Tabel 9 Potensial bagasse berdasar produk turunan di negara yang berbeda
Negara Banyaknya Pabrik
Produk Turunan
Kapasitas MW untuk Eksport
Total tahun
20072008 Terintegrasi
Dengan jaringan listrik
Brazil 370
48 3081
509 Guatemala
14 9
497+ 289++
India 492
107 2200
1400 Mauritius
10 10
240 467,9 GWH
Australia 27
NA 392
850 GWH 370 GWH
Colombia 12
- -
- El Savador
7 2
NA NA
Kenya 6
1 32
25 Nicaragua
- 2
NA 23 MWH
The Philippines 28
1 21
NA South Afrika
7 -
- -
Thailand 50
2 NA
NA Uganda
2 2
20 13-14
Total 6483
26751 Sumber: ISO dalam Baghat, 2011. Ket. MWH Mega Watt Hour, MWH Mega Watt
Hour , NA Not Available.
Sumber daya lainnya yang bisa dihasilkan dari pengolahan limbah PG yang disebut Molasses adalah ethanol. Menjadi sangat popular sebagai bahan
bakar motor. Brazil merupakan negara pertama yang memperkenalkan ethanol sebagai campuran dengan bensin di mana banyaknya antara 20-25. Pada
tabel10 negara-negara sebagai produsen ethanol.
Tabel 10 menunjukkan bahwa Brazil dan Amerika Serikat tercatat sebagai penghasil ethanol terbesar. Ethanol juga digunakan sebagai campuran sebagian
kendaraan bermotor di Jamaica, Costa Rica, Tobago, Jepang, Korea, dll. Di India sebagai campuran kendaraan bermotor sebanyak 5 dan dalam waktu dekat akan
dicampur dengan bensin sebanyak 10.
Dengan melakukan diversifikasi produk, produktivitas perusahaan dalam pengolahan tebu diharapkan akan meningkat pula yang pada gilirannya akan
meningkatkan keuntungan PG . Berdasarkan kondisi yang dihadapi industri gula saat ini, diversifikasi produk olahan tebu diharapkan dapat memperkuat dan
meningkatkan pendapatan industri tebu, baik Pabrik Gula PG dan petani tebu.
Tabel 10 Negara Produsen Ethanol Tahun 2010 Negara
Juta Liter Total Produksi
USA Brasil
Cina Canada
India Indonesia
Lainnya 51.61
28.68 7.00
1.50 2.00
0.25
10.33 50,91
28,29 6,91
1,48 1,97
0,25
10,19 Total
101.37 100.00
Sumber: FAOSTAT, 2013
Dengan melakukan diversifikasi produk, produktivitas perusahaan dalam pengolahan tebu diharapkan akan meningkat pula yang pada gilirannya akan
meningkatkan keuntungan PG . Berdasarkan kondisi yang dihadapi industri gula saat ini, diversifikasi produk olahan tebu diharapkan dapat memperkuat dan
meningkatkan pendapatan industri tebu, baik Pabrik Gula PG dan petani tebu.
2. 4 Teori Resourse Based
Teori Resource Base yang dikemukakan oleh Perloff dan Wingo 1961 menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah tergantung pada sumber
daya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumber daya itu. Perkembangan suatu wilayah memegang peranan penting dalam
pembangunan ekonomi karena selain menghasilkan pendapatan juga menciptakan efek penggandaan pada keseluruhan perekonomian di wilayah tersebut.
Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan kemampuannya untuk memproduksinya. Jawa Timur sebagai penghasil tebu
terbesar di Indonesia mempunyai sumber daya berupa tanaman tebu yang melimpah dibanding provinsi-provinsi lain penghasil tebu di Indonesia. Sumber
daya tebu tersebut dapat dimanfaatkan menjadi beberapa produk lain diversifikasi sehingga bisa menghasilkan profit bagi pabrik gula PG dan
peningkatan PDRB Jatim.
