61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam  bab  ini  dipaparkan  mengenai:  1  deskripsi  data  penelitian,  2 analisis daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya,
dan 3 pembahasan. Kedua hal tersebut diuraikan seperti pada subbab berikut ini.
A. Deskripsi Data Penelitian
Data  yang dianalisis dalam penelitian ini berupa kalimat langsung dan tidak langsung yang terdapat dalam novel Arok Dedes yang mengandung gaya
bahasa  dan  memiliki  daya  bahasa  bagi  pembacanya.  Salah  satu  contohnya, “Tunggul Ametung memperhatikan tubuh istrinya yang indah telentang seperti
kala  dilahirkan.”  I.40  Contoh  data  seperti  di  atas  yang  akan  dianalisis  dan dideskripsikan  dalam  penelitian  ini  untuk  mengetahui  gaya  bahasa  apa  yang
terkandung di dalamnya dan daya bahasa apa saja yang terkandung dalam gaya bahasa  tersebut.  Jenis  daya  yang  ditemukan  dalam  novel  Arok  Dedes  karya
Pramoedya  Ananta  Toer,  yaitu  daya  bahasa  yang  terdapat  dalam  novel  Arok Dedes, yaitu daya terungkap dari data berupa kalimat meliputi daya jelas, daya
rangsang,  daya  simbol,  daya  seremoni.  Sedangkan,  daya  bahasa  yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya
ancam, daya protes, daya cemooh, daya  nasihat,  daya saran, daya klaim, daya deklarasi,  daya sesal, daya  keluh, daya pinta, daya  harap, daya perintah,  daya
dogma,  daya  magi,  daya  provokasi,  daya  persuasi,  daya  sumpah,  daya  janji.
Berikut  akan  dipaparkan  masing-masing  daya  yang  terungkap  melalui  gaya bahasa.
B. Analisis Data
Berikut  peneliti  sajikan  analisis  data  bagaimana  penggunaan  daya bahasa  dalam  gaya  bahasa  pada  novel  Arok  Dedes  karya  Pramoedya  Ananta
Toer.
1. Deskripsi Gaya Bahasa yang Berdaya Bahasa
a. Daya ‘Jelas’ Informasi, Daya Rangsang, Daya Simbol, Daya
Seremoni
Daya  yang  terdapat  dalam  narasi  non  tutur  lebih  bersifat prememori yang berfungsi mengantar dan meletakkan khayal pembaca
di  tempat  yang  diinginkan  penulis,  sehingga  pembaca  ikut  terbawa dalam  alur  dan  intrik  di  dalam  novel.  Daya  jelas  berfungsi  salah
satunya  untuk  mendeskripsikan  orang,  mendeskripsikan  apa  yang dilakukan  oleh  tokoh,  mendeskripsikan  sebuah  tempat.  Berikut  akan
dipaparkan  gaya  bahasa  yang  mengandung  daya ‘jelas’  informasi,
seremoni, simbol dan rahasia. I.8
Dada  telanjangnya  mulai  ditutup  dengan  sutera  terawang tenunan  Mesir  tipis  laksana  selaput  kabut  menyapu  gunung
kembar. 3
Konteks: Ken Dedes sedang dirias oleh Gede Mirah
I.17 Janur  kuning  dan  daun  beringin  menyambut  kedatangan
mereka. 6
Konteks: Rombongan pengantin baru menuju ke alun-alun.
I.13 Semua  pekerja  dapur  keluar,  bermandi  sinar  matari  pagi
yang sedang mengusir kabut. Puncak pegunungan di kejauhan pun  mulai  berjengukan  berebut  dulu  untuk  melihat  pengantin
yang baru keluar dari pura. 29
Konteks: Semua pekerja dapur keluar untuk menyaksikan pengantin baru
penguasa Tumapel.
VIII.13 Waktu  pasukan  Kidang  Telarung  membelok  ke  kanan
mengikuti  tikungan  sungai,  dari  kantongnya  ia  keluarkan sumpitan  kecil  dan  melepaskan  anak  sumpit  beracun  pada
pemimpinnya.  Telarung  memekik  kemudian  roboh  tanpa bersuara lagi. 391
Konteks: Kebo  Ijo  tidak  mendapat  tempat  di  belakang  barisan  dan  ia
berada di bawah pimpinan Kidang Telarung.
I.18 Berpuluh  pandita  dan  seluruh  negeri  Tumapel,  yang
didatangkan dari kota  dan desa  dan diturunkan  dari gunung- gunung  Arjuna,  Welirang,  Kawi  dan  Hanung,  berbaris
seorang-seorang dengan jubah aneka warnadan destar sesuai dengan warna jubahnya. 6
Konteks: Seluruh  pandita  dari  Tumapel  datang  dari  berbagai  penjuru
Tumapel sambil membawa umbul-umbul, semuanya berjumlah empat puluh.
I.2 Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuang
kotoran dan makanan. 1
Konteks: Dedes berada di dalam bilik besar.
I.6 Dan  sebagai  gadis  yang  terdidik  untuk  menjadi  brahmani,
ia  tahu  Tunggul  Ametung  hanya  seorang  penjahat  dan pendekar  yang  diangkat  untuk  jabatan  itu  oleh  Sri  Kretajaya
untuk menjamin arus upeti ke Kediri. 3
Konteks: Dedes terkenang pada ayahnya.
VII.1 Kadang ia merasa takut, kadang kuatir, kadang mengalami
kegembiraan batin, kadang sendu. 323
Konteks: Suasana  hati  Ken  Dedes  yang  tidak  menentu  terhadap
suaminya Tunggul Ametung.
IX.27 Hanya  babi  dan  anjing  dan  kucing  berkeliaran  di  jalan-
jalan. 469
Konteks: Keadaan Tumapel yang sepi.
X.48 Hanya ia sendiri kehilangan tempat di samping suami yang
dicintainya, kehilangan balatentara yang dapat diperintahnya, kehilangan  kepercayaan  dari  orangtua  yang  dicintai  dan
dipujanya setulus hati.  553
Konteks: Ken  Dedes  kehilangan  kedamaiannya  saat  menuju  pura
bersama  ken  Arok,  Ken  Umang,  Bana,  dan  Ki  Bango Samparan.
I.27 “Pada  suatu  kali  di  tahun  1107    Saka  Sri  Ratu  Srengga
Jayabasa  dari  Kediri  mangkat.  Pertentangan  dalam  istana siapa  yang  harus  dinobatkan.  Raden  Dandang  Gendis
melarikan  diri  dari  istana  ke  Gunung  Wilis.  …  Di  istana Amisani,  si  anak  desa,  tidak  disukai  oleh  para  putri  istana.
Orang  pun  memasang  racun  untuk  membunuhnya.  Amisani
akhirnya mati termakan racun itu. .... ” 12
Konteks: Dedes  teringat.  dulu  ayahnya  menceritakan    kisah  tentang
Amisani dan ia baru mengerti arti cerita itu.
IX.42 Ia  merindukan  karang  batu  bata  dan  di  pembelahan  batu.
Ia  merindukan  salah  seorang  di  antara  mereka  bakal melamarnya.  Ia  merindukan  seorang  bayi  yang  dapat
digendong dan ditimangnya. 32
Konteks: Setelah  menyaksikan  pernikahan  Tunggul  Ametung  dan  Ken
Dedes, tiba-tiba Oti merindukan sesuatu.
VIII.11 Apakah itu cukup menjadi bukti, pertempuran tidak pernah
ada? 391
Konteks: Belakangka  mendapat  laporan  jika  tidak  ada  mayat  orang
ditemukan di pendulangan dan padang batu.
IX.20 Ia  menduga  ahli  senjata  itu  sudah  banyak  makan  garam
dan cukup rontal yang telah dipelajarinya. 461
Konteks: Arok mempelajari siasat dan pemikiran Empu  Gandring untuk
menguasai Tumapel.
VIII.19 Arya  Artya  duduk  pada  sebongkah  batu  besar,  kehilangan
lidahnya. 399
Konteks: Arya Artya lemas mengetahui jumlah emas yang sebenarnya.
III.46 Menjelang  terbit,  Hyang  Surya,  kuda  itu  memasuki
pekuwuan… 121 Konteks:
Tunggul Ametung sampailah ia di pekuwuan.
VIII.25 Ia  berhenti  di  hadapan  Arok  dengan  dendam  menyala-
nyala pada matanya. 401
Konteks: Hayam bebas dari kepungan anak buahnya.
VII.13 Dan  ia  merasa  senang  karena  tidak  termasuk  sudra
berdarah  Hindu  dan  juga  tidak  senang  karena  akan melahirkan seorang bayi dengan semakin kurang darah mulia
itu dalam tubuhnya. 327
Konteks: Ken  Dedes berusaha menghibur dirinya sendiri.
II.50 Tempat  penggembalaannya  ialah  medan  ia  bermain
dengan  teman-temannya.  Kegesitan,  kekuatan,  kecerdasan, dan kekukuhan menyebabkan ia  hampir  selalu keluar  sebagai
pemenang dalam permainan dan perkelahian. 93
Kontek: Arok mengingat kembali masa lalunya.
I.26 Airmatanya  telah  kering.  Tapi  dalam  hatinya  masih  juga
mengucur tiada henti. 10
Konteks: Dedes    berlutut  menghadapi  peraduan  dan  masih  menyesali
pernikahannya dengan Ametung.
IX.21 Maka  persekutuan  dua  orang  itu  ia  anggap  sebagai
permainan dua ekor cangcorang yang berkasih-kasihan untuk saling memangsa. 461
Konteks: Arok mempelajari siasat dan pemikiran Empu  Gandring untuk
menguasai Tumapel.
IV.68 Kelud meletus. 216
Konteks:
Gunung Kelud meletus.
Pada data I.8 menggunakan gaya bahasa simile, dapat dilihat dari  kata
“.. laksana selaput kabut” , tetapi secara keseluruhan daya yang  diserap  dari  kalimat  utuh  adalah  daya  bahasa  rangsang,  yang
mempengaruhi indera di dalam kenyataannya Pada  data  I.17  menggunakan  gaya  bahasa  personifikasi,
dimana  simbol  adat  melakukan  kegiatan  manusia,  sedangkan  daya yang  terambil  dari  data  I.17  adalah  daya  simbol,  dimana  itu  lebih
dari  sekedar  informasi  karena  membawa  pembaca  mengerti  dan menghormati  adat,  budaya  dan  kepercayaan  yang  tersirat  di  novel
tersebut. Pada  data  I.13  menggunakan  gaya  bahasa  personifikasi
karena ditemukan kata yang acuannya bukan manusia yang diberi ciri insani.  Ditunjukkan  dengan  kata  “sinar  matari  pagi  yang  sedang
mengusir kabut.” Mengusir merupakan perbuatan yang dilakukan oleh manusia.  Makna  dari  kalimat  di  atas  ialah  sinar  matari  pagi  yang
mulai  bersinar  berusaha  mengusir  kabut  yang  menghalanginya  untuk menampakkan sinarnya.
Gaya  bahasa  klimaks  pada  data  VIII.13  merupakan  gaya bahasa  yang  menunjukkan  urut-urutan  pemikiran  yang  semakin
meningkat  kepentingannya  dari  gagasan  sebelumnya.  Ditunjukkan dengan  kata
“…membelok ke kanan …dari kantongnya ia keluarkan sumpitan  kecil  dan  melepaskan  anak  sumpit  beracun  pada
pemimpinnya.  Telarung  memekik  kemudian  roboh  tanpa  bersuara
lagi. ” Makna yang terkandung dari data VIII.13 ialah menunjukkan
proses  kejadian  yang  dilakukan  Kebo  Ijo  saat  berada  di  belakang Kidang Telarung sampai Kidang Telarung tewas.
Pada  data  I.18  penggunaan  gaya  bahasa  antiklimaks,  lawan dari  gaya  bahasa  klimaks.  Kelompok  kata  yang  menunjukkan  gaya
bahasa  antiklimaks  yaitu  kota  dan  desa  dan  diturunkan  dari  gunung- gunung.  Makna  yang  terkandung  dari  data  I.18  ialah  hadirnya  para
pandita  pada  pesta  pernikahan  Tunggul  Ametung  dari  kota  yang merupakan  pandita  yang  diakui  oleh  Kediri  dan ditempatkan  di  kota,
pandita dari desa, dan pandita dari gunung  yang keberadaannya tidak diakui  oleh  Kediri.  Daya  bahasa  yang  terkandung  adalah  seremoni,
sama  seperti  simbol,  hanya  saja  data  lebih  menunjukan  prosesi  atau upacara adat, untuk membedakan dengan upcara
– upacara yang lain. Gaya  bahasa  eufemisme  hadir  pada  data  I.2.  Kata  yang
mengandung  gaya  bahasa  eufemisme  ialah  tempat  untuk  membuang kotoran.  Kotoran  yang  dimaksudkan  pada  data  di  atas  adalah  tempat
untuk buang air kecil dan buang air besar. Data  I.6  menggunakan  gaya  bahasa  zeugma  karena
mempertentangkan dua hal yang berbeda yaitu pendekar dan penjahat yang  mengandung  ciri  semantik  yang  bertentangan.  Makna  yang
terkandung  pada  data  I.6  ialah  Tunggul  Ametung  sebenarnya hanyalah  seorang  penjahat  kelas  kakap  yang  kemudian  oleh  Kediri
menjadi  pendekar  penyelamat  untuk  menjamin  arus  upeti  dari Tumapel menuju Kediri.
Data  VII.1  menggunakan  gaya  bahasa  asidenton  sebab  kata takut,  kuatir,  kegembiraan  batin,  sendu  merupakan  kata-kata  yang
memiliki  posisi  sederajat  tentang  macam-macam  perasaan  yang seharusnya  dihubungkan  dengan  kata  sambung  atau  konjungsi.
Namun, pada kalimat di atas tidak dihubungkan dengan kata sambung. Kata-kata tersebut  hanya dipisahkan dengan tanda koma. Makna dari
kalimat tersebut adalah menggambarkan suasana hati Ken Dedes yang tidak menentu yang terkadang merasa takut, kuatir, sendu, gembira.
