Teori Economic of Scope

menyatakan bahwaproduksi hablur dan produksi tebu dipengaruhi secara positif oleh luas perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Penelitian Tchereni et al 2012 menyatakan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam peningkatan produksi. Penelitian mengenai peningkatan produksi tebu di Jawa Timur oleh Kartiko 1998 menegaskan bahwa peningkatan produksi tebu dapat dilakukan melalui peningkatan produktifitas intensifikasi dan melalui perluasan areal ekstensifikasi. Begitupula upaya peningkatan produksi dan produktivitas tebu dengan melakukan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional PAPPGN sejak 2004 melalui kegiatan bongkar ratoon, melalui penggantian tanaman dengan bibit unggul, perbaikan irigasi sederhana dan pengadaan alsintan Kementrian perindustrian, 2010. Peningkatan Produksi gula dipengaruhi oleh produktivitas tebu dan rendemen gula Asmara dan Hanani, 2012, rendemen dalam batang tebu juga mempengaruhi produksi gula Trisnawati et al, 2012. Mahardika 2004 dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi gula nasional. Inti sari dari penelitian Mawardi 1986 peubah-peubah yang berpengaruh terhadap produksi gula adalah lahan, pupuk, bibit, tenaga kerja, pestisida, saat tebang dan dummy pengalaman ketua kelompok D=1, berpengalaman dan D=0, tidak berpengalaman. Penelitian Kirana 2008 menegaskan bahwa produksi gula dipengaruhi oleh budidaya tebu. Didukung oleh penelitian Cahyono 2009 bahwa yang mempengaruhi produksi gula adalah bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin.Hasil penelitian Zain 2008 menyatakan bahwa peningkatan produksi gula domestik dapatdilakukan dengan memperluas arealperkebunan tebu di luar Pulau Jawa danmengurangi konversi alih guna lahanperkebunan tebu di Pulau Jawa. Di sisi lain penelitian Purwono 2012 mengungkapkan bahwa rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh rendahnya produktivitas gula dan terutama disebabkan oleh rendahnya rendemen. Pergeseran areal pertanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering menjadi faktor utama rendahnya produktivitas. Penelitian Malian et al 2004 menjelaskan bahwa dari aspek usaha tani tebu, peningkatan produktivitas dan rendemen tebu sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas gula dan pendapatan petani. Senada dengan kajian pergulaan nasional oleh Mardianto et al 2005 menegaskan bahwa salah satufaktor utama meningkatkan produktivitas gula dalam tebu rendemen tebu adalah perbaikan kinerja PG. Sejalan dengan Rahmatulloh et al 2007yang mengungkapkan bahwa kinerja produktivitas tebu dipengaruhi Indikator Kinerja hasil panen tebu setiap hektar, luas lahan yang dipanen dan cara penanganan tebang muat angkut TMA. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmatulloh et al 2007 menyatakan bahwa kinerja produktivitas tebu dipengaruhi oleh indikator kinerja hasil panen tebu setiap hektar lahan, luas lahan yang dipanen, dan cara penanganan Tebang Muat Angkut TMA. Hasil penelitian Suparno 2004 mnjelaskan bahwa produktivitas tebu sangat responsive terhadap produksi tebu dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setiap kenaikan produksi tebu 10, cateris paribus, akan meningkatkan produktivitas tebu 10,5 dalam jangka pendek dan 10,6 dalam jangka panjang. Penelitian Wiryastuti 2002 mengenai keefisienan PG di Jawa menunjukkan bahwa 56 persen PG di Jawa berkapasitas dibawah 2500 TCD dan hanya 16 persen berkapasitas diatas 4000 TCD. Sehingga faktor utama untuk meningkatkan daya saing industri gula di Jawa Tengah adalah biaya produksi rendah.

2.9 Potensi Diversifikasi Industri Tebu Nasional

2.9.1 Industri Berbasis Tebu yang Modern

Pada industri berbasis tebu yang modern, setiap 1 ton tebu setelah diproses menghasilkan: - Surplus power 100 KW - Bioethanol sebanyak 12 liter - Biokompos sebesar 40 kilogram Subiyono 2012 menyatakan bahwa selain melihat potensi industri tebu nasional, tidak kalah penting untuk melihat potensi PG-PG milik BUMN secara kasar. Pada tahun 2010 luas tanam tebu PG BUMN mencapai sekitar 286,6 ribu hektar dengan tebu giling 22,87 juta ton. Dengan data tersebut, maka bisa dihasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32 persen dari total tebu giling, 1,12 juta ton tetes 4,9 persen, dan 800.000 ton blotong 3,5 persen. Penelitian Toharisman dan Kurniawan 2012 pada tahun 2011 luas total area tebu di Indonesia sekitar 422 ribu hektar dengan tebu giling mencapai 34,6 juta ton. Berarti dapat menghasilkan sekitar 11,1 juta ton ampas 32 persen, 1,5 juta ton tetes 4,5 persen dan 1,2 juta ton blotong 3,5 persen. Selain itu, pemanenan tebu masih meninggalkan sekitar 6,2 juta ton pucuk 14,6 tonha. Berdasarkan data luas areal tanam nasional sebesar 473.000 hektar dan 33 juta ton produksi tebu, berdasarkan kajian Subiyono 2013 bahwa potensi bisnis dari diversifikasi yang bisa diperoleh: 1. Surplus power sebesar 3,5-3,8 juta MWH 3.800 GWH 2. Bioethanol sebesar 460.000 KL=3,68 triliun 3. Biokompos sebanyak 1,5 juta ton=300 miliar Selain tebu yang masukdikirim ke PG untuk diolah lebih lanjut, terdapat pucuk tebu dan serasah yang dalam proses pemanenan tebu bisa dihasilkan 2,8 juta ton pucuk serasah. Bahan baku yang cukup besar jumlahnya tersebut, jika diproses lebih lanjut akan menghasilkan nilai tambah ekonomi tinggi. Potensi yang didapatkan dari Cogeneration sebesar Rp 633,89 miliar sampai Rp 684,51 miliar dalam satu masa giling, antara 148 sampai 186 hari Tabel 12.