1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya. Meskipun kontribusi sub sektor perkebunan terhadap pembentukan Produk
Domestik Bruto PDB belum terlalu besar yaitu sekitar 2,07 persen pada tahun 2011 atau merupakan urutan ketiga di sektor pertanian setelah sub sektor tanaman
bahan makanan dan perikanan, akan tetapi sub sektor ini merupakan penyedia bahan baku untuk sektor industri, penyerap tenaga dan penghasil devisa BPS,
2012.
Selama kurang lebih 500 tahun, tebu merupakan satu-satunya bahan mentah untuk memproduksi gula Oliverio et al, 2010. Gula merupakan salah
satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan penting. Selain sebagai salah satu kebutuhan pokok, gula juga memberikan sumbangan terhadap
perekonomian melalui penciptaan tenaga kerja Schmit, 2014; Tarimo Takamura, 1998. Indonesia pernah mengalami masa pasang-surut dalam
memproduksi gula. Indonesia pernah mempunyai peran sebagai negara pengekspor gula terbesar hingga keterpurukan produksi gula yang mengharuskan
Indonesia menjadi negara pengimpor gula sejak awal tahun 1990. Sejarah mencatat bahwa industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua
dan terpenting yang ada di Indonesia. Era kejayaan industri gula di Indonesia terjadi pada tahun 1930-an, dimana 179 pabrik gula beroperasi dengan
produktivitas sekitar 14,8 persen dan rendemen mencapai 11 persen sampai 13,8 persen. Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta tonper tahun dan
mampu mengekspor gula 2,4 juta ton tahun. Pada jaman kolonial integrasi sistem agribisnis gula dapat dijamin melalui kekuatan yang memaksa dari pemerintah
Mardianto et al, 2005. Sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan jadwal pabrik. Pabrik gula PG mendapat pasokan bahan baku yang cukup dan
rendemen tinggi sehingga industri gula di Jawa sangat efisien. Faktor penunjang lainnya adalah lahan yang subur, tenaga kerja yang murah, irigasi, dan teknologi
yang tepat merupakan faktor pendukung masa kejayaan industri gula Rohman et al, 2005; Wibowo dan Subiyono, 2005; Pakpahan, 2004; Simatupang, et al.,
dalam Susila dan Sinaga, 2005. Pakpahan 2004 menyatakan bahwa pada tahun 1975 diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi TRI yang bertujuan
meningkatkan pendapatan petani tebu, meningkatkan produksi gula dan mencapai swasembada gula konsumsi rumah tangga. Krisis ekonomi pada tahun 1998
menyebabkan produksi gula yang dihasilkan pada titik terendah dan strategi TRI tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang berjumlah 62 pabrik gula berbahan baku tebu. PG tersebut milik BUMN
maupun swasta Dewan Gula Indonesia DGI, 2014.
Tabel 1 Luas Areal, produksi dan produktivitas gula Indonesia Tahun 1930-2013
Tahun Luas Areal ha
Produksi Gula ton Produktivitas Gula
tonha 1930
196.592 2.907.078
14,79 1935
28.262 492.598
17,43 1940
83.522 1.472.484
17,63 1950
27.783 259.771
9,35 1955
72.426 813.344
11,23 1960
72.726 651.810
8,96 1965
87.408 775.950
8,88 1970
81.677 715.312
8,73 1975
104.777 1.035.052
9,76 1980
188.772 1.249.946
6,55 1985
285.529 1.707.048
5,98 1990
365.926 2.083.790
5,69 1995
420.630 2.096.471
4,98 1996
403.266 2.094.195
5,19 1997
385.669 2.189.974
5,68 1998
378.293 1.491.553
3,94 1999
340.800 1.488.599
4,73 2000
340.660 1.690.667
4,96 2001
344.441 1.725.467
5,01 2002
350.723 1.755.434
5,01 2003
335.725 1.631.919
4,89 2004
345.550 2.051.651
5,94 2005
381.786 2.241.742
5,87 2006
396.441 2.307.027
5,82 2007
427.799 2.448.143
5,72 2008
436.505 2.668.428
6,11 2009
416.630 2.333.885
5,60 2010
418.266 2.288.735
5,47 2011
434.962 2.126.669
4,88 2012
465.994 2.591.687
5,74 2013
469.228 2.551.024
5,44 Sumber: Tahun 1930-1985 Bahari dalam Mardianto et al, 2005; Tahun 1990- 1995
Anonim, 1997; Tahun 2009-2011 dari BPS, 2012; Tahun 1996-2004 dan Tahun 2012-2013 dari DGI, 2014 realisasi kumulatif sampai Desember
2013, dan Tahun 2005-2008 dari Kementerian Pertanian, 2010.
Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi dan produktivitas gula di Indonesia tahun 1930- tahun 2013. Pada kurun waktu 1930-1940 produksi gula
mengalami masa kejayaan, di mana produktivitas tertinggi sepanjang sejarah dan Indonesia menjadi negara eksportir terbesar di dunia. Hal ini tidak lepas dari
dampak politik etis yang diberlakukan pada tahun 1900-1930 yakni Migrasi, pendidikan dan Irigasi, sistem tanam yang terintegrasi yang diberlakukan pada
masa kolonial, ditemukan varietas baru POJ 2838 dan POJ 3016 yang mampu menghasilkan 18 ton hablur gula per ton dan adanya penelitian gula Simatupang
et al, 1999 dan Soentoro et al, 1999 dalam Sinuraya et al, 2009. Pada tahun 1950, produksi gula mengalami penurunan. Produktivitas gula yang semula 17,63
tonha pada tahun 1940 menurun tajam menjadi 9,35 tonha pada tahun 1950. Nasionalisasi gula yang berlangsung cepat, belum diimbangi dengan kesiapan
tenaga ahli setara manajer dan teknisi Belanda yang diusir secara tiba-tiba dan tidak ada pengganti yang sepadan Rohman et al, 2005 dan Sinuraya et al, 2009,
mengakibatkan turunnya produktivitas. Periode 1958-1969 merupakan masa degradasi industri gula. Kegiatan produksi terpisah dari kegiatan pemasaran,
peningkatan harga gula dan lemahnya menejemen pemasaran menyebabkan gula menumpuk di pabrik, gaji, upah dan sewa tidak sanggup dibayar PG karena tidak
adanya anggaran. Hal ini mengakibatkan produksi mengalami stagnasi. Untuk menata kelembagaan produksi gula, pada tahun 1975 melalui Inpres no. 9 tahun
1975 pemerintah mengeluarkan program Tebu Rakyat Intensifikasi TRI dengan tujuan memberdayakan petani, meningkatkan pendapatan petani dan mencapai
swasembada gula nasional. Produktivitas gula setelah tahun 1975 terus mengalami penurunan. Program TRI tidak membuat produktivitas gula meningkat lebih baik,
dibanding sebelum program TRI diberlakukan. Tercatat produktivitas gula sebesar 6,55 ton pada tahun 1980 dan terus mengalami penurunan hingga 3,94 ton pada
tahun 1998. Penurunan produktivitas merupakan dampak dari pencabutan inpres no. 9 tahun 1975 dan disusul dikeluarkannya inpres no. 5 tahun 1997 jo no. 5
tahun 1998. Inpres tersebut memberi ruang kepada petani untuk menanam komoditas yang dianggap menguntungkan. Petani diberi kebebasan dalam
menentukan komoditas yang akan ditanam. Berlakunya Keppres no. 19 tahun 1998 mengenai kebijakan liberalisasi tataniaga gula dengan membebaskan impor
gula tanpa tarif, sehingga pada tahun 1998 produktivitas gula mengalami penurunan tajam. Melalui keputusan Menteri Keuangan no. 568KMK.011999
ditetapkan tarif bea masuk gula tebu import sebesar 20. Berangsur-angsur produktivitas gula mengalami kenaikan. Produktivitas gula mengalami
peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2008, sebesar 6,11 ton. Peningkatan produktivitas disebabkan oleh adanya sistem dana talangan yang
mulai diberlakukan pada tahun 2002. SK no. 643 tahun 2002 mengenai tata niaga impor gula di mana importir produsen IP diberi kewajiban untuk menyangga
harga gula petani dana talangan sekaligus menetapkan bea masuk gula tebu Rp.550 kg dan bea masuk gula untuk industri sebesar Rp.700 kg. Didukung
juga oleh Kepmenperindag No.230MPPKep2002 tanggal 29 September 2002 mengenai tata niaga impor gula, yakni pembatasan pelaku impor gula hanya
menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar. Pembatasan mengenai pelaku impor gula dipertegas dengan SK no.522MPPKep92004 dan SK
Menperindag no.5072004 pasal 8 dan pasal 9 yang menyatakan bahwa impor GKP hanya boleh dilakukan oleh IT importir terdaftar gula. SK no.522 dan
no.527 sekaligus sebagai pendorong bagi petani tebu dalam memproduksi gula. Produksi gula dari tahun2009 sampai 2011 mengalami rata-rata penurunan
sebesar 4,51 persen. Penurunan terjadi disebabkan terjadinya anomali iklim dan impor gula. Peraturan Menkeu no. 86PMK.0102005 tentang keringanan tarif
bea masuk atas impor gula mengakibatkan penurunan produktivitas. Pada tahun 2008 peroduktivitas mengalami peningkatan sebesar 6,11 tonha ini disebabkan
pada tahun 2007 diterbitkan Permentan no. 57PermenKU.43072007 mengenai Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KKPE sebesar Rp.12.500.000,- dan
Peraturan Menteri Perdagangan RI no.18M-DAGPER42007 mengenai perubahan keempat atas Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan
no.527MPPKep92004 tentang ketentuan impor gula dimana GKP hanya bisa diimpor jika harga GKP ditingkat petani mencapai Rp.4.900 per Kg, sehingga
mampu meningkatkan produktivitas gula nasional. Sedangkan luas areal tebu tahun 2009 sampai 2011 mengalami peningkatan sebesar 1,44 persen.
