orang  yang  semata-mata  hadir,  dan  tidak  mengambil  peran  apapun, dan  yang  terakhir  sebagai  ‘overhearer’.  Peran  ‘overhearer’  masih
dapat dibedakan lagi menjadi ‘listener-in’ dan‘eavesdropper’. Dengan demikian,  apabila  semuanya  itu  diperhitungkan  sebagai  salah  satu
dimensi  dalam  konteks  situasi,  tentu  saja  dimensi  ‘hearer’  itu  akan menjadi  kompleks  karena  jatidiri  ‘hearer’  sesungguhnya  tidaklah
sesederhana  yang  selama  ini  banyak  dipahami  oleh  sejumlah kalangan.
Lebih lanjut dijelaskan di dalam Verschueren 1998: 76 bahwa bagi sebuah pesan message, untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’
I dari seorang ‘utterer’ U, selain akan ditentukan oleh keberadaan konteks  linguistiknya  linguistic  context,  juga  oleh  konteks  dalam
pengertian  yang  sangat  luas,  yang  mencakup  latar  belakang  fisik tuturan  physical  world  of  the  utterance,  latar  belakang  sosial  dari
tuturan  social  world  of  the  utterance,  dan  latar  belakang  mental penuturnya  mental  world  of  the  utterance.  Jadi  setidaknya,
Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam  memahami  makna  sebuah  tuturan.  Berikut  akan  dijelaskan
secara lebih rinci.
2.2 Konteks Sebuah Tuturan
Sejauh  ini,  setidaknya  telah  terdapat  tiga  macam  konteks  yang telah  dibahas  yaitu  mencakup  dimensi-dimensi  linguistik  atau  yang
sifatnya  tekstual,  atau  yang  sering  pula  disebut  sebagai  co-text,
konteks yang sifatnya sosial-kultural, dan konteks pragmatik. Konteks linguistik
lazimnya berdimensi
fisik, sedangkan
konteks sosiolinguistik  lazimnya  berupa  seting  sebuah  sosio-kultural  yang
mewadahi  kehadiran  sebuah  tuturan.  Adapun  konteks  dalam pragmatic dijelaskan oleh Leech.
Leech  1993:  20  mengatakan  bahwa  konteks  sebagai  suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n penutur
dan  t  mitra  tutur  yang  membantu  t  menafsirkan  makna  tuturan. Penjelasan  yang  agak  panjang  terkait  dengan  konteks  dikemukakan
Leech adalah mengenai‘setting’, yang dapat mencakup setting waktu dan  setting  tempat  spatio-temporal  settings  bagi  terjadinya  sebuah
pertuturan.  Aspek  waktu  dan  tempat  di  dalam  setting  itu  tentu  saja tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek fisik dan aspek sosial-kultural
lainnya, yang menjadi penentu makna bagi sebuah tuturan. Pada  prinsipnya,  di  dalam  pragmatik  sesungguhnya  titik  berat
dari  konteks  itu  lebih  mengarah  pada  fakta  adanya  kesamaan  latar belakang  pengetahuan  the  same  background  knowledge  yang
dipahami  bersama  penutur  dan  lawan  tutur.  Hal  tersebut  dapat dikatakan  demikian  karena  sebuah  proses  komunikasi  akan  berhasil
apabila  hal-hal  yang  dibicarakan  sama-sama  dipahami  oleh  penutur dan mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Pemikiran ini sejalan dengan
pendapat Pranowo 2009: 12 bahwa komunikasi akan berhasil apabila
didukung  oleh  beberapa  faktor  seperti  ada  kesepahaman  topik  yang dibicarakan antara penutur dengan mitra tutur.
2.3 Tujuan Sebuah Tuturan
Leech  memiliki  preferensi  untuk  menggunakan  istilah  tujuan tutur,  bukan  istilah  maksud  tutur.  Tujuan  tutur  lebih  netral  dan  lebih
umum  sifatnya,  tidak  berkait  dengan  kemauan  atau  motivasi  tertentu yang  sering  kali  dicuatkan  secara  sadar  oleh  penuturnya.  Tujuan  itu
memang  lebih  konkret,  lebih  nyata,  karena  memang  keluar berbarengan dengan tuturan yang dilafalkan atau diungkapkannya itu.
Akan  tetapi,  maksud,  tidak  serta  merta  sama  dengan  tujuan  karena cenderung  hadir  sebelum  tujuan  itu  dinyatakan.  Artinya  maksud  itu
belum berupa tindakan, masih berada dalam pikiran dan angan-angan, sedangkan  tujuan  itu  sudah  berupa  tindakan,  karena  memang  tujuan
hadir  bersama-sama  dengan  keluarnya  sebuah  tuturan  dari  mulut seseorang.
Tujuan  tutur  berkaitan  erat  dengan  bentuk-bentuk  tuturan  yang digunakan  seseorang.  Pada  dasarnya,  tuturan  dari  seseorang  akan
dapat  muncul  karena  dilatarbelakangi  oleh  maksud  dan  tujuan  tutur yang  sudah  jelas  dan  amat  tertentu  sifatnya.  Oleh  karena  itu,  harus
ditegaskan  bahwa  dalam  pragmatik,  bertutur  itu  selalu  berorientasi pada  tujuan,  pada  maksud,  maka  dikatakan  sebagai  ‘goal-oriented
activity’.  Bentuk  kebahasaan  itu,  secara  pragmatik  selalu  didasarkan pada  fungsi  function,  bukan  semata-mata  bentuk  forms,  karena
setiap  bentuk  kebahasaan  sesungguhnya  sekaligus  merupakan  bentuk tindak  verbal,  yang  secara  fungsional  selalu  memiliki  maksud  dan
tujuan.  Jadi,  dalam  pragmatik  pandangan  yang  dijadikan  dasar  selalu berfokus  pada  ‘fungsi’  pada  ‘kegunaan’  atau  ‘use’,  dan  semuanya
selalu harus didasarkan pada maksud atau tujuan. Contohnya, ketika kita masuk gang-gang tertentu di Yogyakarta
atau  mungkin  daerah  lainnya  di  Jawa,  Anda  akan  mendapati peringatan  seperti,  ‘NGEBUT,  BENJUT.  Secara  fungsional  pula,
bentuk  kebahasaan  ‘NGEBUT,  BENJUT’  digunakan  untuk memberikan peringatan pada semua saja, khususnya para pengendara
motor  yang  melewati  gang  atau  lorong  tertentu  tersebut  untuk ‘ekstrahati-hati’,  kalau  misalnya  saja  sampai  terjadi  kecelakaan  dan
semacamnya  di  tempat  itu.  Dengan  demikian,  jelas  bahwa  setiap tuturan
—bukan  kalimat  karena  kalau  sebutannya  kalimat  pasti berdimensi nonpragmatik
—pasti berorientasi pada fungsi, bukan pada bentuk.  Oleh  karena  itu,  terlihat  sekali  pragmatik  itu  menggunakan
paradigma  fungsionalisme  yang  menitikberatkan  pada  fungsi,  bukan paradigma formalisme seperti yang lazimnya dianut dalam gramatika.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa ahli seperti Mathesius 1975,  Danes  1974,  Halliday  1994,  dan  Givon  1995  yang
mengemukakan  bahwa  pragmatik  berorientasi  pada  teori  linguistik fungsional Baryadi, 2007:61.
2.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan atau Kegiatan: Tindak Ujar