadi Rp.230,43 T Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral, 2012. Fakta yang ada, sebagian besar 53 pabrik gula di Jawa didominasi oleh pabrik dengan kapasitas giling kecil lebih besar dari 3.000 TCD, 44 berkapasitas giling 3.000 sampai 6.000 TCD dan hanya 3.0 persen yang berkapasitas giling diatas 6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun umumnya berskala kecil serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi yang rendah. Biaya produksi gula per ton pada PG berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PG berskala besar atau bermesin relatif baru Sawit et al, 2004; Rohman et al, 2005; Kudhori dalam Thoha, 2010. Parameter inefisiensi secara luas sebagai berikut: 1. Produktivitas lahan, 2. Kandungan gula dalam tanaman tebu, 3. Rendemen, 4. Konsumsi energi, 5. Nilai tambah produk, 6. Produktivitas tenaga kerja, 7. Biaya maintenance, 8. Jam berhenti, dan 9. Konsumsi air Subiyono, 2013. Didukung oleh penelitian Mardianto 2005 menyatakan bahwa penyebab efisiensi rendah yakni keterbatasan sumber daya PG seperti teknologi proses sudah usang, mesin produksi kurang perawatan, dan kapasitas giling rendah. Tabel 6 Perbandingan Tingkat Efisiensi Industri Gula Indikator Dunia India Indonesia Rata- Rata BUMN Produktivitas Lahan TonHa 80-90 70-85 Mak 105 65-70 62 Kandungan Gula Tebu 14-16 12.5-13.0 10.0-10.2 9.80-10.0 Total kehilangan Tebu 2.0 2.0 - - Rendemen 12-14 10.5-11.0 7.0-7.5 7.2 Konsumsi Uap tebu 40 42-45 52-60 55-65 Daya Konsumsi KWHTCH 25 30 - - Jam Berhenti Pabrik usia 2.5 2.5 - - Keseluruhan tingkat Efisiensi Pabrik 85-87.5 85-87 70-75 72 Sumber: Baghat, 2011 Tabel 6 menjelaskan tingkat efisiensi di India, Indonesia dan beberapa negara dunia seperti Australia, Brazil, India, Thailand, Colombia dan Afrika Selatan. Target efisiensi untuk PG di Indonesia, yaitu tingkat produktivitas 75-80 tonha, gula yang hilang kurang dari 2, rendemen 8,5-9, konsumsi uap 45-50, tingkat efisiensi 80-82. Tabel6 menjelaskan bahwa tingkat efisiensi industri gula di Indonesia lebih rendah dibandingkan denganindustri gula dunia. Di India wilayah Maharashtra dan Karnataka memiliki kandungan gula yang tinggi antara 15-15,5 dengan tingkat rendemen 13,0-13,5. Tingkat efisiensi yang rendah ini menyebabkan biaya tinggi dan daya saing rendah. Walaupun kondisi PG yang berada di bawah naungan BUMN kurang efisien dan kapasitas pabrik kecil, tidak bisa serta-merta menutup PG-PG yang ada, nilai investasi untuk membangun industri gula sangat besar yang tidak dapat dialihkan ke bidang lain atau disebut investasi terperangkap. Nilai investasi untuk membangun satu PG berkisar antara US130 juta sampai 170 juta Susmiadi, 1998 dalam Susila dan Sinaga, 2005, maka dengan melakukan diversifikasi akan menurunkan unit cost produksi gula, dari sisi petani tebu dan pabrik gula sama-sama akan memperoleh keuntungan. Dari sisi pendapatan, Brazil sebagai negara produsen gula terbesar di dunia yang mencatat pendapatan nasional pertahun dari sektor gulatebu hampir US 28 milyar tahun 2011, devisa US16.2 milyar tahun 2011, investasi langsung lebih dari 20 M, penyerapan TK di sektor formal 1,18 juta tenaga kerja, sumbangan terhadap sumber energi 18 dan mengurangi penggunaan emisi CO 2 lebih dari 600 milyar ton sejak 1975. Produksi ethanol Brazil menyumbang 20 produksi dunia dan menyumbang 20 ekspor dunia Phillips, 2012. Gambar 3 Kontribusi Sektor Perkebunan terhadap PDRB Jatim tahun 2000-2010 Sumber: BPS Jatim, 2011 Pada Gambar 3 terlihat bahwa kontribusi sub sektor perkebunan terhadap PDRB Jatim menunjukkan trend menurun. Kontribusi sub sektor perkebunan juga menunjukkan jumlah yang relatif kecil sebesar 2-3,3 per tahun. Sumbangan sub sektor perkebunan pada tahun 2010 sebesar Rp. 6,66 Milyar dan mengalami peningkatan