Data  IX.27  menggunakan  gaya  bahasa  polisidenton  yang merupakan  lawan  dari  gaya  bahasa  asidenton  yakni  beberapa  kata,
frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Kelompok kata babi, anjing, kucing disambung dengan
konjungsi  dan.  Seharusnya  tidak  perlu  digunakan  konjungsi  dan karena merupakan kelompok kata yang posisi setara yaitu binatang.
Gaya  bahasa  epizeukis  muncul  pada  data  X.48  yaitu  berupa pengulangan pada kata kehilangan sekaligus memberi penegasan pada
kata  tersebut.  Makna  yang  terkandung  dari  data  X.48  ialah menunjukkan  jika  Ken  Dedes  kehilangan  banyak  hal  yang  penting
dalam  hidupnya  yaitu  kehilangan  tempat  di  samping  suami  yang dicintainya,  balatentara  yang  dapat  diperintahnya,  dan  kepercayaan
dari orangtua yang dicintai dan dipujanya setulus hati.
Pada  data  I.27  menggunakan  gaya  bahasa  alegori  karena menceritakan  sebuah  kisah  yang  berisi  pesan,  amanat.  Amanat  yang
disampaikan  pada  data  I.27  Ken  Dedes  lebih  berhati-hati  dan  tidak mengulangi  peristiwa  seperti  Dewi  Amisani  yang  tewas  karena
diracun. Data  IX.42  menggunakan  gaya  bahasa  anofora  yaitu  berupa
pengulangan  kata  di  awal  kalimat  dengan  pengulangan  kata  ia merindukan.  Maknanya  ialah  Oti  merindukan  karang  batu,  seseorang
yang  akan  melamarnya,  merindukan  seorang  bayi.  Daya  dari  data  di atas  adalah  daya  emosi  rindu  karena  menunjukkan  kerinduan  yang
amat  terdalam  bagi  Oti.  Dan  pengulangan  kata  rindu  sebanyak  tiga kali  cukup  meyakinkan  perasaan  apa  yang  membuncah  di  dalam
dirinya.  Ia  merindukan  tempat  yang  berkarang  batu,  merindukan seorang  lelaki  yang  akan  melamarnya,  dan  merindukan  seorang  bayi
yang akan digendongnya kelak. Data VIII.11 menggunakan gaya bahasa erotesis yang artinya
sama saja dengan pertanyaan retoris. Pada data VIII.11 menanyakan apakah ada bukti jika pertempuran di tempat pendulangan emas tidak
pernah  ada.  Karena  tidak  ditemukan  bekas  perkelahian  maupun bangkai mayat dan keadaan di pendulangan sepi, tanpa ada manusia.
Gaya  bahasa  metafora  digunakan  pada  data  IX.20. Ditunjukkan dengan kata banyak makan garam yang berarti memiliki
pengalaman yang sudah cukup banyak. Makna yang terkandung yaitu
dugaan  Arok  kepada  Empu  Gandring  yang  sudah  memiliki  banyak pengalaman  dan  membaca  banyak  rontal  untuk  menyiapkan  taktik
menguasai Tumapel. Data  VIII.19  menggunakan  gaya  bahasa  perifrasis  yang
terungkap  dari  penggalan  kalimat  kehilangan  lidahnya.  Seharusnya penggalan  kalimat  kehilangan  lidahnya  bisa  diganti  dengan  kata
membisu.  Makna  yang  terkandung  pada  data  VIII.19  yaitu  Arya Artya membisu setelah mengetahui jumlah emas yang sebenarnya.
Pada  data  III.46  menggunakan  gaya  bahasa  eponim  yang nampak  pada  kalimat
“…Hyang Surya Terbit…” Hyang Surya  yang dimaksudkan  adalah  matahari.  Makna  yang  terkandung  pada  data
III.46  ialah  kuda  yang  ditumpangi  oleh  Tunggul  Ametung  dan  Ken Dedes memasuki pekuwuan ketika matahari terbit.
Gaya  bahasa  hiperbola  pada  data  VIII.25  ditunjukkan  pada kata  dendam  menyala-nyala.  Maksud  dari  kata  di  atas  ialah  Hayam
sangat  dendam  yang  sangat  mendalam  kepada  Arok.  Daya  yang muncul  yaitu  daya  emosi  dendam  karena  menunjukkan  betapa
dendamnya Hayam kepada Arok yang terpancar dari tatapan matanya. Gaya  bahasa  oksimoron  digunakan  pada  data  VII.13  yang
nampak pada penggunaan kata senang dan tidak senang  yang berada pada  satu  kalimat.  Makna  yang  terkandung  pada  data  VII.13  ialah
Dedes merasa senang karena keturunan brahmani dan ia merasa tidak
senang karena anak yang akan ia lahirkan kelas tidak murni keturunan brahmana.
Data  II.50  menggunakan  gaya  bahasa  silepsis  yang  secara gramatikal  benar  namun  secara  semantik  salah.  Gaya  bahasa  silepsis
berusaha  untuk  mempertentangkan  dua  hal  yang  berbeda.  Tercermin pada  kata  permainan  dan  perkelahian.  Makna  yang  terkandung  pada
data  II.50  ialah  penulis  menggambarkan  Arok  sebagai  tokoh  yang selalu menang ketika bermain dan menang ketika berkelahi.
Pada  data  I.26  menggunakan  gaya  bahasa  paradoks  sebab mempertentangkan  airmata  yang  telah  kering  dengan  dalam  hatinya
masih  juga  mengucur  tiada  henti.  Makna  yang  terkandung  dalam konteks  ini  yaitu  Dedes  berhenti  menangis  karena  airmatanya  telah
kering  mungkin  terlalu  lama  menangis  dalam  jangka  waktu  yang panjang.  Meskipun  airmatanya  telah  kering,  Dedes  masih  merasa
sangat  sedih  dan  untuk  mengungkapkannya  Dedes  hanya  bisa menangis dalam hati.
Data  IX.21  menggunakan  gaya  bahasa  sarkasme  karena berisi  hinaan.  Terungkap  pada  penggalan  kalimat
“…permainan dua ekor cangcorang...” Data IX.21 ditunjukkan kepada Empu Gandring
dan  Kebo  Ijo  yang  sedang  berusaha  untuk  menguasai  Tumapel. Makna  yang  terkandung  pada  data  IX.21  ialah  persekutuan  antara
Empu  Gandring  dan  Kebo  Ijo  seperti  cangcorang  yang  saling berkasih-kasihan untuk mencapai keinginan masing-masing.
Pada data IV.68 menggunakan gaya bahasa metonimia yang tampak  pada  kata  Kelud.  Yang  dimaksudkan  pada  kata  Kelud  ialah
Gunung  Kelud.  Makna  yang  terkandung  dari  data  IX.68  ialah gunung Kelud meletus.
Dari  keseluruhan  data  diatas  menunjukkan  daya  informasi, seremoni,  simbol  dan  rangsang  karena  hanya  menjelaskan  situasi,
deskripsi tokoh, tempat, suasana yang ada di dalam novel Arok Dedes. Daya jelas seperti  yang telah diuraikan di atas mengandung kekuatan
bahasa  yang  terungkap  dari  gaya  bahasa  metonimia.  Pada  data  104 Kelud  meletus  secara  langsung  menggambarkan  keadaan  saat  itu
kepada  pembaca.  Pada  data  I.18  Berpuluh  pandita  dan  seluruh negeri Tumapel, yang didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan
dari  gunung-gunung  Arjuna,  Welirang,  Kawi  dan  Hanung,  berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warnadan destar sesuai dengan
warna  jubahnya.  mengandung  daya  seremoni  karena  menunjukkan prosesi  upacara  pernikahan  adat  Hindu.  Sedangkan  pada  daya
rangsang  nampak  pada  data  I.8  Dada  telanjangnya  mulai  ditutup dengan  sutera  terawang  tenunan  Mesir  tipis  laksana  selaput  kabut
menyapu  gunung  kembar.  Mengandung  daya  rangsang  karena  ada rangsang yang membuat pembaca merasakan suatu rangsangan sendiri
atau  bisa  dikatakan  sex  feel.  Daya  simbol  muncul  pada  data  I.17 Janur  kuning  dan  daun  beringin  menyambut  kedatangan  mereka.
Mengandung  daya  simbol  karena  menunjukkan  lambang-lambang yang digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa.
b. Daya Puji
Puji adalah pernyataan rasa pengakuan dan penghargaan  yang tulus  akan  kebaikan,  keindahan  KBBIoffline.  Bentuk  ungkapan
pujian  bisa  ditunjukkan  kepada  sesama,  alam,  dan  Tuhan.  Berikut daya puji yang terungkap melalui pemakaian gaya bahasa.
I.3 “Perawan terayu di seluruh negeri,” bisik Gede Mirah. 2
Konteks: Dituturkan oleh Gede Mirah ketika ia sedang merias Dedes.
II.3 “Sudah  lama  aku  timbang-timbang.  Kau  seorang  muda
yang cerdas, giat, gesit, ingatanmu sangat baik, berani, tabah menghadapi segalanya. 60
Konteks: Dituturkan  oleh  Lohgawe  kepada  Temu  ketika  semua  murid
sedang berkumpul.
II.41 “…  Dan  kau,  Temu,  kau  bisa  jadi  satria  karena
kemampuanmu.  Tingkah  lakumu  bukan  lazim  pada  seorang sudra,  tetapi  satria.  Matamu  bukan  mata  satria,  tetapi
brahmana…” 85
Konteks: Tantripala memuji kecerdasan Temu.
III.19 “Mulialah Sri Erlangga Bathara Wisynu, dengan titahnya
semua  orang  bisa  jadi  satria  atau  brahmana  demi dharmanya.” 112
Konteks: Dituturkan  Tunggul  Ametung  ketika  ia  berhasil  membawa
Dedes, tetapi ia meronta terus.
III.45 “Bahkan rambutmu kurasai seperti belaian sorga.” 121
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung kepada Dedes ketika dalam
perjalanan menuju ke pekuwuan.
IV.17 “…  Garuda  Untuk  kau  hanya  korban  terbaik,  hidup
terbaik, dan kalaupun punah, punah yang terbaik pula.” 176
Konteks: Dituturkan  oleh  Lohgawe  yang  menyuruh  Arok  untuk  tidak
berpendapat  mengenai  Maithuna  upacara  persetubuhan  untuk memuja kesuburan.
IV.57 “Bicara,  kau,  garuda  kaum  brahmana,  dengan  berat  dan
ketajaman  parasyu  Hyang  Ganesya,  dengan  ketajaman  kilat Sang Muncukunda ....“ 210
Konteks: Dituturkan  oleh  Lohgawe  untuk  menyuruh  Arok  melanjutkan
kisah Salyaparwa dalam bahasa Sansekerta.
VI.5 “Kau seorang anak pandai emas yang tajam hidung. Tahu
saja kau di mana tempatnya.” 269
Konteks: Dituturkan oleh Arok kepada  Hayam ketika ia sedang tertidur.
Gaya  bahasa  hiperbola  nampak  pada  tuturan  I.3  karena mengandung  suatu  pernyataan  yang  melebih-lebihkan  keadaan
sebenarnya.  Kata  terayu  memberi  efek  melebih-lebihkan  kecantikan Dedes  sehingga  terkesan  hanya  Ken  Dedeslah  wanita  yang  paling
cantik di seluruh Tumapel. Daya puji nampak pada kalimat “Perawan
terayu…” Pujian yang diungkapkan Gede Mirah karena ia mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh Dedes.
Pada  data  II.3  menggunakan  gaya  bahasa  asidenton  yang ditunjukkan  dengan  kelompok  kata  cerdas,  giat,  gesit,  ingatanmu
sangat  baik,  berani,  tabah  menghadapi  segalanya  yang  memiliki posisi  sederajat  yaitu  menyatakan  sifat  baik  yang  dimiliki  Arok.
Makna  yang  terkandung  dari  data  II.3  ialah  Lohgawe  memaparkan kebaikan  yang  dimiliki  oleh  Arok  yang  ia  kenal  selama  ini.  Model
gaya  bahasa  ini  dipilih  penulis  untuk  mengatakan  sesuatu  maksud secara jelas, singkat, dan padat. Meskipun tidak dihubungkan dengan
kata sambung, makna kalimat tersebut dapat diterima. Pada data II.3 mengandung  daya  puji  dari  kumpulan  kata  cerdas,  giat,  gesit,
ingatanmu  sangat  baik,  berani,  tabah  menghadapi  segalanya  sangat jelas mengandung pujian karena tidak mengandung celaan.
Tuturan II.41 mengandung gaya bahasa klimaks karena urut- urutan  pikiran  yang  semakin  meningkat  kepentingannya.  Nampak
pada  kelompok  kata “Kau  bisa  jadi  satria  karena  kemampuanmu.
Tingkah  lakumu  bukan  lazim  pada  seorang  sudra,  tetapi  satria. Matamu  bukan  mata  satria,  tetapi  brahmana.