Peningkatan luas areal tebu didominasi oleh peningkatan areal Perkebunan Rakyat PR, diikuti oleh Perkebunan besar Swasta PBS dan Perkebunan Besar
Negara PBN. Pada tahun 2009 lahan perkebunan tebu Indonesia tercatat seluas 422,87 ribu hektar, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi
436,57 ribu hektar atau naik sekitar 3,24 persen. Sedangkan untuk tahun 2011 luas areal perkebunan tebu Indonesia mengalami sedikit penurunan yaitu sekitar 0,37
persen atau menjadi 434,96 ribu hektar BPS, 2012. Sedangkan pada tahun 2012 produktivitas gula dan luas areal mengalami kenaikan sebesar 5,74 tonha.
Kenaikan ini disebabkan adanya Peraturan Menteri Perdagangan no. 11M- DAGPER52011 tentang Harga Patokan Petani HPP sebesar Rp.7000,-.
Agroindustri sebagai penarik pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai
produk olahannya. Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di
Indonesia. Industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi ribuan petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah
satu kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah dan terjangkau BPS, 2012; Almazan et al, 1998.
Konsumsi gula tebu tidak terbatas pada rumah tangga untuk konsumsi langsung, tetapi juga dikonsumsi oleh masyarakat melalui produk-produk industri
makanan dan minuman. Gula tebu sampai saat ini masih menjadi pilihan utama, meskipun terus dicari bahan pemanis lainnya, hal ini karena berbagai kelebihan
baik sifat manisnya maupun kepraktisan bentuknya butir. Produk pemanis telah dikembangkan yang dapat mensubstitusi gula tebu, namun porsinya relatif masih
sangat kecil. Harga yang terjangkau dan kemudahan untuk mendapatkannya, menyebabkan banyak kalangan masih memilih gula tebu meskipun saat ini telah
banyak beredar bahan pemanis buatan maupun bahan pemanis lainnya seperti glukosa, fruktosa dan lainnya Capricorn Indonesia Consult 1998 dalam
Januarsini 2000; Deptan, 2005.
Gula tidak hanya berperan sebagai salah satu kebutuhan pokok dan kepraktisan akan bentuknya, tapi juga menyumbang dalam penyediaan lapangan
kerja, pendapatan rumah tangga dan nilai output yang dihasilkan bagi wilayah.
1.2 Perumusan Masalah
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen mengakibatkan konsumsi rumah tangga terhadap
gula juga mengalami peningkatan. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah kebutuhan konsumsi gula juga diperkirakan bertambah.