sebesar Rp. 7,23 Milyar pada tahun 2010. Jika dilihat jumlah output sub sektor perkebunan dari tahun 2000-2010 berfluktuasi, namun kontribusinya jika dibandingkan dengan PDRB Jatim mengalami penurunan 4,15 persen dari tahun 2000-2010. Diharapkan peningkatan produksi GKP dan PDT mampu memberikan peningkatan kontribusi terhadap PDRB Jatim. Pencapaian produksi GKP dan PDT dihadapkan pada berbagai tantangan dari sisi on farm dan off farm serta melibatkan kepentingan stakeholder mulai dari pemerintah, PG, dan petani tebu. Untuk itu diperlukan pendekatan sistem dengan cara membangun model yang mampu merepresentasikan sistem industri pergulaan nasional sehingga dinamika untuk mewujudkan peningkatan produksi gula dan PDT dapat disimulasikan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat. Model PDT dibangun dengan pendekatan sistem dinamis karena mampu menjelaskan sistem pergulaan nasional yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Setiap kebijakan didasarkan pada kondisi sosial, ekonomi dan politik. Sistem pergulaan nasional ini berkaitan erat dengan PDT. Kesuksesanprogram swasembada gula melalui RIGN, dapat menjadi salah satu pengungkit untuk peningkatan gula dan PDT. Pendekatan sistem dinamis tepat karena mampu menjelaskan kompleksitas permasalahan yang terjadi pada sistem industri gula khususnya GKP dan PDT dan menyederhanakannya dalam bentuk model. Dari model pengembangan agroindustri gula tebu, dapat diketahui dinamika pengembangan gula tebu dalam kaitannya dengan perekonomian daerah, serta dapat dilakukan simulasi dampak kebijakan RIGN terhadap pengembangan gula tebu dan penyusunan skenario kebijakan alternatif untuk mendukung pengembangan gula tebu. Berdasarkan pada berbagai permasalahan yang terungkap di atas, mengenai kondisi PG yang usianya tua, bahan baku yang kurang memadai, dan kapasitas mesin yang rendah, untuk meningkatan masa depan industri pergulaan 2 2.2 2.4 2.6 2.8 3 3.2 3.4 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 P e rsen Tahun Kontribusi Perkebunan Thd PDRB ADHK Jatim dan keterkaitannya dengan perekonomian wilayah, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Pada kondisi aktual, bagaimana dampak agroindustri gula tebu terhadap, produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan profit petani dan perekonomian wilayah? 2. Bagaimana dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional RIGN terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan profit petani dan perekonomian wilayah? 3. Bagaimana skenario dan alternatif kebijakan untuk peningkatan GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan profit petani dan perekonomian wilayah JawaTimur?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan tujuan penelitian yaitu: 1. Menganalisis dampak agroindustri gula tebu terhadap produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan profit petani dan perekonomian wilayah. 2. Menganalisis dampak kebijakan RIGN terhadap pengembangan PDT pada produksi GKP, produksi PDT, PAD, keuntungan profit PG, pendapatan profit petani dan perekonomian wilayah. 3. Merumuskan kebijakan alternatif terhadap produksi GKP, produksi PDT, keuntungan profit, PAD, pendapatan profit petani dan perekonomian wilayah Jawa Timur.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Informasi dasar bagi para penentu kebijakan perekonomian wilayah dalam merumuskan program yang terkait tebu khususnya PDT dan GKP, sehingga dapat memacu pengembangan produk turunan tebu dan pengembangan industri gula. 2. Sumber informasi bagi pelaksanaan penelitian tebu dan industri gula pada masa yang akan datang terkait dengan model pengembangan PDT. 3. Kontribusi pemikiran terhadap adanya alternatif kebijakan untuk merumuskan strategi pengambangan industri tebu nasional ke depan.