2.5 Teori Economic of Scope
Economies of scope are efficiencies wrought by variety, not volume Goldhar and Jelinek, 1983. Economies of Scope terjadi ketika perusahaan
menghasilkan beragam jenis output, maka biaya rata-rata produksinya akan semakin kecil. Biaya rata-rata dalam menghasilkan output akan cenderung turun,
sejalan dengan terjadinya peningkatan output. Hal ini terjadi, karena:
1. Jika perusahaan beroperasi pada skala yang labih besar, pekerja dapat berspesialisasimengkhususkan diri dalam kegiatan yang paling produktif.
2. Adanya variasi dari kombinasi input yang digunakan untuk memproduksi output perusahaan.
3. Input produksi dengan biaya yang lebih rendah diperoleh karena membeli dalam jumlah besar.
Salah satu cara meningkatkan efisiensi dalam lingkup economic of scope dengan upaya diversifikasi. Penrose 1959 menyatakan bahwa pertimbangan
perusahaan pabrik melakukan diversifikasi untuk mempertahankan keunggulan daya saing competitive advantage bisnis utamanya. Gula sebagai produk utama
PG mengalami inefisiensi dan penurunan dalam daya saing yaitu harga. Jika hal ini terus terjadi, PG yang ada di Jawa Timur bisa tutup karena mengalami
kerugian. Sedangkan PG perlu dipertahankan keberadaannya, mengingat gula termasuk salah satu bahan kebutuhan pokok.
Konsep economic of scope didefinisikan sebagai proses mengurangi biaya sumber daya dan keterampilan menyebarkan penggunaan sumber daya dan
keterampilan lebih dari dua atau lebihperusahaan. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 7, biaya untuk perusahaan ke 2 menjadi setengahnya jika sumber daya
yang digunakan dalam dua perusahaan, hanya digunakan pada satu perusahaan.
Jika penggunaan sumber daya yang tersebar pada tiga perusahaan, biaya tiap perusahaan berkurang untuk perusahaan ketiga. Joint output pada perusahaan
ketiga lebih besar dibanding dengan output yang akan dicapai oleh dua perusahaan berbeda. Perusahaan ketiga bisa melakukan kombinasi input sehingga
memberikan biaya yang rendah. Dibanding masing-masing produk tersebut dihasilkan oleh dua perusahaan yang berbeda.
Gambar 7 Economies of Scope Sumber: Hofstrand, 2007
Economies of scope yang dilakukan sejumlah perusahaan akan mampu
meningkatkan permintaan pasar sehingga terjadi multiplier effect. Adanya peningkatan permintaan, akan meningkatkan produksi terhadap produk yang
dihasilkan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dan peningkatan share
terhadap PDRB.
2.6 Konsep Pembangunan Wilayah
Pembangunan dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negarawilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakatnya.
Anwar 2001 menyatakan bahwa pembangunan wilayah kepada terjadinya pemerataan equity, yang mendukung pertumbuhan ekonomi efficiency, dan
keberlanjutan sustainability. Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam proses pembangunannya secara evolusi dengan berjalan
melintas waktu yang ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti perubahan keadaan sosial, ekonomi, serta realitas politik.
Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik Rustiadi et al, 2009. Selanjutnya Todaro 2000
menyatakan bahwa pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam
memahaminya. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan sustenance,
memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri self-esteem, serta kebebasan freedom untuk memilih. Todaro 1998 juga
mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang
sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut.
Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson 1977 mendefinisikan pembangunan wilayah yaitu kemampuan wilayah yang
bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan dengan itu, Anwar dan Rustiadi 2000 mengemukakan tujuan pembangunan
wilayah secara umum, yakni 1 pertumbuhan ekonomi growth, 2 pemerataan equity, 3 dan keberlanjutan sustainability. Selanjutnya Anwar dan Rustiadi
juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial keruangan,
serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga program- program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan
wilayah.
Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu
berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah. Secara luas, pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan
dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan Nugroho dan Dahuri, 2004.
Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan kemakmuran
antar wilayah atau antar daerah. Di samping itu, diusahakan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan pedesaan Jayadinata, 1999.
2.7 Agroindustri Tebu dan keterkaitannya dengan Ekonomi Wilayah
Agroindustri tebu dalam pembangunan ekonomi wilayah berperan dalam meningkatkan kesejahteraanprofit yang tercermin dalam peningkatan
produksi GKP, PAD, produksi PDT, pendapatan profit petani, peningkatan perekonomian wilayah dan keuntungan profit PG. Kontribusi sektor tebu dan
industri gula tebu dalam dinamika perekonomian wilayah, dianalisis dengan bertumpu pada output yang dihasilkan dari tebu menjadi GKP dan 5 jenis PDT
dan dampaknya terhadap peningkatan produksi GKP, PAD, produksi PDT, pendapatan petani, keuntungan PG, dan peningkatan perekonomian wilayah.
Peran Agroindustri dalam perekonomian nasional, dari analisis I-O pada 1995-2000, menurut Supriyati et al 2006 adalah : 1 Pembentukan nilai tambah
bruto PDB relatif besar, ada kecenderungan meningkat meskipun tidak sebesar industri lainnya, sementara sektor pertanian cenderung menurun; 2 Penyerapan
tenaga kerja pada agroindustri relative besar dibandingkan dengan industri lainnya. Ada kecenderungan penurunan penyerapan tenaga kerja pada semua
sektor, kecuali sektor jasa dan lainnya; 3 Produktivitas tenaga kerja pada agroindustri lebih kecil dibandingkan dengan industri lainnya, namun masih lebih
besar dibandingkan dengan sektor pertanian; 4 Ketergantungan impor pada agroindustri lebih rendah dibandingkan dengan industri lainnya; 5 Agroindustri
dan sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai keterkaitan ke belakang yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Dalam keterkaitan ke
depan, agroindustri dan sektor jasa dan lainnya yang mempunyai keterkaitan yang lebih besar. Sejalan dengan penelitian Sundari 2000 di Jawa Timur
menyatakan bahwa keberadaan agroindustri tebu memberi dampak pendapatan berupa nilai tambah produk yang dihasilkan, serta dampak kesempatan kerja dan
distribusi pendapatan melalui penyerapan kebutuhan tenaga kerja pada setiap sektor usaha industri yang menggunakan hasil produksi tebu dan industri gula
sebagai bahan bakunya. Semakin besar nilai tambah dan semakin banyak penyerapan tenaga kerja bagi sektor-sektor usaha industri yang menggunakan
bahan baku hasil produksi tebu dan industri gula, berarti semakin besar dampak ke depan keberadaan agroindustri tebu dan industri gula dalam meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja. Menurut Simatupang dan Purwanto 1990 bahwa peranan agroindustri adalah menciptakan nilai tambah, menciptakan
lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaaan devisa melalui peningkatan ekspor dan menarik pembangunan sektor pertanian. Pendapat ini konsisten
dengan penelitian Susilowati 2007 menyatakan bahwa secara makro agroindustri mempunyai peran lebih besar terhadap peningkatan output, PDB
dan penyerapan tenaga kerja.
Kartiko 1998 menegaskan adanya keterkaitan kebelakang agroindustri tebu terhadap perkembangan wilayah ditunjukkan penggunaan input-input
produksi berupa sumber daya lahan dan sumber daya manusia. Keterkaitan kedepan agroindustri tebu tercermin dari tingkat konsumsi produk yang
dihasilkan agroindustri tebu. Didukung penelitian Hanani et al 2012 menegaskan bahwa gula merupakan salah satu komoditi strategis karena memiliki
keterkaitan kedepan forward linkage dan ke belakang backward linkage yang sangat tinggi.
Supriyati dan Suryani 2006 menyatakan bahwa penelitian mengenai peranan agroindustri di Indonesia tahun 1985-2000, menyatakan bahwa peranan
agroindustri dalam penciptaan PDB meningkat dari 3,7 persen menjadi 12,73 persen. Sementara peran agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja meningkat
dari 0,2 persen pada tahun 1985 menjadi 8,53 persen. Lebih spesifik penelitian di Jawa Timur oleh Ahmad 1994 menyatakan mengenai multiplier agroindustri
terhadap output, pendapatan dan tenaga kerja lebih besar dibandingkan terhadap agregat wilayah lain. Hal ini disebabkan agroindustri memanfaatkan bahan baku
dari sektor pertanian yang cukup besar dan multiplier pendapatan akan tinggi karena output agroindustri dapat diserap baik sebagai konsumsi langsung maupun
untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negeri. Fahriyah et al 2012 menyatakan bahwa industri gula mempunyai keterkaitan kebelakang yang relatif
tinggi.
Penelitian Sastrotaruno 2001 diwilayah PG Cirebon dan PG Subang, dengan tahun dasar 1989-2000 menunjukkkan bahwa produksi gula menyerap
tenaga kerja melalui buruh tebang tebu, usaha pengangkutan dan pemeliharaan tanaman tebu. Dinyatakan pula oleh Malian et al 2004 bahwa penggunaan
tenaga kerja di Jawa Timur relatif lebih intensif daripada di luar jawa. Penelitian Wahyuddin 1995 bahwa penyerapan tenaga kerja per sinder dengan luas yang
berbeda-beda antara 484 sampai 1.913 orang per hari atau 105 orang per sinder pada 15 wilayah kesinderan di PG Madukismo. Diperkuat dengan kajian dari
Departemen Pertanian 2007 dengan luas areal sekitar 350 ribu hektar are pada periode 2000-2005, tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang dan
merupakan salah satu pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani. Kajian Toharisman dan Kurniawan 2012 pengembangan hasil ikutan tebu koproduk akan
berdampak positif dalam penyediaan lapangan pekerjaan dan pembangunan ekonomi daerah karena sebagian besar perkebunan tebu dan PG berada di wilayah
perdesaan.
Tabel 11 Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Tebu Menurut Pulau di Indonesia Tahun 2008
Pulau Jumlah RTUT padi,
jagung, kedelai dan tebu RTUT tebu
Persen Sumatera
3.309.446 14.327
7,3 Jawa
10.442.665 178.637
91,4 Bali dan NTT
1.380.127 292
0,1 Kalimantan
1.121.772 882
0,5 Sulawesi
1.352.804 1.206
0,6 Maluku dan Papua
224.018 115
0,1 Indonesia
17.830.832 195.459
100 Sumber: BPS, 2009
BPS 2009 mempublikasikan bahwa jumlah rumah tangga petani tebu sekitar 200 ribu rumah tangga di mana 91 persen berada di Jawa Tabel 11. Hal
ini mengindikasikan bahwa Jawa merupakan pulau dengan rumah tangga terbanyak yang bekerja di bidang usaha tani tebu. Pulau Sumatera sebanyak 7,3
menduduki peringkat kedua dan Sulawesi sebanyak 0,6 menduduki peringkat ketiga.
Produk samping dari tebu yang diolah lebih lanjut akan memberikan tambahan 3 persen pada GDP dari sektor industri terhadap penghematan
penggunaan ethanol pada sektor transportasi. Menyerap tenaga kerja dan tambahan penerimaan pajak dari sektor rumah tangga dan pada pemerintah
daerah Urbanchuk, 2014. Penelitian di Uruguay mengenai share dari tebu, yakni GDP sektor gula setara dengan 2 GDP di negara tersebut atau hampir
setara dengan seluruh kesejahteraan yang dihasilkan dalam 1 tahun Castro, 2009. Terdapat keterkaitan kebelakang di sektor industri pertanian, tiap
tambahan pekerjaan disektor pertanian menghasilkan tambahan 0,80 pekerjaan pada sektor non pertanian dan tiap 1 GDP menghasilkan tambahan 1.13 pada
non pertanian berkontribusi pada GDP Schmit, 2014.
Sektor gula di Brazil pada tahun 2008 menghasilkan kesejahteraan sebesar US 28.15 M. Kesejahteraan yang didapat setara hampir 2 dari GDP Neves et
al , 2009. Aktivitas biotekhnologi di Canada berkontribuasi sebesar 15 M di
tahun 2005, setara dengan 1,19 dari GDP. Bahkan prediksi pada 20 tahun yang akan datang meningkatkan kontribusi antara 2,6 dan 6 dari GDP Canada
pada tahun 2030 Avillez, 2011.
2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan GKP dan PDT
Dinamika ketersediaan PDT tidak dapat lepas dari dinamika produksi Tebu dan Gula, karena dengan semakin banyak produksi tebu dan gula maka PDT atau
koproduk tebu juga semakin banyak. Sejalan penelitian Hartono 2012
menyatakan bahwaproduksi hablur dan produksi tebu dipengaruhi secara positif oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta.
Penelitian Tchereni et al 2012 menyatakan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi. Penelitian mengenai peningkatan
produksi tebu di Jawa Timur oleh Kartiko 1998 menegaskan bahwa peningkatan produksi tebu dapat dilakukan melalui peningkatan produktifitas
intensifikasi dan melalui perluasan areal ekstensifikasi. Begitupula upaya peningkatan produksi dan produktivitas tebu dengan melakukan Program
Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional PAPPGN sejak 2004 melalui kegiatan bongkar ratoon, melalui penggantian tanaman dengan bibit
unggul, perbaikan irigasi sederhana dan pengadaan alsintan Kementrian perindustrian, 2010.
Peningkatan Produksi gula dipengaruhi oleh produktivitas tebu dan rendemen gula Asmara dan Hanani, 2012, rendemen dalam batang tebu juga
mempengaruhi produksi gula Trisnawati et al, 2012. Mahardika 2004 dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa luas areal tanaman tebu, produktivitas
hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi gula nasional. Inti sari dari penelitian Mawardi 1986
peubah-peubah yang berpengaruh terhadap produksi gula adalah lahan, pupuk, bibit, tenaga kerja, pestisida, saat tebang dan dummy pengalaman ketua
kelompok D=1, berpengalaman dan D=0, tidak berpengalaman. Penelitian Kirana 2008 menegaskan bahwa produksi gula dipengaruhi oleh budidaya
tebu. Didukung oleh penelitian Cahyono 2009 bahwa yang mempengaruhi produksi gula adalah bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin.Hasil penelitian
Zain 2008 menyatakan bahwa peningkatan produksi gula domestik dapatdilakukan dengan memperluas arealperkebunan tebu di luar Pulau Jawa
danmengurangi konversi alih guna lahanperkebunan tebu di Pulau Jawa.
Di sisi lain penelitian Purwono 2012 mengungkapkan bahwa rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh rendahnya produktivitas
gula dan terutama disebabkan oleh rendahnya rendemen. Pergeseran areal pertanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering menjadi faktor utama
rendahnya produktivitas.
Penelitian Malian et al 2004 menjelaskan bahwa dari aspek usaha tani tebu, peningkatan produktivitas dan rendemen tebu sangat diperlukan untuk
meningkatkan produktivitas gula dan pendapatan petani. Senada dengan kajian pergulaan nasional oleh Mardianto et al 2005 menegaskan bahwa salah
satufaktor utama meningkatkan produktivitas gula dalam tebu rendemen tebu adalah perbaikan kinerja PG. Sejalan dengan Rahmatulloh et al 2007yang
mengungkapkan bahwa kinerja produktivitas tebu dipengaruhi Indikator Kinerja hasil panen tebu setiap hektar, luas lahan yang dipanen dan cara penanganan
tebang muat angkut TMA. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmatulloh et al 2007 menyatakan bahwa kinerja produktivitas tebu dipengaruhi oleh indikator
kinerja hasil panen tebu setiap hektar lahan, luas lahan yang dipanen, dan cara penanganan Tebang Muat Angkut TMA. Hasil penelitian Suparno 2004
mnjelaskan bahwa produktivitas tebu sangat responsive terhadap produksi tebu dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setiap kenaikan produksi tebu 10,
cateris paribus, akan meningkatkan produktivitas tebu 10,5 dalam jangka pendek dan 10,6 dalam jangka panjang.