Latar Belakang Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu Sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah Di Jawa Timur

Peningkatan dalam konsumsi gula tertinggi di Asia sebesar 6 persen per tahun Almazan et al, 1998 dan Dingle et al, 1997. Sesuai dengan penelitian Cahyani 2008, menunjukkan bahwa konsumsi gula Indonesia sampai tahun 2025 terjadi peningkatan. Sedangkan produksi gula cenderung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dari sisi produksi, menurunnya produktivitas terjadi karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi PG yang rendah. Sejalan dengan penelitian Keerthipala 2002 di Srilangka yang menyatakan bahwa PG gagal mencapai target penyediaan konsumsi gula, disebabkan meningkatnya konsumsi gula perkapita. Perkembangan impor gula nasional pada Tabel 2 menunjukkan peningkatan impor gula dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Impor gula terbesar raw sugar untuk industri rafinasi. Impor raw sugar untuk 11 industri gula rafinasi sebesar 2,881 juta ton pada tahun 2013. Impor gula pada tahun 2010 mengalami peningkatan dibanding tahun 2011, hal ini disebabkan keadaan iklim yang tidak mendukung pada tahun 2010 sehingga rendemen rendah. Impor gula seluruhnya 3,706 juta ton. Seperti di negara lain, di Indonesia iklim berkontribusi pada tinggirendahnya rendemen Samui et al, 2013, sehingga produksi gula rendah Ferraro et al, 2009. Tabel 2 Perkembangan Impor Gula Tahun 2009-2013 Kwalitas Gula dan Pengguna Volume Impor Ribu Ton 2009 2010 2011 2012 2013 Raw Sugar untuk: 1. Industri Rafinasi 2,237 2,277 2,267 2,58 2.881,80 2. Idle Capacity Pabrik Gula 149 110 128 533 394,6 3. MSG 203 231 187 213 341,2 Sub Total 2,589 2,618 2,582 3,326 3.617,60 Gula Putih untuk: Konsumsi Langsung 13 447 118 61 Gula Rafinasi untuk: Industri maminfar 150 158 60 99 89,3 Makanan minuman dan farmasi Total 2,752 3,223 2,760 3,486 3.706,9 Sumber: DGI, 2014. Ket Tahun 2013 tidak ada impor gula putih GKP untuk konsumsi langsung Disisi lain, Indonesia sebagai negara importir gula terbesar tidak begitu memproteksi industri gula dalam negerinya sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara lain. Sejalan penelitian Sawit et al, 2004, adanya perbedaan harga dan kebijakan impor gula di mana Indonesia sebagai pengimpor gula terbesar mengenakan bea masuk yang rendah dibandingkan dengan Thailand yang menerapkan tarif 65 persen pada kuota 13.700 ton dan selebihnya 96 persen. Philipina menerapkan tarif 65 persen, China kuota tarifnya sebanyak 1,8juta ton dengan tariff 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk raw sugar, selebihnya untuk tariff keduanya 76 persen. Sedang India sebagai net eksportir menerapkan tariff sebesar 60 persen ditambah bea masuk tambahan sebesar 85 rupee per kuintal Rs.1~Rp.200 tahun 2003. Kondisi ini memperburuk industri gula di Indonesia. Impor yang terus meningkat, sedangkan harga gula dunia yang lebih rendah dari harga gula di dalam negeri menunjukkan daya saing harga gula nasional lebih rendah dari gula dunia. Harga gula Kristal putih berbahan baku tebu plantation white sugar di pasar global posisinya di atas USD 602ton IDR 9.800. Harga tender gula petani di dalam negeri berkisar antara Rp8.400 sampai Rp8.500 per kg Kementrian BUMN, 2012. Daya saing industri gula nasional Tabel 3 dari sisi harga lebih rendah dari rata-rata dunia. Dalam kurun lima tahun terakhir, harga impor dunia masih lebih rendah dari harga Gula Kristal Putih GKP. Asumsi tersebut sudah memasukkan komponen biaya sampai produk sampai dipasaran. Tabel 3 Rata-Rata Perkembangan Harga Gula Kristal Putih GKP Indonesia dan Rata-Rata Dunia Tahun 2007-2013 