1.5 Kebaruan Penelitian Novelty

Kebaharuan Penelitian novelty yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan model agroindustri gula tebu dengan menambahkan model PDT Produk Derivasi Tebu. Tidak hanya membuat model pengembangan agroindustri dari GKP saja. 2. Mengembangkan 5 jenis PDT ke dalam model, yakni bioethanol dari ampas, bioethanol dari tetes, pupuk cair, listrik dari ampas dan kampas rem dari ampas. Masing-masing melalui tahap konversi yang berbeda-beda dari produk samping ampas, tetes dan blotong menjadi bioethanol, pupuk cair, listrik dan kampas rem. 3. Penelitian yang memasukkan unsur kelembagaan yakni UU no. 643 tahun 2002 mengenai dana penyangga dana talanagan ke dalam model. 4. Memasukkan pelaku inti dalam industri gula nasional IGN yaitu petani tebu, PG dan pemerintah daerah kedalam model dan mengetahui dampak pengembangan agroindustri gula tebu tidak saja hanya pada petani tebu saja, tetapi jug pada PG dan pemerintah daerah. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Industri Pergulaan di Indonesia

Kebijakan industri pergulaan di Indonesia melalui beberapa tahapan atau fase. Gula yang berasal dari tebu merupakan salah satu bahan utama pemanis di seluruh dunia. Tebu atau yang dikenal dengan nama latin Saccharum Officinarum merupakan tanaman perkebunan yang didalam batangnya terkandung 10-20 cairan gula. Tebu jika diolah lebih lanjut akan menghasilkan puluhan produk samping dan bahan baku untuk sektor industri. Terdapat beberapa periode kebijakan dalam industri pergulaan di Indonesia.