Hal ini bukan saja konsumsi gula secara langsung, tetapi termasuk gula yang digunakan dalam memproduksi makanan dan minuman. Seperti terlihat pada
Gambar 1, konsumsi per tahun untuk komoditas gula pada tahun 1990 sebesar 1,41 juta ton yang menjadi 1,73 juta ton pada tahun 1996. Selanjutnya pada
tahun 1997, konsumsi gula oleh rumah tangga berkurang menjadi 1,72 juta ton dan berturut-turut menurun menjadi 1,71 juta ton dan 1,67 juta ton pada tahun
1998 dan 1999. Penurunan tersebut disebabkan turunnya jumlah konsumsi perkapita yang diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan harga gula di pasar
domestic pada tahun 1998. Jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga kembali naik pada tahun 2000 sampai 2002, tetapi setelah periode tersebut jumlah konsumsi
gula oleh rumah tangga cenderung stabil pada kisaran 1,94 sampai 1,96 juta ton per tahun sampai dengan tahun 2006. Pada tahun 2007 konsumsi gula oleh rumah
tangga juga mengalami peningkatan menjadi 2,15 juta ton dan tahun berikutnya sampai dengan tahun 2009 masih berkisar pada jumlah tersebut. Hal ini bisa
disebabkan karena adanya peningkatan jumlah penduduk, yang membutuhkan gula sebagai salah satu bahan makanan pokok di Indonesia.
Gambar 1 Perkembangan konsumsi gula oleh rumah tangga di Indonesia tahun 1990 sampai tahun 2009
Sumber: Kementrian Pertanian, 2010
Peningkatan jumlah penduduk, perkembangan industri makanan dan minuman serta meningkatnya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan
akan gula Sugiyanto, 2007. Konsumsi gula perkapita penduduk Indonesia sebesar 14,5 kg per kapita per tahun Koo dan Taylor, 2011. Akibat peningkatan
penduduk dalam mengkonsumsi gula, negara-negara berkembang membutuhkan peningkatan produksi sebesar 1,5 kali untuk memenuhi kebutuhan gulanya.
Peningkatan dalam konsumsi gula tertinggi di Asia sebesar 6 persen per tahun Almazan et al, 1998 dan Dingle et al, 1997.
Sesuai dengan penelitian Cahyani 2008, menunjukkan bahwa konsumsi gula Indonesia sampai tahun 2025 terjadi peningkatan. Sedangkan produksi gula
cenderung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dari sisi produksi,
menurunnya produktivitas terjadi karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi PG yang rendah. Sejalan dengan penelitian Keerthipala 2002 di
Srilangka yang menyatakan bahwa PG gagal mencapai target penyediaan konsumsi gula, disebabkan meningkatnya konsumsi gula perkapita.
Perkembangan impor gula nasional pada Tabel 2 menunjukkan peningkatan impor gula dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Impor gula terbesar
raw sugar untuk industri rafinasi. Impor raw sugar untuk 11 industri gula rafinasi sebesar 2,881 juta ton pada tahun 2013. Impor gula pada tahun 2010
mengalami peningkatan dibanding tahun 2011, hal ini disebabkan keadaan iklim yang tidak mendukung pada tahun 2010 sehingga rendemen rendah. Impor gula
seluruhnya 3,706 juta ton. Seperti di negara lain, di Indonesia iklim berkontribusi pada tinggirendahnya rendemen Samui et al, 2013, sehingga produksi gula
rendah Ferraro et al, 2009. Tabel 2 Perkembangan Impor Gula Tahun 2009-2013
Kwalitas Gula dan Pengguna Volume Impor Ribu Ton
2009 2010
2011 2012
2013 Raw Sugar untuk:
1. Industri Rafinasi 2,237
2,277 2,267
2,58 2.881,80
2. Idle Capacity Pabrik Gula 149
110 128
533 394,6
3. MSG 203
231 187
213 341,2
Sub Total 2,589
2,618 2,582 3,326
3.617,60
Gula Putih untuk: Konsumsi Langsung
13 447
118 61
Gula Rafinasi untuk: Industri maminfar
150 158
60 99
89,3
Makanan minuman dan farmasi
Total 2,752
3,223 2,760 3,486
3.706,9
Sumber: DGI, 2014. Ket Tahun 2013 tidak ada impor gula putih GKP untuk konsumsi langsung
Disisi lain, Indonesia sebagai negara importir gula terbesar tidak begitu memproteksi industri gula dalam negerinya sebagaimana yang dilakukan oleh
negara-negara lain. Sejalan penelitian Sawit et al, 2004, adanya perbedaan harga dan kebijakan impor gula di mana Indonesia sebagai pengimpor gula terbesar
mengenakan bea masuk yang rendah dibandingkan dengan Thailand yang menerapkan tarif 65 persen pada kuota 13.700 ton dan selebihnya 96 persen.
Philipina menerapkan tarif 65 persen, China kuota tarifnya sebanyak 1,8juta ton dengan tariff 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk raw sugar,
selebihnya untuk tariff keduanya 76 persen. Sedang India sebagai net eksportir