Indikator Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Harga Lelang RPKg 5.105 5.262 7.056 8.478 8.191 9.707 9.357 Harga Eceran RpKg 6.342 6.182 8.205 10.486 9.981 11.513 11.340 HPP 4.900 5.100 5.350 6.350 7.000 8.100 8.100 BPP Gula Petani - - 5.100 6.250 6.891 7.900 8.070 Rata-Rata Harga Dunia FOB USD per tones 220 253 381 518 621 483 383 Rata-Rata Harga Impor Dunia RPKg 4.287 4.901 6.052 7.253 8.393 7.276 7.651 Sumber: DGI 2014; KPB PTP Nusantara 2013; Subiyono 2013 Harga tersebut adalah harga dengan mengasumsikan Asuransi, Bea Masuk dan Pajak, Biaya Surveyor LN-PSI, Landed Cost Handling, Surveyor Dalam Negeri, Gudang, Penyusutan, Operasional, Biaya Bank 1,5 bulan, 12 pa, provisi dll, Profit, PPN. Konversi Kurs USD. Komponen biaya pokok produksi gula di BUMN rata-rata tahun 2010 mencapai Rp6.860kilogram, sedangkan rata-rata biaya produksi gula di negara- negara yang tidak efisien mencapai US 260 per ton, lebih tinggi dari rerata pasar internasional yaitu US 220 per ton Subiyono, 2013. Faktor-Faktor yang menyebabkan rendahnya efisiensi pabrik gula adalah: 1 pabrik yang sudah tua, 2 hari giling yang belum optimal, 3 kapasitas giling yang kurang dari 2.000 ton tebu per hari, dan 4 jam berhenti giling yang tinggi. Sebagai contoh, PG-PG di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun 180 hari giling. Bahan baku yang tersedia hanya 12,8 juta ton sehingga PG-PG mempunyai idle capacity sekitar 46,2 persen. PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39,4 persen Departemen Pertanian, 2007; Ariesa dan Tinaprillia, 2012. Peningkatan efisiensi dapat meningkatkan produksi dan menurunkan biaya. Sehingga harga gula bisa lebih rendah Keerthipala, 2013. Impor gula yang terus mengalami peningkatan Tabel 2 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan akan gula masih belum bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Penelitian Nugrahapsari 2013 menyatakan bahwa swasembada GKP yang ditargetkan oleh pemerintah tahun 2014 tidak tercapai pada kondisi aktual. Pemerintah menerbitkan kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional RIGN guna mendukung tercapainya swasembada gula nasional. Program Revitalisasi Industri Gula Nasional secara eksplisit mengagendakan terwujudnya Swasembada Gula Nasional Wibowo, 2012. Swasembada gula nasional akan sulit dicapai mengingat industri gula nasional masih menghadapi persoalan struktural sistem produksi Suhada, 2012. Untuk mendukung swasembada gula pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden no. 572004 yang menetapkan gula dalam pengawasan dan Surat keputusan Menperindag No. 5272004 mengenai impor gula Zaini, 2011. Dalam program dan rencana aksi jangka pendek, selain target utama swasembada gula nasional, dari sisi off farm terdapat program diversifikasi produk dengan kondisi yang diharapkan adalah meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk. Rencana aksi yaitu mengenai pengembangan Produk Pendamping Gula Tebu PPGT yang memiliki nilai tambah dan pengembangan energi berbasis tebu bio ethanol pengganti BBM Bahan Bakar Minyak Kemenperin, 2010. Kajian Toharisman dan Kurniawan 2012 menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab PG harus ditutup adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap produk tunggal GKP. PG tidak punya produk alternatif yang dapat mengkompensasi kerugian akibat penurunan harga gula. Kelangsungan industri guladapat dipertahankan dengan cara meningkatkan nilai perolehan tebu melalui diversifikasi produk yang bernilai tinggi. Diversifikasi produk dimaksud adalah memanfaatkan bagian tanaman tebu yang bukan gula untuk dijadikan produk yang bernilai