2.1.1 Periode kolonial Belanda

Periode kolonial Belanda dimulai sejak didirikan VOC Verenigde Ost Indisch Compagnie , perusahaan dagang Belanda Rohman et al, 2005. Tujuan pendudukan penjajahan Belanda bukan mencari pemukiman baru, namun bagaimana mengeksploitasi kekayaan negara jajahan demi kemakmuran pemerintah Belanda. A. Periode VOC 1602-1799 Kondisi pergulaan pada Periode VOC memiliki dampak buruk bagi perkembangan industri gula nasional. Harga gula ditekan serendah mungkin dan kebijakan monopoli-monopsoni VOC telah mengakibatkan industri gula Indonesia tidak berkembang. Perdagangan lokal dibatasi sehingga konsumsi gula lokal rendah dan ekspor dapat ditekan serendah mungkin. Tidak terdapat kebijakan untuk produksi sehingga produsen gula lokal tidak memiliki semangat untuk memproduksi gula. Walaupun permintaan untuk impor gula dari negara luar tinggi, tapi industri gula Indonesia tidak berkembang. Hal ini disebabkan VOC hanya memikirkan bagaiman mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan nasib rakyat. Kondisi tersebut akhirnya mengakibatkan hancurnya perekonomian Indonesia dan bangkrutnya VOC. B. Priode Tanam Paksa 1830-1870 Periode tanam paksa culture steelsel mencakup: 1 Penyediaan lahan yang ada diperdesaan sebesar seperlima lahan yang ada untuk tanaman tebu; 2 Pemerintah Belanda berhak memilih lahan tebu yang akan ditanami; 3 Penanaman, pemeliharaan, hingga panen dilaksanakan oleh pemilik lahan, dan sebagai imbalan dari gula yang dihasilkan, 4 Petani wajib mengangkut dan mengolah tebu di PG yang ditunjuk; 5 Penduduk yang tidak memiliki lahan wajib mencurahkan tenaganya 66 hari per tahun sebagai bentuk pelayanan tanpa msndapat imbalan; 6 Industri gula dimonopsoni oleh Belanda untuk memperoleh laba sebesar-besarnya; 7 Gula yang dihasilkan harus diserahkan kepada pemerintah Belanda Sinuraya et al, 2009 dan Rohman et al, 2005. Hasil dari periode tanam paksa bahwa Belanda dapat menutup lunas hutang-hutangnya dan melakukan pembangunan infrastruktur. Sistem tanam paksa hanya menguntungkan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda hanya mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi negara Belanda dan mengeksploitasi sumber daya di Indonesia. C. Periode Liberalisasi Pasar 1870-1900 Kebijakan liberalisasi pasar belum berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum maupun petani tebu. Kebijakan utama adalah Undang- undang agraria UUA 1870 memberikan jaminan dan kepastian penguasaan lahan bagi perkembangan usaha perkebunan maupun industri gula swasta dengan memberikan peluang untuk swasta agar bisa turut berperan. Kebijakan lainnya yakni undang-undang gula tahun 1872 UUG-1870 mengatur mengenai tahap penghapusan sistem tanam paksa. Tahun 1872 terdapat kebijakan tarif yakni, adanya undang-undang tarif UUT-1872 tahun 1872 yang berlaku pada tahun 1874. Ketiga undang-undang tersebut merupakan awal masuknya swasta pada industri pergulaan di Indonesia. D. Periode Sistem Sindikat 1900-1930 Periode dalam sistem sindikat menerapkan politik etis melalui jalur migrasi, pendidikan dan irigasi. Melalui jalur migrasi pemerintah mencabut pembatasan ruang gerak dan lokasi pemukiman orang-orang Cina di Jawa, sehingga orang-orang Cina dapat mengembangkan perdagangan domestik. Melalui pendidikan orang-orang Cina dan pribumi mendapatkan fasilitas pendidikan yang lebih baik. Pemerintah kolonial juga membangun sarana irigasi yang bermanfat bagi perkebunan tebu. Periode sistem sindikat yang menerapkan politik etis dan liberalisasi perdagangan memacu industri gula, menguntungkan imigran cina, menimbulkan persaingan pada industri gula di mana pengusaha Belanda bersaing dengan pengusaha Cina. E. Periode Kartel 1931-1942 Akibat pasar gula dunia mengalami kelebihan produksi gula karena ditemukan teknologi di Amerika dan Eropa, maka dibentuklah kesepakatan “Charbourne Agreement”. Pulau jawa diwajibkan menurunkan produksi gula yang dihasilkan. Guna mendukung hal itu, dibentuklah NIVAS Nederlandsh Indie Veerenigde Voor de Aafzet van Suiker. Kebijakan yang diambil oleh NIVAS, yaitu: mewajibkan seluruh PG menjual gula yang dihasilkan kepada NIVAS dan berfungsi sebagai penelitian dan pengembangan tebu. Ketika krisis ekonomi dunia pulih, setelah tahun 1930 maka perekonomian Indonesia juga pulih yang ditandai meningkatnya areal tebu dan produksi gula.

2.1.2 Periode Kemerdekaan

A. Periode Nasionalisasi Industri Gula 1945-1959 Periode Nasionalisasi Industri Gula ditandai pada tahun 1946 pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula negara BPPGN untuk mengelola perusahaan gula milik negara eks milik pemerintah kolonial Belanda, membentuk Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia PPRI, memberlakukan pajak pendapatan, mengeluarka Undang-Undang Darurat no. 6 tahun 1951 menetapkan sewa lahan dan nilai sewa lahan, membentuk yayasan tebu rakyat dan mengeluarka PP no.10 tahun 1959 di mana menutup semua usaha dagang asing khususnya Cina di luar ibu kota provinsi.