”  Makna  yang terkandung  dari  tuturan  II.41  ialah  Arok  bisa  naik  kasta  menjadi
brahmana  karena  dharmanya.  Daya  puji  nampak  pada  penggalan kalimat  di  atas.  Pujian  yang  disampaikan  kepada  Arok  sangatlah
istimewa karena tidak semua orang memiliki kemampuan seperti Arok yaitu memiliki tingkah seorang satria, mata brahmana meskipun pada
kenyataannya Arok hanyalah keturunan sudra. Data  III.19  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof  karena
menghadirkan Sri Erlangga Bathara Wisynu dalam percakapan antara Tunggul  Ametung  dengan  Dedes.  Makna  yang  terkandung  dalam
tuturan  III.19  yaitu  Tunggul  Ametung  mengungkapkan  rasa  terima kasih  kepada  Sri  Erlangga  Bathara  Wisynu  karena  titah  yang
diberikan olehnya bisa membuat orang naik kasta karena dharma yang
diberikan.  Daya  yang  dihasilkan  pada  tuturan  III.19  ialah  daya  puji karena mengandung pujian kepada Sri Erlangga Bathara Wisynu yang
terungkap dari kata “Mulialah Sri Erlangga Bathara Wisynu,…” Kata
mulia merupakan salah satu bentuk ungkapan pujian. Pada  data  III.45  gaya  bahasa  simile  digunakan  untuk
membandingkan  dua  hal  yang  berbeda.  Yang  dibandingkan  pada tuturan  III.45  ialah  rambut  Dedes  dan  belaian  surga.  Makna  yang
terkandung pada tuturan III.45 ialah rambut Dedes benar-benar halus sehingga  jika  ada  orang  yang  menyentuhnya  seperti  merasakan
belaian  surga.  Daya  yang  muncul  yaitu  daya  puji.  Pujian  dituturkan oleh  Tunggul  Ametung  saat  membelai  rambut  Ken  Dedes  dan  yang
dirasakan  Tunggul  Ametung  ialah  rambut  Dedes  sangat  halus  dan wangi.
Pada  tuturan  IV.17  menggunakan  gaya  bahasa  epizeukis yaitu  pengulangan  pada  kata  terbaik.  Maksud  pada  tuturan  IV.17
semua yang terbaik selama hidup dan sampai punah pun yang terbaik diberikan  kepada  Arok.  Data  IV.17  Mengandung  daya  puji  yang
dituturkan  oleh  Lohgawe  kepada  Arok  karena  bagi  Lohgawe,  Arok adalah sosok yang sangat istimewa.
Pada  tuturan  IV.57  menggunakan  gaya  bahasa  epitet  yang ditunjukkan dengan kalimat garuda kaum brahmana yang sudah jelas
julukan  itu  diberikan  kepada  Arok.  Maksud  yang  terkandung  pada data  IV.57  Arok  sebagai  wakil  kaum  brahmana  mendapat  berkat
berlimpah  dari  Hyang  Ganesha  dengan  kilat  Muncukundra.  Daya IV.57  mengandung  daya  puji  karena  Arok  mendapat  koehormatan
menjadi  bagian  dari  kaum  brahmana  meskipun  ia  sendiri  berkasata sudra.
Pada tuturan VI.5 menggunakan  gaya bahasa  metafora  yang ditunjukkan  kepada  Hayam.  Kalimat  yang  menunjukkan  pemakaian
gaya  bahasa  metafora  ialah  tajam  hidung  yang  berarti  memiliki penciuman  yang  kuat.  Maksud  yang  terkandung  pada  tuturan  VI.5
ialah  Hayam  memiliki  indera  penciuman  yang  kuat  untuk  mencari sumber  emas  karena  jarang  sekali  orang  yang  memiliki  kemampuan
seperti  Hayam.  Tuturan  VI.50  mengandung  daya  puji  karena  dalam pembicaraan,  Arok  memuji  Hayam  yang  memiliki  indera  penciuman
yang tajam. Daya puji seperti yang telah diuraikan di atas adalah kekuatan
bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  metafora  yang mengandung  pesan  menunjukkan  kesungguhan  hati  penutur  untuk
memuji  mitra  tutur.  Perhatikan  contoh  tuturan “Kau  seorang  anak
pandai emas yang tajam hidung. Tahu sa ja kau di mana tempatnya.”
Tuturan  tersebut  secara  langsung  menunjukkan  pujian  Arok  kepada Hayam atas kemampuan penciuman tajam yang dimiliki oleh Hayam.
c. Daya Optimis
Optimis  adalah paham  atas segala sesuatu  dari segi  yang baik dan  menyenangkan,  sikap  yang  selalu  memiliki  harapan  baik  dalam
segala  hal  KBBIoffline.  Penggunaan  gaya  bahasa  pada  novel  yang berhasil  ditemukan  untuk  mengungkap  daya  optimisme  ialah  sebagai
berikut. III.39
…  Tumpahkan  airmatamu,  Permata,  karena  setelah  ini takkan  dia  titik  lagi,  seluruh  kebahagiaan  makhluk  di  atas
bumi hanya milikmu.” 119 Konteks:
Dituturkan  oleh  Akuwu  ketika  ia  merasa  air  mata  Ken  Dedes jatuh menetesi lengannya.
IV.3 “Kau  akan  kembalikan  cakrawati  Bathara  Guru  Sang
Mahadewa Syiwa.” 165
Konteks: Dituturkan  Dang  Hyang  Lohgawe  Lohgawe  saat  upacara
pemberian nama.
VI.54 “… Semua brahmana di Tumapel, Kediri, di seluruh pulau
Jawa, akan menyokongmu. Dengan Tumapel di tanganmu kau akan bisa hadapi Kediri. 317
Konteks: Dituturkan  oleh  Lohgawe  ketika  ia  mengajak  Arok  untuk
menemui Tunggul Ametung.
VI.55 “Dengan  Tumapel  di  tanganmu  kau  akan  bisa  hadapi
Kediri. … “ 317 Konteks:
Dituturkan  oleh  Lohgawe  ketika  ia  mengajak  Arok  untuk menemui Tunggul Ametung.
Gaya  bahasa  hiperbola  ada  pada  data  III.39  yang  nampak pada
penggalan  kalimat  “…seluruh  kebahagiaan  makhluk  di  atas bumi hanya milikmu
…” maksud dari kalimat III.39 ialah Dedes akan menjadi seorang paramesywari tentu saja setelah ini ia akan memiliki
kekuasan  mutlak  untuk  memiliki  apapun  yang  ia  inginkan.  Daya optimis  muncul  karena  apa  yang  dikatakan  Tunggul  Ametung  akan
memberi  pengetian  tersendiri  bagi  Ken  Dedes  dan  apa  yang dikatakannya ialah berdasarkan keyakinannya.
Gaya  bahasa  apostrof  ada  pada  data  IV.3  muncul  pada kalimat “..cakrawati Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa.” maksud
yang terkandung dari tuturan IV.3 ialah keyakinan akan kembalinya lagi cakrawati Hyang Mahadewa Syiwa. Daya optimis muncul karena
memiliki keyakinan yang tinggi akan kembalinya cakra Hyang Syiwa dengan hadirnya Arok di tengah-tengah mereka kerena kelebihan yang
dimilikinya. Gaya  bahasa  Klimaks  ada  pada  data  VI.54  yang  nampak
pada  kelompok  kata  di  Tumapel,  Kediri,  di  seluruh  pulau  Jawa. Awalnya  yang  mendukung  hanya  dari  wilayah  Tumapel,  lama-lama
seluruh  brahmana  Kediri  dan  akhirnya  brahaman  seluruh  pulau  Jawa akan  berkumpul  jadi  satu  untuk  mendukung  Arok.  Daya  optimis
muncul  karena  dengan  munculnya  bantuan  dari  seluruh  pulau  Jawa, keinginan yang akan dicapai akan terwujud.
Gaya  bahasa  sinekdoke  ada  pada  data  VI.55  nampak  pada kalimat
“Dengan Tumapel di tanganmu kau akan bisa hadapi Kediri” maksud  dari  tuturan  VI.55  ialah  dengan  menguasai  Tumapel,  maka
Arok  akan  bisa  hadapi  dan  menahklukkan  Kediri.  Daya  yang terungkap  yaitu  daya  optimis  karena  memiliki  padangan  baik  akan
masa  depan.  Tumapel  hanya  bagian  dari  wilayah  kekuasaan  Kediri yang bisa dikatakan sumber emas bagi Kediri.
Daya  optimis  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  apostrof
mengandung  pesan  yang  menunjukkan  jika  penutur  memiliki  daya optimis  kepada  mitra  tutur  terhadap  penyelesaian  suatu  masalah.
Seperti  pada contoh “Kau akan kembalikan cakrawati Bathara Guru
Sang  Mahadewa  Syiwa.”  165  Maksud  dari  tuturan  tersebut  ialah berisi  sebuah  keyakinan  akan  pengharapan  yang  lebih  baik  karena
hadirnya  Arok  akan  membatu  kaum  brahmana  mengembalikan cakrawati Hyang Syiwa. tuturan tersebut secara langsung menyatakan
rasa optimis penutur kepada mitra tutur akan suatu hal.
d. Daya Ancam
Ancaman  adalah  salah  satu  usaha  seseorang  untuk menyelamatkan  diri  dari  sebuah  masalah.  Ancaman  sendiri  memiliki
arti  sesuatu  yang  diancam,  perbuatan  yang  mengancam  KBBI offline. Jika seorang mengeluarkan kalimat yang bernada mengancam
tentu  saja  dapat    membuat  takut  lawan  bicaranya.  Ungkapan  yang digunakan  seseorang  dalam  mengeluarkan  ancaman  juga  beragam.
Ada yang mengungkapkan secara halus, tersirat, blak-blakan, kasar, to the  point,  dan  sebagainya.  Dari  ungkapan-ungkapan  itu,  terbentuklah
sebuah daya bahasa yang mengandung ancaman.
I.83 “Kalau  aku  tak  berhasil  menundukkan  cakrawati  Hyang
Syiwa  di  Tumapel,  terkutuklah  kalian  Wangsa  Erlangga Terkutuk  Juga  seluruh  adipati,  bupati,  dan  akuwunya
Terkutuk” 39 Konteks:
Dituturkan  oleh  Arya  Arta  karena  tidak  dapat  menanggung cemburunya
kepada Wangsa
Erlangga yang
tidak mengindahkan Syiwa.
III.50 “Kepalamu akan jatuh karena peristiwa ini.” 133
Konteks: Dituturkan oleh Belakangka kepada Rimang yang menyalahkan
Rimang  karena  kepergian  Ken  Dedes  saat  Gunung  Kelud meletus.
VI.47 “Kalau  yang  sepuluhribu  itu  tidak  ada  kepalamu
tergantung-
gantung di ujung pedang,”... 306 Konteks:
Dituturkan oleh Hayam saat menanyakan Rimang tentang emas yang ia sembunyikan bersama Gusti Putra.
VIII.16 “Dengan  satu  gelombang  serangan  kalian  akan  hancur-
binasa. …”  394
Konteks: Dituturkan oleh Arok saat mengepung perkubuan Hayam.
IX.21 “Baik.  Kalau  kau  bohong,  tubuhmu  tidak  akan  dibakar,
akan  kami  serahkan  pada  anjing-anjing  pekuwuan.  Dan  Tim anjingmu  yang  telah  mati  itu,  akan  datang  ikut  menyantap
tubuhmu.” 469
Konteks: Dituturkan  oleh  Arok  ketika  menyidang  Empu  Gandring  dan
meminta keterangannya tentang penyerbuan ke pekuwuan.
Pada  tuturan  I.83  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof  yaitu gaya bahasa berupa pengalihan amanat dari  yang hadir menjadi tidak
hadir. Kalimat “…cakrawati Hyang Syiwa… “ menunjukkan adanya daya  apoostrof.  Maksud  yang  terkandung  pada  data  I.83  ialah
kutukan yang diberikan oleh Arya Artya jika ia tidak bisa kembalikan cakrawati Hyang Syiwa ke Tumapel. Daya ancam masuk pada tuturan
I.83 terdapat pada kata kutuk. Kata kutuk yang dituturkan Arya Artya berupa ancaman karena belum terjadi kejadian yang tidak diharapkan.
Pada  tuturan  III.50  menggunakan  gaya  bahasa  eufemisme. “Kepalamu  akan  jatuh…”  merupakan  penghalusan  dari  arti  mati.
Dalam  konteks  ini,  makna  yang  terkandung  ialah  Belakangka menyalahkan  Rimang  dengan  perginya  Ken  Dedes  yang  keluar  dari
pekuwuan saat Kelud meletus untuk melihat keadaan rakyatnya tanpa seizinnya  dan  akan  memberikan  hukuman  mati  kepada  Rimang
dengan adanya peristiwa tersebut. Pada  tuturan  VI.47  menggunakan  gaya  bahasa  perifrasis
yang ditunjukkan dengan kalimat “…kepalamu tergantung-gantung di ujung pedang,
…” yang seharusnya bisa diganti dengan mati. maksud yang terkandung pada data VI.47 ialah Rimang akan mati jika emas
yang  jumlah  sepuluh  ribu  saga  tidak  ada.  Data  VI.47  mengandung daya ancam karena secara terang-terangan mengancam Rimang jika ia
tidak beritahukan di mana letak emas itu. Pada  tuturan  VIII.16  menggunakan  gaya  bahasa  hiperbola
yang  melebih- lebihkan  ditunjukkan  pada  kalimat  “…hancur-binasa.
..”  makna  yang  terkandung  pada  VIII.16  ialah  serangan  satu gelombang pasukan Arok bisa menghancurkan tempat persembunyian
Hayam. Termasuk daya ancam karena serangan itu belum terjadi dan dipertegas lagi dengan kata akan.
Pada tuturan IX.21 gaya bahasa yang terkandung adalah gaya bahasa  sarkasme  yang  ditunjukkan  dengan  kalimat
“...tubuhmu tidak akan  dibakar,  akan  kami  serahkan  pada  anjing-
anjing pekuwuan…” Maksud dari data tuturan IX.21 ialah Arok tidak menganggap Empu
Gandring  sebagai  seorang  yang  tidak  terhormat  jika  ia  meninggal karena  tidak  mau  mengakui  semua  kesalahan  yang  telah  ia  perbuat
karena  melakukan  perlawanan  terhadap  Tunggul  Ametung.  Di masanya,  Empu  Gandring  adalah  orang  yang  terpandang,  ia  ahli
membuat  senjata  yang  sakti  dan  mendapat  gelar  Empu  atas kemampuannya.  Di  sini,  Arok  menganggap  Empu  Gandring  sangat
hina.  Jika  ada  orang  yang  meninggal,  mayatnya  harus  dibakar  untuk mencapai  nirwana.  Bisa  disimpulkan  jika  Arok  sangat  memandang
rendah Empu Gandring dan menganggapnya tidak berharga karena ia menyetarakan  Empu  Gandring  dengan  makanan  anjing  dan  Tim
anjing  kesayangan  Empu  Gandring  yang  ia  pelihara  sejak  kecil  juga turut  serta  memakan  daging  tuannya.  Efek  perlokusinya  ialah  Empu
Gandring mengakui kesalahannya dengan bukti-bukti yang ada. Daya  ancam  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah
kekuatan  bahasa  yang  muncul  melalui  gaya  bahasa  sarkasme  yang mengandung pesan memberi ancaman kepada lawan tutur. Perhatikan
data  IX.21 “Baik. Kalau kau bohong, tubuhmu tidak akan dibakar,
akan  kami  serahkan  pada  anjing-anjing  pekuwuan.  Dan  Tim anjingmu yang telah mati itu, akan datang ik
ut menyantap tubuhmu”.
Tuturan  tersebut  secara  langsung  mengancam  mitra  tutur  agar mengakui kesalahannya dan berkata jujur.
e. Daya Protes
Protes,  menurut  KBBIoffline  adalah  pernyataan  tidak menyetujui,  menentang.  Untuk  mengungkapkan  rasa  protes  banyak
cara  yang  bisa  dilakukan  baik  secara  individual  maupun  kelompok, misalnya mogok makan, demo, membakar ban, dll. Dalam novel Arok
Dedes  karya  Pramoedya,  juga  ditemukan  daya  bahasa  protes  yang dilakukan oleh individual maupun kelompok.
II.16 “… Juga sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para
brahmana  siapa  saja  yang  pernah  saya  temui,  hanya mengecam-ngecam,
menyumpahi, dan
mengutuk. Tak
seorangpun  berniat  menghadap  Sri  Baginda  Kretajaya  untuk mempersembahkan pendapatnya...” 66
Konteks: Dituturkan oleh Temu ketika membahas Sri Baginda Erlangga.
IV.13 “Husy.  Tak  aku  benarkan  kau  ulangi  pendapat  busuk
seperti itu. Salah. Keliru. Tidak benar. Menyesatkan.” 175
Konteks: Dituturkan  oleh  Lohgawe  yang  melarang  Arok  untuk  tidak
berpendapat  mengenai  Maithuna  upacara  persetubuhan  untuk memuja kesuburan.
IV.38 “Makin  lama  makin  banyak  rontal  menyesap  ajaran  lain
dan  mendirikan  dewa-dewa  baru  dari  kaum  Buddha,  seakan titiah  ini  sengaja  hendak  dicairkan  jadi  bubur,  campur  aduk
tidak menentu.” 186
Konteks: Dituturkan  seorang  brahmana  dari  mataram,  Resi  Andaru,
menyoroti kemerosotan
penyembahan kepada
Hyang Mahadewa.
Gaya bahasa klimaks ada pada data II.17 ditunjukkan dengan kelompok  kalimat  mengecam-ngecam,  menyumpahi,  dan  mengutuk
karena  kepentingannya  makin  meningkat.  Maksud  dari  data  II.17 ialah  sikap  kaum  brahmana  yang  hanya  berani  mengecam,
menyumpahi,  mengutuk  selama  pemerintahan  Sri  Erlangga.  Daya protes  muncul  dari  Arok  karena  sikap  kaum  brahmana  yang  seperti
katak dalam tempurung, tak berani menunjukkan pendapatnya. Gaya  bahasa  tautologi  berupa  pengulangan  kata  yang  sama
secara berturut-turut  ada pada data IV.13 nampak pada kalimat Tak aku  benarkan  kau  ulangi  pendapat  busuk  seperti  itu.  Salah.  Keliru.
Tidak  benar.  Maksud  dari  tuturan  IV.13    ialah  pendapat  yang dikemukakan  Arok  pada  intinya  adalah  salah.  Daya  protes  muncul
karena  Lohgawe  tidak  suka  terhadap  pendapat  Arok  mengenai maithuna.
Gaya  bahasa  simile  ada  pada  data  IV.38  nampak  pada kalimat  kaum  Buddha,  seakan  titiah  ini  sengaja  yang  dihubungkan
dengan  konjungsi  seperti.  Maksud  dari  tuturan  IV.38  ialah  kaum Budha  yang  mendirikan  dewa  baru  dari  ajaran  lain  seolah  seolah
ajaran tersebut campur aduk. Daya protes muncul karena Resi Andaru menunjukkan rasa tidak suka banyak rontal yang salah ajarannya.
Daya  protes  seperti  yang  telah  dipaparkan  di  atas  adalah kekuaatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  klimaks  yang
mengandung  pesan  rasa  protes  penutur  kepada  mitra  tutur  atas  suatu
hal  yang  kurang  mengenakkan.  Nampak  pada  kalimat “…  Juga
sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para brahmana siapa saja yang pernah saya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpahi, dan
mengutuk. Tak seorangpun berniat menghadap Sri Baginda Kretajaya untuk  mempersembahkan  pendapatnya...”  maksud  dari  tuturan
tersebut  ialah  secara  langsung  penutur  menyampaikan  pendapatnya kepada  mitra  tutur  tentang  hal  yang  tidak  ia  sukai.  Tuturan  tersebut
secara langsung memprotes mitra tutur oleh penutur karena suatu  hal yang kurang berkenan.
f. Daya Cemooh
Cemooh  juga  salah  satu  bentuk  ejekan  tetapi  lebih  kasar  dari pada  sindiran.  KBBIoffline  mengatakan  jika  cemooh  sebuah  ejekan,
hinaan.  Cemooh  untuk  menghina  orang  yang  kedudukannya  lebih rendah. Di bawah ini contoh daya perintah yang terungkap.
III.29 “Kalian kaum brahmana lebih pongah dalam pikiran, tapi
menunduk-nuduk merangkak- rangkak di hadapanku. …” 114
Konteks: Dituturkan  Tunggul  Ametung  ketika  ia  berhasil  membawa
Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
VI.8 “Penangis  di  depanmu  itu,  Arok,  adalah  gadis  terganas
dari  seluruh  rombongannya.  Tak  ada  di  antara  mereka  yang dikasihnya  ampun.  Haus  darah  dia  Arok.  Hampir-hampir  tak
pernah bicara. Lebih sering melamun.” 275
Konteks: Dituturkan  Tanca  kepada  Arok  ketika  Arok  bertemu  kembali
dengan Umang setelah sekian lama tak berjumpa.
VI.58 “… Tidak pernah bisa menghormati orang. Juga tidak bisa
menghormati dirinya sendiri. Tak ada sesuatu pun yang perlu dihormatinya.” 319
Konteks: Dituturkan  oleh  Lohgawe  ketika  ia  dan  Arok  sampai  ke
pekuwuan dan menghadap Tunggul Ametung.
VII.15 “Sama dengan semua anak buahnya: gesit, kurus, dengan
mata menyala-
nyala seperti si kelaparan melihat makanan.” Konteks:
Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika Ken Dedes meminta izin untuk bertemu dengan jago Lohgawe.
VII.16 “Ada diajarkan oleh kaum Brahmana: orang kaya terkesan
pongah di mata si miskin, orang bijaksana terkesan angkuh di mata  si  dungu,  orang  gagah  berani  terkesan  dewa  di  mata  si
pengecut,  juga  sebaliknya,  Kakanda:  orang  miskin  tak berkesan  apa-apa  pada  si  kaya,  orang  dungu  terkesan
mengibakan  pada  si  bijaksana,  orang  pengecut  terkesan  hina pada si gagah
berani. …” 328
Konteks: Dituturkan  oleh  Ken  Dedes  ketika  suaminya  bertanya  apa  itu
kesan.
IX.7 “Kebo Ijo memang terlalu dungu, dan nama sahaya sudah
terlanjur terbawa- bawa oleh si goblok itu.” 445
Konteks: Dituturkan  oleh  Empu  Gandring  saat  tengah  malam  ada
seorang tamtama yang datang mengunjunginya.
IX.13 “Hanya Tunggul Ametung yang berani lakukan itu. Berani
karena bodohnya.” 450
Konteks: Dituturkan  oleh  Belakangka  saat  mengunjungi  Kebo  Ijo  dan
mengajaknya naik ke kereta.
Data  III.29  menggunakan  gaya  bahasa  antiklimaks  yang ditunjukkan  dengan  kata  merunduk-runduk,  merangkak-rangkak.
Gaya bahasa antiklimasks merupakan lawan dari  gaya bahas  klimaks di  mana  urut-urutan  pemikirannya  semakin  menurun  dari  gagasan
sebelumnya.  Makna  yang  terkandung  dari  tuturan  III.29  ialah
menunjukkan  sikap  kaum  brahmana  jika  bertemu  Tunggul  Ametung awalnya  merunduk-runduk  yang  lama-lama  menjadi  merangkak-
rangkak  sebagai  tanda  hormat  terpaksa  karena  takut  dibunuh.  Daya cemooh  hadir  pada  tuturan  III.29  yang  ditunjukkan  pada  penggalan
kalimat tapi menunduk-nuduk merangkak-rangkak di hadapanku. Efek dari  tuturan  III.29  iyalah  Dedes  merasa  tersinggung  dengan  ucapan
Tunggul Ametung dan semakin membencinya. Dalam tuturan III.29 daya  cemooh  yang  dituturkan  oleh  Tunggul  Ametung  ditunjukkan
kepada  Dedes  yang  merupakan  keturunan  brahmani  atas  sikap  kaum brahmana sombong di belakang Tunggul Ametung, tetapi di depannya
tidak  berani  berbuat  apa-apa.  Tunggul  Ametung  menghina  kaum brahmana  karena  mereka  takut  kepada  Tunggul  Ametung  yang
terkenal kejam dan tidak bisa berkutik di hadapannya. Gaya  bahasa  simile  muncul  pada  tuturan  VII.15  karena
membandingkan  dua  hal  sekaligus  dan  dihubungkan  dengan  kata seperti.  Yang  dibandingkan  dalam  tuturan  ini  ialah  anak  buah  Arok
yang  gesit,  kurus  dengan  mata  menyala-nyala  dengan  orang  yang kelaparan  ketika  melihat  makanan.  Dalam  konteks  ini  Tunggul
Ametung sebenarnya ingin mengatakan bahwa sikap anak buah Arok sama  saja  dengan  pengemis.  Makna  dari  tuturan  VII.15  ialah
Tunggul  Ametung  menghina  pasukan  Arok  yang  secara  fisik  dilihat seperti pengemis. Efek dari tuturan VII.15 ialah Ken Dedes semakin
semakin membenci Tunggul Ametung karena sifatnya yang tidak bisa
menghormati  orang  lain.  Daya  yang  muncul  yaitu  daya  cemooh karena  tujuan  Tunggul  Ametung  memang  menghina  pasukan  Arok
yang terlihat seperti pengemis. Pada  tuturan  IX.7  menggunakan  gaya  bahasa  sarkasme
karena  mengandung  celaan  atau  hinaan  kepada  mitra  tuturnya.  Pada data  IX.7  penggunaan  gaya  bahasa  sarkasme  ditunjukkan  dengan
penggunaan  kalimat “…terlalu  dungu,  terbawa-bawa  oleh  si  goblok
itu.”  Makna  kalimat  tersebut  menyatakan  hinaan  kepada  Kebo  Ijo karena  kebodohannya  yang  sudah  membawa  nama  Empu  Gandring
dalam  perkara  pembunuhan  Kidang  Telarung  ketika  menghadap  Ken Dedes.  Daya  cemooh  muncul  pada  data  IX.7  karena  menunjukkan
hinaan,  celaan  kepada  orang  lain.  Pada  tuturan  IX.7  daya  hina muncul  dengan  penggunaan  kata  dungu  dan  bodoh.  Tergolong  daya
hina  karena  menghina  seseorang  dan  langsung  memberi  cap  bahwa Kebo  Ijo  sangat  bodoh.  Dengan  adanya  daya  hina  tersebut  yang
dituturkan  Empu  Gandring  kepada  orang  lain  maka  akan mempengaruhi pemikiran orang tersebut mengenai Kebo Ijo.
Daya  cemooh  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  sarkasme  yang
mengandung  pesan  hinaan  kepada  mitra  tutur.  Seperti  pada  tuturan “Kebo Ijo memang terlalu dungu, dan nama sahaya sudah terlanjur
terbawa- bawa oleh si goblok itu.” 445. Maksud dari tuturan tersebut
ialah Empu Gandring marah kepada Kebo Ijo karena telah membawa
namanya  di  hadapan  Ken  Dedes  selaku  paramesywari.  Secara langsung  tuturan  tersebut  menunjukkan  celaan  penutur  kepada  mitra
tutur karena rasa tidak suka.
g. Daya Nasihat
Setiap  orang  pasti  melakukan  kesalahan.  Ketika  seseorang melakukan kesalahan, tentunya akan mendapat nasihat. Dengan diberi
nasihat,  diharapkan  orang  tersebut  menyadari  kesalahannya  dan berusaha  tidak  mengulanginya  lagi  karena  nasihat  itu  sendiri  berisi
anjuran,  ajaran  yang  baik.  Di  bawah  ini  dipaparkan  contoh  gaya bahasa yang di dalamnya mengandung daya nasihat.
I.4 “Jangan menangis. Berterima kasihlah kepada para dewa.
Tak  ada  seorang  wanita  yang  ditempatkan  pada  satu kedudukan oleh Yang Mulia Tunggul Ametung. …” 2
Konteks: Dituturkan  oleh  Gede  Mirah  ketika  itu  ia  sedang  merias,
mengagumi  kecantikan  Dedes,  dan  memberinya  nasihat.  Saat itu Dedes tertekan dengan pernikahannya dan tidak menyetujui
pernikahannya dengan Tunggul Ametung.