ekonomis. Sejalan dengan diversifikasi pada tebu, gula masih memiliki masa depan dengan menciptakan dua hal. Pertama, peningkatan efisiensi dan produktivitas tebu. Kedua, pemanfaatan setiap bagian dari tebu untuk menghasilkan beragam produk yang bernilai tinggi Pakpahan, 2004; Rohman at al, 2005; Wibowo dan Subiyono, 2005; Toharisman dan Kurniawan, 2012. Pengembangan diversifikasi dan pembangunan produk bisa berupa eksplorasi diversifikasi produk dan pengembangan produk menjadi produk yang lebih jadi dan mempunyai nilai tinggi bagi konsumen Masyhuri, 2000. Di Jepang harga ubi jalar lebih tinggi dan mencapai empat kali lipat dibanding padi, karena ubi jalar di Jepang didiversifikasi dari pangan mie, permen, roti,dll, minuman sake, gin, es krim hingga kosmetik Widodo, 1995. PG Indonesia pada umumnya mengolah tebu untuk menghasilkan gula pasir sebagai produk tunggal single-product industry. Padahal, tebu juga dapat digunakan untuk berbagai produk turunan seperti pupuk, makanan ternak, molasses dan bagasses. Di banyak negara, produsen gula telah melakukan diversifikasi produk gula guna menyiasati penurunan harga gula, menekan ongkos produksi, memperluas pasar, serta mengurangi risiko kerugian PG Mardianto et al , 2005; Toharisman dan Kurniawan, 2012. Alasan utama dari pemikiran ini adalah bahwa berdasarkan data time series yang cukup panjang lima puluh tahun atau lebih dari harga riil setiap produk primer, khususnya produk primer pertanian, menunjukkan trend harga riil yang berfluktuatif dan terus menurun, kecuali untuk produk olahannya. Artinya adalah bahwa apabila negara kita tujuannya hanya untuk menghasilkan gula putih white sugar, maka daya saing industri ini akan sangat lemah Pakpahan, 2004. Hasil analisis SWOT oleh Cahyani 2008 menekankan pada strategi S-O untuk meningkatkan daya saing agribisnis gula yaitu dengan optimalisasi sumber daya yang sudah ada, pemanfaatan hasil samping pengolahan gula, dan penerapan teknologi on farm. Secara umum permasalahan yang dihadapi industri gula di sisi on farm adalah rendahnya tingkat produktivitas gula yang saat ini mencapai kisaran 6 tonha, di samping masalah ketersediaan lahan di Jawa yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi hutan Kemenperin, 2010. Pentingnya produktivitas peningkatan nilai perolehan tebu tidak hanya memperkokoh daya saing perusahaan, tetapi juga akan meningkatkan semangat petani tebu. Berdasarkan data perindustrian dan pengamatan yang dilakukan tahun 2000, nilai Produk Derivat Tebu PDT yang dikembangkan industri gula hanya sekitar 3,4 persen saja dari total nilai PDT di Indonesia Deptan, 2005. Walaupun saat ini sudah ada perkembangan di industri gula namun penambahan yang terjadi belum signifikan. Pengembangan PDT yang sinergik telah terbukti mampu memberikan dukungan finansial yang cukup berarti. Profit yang diperoleh dari PDT bisa mencapai 65 persen dari total profit perusahaan Rao, 1997. Pada pengelolaan limbah pada industri gula 4000 TTH Ton Tebu per Hari dapat meningkatkan perolehan pendapatan melalui proses pemanfaatan dan efisiensi bahan proses, hingga mendapatkan perolehan 2-3 kali lipat dari produk gulanya sendiri Prihastuti et al, 2006. Penelitian Toharisman dan Kurniawan 2012 menyatakan bahwa nilai produk dari koproduk tebu meningkat lebih dari 10 kali lipat dibanding bahan yang tidak diolah. Dukungan terhadap pengembangan produk derivasi tebu juga tertuang dalam Roadmap industri gula yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia no: 11M-INDPER12010, mengenai Peta Panduan Road Map Pengembangan Klaster Industri Gula. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia no: 11M-INDPER12010 merupakan penyempurnaan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula dalam Peraturan Menteri Perindustrian nomor 116M- INDPER102009. Peta panduan dalam Pengembangan Klaster Industri Gula terbagi dalam program dan rencana aksi, yaitu 1. Rencana Aksi Jangka Pendek 2010-2014, yang meliputi program dan rencana aksi revitalisasi industri gula on farm, off farm, peningkatan peran industri permesinan dalam negeri untukmendukung revitalisasi industri gula, penelitian dan pengembangan, pendukung, program, kriteria dan ukuran keberhasilan revitalisasi industri gula, penelitian dan pengembangan, pendukung; 2. Rencana Aksi Jangka Menengah 2015-2019; 3. Rencana Aksi jangka Panjang 2020-2024 Kemenperin, 2010. Sejak awal berdiri, industri gula di Indonesia tidak dirancang sebagai industri gula yang terpadu dengan industri lainnya. Hal ini karena sebagian besar pabrik gula merupakan peninggalan jaman Hindia Belanda yang telah berumur ratusan tahun terutama milik BUMN. Kondisi ini berbeda dengan Brazil yang memiliki industri gula yang terintegrasi dengan produk turunan tebu seperti pabrik bioethanol dan penghasil listrik atau disebut dengan co-generation Gunawan, 2013. Mayoritas PG hanya menyetor bahan baku ke pabrik-pabrik pengolahan selanjutnya, sehingga PG memperoleh nilai tambah yang relatif kecil dari pengolahan produk turunan tebu Toharisman dan Kurniawan, 2012. Peluang untuk meningkatkan produksi pada Produk Derivasi Tebu PDT sangat besar, sebagaimana penelitian Martini 2008 menyatakan bahwa hasil PDT mempunyai peluang pasar yang masih terbuka, baik pasar domestik maupun Internasional. Industri berbasis tebu memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena produk-produk yang dihasilkan dibutuhkan dipasaran. Kartiko 1998 juga menyatakan bahwa agroindustri tebu mendorong tumbuhnya industri- industri baru yang bergerak disektor produksi berbahan baku tebu seperti industri gula, industri kertas, industri bahan makanan dan farmasi. Keterkaitan kebelakang agroindustri tebu terhadap perkembangan wilayah ditunjukkan penggunaan input-input produksi berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Brazil sebagai produsen gula terbesar dunia pada tahun 2008, mampu menghasilkan sekitar 32,96 juta ton gula dan naik menjadi 572 juta ton gula, 7 milyar gallon ethanol, dan 16.000GWh listrik. Brazil juga menggunakan ethanol sebanyak 18- 25 sebagai campuran bahan bakar kendaraan Phillips, 2011; Sergio et al, 2010; dan Sawit et al, 2004. Begitu pula di India, setelah melalui beberapa tahap pengembangan kapasitas giling pabrik menjadi 6000 TCD Ton Cane per Day, co-generation 30 MW Mega Watt dan pabrik ethanolnya menjadi 120 KLPD Kilo Liter per Day Wibowo, 2012. PG di Thailand juga menghasilkan ethanol 2.925 juta liter per hari dan listrik dari uap pengolahan 925 MW Mega Watt pada tahun 2011 Feryanto, 2012. Indonesia sebagai negara yang menduduki peringkat 10 besar dunia dalam hal produksi gula, tidak terlepas dari kontribusi daerah-daerah penyumbang gula di Indonesia. Salah satunya adalah Provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai sentra produksi tebu di Indonesia menguasai produksi tebu sebesar 49,22 dari produksi nasional BPS, 2012. Gambar 2 menunjukkan bahwa produksi tebu terbesar berasal dari Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2011 produksi tebu yang berasal dari Provinsi Jawa Timur sebesar 1,05 juta ton yang berarti sekitar 49,22 persen dari total produksi tebu Indonesia. Sementara provinsi lainnya yang juga penghasil tebu yang cukup besar yakni Lampung sebesar 631.53 ribu ton 29,70, Jawa Tengah sebesar 182.29 ribu ton 8,57 dan Jawa Barat 90.40 ribu ton 4,25.