B. Periode Industri Terpimpin 1959-1965

Periode pada industri terpimpin ditandai dengan keluarnya perpu no. 38 tahun 1960 yeng menetapkan lahan minimum untuk perkebunan tebu dengan sistem sewa mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1963 diterapkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil pun mengalami kegagalan karena ketidak mampuan pabrik dalam membayar sewa yang menjadi kewajiban petani.Diterbitkan UU no.19 tahun 1960 dan PP no.141 tahun 1961 yang menyebabkan disintegrasi organisasi industri gula secara vertikal. Kegiatan produksi dan pemasaran terpisah sehingga mengakibatkan inefisiensi Panglaykim, 1968 dalam Rohman et al, 2005. Tahun 1958-1969 merupakan masa degradasi industri gula dimana konsumsi meningkat terus, sedangkan produksi gula mengalami stagnasi. 2.1.3 Periode Liberalisasi Perdagangan 1969-1971 Periode Liberalisasi Perdagangan ditandai dengan SK Presiden tanggal 13 januari 1969 yang mengatur pembagian departemen terkait bidang pergulaan yakni departemen pertanian dalam bidang produksi gula dan departemen perdagangan dalam bidang perdagangan gula. Departemen perdagangan menunjuk empat sindikat swasta yang membeli gula secara langsung dan tunai. Sistem sindikat yang dibentuk tidak berjalan lancar dan dominasi beberapa perusahaan swasta mengakibatkan gejolak harga.

2.1.4 Periode Industri Terkelola 1971-1988

Periode industri terkelola ditandai dengan pembubaran sindikat gula dan pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden no. 43 tahun 1971 menetapkan BULOG memegang tata niaga gula di Indonesia. Peran tunggal BULOG sebagai pembeli tunggal atas produksi gula di dalam negeri juga diperkuat dengan SK Menteri perdagangan dan Koperasi no. 122KPIII1981. Untuk mengatur kelembagaan gula, dikeluarkan Inpres no.9 tahun 1975 mengenai Tebu Rakyat Intensifikasi TRI yang mempunyai tujuan untuk memberdayakan petani dan meningkatkan produksi gula nasional. Program TRI dalam implementasinya mengalami kegagalan, di mana produksi gula setelah program TRI lebih rendah dibanding sebelum program TRI. Kegagalan program TRI disebabkan oleh pengelolaan usaha tani yang dilakukan terpisah dari PG, usaha tani tebu yang berpencar dan pengelolaan yang tidak efisien Masyhuri, 2005. Waktu tanam dan penyerahan lahan ternyata tidak berpengaruh pada penerimaan petani, singga program TRI mengalami kegagalan. Pemerintah melepaskan pengendalian tata niaga gula yang diatur melalui kekuatan pasar pada tahun 1998.

2.2 Pembangunan Sub Sektor Perkebunan Tebu

Strategi pembangunan sub sektor perkebunan tebu diimplementasikan melalui peraturan pemerintah di mana peraturan-peraturan tersebut mengalami perubahan sesuai dengan kondisi dan penentu kebijakan. Perubahan peraturan tersebut diharapkan mampu mencapai target swasembada gula yang ditetapkan oleh pemerintah, tetapi peraturan yang ada tersebut seringkali antara satu dan lainnya mengalami kontradiksi. Kebijakan yang saling berlawanan seperti UU No. 121992 dan Inpres no. 51998, mengenai budi daya tanaman dan program pengembangan tebu rakyat yang memberi kebebasan terhadap petani untuk menanam komoditi yang paling menguntungkan Tabel 7. Padahal produksi tebu dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Harga gula impor yang lebih rendah dibanding gula lokal dan dihapuskannya dana talangan yang tertuang dalam Kepmenperindag RI no. 643MPPKep92002, tanggal 23 september 2002. Berikut kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan regulasi pergulaan di Indonesia. Tabel 7 Peraturan Pemerintah Terkait Gula Nomor SKKeppresKepmen Perihal Tujuan Keppres No.431971, 14 Juli 1971 Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok Surat Mensekneg No. B.136ABN SEKNEG374, 27 Maret 1974 Inpres No. 91975. Tanggal 22 April1975 Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP Intensifikasi Tebu Rakyat TRI Penjelasan mengenai Keppres no. 431971 yang meliputi gula PNP Peningkatan Produksi Gula serta peningkatan pendapatan petani tebu Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122KpIIIB1, 12 maret 1981 Tata niaga gula pasir dalam negeri Menjamin kelancaran, pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Kepmenkeu no. 342KMK.0111987 Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik