Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu pada kondisi Aktual

Gambar 53 Perekonomian Wilayah setelah ada penambahan PDT di Jatim tahun 2010-2025 Dinamika perekonomian wilayah menunjukkan tren meningkat pada periode 2010-2025 Gambar 53. Peningkatan dalam perekonomian wilayah disumbang dari tambahan penerimaan PG, yakni PDT yang berasal dari listrik, kampas rem, bioethanol dan biokompos, dan penerimaan petani tebu dari pucuk daun tebu. Peningkatan nilai perekonomian wilayah pada tahun 2025 diperkirakan sebesar Rp.1.155 trilyun lebih tinggi dibanding tahun 2010 yakni Rp.342, 280 trilyun. Tambahan penerimaan dari pengembangan gula tebu dengan pemanfaatan PDT bagi petani antara Rp.703 milyar-Rp.921 milyar, sedangkan tambahan penerimaan bagi PG antara Rp.181 milyar-Rp.272 milyar, dan bagi perekonomian wilayah Rp.885 milyar-Rp.24,896 trilyun. PDT yang memberikan penerimaan tertinggi adalah Bioethanol dari ampas sebesar Rp.126 milyar pada tahun 2010 dan Rp.190 milyar pada tahun 2025. 6.4 Dampak Kebijakan RIGN terhadap produksi GKP, produksi PDT, keuntungan PG, pendapatan petani dan perekonomian wilayah Berdasarkan hasil simulasi model pada kondisi aktual, memperlihatkan bahwa target produksi GKP yang diterapkan di Jawa Timur oleh pemerintah pusat tidak tercapai. Target yang ditetapkan pada tahun 2010 mengenai produksi gula Jatim sebesar 1,65 juta masih belum tercapai jika dijalankan secara Business as usual BAU. Sehingga diperlukan kebijakan pendukung agar target produksi GKP di jatim bisa sesuai dengan target. Begitu juga dengan produksi PDT. Selama ini produksi PDT masih belum banyak mengalami perubahan atau diolah lebih lanjut dari kondisi awalnya sebagai produk samping. Produksi GKP sebagai salah satu output dari tanaman perkebunan, secara nasional hanya memberikan kontribusi sebesar 2,07 bagi PDB Publikasi Statistik Tebu Indonesia, 2012. Kontribusi yang relatif kecil bagi sumber penerimaan sehingga, diharapkan produksi PDT bisa memberikan tambangan kontribusi penerimaan bagi perekonomian wilayah. Pendapatan profit petani dan PG diharapkan juga mengalami peningkatan, mengingat efisiensi PG di Indonesia masih rendah. Dibandingkan India, efisiensi PG di Indonesia secara keseluruhan berkisar 70-75, bahkan PG milik BUMN 300 500 700 900 1,100 1,300 Ja n 2 1 Ja n 2 1 1 Ja n 2 1 2 Ja n 2 1 3 Ja n 2 1 4 Ja n 2 1 5 Ja n 2 1 6 Ja n 2 1 7 Ja n 2 1 8 Ja n 2 1 9 Ja n 2 2 Ja n 2 2 1 Ja n 2 2 2 Ja n 2 2 3 Ja n 2 2 4 Ja n 2 2 5 T ri ly u n R u p ia h Perekonomian Wilayah hanya berkisar 72, masih tertinggal dengan efisiensi dari negara India sebesar 85-87,5. Baghat, 2011. Tingkat efisiensi yang rendah ini menyebabkan biaya yang tinggi dan daya saing yang rendah. Maka diharapkan dengan adanya peningkatan profit PG dari peningkatan produksi PG dan PDT akan menutupi biaya yang ditimbulkan akibat ketidak efisienan PG. Dari sisi penerimaan daerah, PAD yang diperoleh dari PG yang ada masih belum menunjukkan tingkat penerimaan yang tinggi. PAD dari PG yang ada hanya berasal dari PG saja, itupun masih belum memenuhi target penerimaaan yang ditetapkan. Sebagai contoh penerimaan total dari Pajak Penerangan Jalan non PLN PPJ di Dispenda Kabupaten Jember pada akhir tahun 2014 hanya terealisasi sebesar 38,65. Begitu pula dengan total penerimaan Pajak Air bawah Tanah PAbT hanya tercapai 34,95 pada akhir tahun 2014. Sedangkan untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB P2 hanya tercapai 65.39. Pajak yang bisa dikenakan terhadap PG berbeda-beda antara satu kabupaten dengan kabupatenkota lainnya. Untuk kabupaten Jember pajak yang dikenakan adalah Pajak Penerangan Jalan Umum PPJ non PLN, Pajak Air Bawah Tanah PAbT dan PBB P2. Penerimaan bagi daerah dari produksi PDT masih belum ada, karena produk samping yang ada hampir belum terolah menjadi PDT. Walaupun selama ini kinerja industri gula belum optimal, baik dari segi produksi dan biaya, namun industri gula tetap memegang peran penting dalam penyediaan kebutuhan gula nasional. Untuk membenahi kondisi yang terjadi, agroindustri gula memerlukan intervensi kebijakan untuk meningkatkan produksi GKP, PDT, profit PG dan petani, juga PAD dan perekonomian wilayah. Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional RIGN pada dasarnya merupakan rencana jangka panjang industri gula BUMN dalam rangka meningkatkan produksi GKP dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi gula di dalam negeri Kementrian BUMN, 2011. Disamping dapat digunakan sebagai arah atau pedoman dalam pengelolaan industri gula BUMN 5 lima tahun ke depan. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi GKP baik dari sisi on farm maupun dari sisi off farm. Diharapkan dengan adanya kebijakan RIGN dapat meningkatkan produksi GKP dan PDT on farm sehingga peningkatan produksi GKP dan PDT tersebut bisa meningkatkan profit PG dan petani sebagai pelaku penting dalam industri pergulaan. Peningkatan profit tersebut pada akhirnya membawa dampak bagi penerimaan PAD dan perekonomian wilayah. Berikut adalah dampak kebijakan RIGN terhadap produksi GKP, PDT, keuntungan PG, pendapatan petani, juga PAD dan perekonomian wilayah dalam berbagai skenario. Terdiri dari skenario 1, 2, dan 3.

6.4.1 Skenario 1: Peningkatan Luas Areal sebesar 3,2

Skenario 1 yakni peningkatan luas areal tebu merupakan konsep yang dicanangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi gula. Mengingat permasalahan di sektor on farm yang cukup menonjol adalah kesulitan pengembangan areal tebu akibat persaingan penggunaan lahan dengan komoditi lain, dan terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terutama di Jawa. Peningkatan mengenai luas areal tebu bisa diterapkan dengan kebijakan pemerintah. Dalam mewujudkan pengembangan areal tebu di Jawa Timur, pemerintah melakukan serangkaian kebijakan seperti: pelepasan ex HPK Hutan produksi yang bisa dikonversi oleh Menteri kehutanan, melakukan APL Alih Fungsi Lahan di Jawa Timur Banyuwangi seluas 12.000 ha dan pengembangan lahan tebu di pulau Madura oleh PTPN X. Target pengembangan areal tebu di Jatim untuk TR sebesar 230.000 ha dan TS sebesar 158.200 ha. Untuk mendukung upaya peningkatan produksi GKP maka pada skenario 1 pertumbuhan luas areal sebesar 3,2 sesuai dengan target peningkatan luas areal yang diterapkan oleh pemerintah melalui Kementeian BUMN dalam RIGN Kementerian BUMN, 2011. Hasil simulasi peningkatan luas areal sebesar 3,2 pada Gambar 54 menunjukkan bahwa produksi GKP Jatim mengalami kenaikan dibandingkan pada bussines as usual BAU, jikapada BAU pada tahun 2010 sebesar 1,014 juta ton, maka pada skenario 1 terdapat peningkatan sebesar 1,046 juta ton pada tahun 2010. Terjadi peningkatan produksi GKP tiap tahun dan pada tahun 2015 jumlah produksi GKP sebesar 1,500 juta ton. Jumlah produksi GKP Jatim masih belum bisa memenuhi target pemenuhan GKP yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebesar 1,6 juta ton. Produksi GKP bisa memenuhi target nasional pada tahun 2017 dengan total produksi GKP sebesar 1,735 juta ton. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebijakan peningkatan luas areal sebesar 3,2 masih belum cukup membuat Jatim bisa memenuhi kebutuhan target pemerintah pusat pada tahun 2015, tetapi bisa terpenuhi pada tahun 2017. Untuk Produksi PDT pada Gambar 54, terjadi peningkatan yang cukup tajam dibandingkan pada saat BAU. Produksi PDT pada skenario 1 tahun 2010 sebesar 32,772 juta ton dan meningkat menjadi 47,870 juta ton pada tahun 2025. Peningkatan PDT sama polanya dengan produksi tebu Jatim. Hal ini disebabkan PDT merupakan produk samping yang diolah lebih lanjut dari tebu. Gambar 54 Produksi GKP dan Produksi PDT Jatim skenario 1 tahun 2010-2025 Untuk Produksi PDT pada Gambar 54, terjadi peningkatan yang cukup tajam dibandingkan pada saat BAU. Produksi PDT pada skenario 1 tahun 2010 sebesar 32,772 juta ton dan meningkat menjadi 47,870 juta ton pada tahun 2025. 1,000 6,000 11,000 16,000 21,000 26,000 31,000 36,000 41,000 46,000 51,000 Ri b u T o n Produksi PDT Skenario 1 Produksi GKP Skenario 1 Peningkatan PDT sama polanya dengan produksi tebu Jatim. Hal ini disebabkan PDT merupakan produk samping yang diolah lebih lanjut dari tebu. Keuntungan PG Gambar 55 pada skenario 1 mengalami peningkatan dari Rp.1,293 trilyun pada tahun 2010 menjadi Rp.2,689 trilyun pada tahun 2025. Kebijakan RIGN dengan peningkatan areal tebu sebesar 3.2 bisa meningkatkan profit PG yang berasal dari PDT. Gambar 55 PAD dan keuntungan profit PG skenario 1 tahun 2010-2025 Kebijakan RIGN juga meningkatkan PAD Jatim pada Gambar 55. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan penerimaan PAD Jatim tahun 2010 pada skenario 1 sebesar Rp.579 milyar tahun 2010 meningkat menjadi Rp.1,17 trilyun pada tahun 2025. Peningkatan ini lebih besar jika dibanding pada kondisi BAU tahun 2010 sebesar Rp.562,19 milyar menjadi Rp.1,173 trilyun pada tahun 2025. Kebijakan meningkatkan luas areal sebesar 3,2 menyebabkan peningkatan produksi tebu, dimana produksi tebu merupakan bahan utama GKP dan PDT. Selain itu, PDT pada skenario 1 merupakan pengolahan lebih lanjut dari ampas, tetes dan blotong menjadi bioethanol, kampas rem, pupuk dan listrik. Dengan konversi yang berbeda-beda pada masing-masing produk turunan PDT. Meningkatnya luas areal tebu sebesar 3,2 mempunyai dampak pada pendapatan petani pada Gambar 56 Peningkatan pendapatan petani pada skenario 1, sebesar Rp.7,982 juta pada tahun 2010 menjadi Rp.27,534 juta pada tahun 2025. Peningkatan pendapatan petani selain karena peningkatan produksi tebu sebagai faktor utama penerimaan dari tetes, disumbang juga dari GKP sebagai hasil dari produksi tebu yang merupakan faktor utama bagi hasil dari rendemen yang dihasilkan. Semakin besar angka rendemen yang dihasilkan, maka angka bagi hasil dari rendemen semakin besar. Jika jumlah rendemen yang dihasilkan diatas 6, maka bagi hasil antara petani tebu dan PG adalah 70:30 PG Pradjekan, 2013. 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 Mi ly ar Ru p iah PAD Skenario 1 Profit PG pada Skenario 1