Penelitian Terdahulu Model Pengembangan Agroindustri Gula Tebu Sebagai Upaya Peningkatan Perekonomian Wilayah Di Jawa Timur
proses menjadi gula. Kebijakan:
1. Ketersediaan ampas secara keberlanjutan
untuk penyediaan
energi seperti
untuk ekspor
pada grid
stasiun listrik 2. Adanya
monitoring pada
harga agar bisa bersaing. 8.
Chan A, Hoffman R, Mc Innis B. 2004.
The Role of Systems Modeling
for Sustainable
Developmrnt Policy Analisis: the case of
bio ethanol ecology and society
Sistem Dinamik 1. Bioethanol dapat mengurangi
emisi gas rumah kaca, tapi tekhnologinya
belum bisa
sesuai dengan target Kyoto. Bahan baku ethanol dari by-
products Canada.
2. Diperlukan perubahan penting mengenai rencana transisi dari
penggunaan fossil berdasar BBM pada alternative yang
bisa diperbaruhi.
3. Dalam upaya
penggunaan alternatif
sistem dinamik
biofuels yang
dapat diperbaruhi,
diperlukan perubahan
dalam perilaku
konsumen, dipengaruhi oleh insentif atau mandate dari
regulasiaturan. Walaupun
analisis menyimpulkan bahwa keberlanjutan
penggunaaan bahan baku minyak BBM
memungkinkan, tapi
juga dibutuhkan transisi alternative
seperti hidrogrn, sebagaimana tingkat produksi minyak pada
skala global diperkirakan akan turun pada beberapa decade.
4. Kuantitas yang cukup dari biomassa
sebagai upaya
mengurangi emisi GHG di Canada tidak dapat diperoleh
tanpa pengurangan
dalam jumlah besar thd produksi
tanaman pertanian
untuk makanan.
5. Canada sebagai
eksportir tanaman
pertanian untuk
makanan, menerbitkan
alternative SD dalam upaya perdagangan luar negeri jika
Canada mengurangi ekspor pada tanaman makanan dalam
hal
untuk memproduksi
ethanol untuk
konsumsi domestic.
6. Perlu dikembangkan analisis mengenai
sistem produksi
tanaman sehingga trade off antara penggunaan lahan untuk
produksi ethanol dan produksi makanan bisa dihitung, jika
tekhnologi
untuk meningkatkan
effisiensi penggunaan
lahan untuk
produksi makanan
harus dianalisis.
7. Penggunaan tekhnologi baru untuk
pemupukan, pengeprasan
dan pabrikasi
ethanol merupakan signifikan dalam hal pengurangan emisi
GHG.
9. Kibira D, Shao G,
Nowak S.
2010. System
Dynamics Modeling of Corn
Ethanol as a Bio Transportation
Fuel in the United States
Sistem Dinamik 1. Pertumbuhan industry ethanol
tergantung pada keuntungan produsen dan penyalur.
2. Hal ini sangat tergantung pada:
permintaan, insentif
pemerintah, ketersediaan
bahan baku, harga, proses kapasitas,
efisiensi dan
tekhnologi. Simulasi dilakukan pada tahun
2009-2030. Model
terdiri dari
4 pengembangan:
1. Produksi utama ethanol dari Jagung
2. Produksi pada tingkat ke dua
3. Penggunaan energy 4. Aliran capital
3. Inti dari Model:
Lahan, produksi, polusi, biaya transportasi jagung,
air dan
energy yang digunakan, harga, alokasi jagung untuk produksi
ethanol, investasi,
biaya, penerimaan, dan profit.
10. Silalertruksa T, and Gheewala S. 2011.
The Enviromental
and Socio-Economic Impacts
of bio-
Ethanol production in Thailand
1. Life Cycle
Assessment LCA,I-O
2. Untuk mengetahui
dampak produksi
bioethanol pada
lingkungan dan
sosial ekonomi
Istilah: TK tenaga kerja, PG Pabrik Gula, TJ Tera Joule
1. Sisi Positif: Produksi
bioethanol membutuhkan
12-20 kali
tenaga kerja lebih banyak dari bensin untuk jumlah yang
sama. TK langsung di sector pertanian
memberikan kontribusi lebih dari 90 dari
total TK. 2. Produksi dari 1 TJ Tera
Joule bioethanol
dari ubikayu
dan tetes
menghasilkan tambahan pada GDP berkisar 0.7-1.8 juta
THB. Peningkatan
impor barang seharga 0.7-1.8 juta
THB. Menggunakan I-O
1. Pada 1 TJď jumlah TK 5-6 orangtahun=TK di PG=TK
langsung di sektor lain yang mengirimkan bahan ke PG.
2. Kebijakan
untuk mengembangkan
bioethanol membantu
mengembangkan daerah perdesaan di Thailand
karena penyerapan TK
Dua alasan penyerapan TK yang besar disektor pertanian:
1. Petani dengan skala kecil, menggunakan
pengoperasiaan secara
manual disekitar pertanian 2. Tingkat produktivitas bahan
baku yang
rendah menyebabkan
kekurangan pengerjaan
pada sektor
pengolahan makanan food.
3. GDP dari
suatu negara
merupakan indicator untuk mengukur performa ekonomi
dan ukuran perekonomian suatu negara. 1TJ ubi kayu
dan
tetes ethanol
menyumbang 0.9 dan 0.7 juta THB.
4. Produksi pada biofuels dapat menurunkan
impor jika
disubstitusi dengan bensin berkisar 1.1-1.5 juta THB.
5. Sisi Negatif: 1. Biaya bahan baku pada total
GDP mempunyai dampak antara 29-55 pada total
GDP. 1 TJ ubi kayu dan ethanol tetes meningkatkan
impor total 1.05 dan 0.66 juta THB. Impor pada bahan
kimia yang digunakan untuk konversi pada bahan kimia.
2. Biaya produksi bio ethanol lebih tinggi dari bensin.
6. Kebijakan: Diperlukan pembebasan pajak
untuk mempromosikan bio ethanol menjadi komersial.
11. Gunatilake, H and Abeygunawardena, P.
2014. Energy
security, food
security and
economics of
sugarcane bioethanol in India
1. Cost Benefit
Analysis 2. Untuk
mengetahui biaya
dan manfaat sosial
ekonomi dari
bioethanol dari tetes
1. Bahwa bioethanol sebesar 20 untuk transportasi tidak dapat
dicapai tanpai mempengaruhi produksi makanan di India.
2. Biaya bioethanol dari tebu melampaui keuntungan social,
karenanya penggunaan
bioethanol tidak dibenarkan pada ranah ekonomi.
3. Tetes yang merupakan produk samping dari industri gula,
dapat digunakan
untuk memproduksi
bahan bakar
untuk transportasi
tanpa mengurangi produksi untuk
makanan ketika meningkatkan kesejahteraan social
12 Novitasari
dan Wirjodirdjo.
2010. Mampukah
Kebijakan Pergulaan nasional
meningkatkan Perolehan
Pendapatan
Petani Tebu:
sebuah Penghampiran
Dinamika Sistem 1. Pendekatan
sistem dinamik yang
komprehensif
2. untuk menggambarka
n model secara keseluruhan
dan melakukan simulasi
skenario kebijakan
pemerintah dalam
upaya peningkatan
kesejahteraan petani tebu.
1.
Model yang dibangun terbagi ke dalam lima submodel yaitu
submodel persediaan tebu di Indonesia,
submodel persediaan
gula kristal,
submodel persediaan
gula rafinasi, submodel impor gula
kristal dan submodel impor gula rafinasi.
2.
Hasilnya menunjukkan bahwa skenario yang memberikan
dampak paling
signifikan terhadap peningkatan profit
petani tebu Indonesia adalah melakukan revitalisasi pabrik
gula dan penetapan bea masuk gula impor sebesar 20 persen
13 Budiman, B. 2011.
Analisis Rencana
Pembangunan Pusat Primer
Gedebage Terhadap
Pembangunan Ekonomi
Kota bandung
Melalui Pendekatan
Sistem Dinamik
1. Sistem Dinamik
2. Tujuan menganalisis
rencana pembangunan
kawasan gedebage
terutama pusat primer
gedebage terhadap
pembangunan ekonomi kota
Bandung
1.
Skenario model
pengembangan Pusat Primer Gedebage yang direncanakan
berdasarkan beberapa asumsi kondisi
yang diharapkan
dalam model, yaitu dengan memperhitungkan
investasi yang masuk ke kawasan Pusat
Primer Gedebage.
2.
Adapun skenario dalam model Pengembangan Pusat Primer
Gedebage, yaitu skenario 1, dimana pengembangan Pusat
Primer Gedebage berjalan sesuai dengan investasi saat
ini
berjalan sebesar
Rp. 500,85
Milyar yang
menghasilkan nilai PDRB Rp. 86,250 Triliun dan pendapatan
per kapita Rp. 20,75 juta. Skenario
2, dimana
pengembangan Pusat Primer Gedebage berjalan dengan
investasi yang direncanakan sebesar Rp. 11,945 Triliun
dengan hasil nilai PDRB Rp.146,875
Triliun dan
pendapatan per kapita Rp. 34,10 juta per tahun
3.
Berdasarkan simulasi model
sistem dinamis
tentang dampak pengembangan Pusat
Primer Gedebage terhadap pembangunan ekonomi Kota
Bandung dapat dilihat dari perkembangan
beberapa aspek,
yaitu perubahan
penduduk, PDRB
kota, penggunaa
lahan kota,
pendapatan perkapita
dan Ruang Terbuka Hijau RTH,
dan berdasarkan
simulasi model,
maka adanya
perubahan jumlah penduduk berupa kenaikan pada akhir
tahun simulasi 2034 menjadi rata-rata 1,61 persen per
tahun.
Sedangkan dalam
penggunaan lahan industri, perumahan
dan jasa
meningkat dari 69,73 persen menjadi 80,73 persen atau
13.506 Ha pada tahun 2034. Ini menunjukkan bahwa lahan
kosong
bisa berbentuk
sawah, tegalan ataupun ruang kosong yang tersedia di Kota
Bandung pada tahun 2034 hanya 19,27 persen atau
3.223,87
Ha. Sedangkan
simulasi mengenai subsistem ekonomi di Kota Bandung
dengan melihat nilai PDRB Kota Bandung Atas Dasar
Harga Konstan tahun 2000, maka dari hasil simulasi nilai
PDRB
terlihat adanya
kenaikan PDRB kota yang pada saat ini Rp 26,979
Triliun maka pada akhir tahun simulasi
2034 berubah
menjadi Rp. 86,25 Triliun.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian di Indonesia.
Industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi ribuan petani tebu dan pekerja di industri gula. Gula juga merupakan salah satu
kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah BPS, 2012; Almazan et al, 1998.
Permintaankonsumsi gula dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan konsumsi terjadi karena peningkatan jumlah penduduk, pendapatan
yang meningkat dan masih mahalnya gula dari bahan selain tebu. Industri gula yang diharapkan bisa memproduksi gula sesuai dengan permintaan atau konsumsi
penduduk dan industri, ternyata tidak mampu memenuhi permintaan gula dalam negeri. Dari sisi petani, harga lelang gula rendah, HPP dibawah biaya produksi,
meningkatnya pasokan raw sugar dan by product belum terolah.Di dukung merembesnya gula rafinasi di pasar rumah tangga dan harga gula impor yang
lebih murah dibanding gula dalam negeri, akhirnya mengakibatkankualitas tanam tebu TR semakin menurun. Nilai Tukar Petani NTP perkebunan rakyat yang
menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani perkebunan menunjukkan angka di bawah 100. Data NTP perkebunan rakyat berturut-turut
sebesar: 95,66 tahun 2011, 96,62 tahun 2012, dan 94,02 tahun 2013 Disbun Jatim, 2015. Rendahnya NTP dibawah level 100 mencerminkan bahwa
komoditas tanaman tebu kurang menguntungkan, sehingga sulit mengharapkan petani untuk bergairah menanam tebu Rohman et al, 2005.
Penjelasan mengenai gulatebu, tidak bisa dipisahkan peran PG dan petani sebagai pemilik lahanpenggarap lahan. Untuk PG di pulau Jawa,dari 31 PG yang
ada sebanyak 30 PG merupakan milik BUMN. Sehingga persoalan gula merupakan persoalan pulau Jawa,baik terkait produksi, PG, luas areal, maupun
impor berbagai jenis gula Sawit, 2010. Permasalahan bukan saja terjadi pada tanaman tebu sebagai penghasil gula, tapi juga pada sisi pabrik gula PG sebagai
tempat proses produksi tebu yang mengolah tebu menjadi gula.Terdapat keterkaitan antara kondisi pabrik dengan minat petani dalam bertanam tebu. PG
yang ada sekarang merupakan PG jaman peninggalan hindia belanda yang umur mesinnya sudah tua.Teknologi yang dipakai juga merupakan teknologi yang perlu
diperbaruhi. Karena kondisi mesin sudah tua, maka output yang dihasilkan rendah. Inefisiensi dalam produksi gula. Didukung penelitian Sawit 2010
menyatakan bahwa PG BUMN umumnya pabrik tua dan kapasitas TCD kecil, sekitar 3.000 TCD. Pabrik dengan mesin tua kinerjanya rendah. Mesinnya kerap
bocor, nira tebu banyak terbuang sehingga tidak menjadi gula. Kehilangan gula pol dalam proses pengolahan tinggi, hal ini juga berpengaruh negatif ke
rendemen gula. Faktor-faktor tersebut membuat biaya produksi PG BUMN menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula milik swasta. Kartiko
1998 dan Murdiyatmo 2000 menegaskan bahwa selain faktor-faktor yang berkaitan dengan budidaya dan pengelolaan tebu, faktor kondisi pabrik gula juga
mempengaruhi produktivitas respon petani untuk bertanam tebu. Kondisi pabrik yang sudah tua mengakibatkan inefisiensi pabrik sehingga rendemen yang
dihasilkan rendah. Rendemen yang rendah mengakibatkan bagi hasil antara petani dan pabrik gula rendah.
Kondisi industri pergulaan di Jawa Timur masih bisa kita tingkatkan dengan Economies of Scope. Diversifikasi beragam jenis output tanaman tebu.
Meningkatkan produksi tebu dan mengolah produk turunan tebu PDT. Selain menghasilkan gula sebagai produk utama, juga menghasilkan PDT dari produk
samping yang selama ini belum terolah oleh PG. Peningkatan produksi tebu dengan cara meningkatkan ketersediaan lahan untuk tanaman tebu Sharif et al,
2009; Toharisman et al, 2013, rendemen dan peningkatan produktivitas. Untuk meningkatkan produksi GKP dalam rangka swasembada gula. Rendemen mampu
meningkatkan produksi gula Jose Toasa, 2009; Ditjenbun, 2013. Sedangkan untuk pengolahan PDT, kondisi yang ada selama ini PG hanya memanfaatkan
sedikit dari limbah tebu yang ada.Mayoritas pabrik gula hanya menyetor bahan baku ke pabrik-pabrik. Pabrik gula sama sekali tidak mendapat nilai tambah dari
selain gula. Sehingga PG kurang mendapat profit dari hasil pengolahan gula tersebut. Profit yang dihasilkan dari PDT bisa mencapai lebih dari dua kali lipat
dari profit produk utama, yakni gula. Profit yang diperoleh dari diversifikasi PDT dapat digunakan kembali pada PG untuk perbaikan mesin sehingga mesin PG
lebih efisien, menutup kerugian yang ditimbulkan akibat proses produksi tebu menjadi gula dan penjualan gula yang mengalami kerugian akibat harga gula
impor yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula lokal. Transfer cost dari produk yang kurang menguntungkan pada produk yang menguntungkan
Prihandana, 2005.
Sejalan dengan Revitalisasi Industri Gula Nasional RIGN dan Road Map Pengembangan Kluster Industri Gula tahun 2010, secara umum permasalahan
yang dihadapi oleh industri gula meliputi on farm dan off farm. Di sisi on farm masalah yang cukup menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas gula dan
ketersediaan lahan di Jawa yang tergeser oleh komoditi lain dan alih fungsi lahan. Di sisi off farm PG-PG secara teknis telah berumur tua sehingga terjadi penurunan
efisiensi pabrik yang memerlukan penggantian peralatan yang terkendala oleh terbatasnya ketersediaan dana investasi. Banyak PG-PG yang tingkat
produktifitasnya tidak optimal. Struktur industri gula masih terpaku pada produksi gula dan belum memanfaatkan produk samping untuk menurunkan biaya produksi
pengolahan tebu. Selain upaya meningkatkan produksi gula dalam rangka mendukung swasembada gula nasional, fokus pengembangan industri gula juga
pada pemanfaatan produk samping tebu PDT. Selain memperhatikan dari sisi PG, dalam model juga memperhatikan kebijakan dari sisi petani tebu. Kebijakan
tersebut adalah kebijakan dana talangan sesuai dengan Kepmenperindag No. 643MPPKep92002.
Berdasarkan analisis SWOT, dari 59 unit PG mempunyai peluang melakukan diversifikasi pengolahan tebu menjadi bioethanol dan produk lain.
Untuk mendukung peluang diversifikasi, diperlukan kerjasama operasional PG dengan investor dalam negeri dan luar negeri. Dukungan diversifikasi produk
tersebut dituangkan ke dalam programrencana aksi jangka pendek 2010-2015, salah satunya mengarahkan investasi baru pada industri gula terintegrasi dengan
perkebunan tebu. Secara rinci peran dari masing-masing pemangku kepentingan dan kerangka keterkaitan industri gula dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Kerangka Pengembangan Industri Gula Nasional
Industri Inti Industri Gula Putih, Industri
Gula Rafinasi dan Raw sugar
Industri Pendukung Mesin, Peralatan, bibit,
pupuk, pestisida,
perkebunan dan kemasan
Industri Terkait Industri Makanan, Minuman, dan
Fermentasi
Sasaran jangka Pendek 2010-20150
1. Terpenuhinya kebutuhan gula nasional tahun 2014 Gula Putih, gula Kristal Rafinasi, dan Raw Sugar
2. Terealisasinya program revitalisasi pabrik gula melalui peningkatan mutu dan volume produksi gula
putih 3. Meningkatnya produksi raw sugar dalam negeri
4. Memberikan SNI wajib Gula Putih 5. Melanjutkan revitalisasi PG 2007-2009 untuk on farm
dan off farm sehingga mutu GKP meningkat 6. Menyusun revisi GKP dan melakukan sosialisasi
intensif agar PG-PG menerapkan revisi standar mutu GKP yang baru
7. Memberikan kuota impor raw sugar bagi industri gula refinasi yang disesuaikan dengan kebutuhan gula
rafinasi bagi industri makanan dan minuman dalam negeri
8. Mengarahkan investasi baru pada industri gula terintegrasi dengan perkebunan tebu
9. Merevisi kebijakan Ketentuan Impor Gula, yang disesuaikan dengan perkembangan pergulaan nasional
pada kurun waktu tersebut
Jangka Panjang 2020-2025
1. Indonesia menjadi negara produsen gula
yang mampu
memasok kebutuhan negara-negara lain
Strategi
1. Peningkatan utilitas kapasitas PG dan PGR 2. Peningkatan rendemen tebu melalui sistem pengolahan tebu yang baik tanam, pembibitan dan
pemeliharaan 3. Peningkatan efisiensi bahan baku dan energi
4. Penguatan struktur industri gula pada semua tingkat dalam rantai nilai value chain 5. Revitalisasi PG BUMN, PG sserta pembangunan PG baru
6. Meningkatkan promosi dan investasi PG-PG di luar Pulau Jawa Papua, Sumatera dan
Sulawesi
Pokok-Pokok Rencana Aksi Jangka Pendek 2010- 2015
1. Melanjutkan revitalisasi PG 2007-2009 untuk on farm dan off farm sehingga mutu dan volume produksi
GKP meninfkat 2. Menyusun revisi GKP dan melakukan sosialisasi
intensif agar PG-PG menerapkan revisi standar mutu GKP yang baru
3. Memberikan kuota impor raw sugar bagi industri gula refinasi yang disesuaikan dengan kebutuhan gula
rafinasi bagi industri makanan dan minuman dalam negeri
4. Mengarahkan investasi baru pada industri gula terintegrasi dengan perkebunan tebu
5. Merevisi kebijakan Ketentuan Impor Gula, yang disesuaikan dengan perkembangan pergulaan nasional
pada kurun waktu tersebut
Pokok-Pokok rencana Aksi Jangka Panjang 2010-2025
Indonesia menjadi negara pengekspor gula di Asia Pasifik
Unsur Penunjang
Pasar:
a. Inisiasi 2004-2009:
Revitalisasi mesin PG, peningkatan
utilitas kapasitas,
bongkar ratoon, penggunaan bibit
unggul b. Pengembangan
cepat 2010-2015: Modifikasi
dan pengembangan
teknologi yang lebih maju otomatisasi mesin
dan peralatan c. Matang
2016-2025: restrukturisasi
mesin dan peralatan dengan
teknologi mutakhir
SDM:
Meningkatkan kemampuan SDM
dibidang manajemen industri gula
Infrastruktur:
1 Meningkatkan peran litbang untuk
peningkatkan mutu gula SNI wajib
dan diversifikasi
pemanfaatan hasil samping 2
Deregulasi dan debirokratisasi harmonisasi dan non tariff
3 Pembangunan
infrastruktur dilahan-lahan tebu agar proses
tebang angkut berjalan efektif dan efesien
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2010 Agroindustri memiliki peran yang sangat penting karena memberikan
dampak pengganda bagi output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja. Agroindustri merupakan usaha meningkatkan efisiensi faktor pertanian hingga
menjadi kegiatan yang sangat produktif melalui proses modernisasi pertanian. Melalui modernisasi di sektor agroindustri dalam skala nasional, penerimaan nilai
tambah dapat di tingkatkan sehingga pendapatan ekspor akan lebih besar lagi Saragih, 2004.
Agroindustri yang mengolah produk turunan tebu PDT diharapkan dapat meningkatkan profit PG dan adanya keterkaitan dengan perekonomian wilayah.
Hasil penelitian dalam periode tahun 1994-1998, tentang multiplier agroindustri terhadap output, pendapatan, dan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor
agroindustri mempunyai nilai multiplier yang tinggi baik terhadap output, pendapatan maupun tenaga kerja dibandingkan dengan sektor non agroindustri
Suryani dan Supriyati, 2006. Nilai multiplier di Jawa Timur lebih besar dibandingkan terhadap agregat maupun wilayah lain. Potensi sektor pertanian
yang cukup besar dan bahan baku sektor pertanian yang besar, mengakibatkan multiplier output yang tinggi. Multiplier pendapatan akan tinggi bila output dari
agroindustri mampu terserap dengan baik, baik sebagai konsumsi langsung maupun memenuhi permintaan dalam dan luar negeri. Dalam periode tahun 1985-
2000, peranan agroindustri dalam peningkatan PDB meningkat dari 3,7 persen menjadi 12,73 persen. Secara spesifik menurut Murdiyatmo 2006 menjelaskan
dampak penggunaan ethanol PDT pada sektor sosial atau tenaga kerja dapat membuka lapangan pekerjaan dibidang pertanian. Satu pabrik etanol berkapasitas
50 juta liter per tahun membutuhkan bahan baku yang berasal dari 10.000 hektar lahan. Jika tenaga kerja per hektar 2 orang, maka dapat diserap 20.000 orang
tenaga kerja, atau 100.000 jiwa termasuk keluarga. Kajian Parra 2005 dalam Vian 2006 areal tanam tebu di Brazil sekitar 5,2 juta ha dan menyerap tenaga
kerja 1,2 juta pekerja. Kajian Vian et al 2006 pada tahun 2004 menyatakan bahwa pasar ethanol dunia sebesar US 30-40 milyar. Brazil, China, India,
Malaysia dan Afrika selatan, Amerika Serikat dan EU adalah pemain penting dalam global market. Sejalan dengan penelitian Wang, Saricks, dan Santini 1999
yang menegaskan lebih dari setengah total produksi gula digunakan untuk
produksi ethanol. Penggunaan campuran ethanol 10 mengurangi emisi rumah kaca 12-19 persen dibandingkan dengan penggunaan gasoline.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan pada bab 3, maka penelitian ini dapat merumuskan model pengembangan gula tebu yang dapat
meningkatkan produksi GKP dan PDT dan memberikan dampak peningkatan bagi perekonomian wilayah Gambar 10.
Permasalahan Industri Gula Jawa Timur 1. HPP kurang memuaskan
2. meningkatnya pasokan raw sugar u
ntuk Jatim 3. By product belum terolah
1. Mesin PG berumur tua 2. Gula hilang
3. Hari giling belum optimal 4. Kapasitas giling 3000 TCD 60
5. Jam henti giling yang tinggi 6. Tingginya by product yang diolah
pihak ketiga
PG ditutup
Peraturan Menteri Perindustrian RI no.11M-INDPERI2010 atau Road Map
Swasembada Gula Nasional
Pendekatan analisis sistem dinamik Biaya
produksi tinggi
NTP rendah
Gula + PDT
Rekomendasi Kebijakan
Permasalahan dari sisi petani tebu
Target Produksi GKP pusat tidak tercapai UU
no.121992
Permasalahan dari sisi PG
Revitalisasi Industri Gula Nasional RIGN
Perekonomian Wilayah Jatim
Keuntungan profit PG
Produksi GKP
Pendapatan profit
Petani Perekonomian
Wilayah Jatim
Model Kondisi Aktual Model pengembangan GKP dan PDT
Peningkatan Keuntungan
profit PG Peningkatan
Produksi GKP Pendapatan
profit Petani
Skenario
PAD Produksi PDT
Peningkatan Produksi PDT Peningkatan PAD
Jawa Timur sebagai penghasil Tebu dan GKP terbesar
Diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi swasembada gula nasional
Model pengembangan agroindustri gula tebu
Penurunan konteribusi sektor
perkebunan thd PDRB 4,15
Economies of Scope TEBU
Transfer Cost
Pemerintah Daerah Petani Tebu
Pabrik Gula PG
Peningkatan Perekonomian Wilayah Jawa Timur
Dana talangan SK no. 643
tahun 2002
Gambar 10 Kerangka Pemikiran Model pengembangan agroindustri gula tebu di Jawa Timur
4 METODE PENELITIAN