III.8 “Tak  ada  seorang  pun  di  pekuwuan  ini  dapat  dipercaya,
Yang Mulia. Hati- hati, waspadalah.” 102
Konteks: Dituturkan
oleh Rimang
kepada Ken
Dedes untuk
menghiburnya. III.82
“Barangsiapa tidak terlalu muda untuk jadi Paramesywari,
diapun cukup tua untuk mengetahui urusan negeri.” 158 Konteks:
Dituturkan  oleh  oleh  Ken  Dedes  ketika  ia  meminta  kepada Tunggul Ametung untuk mengetahui  urusan negeri.
VII.40 “Dia memerlukan keadilan, dia harus belajar mengenalnya
dengan seluruh tubuh dan jiwanya, bukan hanya suara hampa
untuk bunga bibir dan bunga hati juga untukmu sendiri. …” 352
Konteks: Dituturkan  oleh  Arok  kepada  pengawalnya  yang  bertanya
tentang keputusan Arok kepada Bana.
X.15 “Belajar percaya, Kakanda, belajar mempercayai.” 502
Konteks: Dituturkan  oleh  Ken  Dedes  yang  berusaha  membujuk
suaminya untuk percaya kepada Arok.
Sedangkan  pada  data  I.4  mengandung  gaya  bahasa  apostrof karena menghadirkan dewa pada dialog tersebut. Ditunjukkan dengan
kalimat …berterima  kasihlah  kepada  para  dewa...  Maksud  dari
tuturan  I.4  ialah  supaya  Ken  Dedes  bisa  menerima  pernikahannya dengan  Tunggul  Ametung  karena  hanya  ia  satu-satunya  wanita  yang
bisa  menempati  singgasana  paramesywari  Tumapel  dan  itu  semua terjadi  karena  kehendak  para  dewa.  Daya  nasihat  juga  muncul  pada
tuturan  I.4  tercermin  dari  kalimat …jangan  menangis.  Berterima
kasihlah kepada para dewa…  Di sini, Gede Mirah menasihat Dedes supaya  jangan  menangis  dan  bersyukur  pada  dewa  atas  karunia
pernikahannya dengan Tunggul Ametung. Gaya  bahasa  tautologi  nampak  pada  tuturan  III.8  pada  kata
hati-hati,  waspadalah.  Penggunaan  kata  hati-hati,  waspadalah  bisa dikatakan berlebihan karena mengandung pengulangan dari kata yang
memiliki  arti  yang  sama.  Makna  yang  terkandung  dari  tuturan  III.8 mengandung  penekanan  agar  Ken  Dedes  hati-hati  terhadap  orang  di
pekuwuan.  Tuturan  III.8  mengandung  daya  nasihat  isinya
memberikan  nasihat  kepada  mitra  tutur.  Pada  data  III.8  kata  hati- hati,  waspadalah  mengandung  daya  nasihat  dengan  harapan  Ken
Dedes  dapat  lebih  berhati-hati  dan  waspada  kepada  orang-orang  di dalam pekuwuan karena semuanya tidak dapat dipercaya.
Gaya  bahasa  oksimoron  ada  pada  data  III.82  tampak  pada kalimat
“…tidak terlalu muda … cukup tua” yang mempertentangkan usia yang masih muda untuk menjadi paramesywari tetapi tidak terlalu
tua  untuk  mengetahui  urusan  negeri.  Data  III.82  mengandung  daya nasihat  karena  Ken  Dedes  berusaha  menasihati  Tunggul  Ametung
saat ia mulai belajar mengetahui urusan negeri. Gaya bahasa metafora ada pada data VII.40 pada frasa bunga
bibir  dan  bunga  hati.  Bunga  bibir  ialah  bahan  pembicaraan, sedangkan  bunga  hati  ialah  kekasih.  Maksud  yang  terkadung  dari
tuturan  VII.40  ialah  pengawal  Arok  harus  belajar  untuk  mengenal seluruh  tubuh  dan  jiwanya  sendiri  sehingga  tubuh  dan  jiwa  tidak
hanya  menjadi  pembicaraan  dan  pujaan  hati.  Data  VIII.40 mengandung  daya  nasihat  karena  berisi  nasihat  supaya  lebih  belajar
mengenal diri sendiri sampai sekecil-kecilnya. Gaya  bahasa  epizeukis  juga  muncul  pada  data  X.15
ditunjukkan  dengan  pengulangan  kata  belajar  percaya  untuk mempertegas  apa  yang  dimaksudkan.  Maksud  dari  tuturan  X.15
ialah  Ken  Dedes  menasihati  Tunggul  Ametung  agar  belajar  percaya kepada  orang  lain.  Data  X.15  mengandung  daya  nasihat  tercermin
melalui  kalimat  belajar  percaya,  Kakanda,  belajar  mempercayai. Dalam  konteks  ini,  Ken  Dedes  menasihati  suaminya  agar  percaya
kepada orang lain dalam situasi yang sedang sulit. Dan  gaya  bahasa  oksimoron  juga  nampak  pada  data  III.82.
Yang  menunjukkan  gaya  bahasa  oksimoron  ialah  kata  tua  dan  muda pada  satu  kalimat  yang  sama.  Makna  yang  terkandung  dari  tuturan
III.82  ialah  meskipun  Ken  Dedes  tidak  terlalu  muda  untuk  menjadi seorang paramesywari tetapi kemampuan yang ia punya cukup banyak
untuk  mengetahui  urusan  negeri.  Daya  nasihat  pada  tuturan  III.82 yakni  Ken  Dedes  diberi  kesempatan  untuk  turut  serta  mengurus
Tumapel bersama Tunggul Ametung. Daya  nasihat  seperti  yang  terlah  diungkapkan  di  atas  adalah
kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  tautologi  yang mengandung pesan memberi nasihat kepada mitra tutur. Nampak pada
data  III.8 “Tak ada seorang pun di pekuwuan ini dapat dipercaya,
Yang  Mulia.  Hati- hati,  waspadalah.”  Maksud  dari  tuturan  tersebut
ialah memberi nasihat kepada Ken Dedes selaku Paramesywari supaya berhati-hati  karena  di  seluruh  Tumapel  tidak  ada  seorang  yang  bisa
dipercaya.  Tuturan  tersebut  secara  langsung  menasihati  mitra  tutur supaya mitra tutur menjadi lebih tenang.
h. Daya Saran
Saran,  menurut  KBBIoffline  adalah  pendapat  usul,  anjuran, cita-cita  yg  dikemukakan  untuk  dipertimbangkan.  Di  dalam  saran
walaupun dikatakan secara langsung untuk mempengaruhi mitra tutur, tetapi tidak ada paksaan di dalamnya. Dalam novel Arok Dedes karya
Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa  saran  yang dilakukan dalam satu gaya bahasa.
V.31 “… Dia harus didekati, dibaiki, diambil hatinya.” 240
Konteks:
Dituturkan  oleh  Belakangka  ketika  mencoba  menasihati Tunggul  Ametung  yang  murka  mendengar  Lohgawe  menolak
datang ke pekuwuan.
Dalam  kalimat “…  Dia  harus  didekati,  dibaiki,  diambil
hatinya.”  V.31  sangat  jelas  langkah  gaya  bahasa  klimaks  yang dipakai  yang  ditunjukkan  dengan  kelompok  kata  didekati,  dibaiki,
diambil  hatinya  di  mana  kepentingannya  makin  lama  makin meningkat.  Data  tersebut  mengandung  daya  saran  karena  Ametung
tidak  menerima  kata  perintah  apapun,  hanya  langkah  klimaks  untuk mencapai  tujuan.  Dan  boleh  dipilih  oleh  Ametung  akan  dipakai  apa
tidak cara tersebut. Daya  saran  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah
kekuatan  bahasa  yang  muncul  melalui  gaya  bahasa  klimaks  yang mengandung pesan memberi saran kepada mitra tutur. Perhatikan data
“…  Dia  harus  didekati,  dibaiki,  diambil  hatinya.”  Tuturan  tersebut
secara  langsung  menyarankan  mitra  tutur  untuk  melakukan  sesuatu yang disarankan oleh penutur.
i. Daya Klaim
Klaim,  menurut  KBBIoffline  adalah  tuntutan  pengakuan  atas suatu  fakta bahwa seseorang berhak memiliki  atau mempunyai atas
sesuatu dan pengertian yang lain adalah pernyataan tentang suatu fakta atau  kebenaran  sesuatu.  Untuk  mengungkapkan  klaim  banyak  teknik
yang  bisa  dipakai,  dengan  cara  kasar,  maupun  halus.  Dalam  novel Arok  Dedes  karya  Pramoedya,  juga  ditemukan  daya  bahasa  klaim
yang dilakukan dalam berbagai macam gaya bahasa. I.48
“Kekuasaan  Akuwu  Tumapel  yang  diberkahi  oleh  Hyang Wisynu  telah  membikin  kalian  mengidap  kemiskinan  tidak
terkira.” 19 Konteks:
Dituturkan  oleh  Borang  kepada  seluruh  penduduk  desa  Bantar dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.49 “Dengan segala yang diambil dari kalian Akuwu Tumapel
mendapat  biaya  untuk  bercumbu  dengan  perawan-perawan kalian sampai lupa pada Hyang Wisynu.” 19
Konteks: Dituturkan  oleh  Borang  kepada  seluruh  penduduk  desa  Bantar
dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
II.11 “...  Tanpa  keberanian  hidup  adalah  tanpa  irama.  Hidup
tanpa irama adalah samadhi tanpa pusat…” 63
Konteks: Dituturkan  oleh  Temu  kepada  Lohgawe.  Temu  mengagumi
Hyang Ganesha.
III.20 “Ayolah,  kutuk  aku,  seperti  semua  brahmana  mengutuk
semua orang di luar kastanya. …” 113
Konteks:
Dituturkan  Tunggul  Ametung  ketika  ia  berhasil  membawa Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
Gaya bahasa antitesis ada pada data I.48 ditunjukkan dengan kalimat
“Kekuasaan  Akuwu  Tumapel  yang  diberkahi  oleh  Hyang Wisynu
…  mengidap  kemiskinan…”  maksud  yang  terkandung  pada tuturan I.48 ialah kekuasaan Tunggul Ametung yang medapat berkat
dari  Hyang  Wisynu  tetapi  rakyat  yang  dipimpinnya  mengalami kemiskinan. Daya klaim muncul karena  yang dituturkan oleh  Borang
adalah pernyataan dari sebuah kenyataan. Gaya  bahasa  apostrof  ada  pada  data  I.49  nampak  pada  kata
Hyang  Wisynu.  Maksud  dari  tuturan  I.49  ialah  Hyang  Wisynu dilupakan  oleh  Tunggul  Ametung  karena  keegoisannya  yang
menikmati  nikmat  duniawi  saja.  Daya  klaim  muncul  karena  yang dikatakan  Borang  adalah  sebuah  pernyataan  dari  kenyataan  yaitu
Tunggul  Ametung  mengambil  semua  milii  rakyat  hanya  untuk bercumbu dengan para perawan dan lupa pada Hyang Wisynu.
Gaya  bahasa  anadiplosis  ada  pada  data  II.11  adalah  gaya bahasa perulangan kalimat pada akhir baris digunakan lagi pada awal
baris.  Muncul  pada  kalimat  hidup  adalah  tanpa  irama.  Hidup  tanpa irama.  Maksud  dari  tuturan  II.11  ialah  hidup  tanpa  irama  seperti
samadhi  tanpa  pusat.  Daya  klaim  muncul  dari  data  II.11  karena merupakan suatu pernyataan kebenaran.
Gaya  bahasa  simile  ada  pada  data  III.20  yang  muncul  pada kalimat  kutuk  aku,  seperti  semua  brahmana  mengutuk.  Maksud  dari
tuturan tersebut ialah kutukan yang dilontarkan Dedes semuanya sama seperti para brahmana yang mengutuk Tunggul Ametung. Daya klaim
muncul karena  apa  yang dituturkan Tunggul  Ametung  adalah sebuah kebenaran yaitu para brahmana sering mengutukinya.
Daya  klaim  seperti  yang  telah  diuraikan  di  atas  kekuatan bahasa  yang  muncul  dari  penggunaan  gaya  bahasa  simile  yang
mengandung  pesan  jika  penutur  berhak  untuk  menyatakan  dirinya diklaim  karena  apa  yang  dikatakan  penutur  kepada  mitra  tutur
berdasarkan  fakta  yang  ada.  Tampak  seperti  pada  tuturan “Ayolah,
kutuk  aku,  seperti  semua  brahmana  mengutuk  semua  orang  di  luar kastanya.  …”  Tuturan  tersebut  secara  langsung  menyatakan  kepada
mitra  tutur  jika  penutur  sudah  sering  dikutuk  oleh  banyak  orang termasuk kaum brahmana.
j. Daya Deklarasi
Deklarasi, menurut KBBIoffline adalah pernyataan ringkas dan jela
s
.  Di  dalam  deklarasi  terdapat  pernyataan  tentang  fakta  yang mengubah suata keadaan atau fakta lain dan diakui di khalayak ramai.
Dalam  novel  Arok  Dedes  karya  Pramoedya,  juga  ditemukan  daya bahasa deklarasi yang dilakukan dalam berbagai macam gaya bahasa.
I.21 “Dewa Sang Akuwu sekarang juga dewamu.” 8
Konteks:
Dituturkan  oleh  Yang  Suci  Belakangka  ketika  memimpin upacara pernikahan.
IV.1 “Dengan namamu yang baru, Arok, Sang Pembangun, kau
adalah garuda harapan kaum brahmana.” 165
Konteks: Dituturkan oleh Dang Hyang Lohgawe saat upacara pemberian
nama.
Pada  tuturan  I.21  menggunakan  gaya  bahasa  epanalepsis yaitu  pengulangan  kata  yang  sama  pada  awal  dan  akhir  baris  yang
ditunjukkan  pada  kata  dewa.  Maksud  yang  terkandung  dari  ujaran tersebut  ialah  Belakangka  menegaskan  jika  dewa  yang  dianut  oleh
Tunggul  Ametung  juga  dewanya.  Termasuk  daya  dekalarasi  karena memberikan  pernyataan  ringan  bahwa  dewa  akuwu  juga  menjadi
dewa Ken Dedes juga. Pada  tuturan  IV.1  menggunakan  gaya  bahasa  epitet
ditunjukkan  dengan  kata  Sang  Pembangun.  Sang  Pembangun  ialah Arok sendiri. Maksud yang terkandung pada tuturan IV.1 ialah Arok
dinobatkan  oleh  Lohgawe  dengan  simbol  Sang  Pembangun  yang artinya  pembangun  kembali  Hyang  Mahadewa  Syiwa  bagi  kaum
brahmana. Daya deklarasi seperti yang sudah diungkapkan di atas adalah
kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  epanalepsis yang mengandung pesan menyatakan sesuatu secara jelas dan singkat,
yang  nampak  pada  tuturan “Dewa  Sang  Akuwu  sekarang  juga
dewamu.”  Tuturan  tersebut  secara  langsung  memberikan  pernyataan kecil kepada mitra tutur tentang sebuah penegasan terhadap suatu hal.
k. Daya Sesal
Sesal  menurut  KBBIoffline  adalah  perasaan  tidak  senang susah,  kecewa,  dsb  karena  telah  berbuat  kurang  baik  dosa,
kesalahan,  dsb.  Kurang  baik  yang  dimaksudkan  di  sini  relatif terhadap  obyek  mitra  tutur.  Dalam  novel  Arok  Dedes  karya
Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa sesal yang ditunjukan dalam berbagai gaya bahasa.
II.6 “Ya, Bapa Mahaguru, sahaya telah menimbulkan prihatin
Bapa  mahaguru  Lohgawe  sesuatu  yang  semestinya  tidak terjadi, dan tidak perlu terjadi.” 61
Konteks:
Dituturkan Temu
kepada Lohgawe
ketika menjawab
pertanyaan dari gurunya. IV.14
“…  Ampuni  kami,  ya,  Mahadewa,  keagungan  Prambanan tidak mampu menolak pengaruh sesat itu. …” 176
Konteks:
Dituturkan  oleh  Lohgawe  ketika  mengetahui  di  depan  ada upacara Maithuna.
V.37 “Betapa dungu aku telah kawini perempuan sial ini.” 248
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika ia berbincang dengan
suaminya di kebun buah.
VII.46 “Ampun,  Yang  Mulia  Ayahanda,  sejengkalpun  dari
Tumapel tidak seyogianya gumpil.” 365 Konteks:
Dituturkan  oleh  Putra  termuda  Tunggul  Ametung  ketika dipanggil  menghadap  dan  membahas  tentang  wilayah
kekuasaan Tumapel.
IX.3 “Sekiranya  rencana  pribadi  terkutuk  itu  sudah  saya
ketahui  sebelumny a.  …  Semua  rencana  kita  gagal  dalam
tangan  tuan.  Tuan  terusir  dari  pekuwuan  seperti  bukan keturunan satria. …” 441
Konteks:
Dituturkan  oleh  Kebo  Ijo  saat  mengunjungi  kediaman  Empu Gandring membahas pasukan Kebo Ijo yang ditahan Arok.
X.34 “Mati, Arok, Sang Akuwu mati,” tangis Dedes. 525
Konteks:
Dituturkan  oleh  Ken  Dedes  yang  menyadari  jika  suaminya telah mati.
Gaya  bahasa  yang  terdapat  pada  II.6  adalah  epizeukis. Epizeukis  adalah  gaya  bahasa  berupa  pengulangan  pada  kata-kata
yang  dianggap  penting.  Pada  data  II.16  pengulangan  terjadi  pada kata tidak terjadi. Maksud dari tuturan tersebut ialah sikap yang telah
dilakukan Arok membuat gurunya, Lohgawe menjadi sedih hati. Daya sesal muncul karena Arok telah membuat gurunya bersedih hati.
Pada  data  IV14  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof  yang ditunjukkan pada kata Mahadewa. Maksud dari dari data IV.14 ialah
ungkapan  permohonan  ampun  Lohgawe  kepada  Mahadewa  karena keagungan  Prambanan  tidak  mampu  menolak  pengaruh  sesat.  Daya
sesal  muncul  karena  Lohgawe  dan  seluruh  kaum  brahmana  tidak mampu  berkutik  saat  keagungan  Prambanan  tidak  mampu  menolak
pengaruh sesat dari aliran Budha.
Pada  data  V.37  menggunakan  gaya  bahasa  sarkasme  mucul yang  ditunjukkan  dengan  kalimat  “…perempuan  sial  ini.”  Maksud
dari tuturan V.37 ialah setelah menjadi istri Tunggul Ametung, Ken Dedes  menjadi  perempuan  pembawa  petaka,  bukan  keberuntungan.
Daya  sesal  muncul  karena  Tunggul  Ametung  telah  menikahi  Ken Dedes.
Pada  data  VII.46  menggunakan  gaya  bahasa  hiperbola  yang nampak  pada  sejengkalpun.  Maksud  dari  tuturan  VII.46  wilayah
Tumapel  sudah  berkurang.  Daya  sesal  muncul  karena  menurut  Putra termuda Tunggul Ametung pecahnya Tumapel tidak perlu terjadi dan
seharusnya ia mampu mempertahankan wilayah tersebut. Pada  data  IX.3  menggunakan  gaya  bahasa  simile  yang
karena ada kata pembanding seperti. Maksud dari tuturan IX.3 ialah Kebo Ijo terusir dari pekuwuan dengan tidak hormat seperti layaknya
keturunan  satria.  Daya  sesal  muncul  karena  Kebo  Ijo  melakukan kesalahan  dan  membuat  Empu  Gandring  kecewa  sehingga  rencana
yang sudah mereka susun gagal total.
Pada data X.34 menggunakan gaya bahasa epanalepsis  yaitu pengulangan  kata  mati  pada  awal  dan  akhir  kalimat.  Maksud  dari
tuturan X.34 ialah memberi penegasan jika Tunggul Ametung sudah mati.  Daya  sesal  muncul  karena  Tunggul  Ametung  mati  karena
dibunuh oleh Kebo Ijo. Daya sesal seperti yang sudah diuraikan di atas ialah kekuatan
bahasa  yang  mengandung  pesan  pengungkapan  hati  penutur  kepada mitra tutur atas kejadian yang telah terjadi dan terungkap melalui gaya
bahasa epizeukis yang nampak pada tuturan “Mati, Arok, Sang Akuwu
mati,”Tuturan  tersebut  secara  langsung  menunjukkan  rasa  sesal penutur kepada mitra tutur atas peristiwa yang telah terjadi.
l. Daya Keluh
Keluh,  meunurut  KBBIoffline  adalah  ungkapan  yang  keluar karena  perasaan  susah  karena  menderita  sesuatu  yang  berat,
kesakitan,  dsb.  Dalam  novel  Arok  Dedes  karya  Pramoedya,  juga ditemukan  daya  bahasa  keluh  yang  ditunjukan  dalam  berbagai  gaya
bahasa. I.44
“Apakah kalian kurang menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati kalian?”
18 Konteks:
Dituturkan  oleh  Borang  kepada  seluruh  penduduk  desa  Bantar dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.47 ” Tumapel terus-menerus menyalahkan kami.” 19
Konteks:
Dituturkan  oleh  penduduk  Bantar  kepada  Borang  ketika mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.106 “… Kau pandangi kakimu seperti kakimu berubah menjadi
biji mata untukku?”53 Konteks:
Dituturkan  oleh  Mundra  saat  Oti  menemuinya  dan  kaget setelah mengetahui lelaki muda itu bermata satu. Dan lelaki itu
mengetahui sikap Oti yang terkejut.
IV.61 “…,  pada  waktu  kaum  brahmana  dalam  duaratus  tahun
hanya bersilat lidah?” 213 Konteks:
Dituturkan  oleh  Lohgawe  yang  kaget  melihat  dharma  yang dilakukan lalu membandingkan dengan kaum brahmana.
V.33 “…  Yang  Mulia,  dalam  sepuluh  tahun  lagi  tak  ada  anak
muda  bisa  baca  tulis,  tak  ada  lagi  yang  mengerti  bagaimana memuliakan  para  dewa,  manusia  kembali  menjadi  hewan
rimba belantara. 241 Konteks:
Dituturkan  oleh  Belakangka  ketika  mencoba  menasihati Tunggul  Ametung  yang  murka mendengar   Lohgawe menolak
datang ke pekuwuan.
V.40 “Ketidakmampuan  itu  berasal  dari  diri  semua  yang
memerintah,  Dedes,  ketidakmampuan  mengerti  kawulanya sendiri, kebutuhannya, dan kepentingannya.” 254
Konteks:
Dituturkan oleh Lohgawe kepada Ken Dedes ketika rombongan mereka tiba di padepokan Lohgawe.
IX.5 “Anak buah saya yang delapan? Mereka bisa berkicau di
bawah lecutan cambuknya.” 444 Konteks:
Dituturkan  oleh  Kebo  Ijo  saat  mengunjungi  kediaman  Empu Gandring membahas pasukan Kebo Ijo yang ditahan Arok.
Pada  data  I.44  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof    yang
ditunjukkan dengan Hyang Wisynu. Maksud dari tuturan I.44 Borang menanyakan  pada  penduduk  Bantar  tentang  sesambahan  dan
pengorbanan penduduk pada Hyang Wisynu. Mengandung daya keluh karena penduduk Bantar tidak berani
Pada  data  I.47  menggunakan  gaya  bahasa  sinekdok. Ditunjukkan  dari  kalimat
”Tumapel  terus-menerus  menyalahkan kami.”  Maksud  dari  tuturan  I.47  penduduk  Bantar  terus  menerus
disalahkan oleh Tumapel karena telat membayarkan upeti atau jumlah upeti  yang  kurang.  Daya  keluh  muncul  karena  penduduk  Bantar
merasa tersiksa dengan kewajiban yang harus diserahkan ke Tumapel berupa  upeti  dan  jika  terlambat  akan  disiksa  oleh  para  prajurit  dan
disalahkan oleh pemerintah Tumapel. Pada  data  I.106  menggunakan  gaya  bahasa  simile  yang
muncul  dari  kalimat  “…pandangi  kakimu  seperti  kakimu  berubah menjadi  biji  mata
…” maksud dari tuturan I.106 ialah kaki Oti bisa
menggantikan  bola  mata  untuk  Mundra  yang  akan  menemani  setiap saat.  Mengandung  daya  keluh  karena  Mundra  hanya  memiliki  satu
buah  bola  mata  dan  cara  Oti  memandang  Mundra  membuat  Mundra merasa agak tidak enak hati.
Pada  data  IV.61  menggunakan  gaya  bahasa  metafora  yang ditunjukkan  dengan  frasa  bersilat  lidah.  Bersilat  lidah  memiliki  arti
pintar bermain kata. Maksud yang terkandung pada data IV. 61 ialah kaum brahmana hanya berani bermain kata tanpa melakukan tindakan
selama  dua  ratus  tahun.  Daya  keluh  mucul  karena  selama  dua  ratus hanya bisa bersilat lidah dan kaget melakukan hal yang dilakukan oleh
Arok dan kawan-kawannya. Pada data V.33 menggunakan gaya bahasa antiklimaks yang
ditunjukkan  dengan  kelompok  kata  tidak  bisa  baca  tulis,  tidak  tahu bagaimana  cara  memuliakan  dewa,  dan  menjadi  hewan  rimba
belantara. Maksud dari tuturan V.33 jika tidak ada anak muda yang tidak bisa baca dan tulis, tidak tahu bagaimana cara  memuliakan para
dewa dan manusia menjadi  seperti  binatang lagi. Daya keluh  muncul karena menunjukkan kekhawatiran Belakangka jika Tunggul Ametung
membunuh semua brahmana sehingga pada akhirnya manusia menjadi seperti hewan lagi.
Pada data V.40 menggunakan  gaya bahasa epizeukis  berupa pengulangan kata  ketidakmampuan. Maksud dari tuturan V.40 ialah
ketidakmampuan memerintah
Tunggul Ametung
berasal
ketidakmampuan  mengerti  rakyatnya,  mengerti  kepentingannya, mengerti  apa  yang  dibutuhkan.  Daya  keluh  muncul  pada  tuturan
V.40  karena  Lohgawe  merasa  menderita  dengan  kepempimpinan sejak  Sri  Erlangga  sampai  Tunggul  Ametung  karena  tidak  mampu
dalam  banyak  hal  seperti  tidak  mampu  mengerti  kawulanya,  tidak mengerti apa yang dibutuhkan, tidak mengerti akan kepentingannya.
Pada data IX.5 menggunakan gaya bahasa ironi. Maksud dari tuturan IX.5 ialah  anak buah Kebo  Ijo  yang ditahan oleh Arok bisa
membuka  rahasia  Kebo  Ijo.  Daya  keluh  muncul  karena  Kebo  Ijo merasa  khawatir  jika  rahasia  terbongkar  oleh  anak  buahnya  yang
ditahan oleh Arok. Daya  keluh  seperti  yang  telah  diuraikan  di  atas  adalah
kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa sinekdok seperti pada  tuturan
”Tumapel  terus-menerus  menyalahkan  kami.”  Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan ungkapan rasa yang keluar dari
penduduk  desa  Bantar  karena  perasaan  menderita  selama  duapuluh tahun.
m. Daya Pinta
Pinta,  menurut  KBBIoffline  ialah  permintaan.  Biasanya  mitra tutur  meminta  sesuatu  kepada  lawan  tutur  untuk  melakukan  atau
memberikan apa yang  mitra tutur butuhkan atau inginkan. V.19
“Tolonglah leher sahaya ini, Yang Mulia Ratu.” 230
Konteks:
Dituturkan  oleh  Tunggul  Ametung  ketika  Ratu  Angabaya menahannya karena memiliki persoalan dan harus diselesaikan
mengenai  pembunuhan  yang  ia  lakukan  kepada  kawula Tumapel di wilayah Kediri.
VI.23
“Ya Mahadewa, beri aku kekuatan.” 294 Konteks:
Dituturkan  oleh  Rimang  ketika  ia  dan  Gusti  Putra  melawan para jajaro yang sedang memperkosa seorang wanita.
VII.23 “Coba katakan padaku yang masih bodoh ini” 334
Konteks: Dituturkan  oleh  Ken  Dedes  ketika  diberi  kesempatan  dari
Tunggul Ametung untuk berbincang dengan Arok.
VII.35 “Duh, anakku, jangan kaget telah aku serahkan hidup dan
mati ayahmu pada musuh- musuhnya.” 345
Konteks: Dituturkan kepada Ken Dedes kepada anak di dalam rahimnya
sesampainya tiba di Bilik Agung.
X.35 “Nyatakan
sesuatu pada
kami, Arok
“NyatakanNyatakan” 543
Konteks: Dituturkan  oleh  pasukan  dari  luar  kota  kepada  Arok
memintanya menyatakan sesuatu.
Gaya  bahasa  sinekdok  ada  pada  data  V.19  muncul  pada kalimat
“Tolonglah  leher  sahaya…”  maksud  dari  data  V.19  ialah Tunggul  Ametung  meminta  kepada  Sri  Ratu  Angabaya  untuk  tidak
menghukumnya  dengan  hukuman  pancung  atas  kesalahan  yang  telah ia  lakukan.  Daya  pinta  muncul  karena  Tunggul  Ametung  meminta
kepada ratu Angabaya untuk menyelematkan nyawanya. Gaya  bahasa  apostrof  nampak  pada  tuturan  VI.33  yang
ditunjukkan  dengan  kata  Mahadewa.  Makna  yang  terkandung  dari tuturan  VI.33  ialah  Rimang  memohon  kepada  Hyang  Mahadewa
supaya  memberinya  kekuatan  untuk  melawan  jajaro.  Daya  yang
muncul  dari  data  VI.33  ialah  daya  pinta  ditunjukkan  dengan  kata beri.  Dalam  konteks  ini,  Rimang  meminta  kekuatan  kepada  Hyang
Mahadewa supaya memberikannya kekuatan. Kekuatan di sini muncul dari keyakinannya kepada Hyang Mahadewa selaku dewa sesembahan
yang  kedudukannya  paling  tinggi.  Efek  dari  tuturan  VI.33  ialah penutur merasa mendapat kekuatan baru karena kepercayaannya pada
Tuhan yang disembah. Data  VII.23  menggunakan  gaya  bahasa  litotes.  Gaya  bahasa
litotes  digunakan  untuk  merendahkan  diri  sendiri.  Kata  yang menunjukkan  adanya  penggunaan  gaya  bahasa  litotes  ialah  pada
penggalan kalimat “…yang masih bodoh ini...” Maksud dari tuturan ini  ialah  Ken  Dedes  meminta  Arok  menjelaskan  padanya  mengenai
wanita.  Pada  zamannya,  Ken  Dedes  kategori  sebagai  wanita  yang pandai, cerdas, dan terpelajar. Di sini Ken Dedes merendahkan diri di
hadapan  Arok  yang  dianggapnya  pandai  walaupun  baru  pertama  kali bertemu. Data VII.23 mengandung daya pinta karena meminta lawan
tutur  melakukan  sesuatu  yang  diminta  oleh  mitra  tutur.  Ditunjukkan dengan kalimat “coba katakan padaku..” Di sini Ken Dedes meminta
Arok untuk menjelaskan pengertian tentang wanita. Gaya  bahasa  epizeukis  ada  pada  data  X.41  ditunjukkan
dengan mengulang kata  nyatakan.  Maksud  dari tuturan tersebut  ialah pasukan Arok dari luar kota meminta Arok untuk menyatakan seuatu
kepada  mereka  entah  apapun  itu.  Daya  pinta  muncul  karena  pasukan Arok memintanya untuk berbicara.
Daya  pinta  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  penggunaan  gaya  bahasa
litotes,  yang  mengandung  pesan  supaya  lawan  tutur  melakukan sesuatu  yang  dikehendaki  mitra  tutur.  Perhatikan  contoh  VII.23
“Coba katakan padaku yang masih bodoh ini”. Tuturan tersebut secara langsung meminta mitra tutur agar menjelaskan padanya mengenai hal
yang belum diketahui oleh penutur.
n. Daya Harap
Dalam  novel  Arok  Dedes  karya  Pramoedya  Ananta  Toer, peneliti  menemukan  beberapa  tuturan  baik  lisan  maupun  tulis  yang
mengandung  daya  bahasa  harapan.  Menurut  KBBIoffline,  harap adalah sesuatu yang yang diharapkan, suatu keinginan supaya menjadi
kenyataan. III.83
“Anak  desa  yang  nakal  itu,  sebentar  lagi  akan  lenyap bersama dengan debu
Kelud. ..”159
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika istrinya menanyakan
soal perusuh.
IV.1 “Dengan namamu yang baru, Arok, Sang Pembangun, kau
adalah garuda harapan kaum brahmana.” 165
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe saat upacara pemberian nama.
IV.33 “Dirgahayu, dirgahayu, dirgahayu, ya Mahaguru.” 182
Konteks:
Dituturkan  oleh  berpuluh-puluh  orang  para  brahmana  yang menyambut kedatangan Lohgawe.
VII.17 “Kau tidak akan sedungu ayahmu. Kau takkan bikin malu
ibumu. Kalau kau wanita, kau adalah dewi, kalau kau pria kau adalah dewa. Dengar, kau jabang bayi? Kau berdarah Hindu,
ayahmu sudra hina.” 32919
Konteks: Dituturkan oleh Ken Dedes kepada anak dalam kandungannya.
VIII.3 “Semoga  para  dewa  melimpahkan  kemurahan  tiada
terhingga pada Yang Mulia Paramesywari.” 38218 Konteks:
Dituturkan  oleh  Empu  Gandring  ketika  dipanggil  oleh    Ken Dedes untuk ke pendopo.
Gaya  bahasa  sinisme  ada  pada  data  III.83  yang  ditunjukkan dengan  kalimat  anak  desa  yang  nakal.  Maksud  yang  terkadung
meremehkan seorang anak desa yang identik dengan anak desa nakal. Daya  harap  muncul  pada  data  VIII.3  karena  Tunggul  Ametung
mengharapkan si anak desa itu lenyap bersama debu Kelud. Gaya  bahasa  epitet  ada  pada  data  IV.1  yang  ditunjukkan
dengan kalimat  “…Arok,  Sang  Pembangun…”  Maksud  dari  data
IV.1 ialah Arok menjadi mendapat kepercayaan dari kaum brahmana untuk menjadi pelengkap pembangun kaum brahmana yang telah lama
terpuruk. Data IV.1 mengandung daya harap karena kaum brahmana menaruh  harapan  besar  kepada  Arok  yang  akan  memperbaiki  nasib
seluruh kaum brahmana yang terpuruk salama duaratus tahun ini. Pada  tuturan  IV.33  menggunakan  gaya  bahasa  epizeukis
yang  ditunjukkan  dengan  pengulangan  kata  dirgahayu.  Dirgahayu sendiri  memiliki  arti  semoga  panjang  umur.  Maksud  yang  tekandung
pada  tuturan  IV.33  ialah  semoga  Lohgawe  selalu  panjang  umur. Mengandung  daya  harap  karena  berisi  harapan  kepada  Lohgawe
supaya panjang umur, sehat selalu seperti saat orang merayakan ulang tahun.
Pada  tuturan  VII.17  memiliki  gaya  bahasa  hiperbola  karena melebih-
lebih  suatu  objek  yang  ditunjukkan  dengan  kalimat  “…kau wanita, kau adalah dewi, kalau kau pria kau adalah dewa
…” maksud yang  terkandung  dari  data  VII.17  yakni  ketika  anak  Dedes  lahir,  ia
seperti  seorang  dewi,  jika  laki-laki  ia  seperti  seorang  dewa.  Daya harap muncul pada data VIII.17 karena mengandung harapan supaya
anak yang dilahirkannya kelak memiliki sifat seperti dewa atau dewi. Kutipan tuturan VIII.3 memiliki gaya bahasa apostrof karena
menghadirkan sesuatu  yang tidak ada menjadi ada terwakilkan dalam kata dewa. Dewa adalah roh yang diangan-angankan sebagai manusia
halus  yang  berkuasa  atas  alam  dan  manusia  KBBIoffline.  Dewa sosok yang kasat mata tapi bisa dirasakan kehadirannya. Pada tuturan
di atas, Empu Grandring berharap supaya Ken Dedes selalu mendapat kemurahan  yang  tak  terhingga  dari  para  dewa.  Pramoedya
menggunakan istilah dewa karena pada saat itu masa kerajaan Kediri agama  Hindu  yang  menjadi  kepercayaan  penduduk  Tumapel.  Daya
ilokusi  yang  terkandung  yaitu  supaya  Ken  Dedes  mendapat  banyak berkat dari para dewa. Efek yang dihasilkan dari ujaran di atas adalah
ucapan terimakasih yang dituturkan oleh Ken Dedes.
Daya  harap  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa epizeukis seperti
pada  data “Dirgahayu,  dirgahayu,  dirgahayu,  ya  Mahaguru.”  182
yang mengandung pesan menunjukkan sebuah harapan kepada seluruh kaum  brahamana  kepada  Lohgawe  saat  menyambutnya  datang  yang
sudah  lama  ditunggu  kehadirannya.  Tuturan  tersebut  secara  langsung menyampaikan harapan penutur kepada mitra tutur.
o. Daya Perintah
Perintah  merupakan  salah  satu  perkataan  yang  mempunyai tujuan supaya seseorang yang diperintah melakukan sesuatu.  Kalimat
perintah  adalah  kalimat  yang  mengandung  perintah  atau  permintaan agar orang lain melakukan suatu hal yang diinginkan oleh orang yang
memerintah.  Oleh  karena  itu,  perintah  meliputi  suruhan  yang  keras hingga  ke  permintaan  yang  sangat  halus.  Di  bawah  ini,  contoh
cuplikan  data  dalam  novel  Arok  Dedes  yang  menggunakan  gaya bahasa yang berdaya perintah.
I.57 ”… Demi Hyang Wisynu, angkut semua upeti ke Kediri. ...”
22
Konteks: Dituturkan  oleh  Borang  kepada  seluruh  penduduk  desa  Bantar
dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
II.23 “…  Kumpulkan  semua  brahmana  di  atas  bumi  ini.  …”
113
Konteks: Dituturkan  Tunggul  Ametung  ketika  ia  berhasil  membawa
Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
VI.43 “Inilah Ki Bango Samparan, bapakku. Hormati dia seperti
kalian menghormati aku,…” 302
Konteks: Dituturkan  oleh  Arok  ketika  ia  mengumpulkan  seluruh  budak
di ladang batu.
VII.22 “Kalau  berhasil,  kau  akan  lanjutkan  pekerjaan  ke  barat
daya, Kawi dan Kelud.” 333
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika Arok menghadapnya.
VII.27 Binasakan  semua  prajurit  Tumapel  yang  tidak  takluk
padamu. 338
Konteks: Dituturkan oleh Arok kepada pasukannya
X.16 “Yang keras Keras Lebih keras” pekiknya. 502
Konteks: Dituturkan  oleh  Tunggul  Ametung  ketpada  Ken  Dedes  yang
meminta dipijit kepalanya.
Gaya  bahasa  apostrof  ada  pada  data  I.57  karena menghadirkan  Hyang  Wisynu.  Maksud  yang  terkandung  pada  data
I.57  ialah  perintah  yang  diperintahkan  Borang  kepada  penduduk Bantar  seolah-olah  perintah  dari  Hyang  Wisynu  sendiri.  Mengadung
daya  perintah  karena  meminta  penduduk  Bantar  mengakut  upeti  ke Kediri.
Gaya bahasa hiperbola ada pada data II.23 yang ditunjukkan pada  cuplikan  kalimat
“…di  atas  bumi  ini…”  seolah-olah  bumi  itu sempit dan bisa mengumpulkan semua brahamana. Mengandung daya
perintah  karena  Tunggul  Ametung  memberi  perintah  untuk mengumpulkan semua brahmana yang ada di bumi ini.
Pada  data  VI.43  menggunakan  gaya  bahasa  simile  yang ditunjukkan  dengan  cuplikan  kalimat
“…hormati  dia  seperti  kalian menghormati  aku…”  Makna  yang  terkandung  di  dalam  tuturan
VI.43  ialah  Arok  meminta  seluruh  budak  untuk  menghormati ayahnya  sama  seperti  mereka  menghormati  Arok  sebagai  pemimpin
mereka.  Daya  perintah  yang  muncul  dituturkan  oleh  Arok  kepada seluruh  budak  yang  berada  di  daerah  pendulangan  supaya
menghormati bapaknya Arok sama seperti mereka menghormati Arok. Gaya  bahasa  metonimia  ada  pada  data  VII.22  yaitu  dengan
penggunaan  kata  Kawi  dan  Kelud.  Yang  dimaksudkan  yaitu melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Kawi dan Gunung Kelud.
Mengandung  daya  perintah  karena  memerintahkan  Arok  jika  ia  telah selesai menyelesaikan pekerjaannya, ia akan menuju ke arah Gunung
Kawi dan Gunung Kelud untuk melaksanakan hal yang sama. Gaya  bahasa  sarkasme  ada  pada  data  VII.27  tampak  pada
kata  binasakan.  Maksud  yang  tekandung  pada  tuturan  VII.27  ialah perintah  Arok  kepada  seluruh  anak  buahnya  untuk  membunuh  tanpa
ampun  semua  prajurit  Tumapel.  Daya  yang  muncul  yaitu  daya perintah karena mengandung perintah untuk  melakukan sesuatu  yaitu
menumpas seluruh prajurit Tumapel. Gaya bahasa epizeupkis terungkap melalui data X.16 dengan
pengulangan  kata  keras  yang  memberi  penegasan.  Maksud  yang dikandung dari tuturan X.16 ialah supaya Ken Dedes lebih keras lagi
untuk  memijit  kepada  Tunggul  Ametung.  Efek  dari  tuturan  X.16 ialah  Ken  Dedes  memijat  kepala  Tunggul  Ametung  lebih  keras
daripada  sebelumnya.  Pada  tuturan  X.16  daya  perintah  muncul dengan penggunaan kalimat  Yang keras Keras  Lebih  keras  dengan
harapan  Ken  Dedes  memijati  kepala  Tunggul  Ametung  lebih  keras lagi.
Daya  perintah  seperti  yang  telah  diuraikan  di  atas  adalah kekuatan bahasa  yang terungkap melalui  gaya bahasa epizeukis  yang
nampak pada data X. 16 “Yang keras Keras Lebih keras” Dalam
tuturan  tersebut  mengandung  daya  perintah  karena  penutur  meminta mitra tutur untuk melakukan apa yang dikendakinya. Tuturan tersebut
secara langsung memberi perintah kepada mitra tutur.
p. Daya Dogma
Dogma  menurut  KBBIoffline  pokok  ajaran  tt  kepercayaan dsb  yg  harus  diterima  segagai  hal  yg  benar  dan  baik,  tidak  boleh
dibantah dan diragukan. Berbeda dengan deklarasi, dogma lebih hanya bersifat ajaran, sedangkan deklarasi menitik beratkan pada pengakuan,
walaupun  pengakuan  tersebut  berasal  dari  ajaran.  Dalam  novel  Arok Dedes  karya  Pramoedya,  juga  ditemukan  daya  bahasa  dogma  yang
dilakukan dalam berbagai gaya bahasa. I.34
“Yang  Mulia,  bawalah  perempuan  ini  naik  ke  peraduan. Para dewa membenarkan.
...” 14
Konteks:
Dituturkan  oleh  Belakangka  kepada  Ametung  ketika  itu memasuki upacara menaiki peraduan pengantin yang dipimpin
oleh Yang Suci Belakangka.
Gaya bahasa yang terdapat pada I.34 adalah apostrof diawali dengan  kata
“…  Para  dewa…”  dan  diakhiri  dengan  kata membenarkan. ...” 14, menjelaskan bahwa ‘Para dewa’ mempunyai
standar  khusus  untuk  ‘membenarkan’,  maka  jelas  bahwa  ada  sifat ajaran  yang  disampaikan,  tidak  dapat  disangkal,  dibantah  maupun
diragukan.  Daya  dogma  muncul  pada  data  I.34  upacara  pernikahan Ken  Dedes  dan  Tunggul  Ametung  sudah  menjadi  kehendak  para
dewa. Daya dogma seperti yang telah diuraikan di atas ialah kekuatan
bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa apostrof yang ditunjukkan dengan  tuturan
“Yang  Mulia,  bawalah  perempuan  ini  naik  ke peraduan.  Para  dewa  membenarkan.
...”  Tuturan  tersebut  secara langsung menunjukkan pokok ajaran tentang kepercayaan  yang harus
diterima sebagai hal baik dan benar.
q. Daya Magi
Magi menurut KBBIoffline adalah sesuatu atau cara tertentu yg diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam
sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia. Dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa magi yang
ditunjukan dalam berbagai gaya bahasa.
II.23 ”Setidak-tidaknya dari Hyang Bathara Guru aku tahu, dua
hari  lagi  kalian  akan  mendapat  perintah  untuk  mengangkut upeti  ke  Kediri.  Dari  Hyang  Wisynu  aku  tahu,  kalian  akan
lakukan itu dengan patuh.” 21
Konteks: Dituturkan  oleh  Borang  kepada  seluruh  penduduk  desa  Bantar
dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
II.2 “… Biarpun ingatanmu mendapatkan pancaran dari Hyang
Ganesya.”60
Konteks: Dituturkan
oleh salah
seorang teman
Temu yang
memperingatkannya karena sudah lama tidak belajar. II.43
“Temu”,  serunya,  “dengan  kemampuan  seperti  ini, pandangmu akan menguasai manusia dan benda.” 85
Konteks: Dituturkan oleh Tantripala yang kagum akan kecerdasan Temu
saat belajar ilmu ekagrata.
Pada  data  I.55  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof  karena menghadirkan  Hyang  Wisynu  dan  Hyang  Batara  Guru.  Maksud  dari
kalimat I.55 ialah Borang mendapat infomasi dari para dewa tentang penyerahan  upeti  yang  akan  dilaksanakan  dua  hari  lagi.  Daya  magi
muncul  karena  Borang  mendapat  kekuatan  dari  Hyang  Wisynu  dan
Hyang Batara Guru mengenai penyerahan upeti ke Kediri.
Pada  data  II.2  menggunakan  gaya  bahasa  eponim  yang ditunjukkan  dengan  Hyang  Ganesha  yang  artinya  dewa  ilmu
pengetahuan. Maksud  dari data II.2 ialah Arok  memiliki daya ingat yang  sangat  baik.  Daya  magi  muncul  karena  kemampuan  mengingat
Arok yang sangat luar biasa, ia dapat mengingat semua mata pelajaran yang diberikan oleh Lohgawe dengan cepat karena ia mendapat berkat
dari Hyang Ganesha.
Pada  data  II.43  menggunakan  gaya  bahasa  hiperbola  yang nampak  pada  kali
mat  “…pandangmu  akan  menguasai  manusia  dan benda.”  Maksud  dari  data  II.43  ialah  kemampuan  melihat  yang
dimiliki  Arok  sangat  hebat.  Termasuk  daya  magi  karena  penglihatan mata  Arok  bisa  menguasai  alam  sekitar  karena  ia  memiliki  kekuatan
ekagrata.
Daya magi seperti yang telah diuraikan di atas adalah kekuatan
bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  epitet  yang  seperti  pada tuturan
“…  Biarpun  ingatanmu  mendapatkan  pancaran  dari  Hyang Ganesya.”  Tuturan  tersebut  secara  langsung  menunjukkan  kepada
mitra  tutur  bahwa  ada  sesuatu  yang  diyakini  penutur  sehingga  dapat menimbulkan hal gaib.
r. Daya Provokasi
Provokasi adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; pancingan. Sedangkan provokatif adalah bersifat
provokasi,  merangsang  untuk  bertindak;  bersifat  menghasut KBBIoffline. Perbedaan antara perintah dan provokasi terletak pada
sifat  yang  dilakukan.  Jika  provokasi  menimbulkan  seseorang melakukan  perbuatan  yang  berdampak  negatif,  sedangkan  perintah
bisanya  bersifat  positif.  Peneliti  menemukan  daya  provokasi  pada dialog antar tokoh dalam novel Arok Dedes.
I.92 “Tak  ada  brahmana  seperti  itu.  Dia  hanya  penipu,  Yang
Mulia,  sepatutnya  dihancurkan  badannya  dengan  garukan
kerang.” 47 Konteks:
Dituturkan oleh Arya Artya ketika Tunggul Ametung meminta keterangan tentang Brahmana dari utara dan dalam rontal tidak
ada data mengenai brahmana dari utara itu.
X.38 “Itulah Yang Suci Belakangka, mengaku wakil dari Kediri.
Sebelum  kedatangannya,  Tunggul  Ametung  hanya  penjahat biasa,  perampok,  perampas,  penculik  dan  pembunuh.  Setelah
kedatangannya orang Syiwa mulai dianiaya. ...” 537
Kontaks: Dituturkan  oleh  Belakangka  kepada  Lohgawe  saat  ia  bertanya
apakah pantas menuduh wakil Kediri seperti itu.
Pada  tuturan  I.92  menggunakan  gaya  bahasa  sarkasme. Ditunjukkan  dengan  penggalan  kalimat
“…sepatutnya  dihancurkan badannya dengan garukan kerang.” Hinaan tersebut ditujukan kepada
seseorang  yang  mengaku  sebagai  brahmana  muda  dari  utara.  Makna kalimat  tersebut  ialah  tidak  ada  orang  seperti  yang  diceritakan  oleh
Tunggul  Ametung  yaitu  brahmana  muda  dari  utara  dan  ia  hanya seorang  penipu  yang  patut  dihancurkan  badannya  dengan  garukan
kerang.  Daya  bahasa  yang  terkandung  dari  tuturan  I.92  ialah provokatif.  Di  sini  Arya  Artya  mengompori  Tunggul  Ametung  jika
menemukan  brahmana  itu  langsung  dibunuh  secara  kejam.  Efek  dari tuturan  Arya  Artya  ialah  Tunggul  Ametung  mencari  pemuda  yang
mengaku Brahmana dari utara itu dan menumpasnya. Daya  provokasi  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah
kekuatan  bahasa  yang  terungkap  dari  penggunaan  gaya  bahasa sarkasme  dan  mengandung  pesan  provokasi  kepada  mitra  tutur.
Perhatikan  tuturan  I.92 “Tak ada brahmana seperti itu. Dia hanya
penipu,  Yang  Mulia,  sepatutnya  dihancurkan  badannya  dengan garukan  kerang”.    Tuturan  tersebut  secara  langsung  memprovokasi
mitra  tutur  agar  melakukan  yang  diminta  penutur  dan  itu  perbuatan buruk.
s. Daya Persuasi
Menurut  KBBIoffline,  persuasi  ialah  ajakan  dengan  cara memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan. Daya persuasi
muncul dari novel Arok Dedes ialah sebagai berikut ini. III.12
“... Nanti sebentar lagi kalau Hyang Surya telah terbenam, sahaya akan iringkan Yang Mulia ke pura.” 103
Konteks:
Dituturkan oleh
Rimang kepada
Ken Dedes
untuk menghiburnya.
X.45 “Bahwa  kemenangan  bukan  satu-satunya  buah  usaha.
Maka  jangan  ulangi  kejahatan  Tunggul  Ametung  dan balatentaranya.  Jangan  ada  seorangpun  yang  merampok,
mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam  hal  ini  aturan  dari  Sri  Baginda  Erlangga  masih  tetap
berlaku: hukuman mati terhadap mereka itu. …” 546
Konteks: Dituturkan  Arok  setelah  diangkat  menjadi  orang  pertama  di
Tumapel di hadapan seluruh rakyatnya.
Gaya  bahasa  eponim  ada  pada  data  III.12  ditunjukkan dengan kata Hyang Surya. Hyang Surya memiliki arti dewa matahari.
Maksud dari tuturan tersebut ialah setelah senja atau setelah matahari tenggelam, Rimang akan mengajak Ken Dedes menuju ke pura. Daya
persuasi  muncul  pada  tuturan  III.12  dengan  kata  iringkan  yang berarti Rimang mengajak Ken Dedes menuju ke pura.
Gaya bahasa klimaks ada pada data X.45 ditunjukkan dengan kelompok  kalimat  merampok,  mencuri,  merampas,  menganiaya,
memperkosa.  Daya  klimaks  muncul  karena  kepentingannya  makin meningkat.  Maksud  yang  terkandung  pada  tuturan  X.45  yaitu
menjelaskan  tingkat  kejahatan  yang  makin  lama  makin  meningkat. Daya persuasi muncul karena Arok mengajak seluruh rakyat Tumapel
untuk  tidak  melakukan  hal  buruk  yang  dilakukan  oleh  Tunggul Ametung.
Daya  persuasi  seperti  yang  sudah  diuaraikan  di  atas  adalah kekuatan bahasa  yang terungkap melalui gaya bahasa klimaks seperti
pada  data “Bahwa  kemenangan  bukan  satu-satunya  buah  usaha.
Maka jangan ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan  ada  seorangpun  yang  merampok,  mencuri,  merampas,
menganiaya, memperkosa seperti mereka.  Dalam hal ini aturan dari Sri  Baginda  Erlangga  masih  tetap  berlaku:  hukuman  mati  terhadap
mereka itu. …”. Tuturan tersebut secara langsung penutur mengajak mitra tutur untuk merubah kebiasaan lama yang buruk.
t. Daya Sumpah
Sumpah  adalah  pernyataan  yang  diucapkan  secara  resmi dengan  bersaksi  kepada  Tuhan  atau  kepada  sesuatu  yang  dianggap
suci KBBIoffline. I.57
“Demi Hyang Wisynu, sahaya akan kembalikan lima kali lipat setelah berhasil.” 456
Konteks: Dituturkan  oleh  Kebo  Ijo  saat  mengunjungi  Belakangka  di
kediamannya.  Kebo  ijo  menerima  kantong  berisi  limapuluh ribu catak dan duaribu saga emas dari Belakangka.
I.58 “Demi kau, Hyang Agni, inilah Lingsang yang akan merawat,
melebur, dan menyimpan emas, perak, dan suasa ini…” 266 Konteks:
Dituturkan  oleh  Lingsang  saat  Arok  memintanya  bersumpah kepada  Hyang  Agni  untuk  menjaga  emas  hasil  rampasan
karena Lingsang memiliki keahlian menghitung emas.
Pada  tuturan  I.57  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof  dan dibuktikan  dengan  penggalan  kalimat
“…demi  Hyang  Wisynu...” Maksud yang terkandung dari tuturan ini ialah Kebo Ijo menunjukkan
janjinya  dengan  menyebut  Hyang  Wisynu,  yang  merupakan  dewa sesembahan  Kebo  Ijo  kepada  Yang  Suci  Belakangka  jika  ia  berhasil
melaksanakan  tugasnya  akan  mengembalikan  uang  Yang  Suci Belakangka  sebanyak  lima  kali  lipat.  Pada  data  I.57  daya  sumpah
ditunjukkan  dengan  menggunakan  nama  Hyang  Wisynu  dan ditunjukkan  dengan  cuplikan  kalimat
“demi  Hyang  Wisynu,  sahaya akan  kembalikan…”  Daya  sumpah  muncul  karena  Kebo  Ijo
menggunakan  nama  dewa  sesembahannya  yang  menunjukkan kesungguhan hatinya untuk mengganti uang Belakangka jika ia sudah
berhasil.  Efek dari tuturan I.57 ialah Belakangka percaya jika Kebo Ijo  tidak  akan  ingkar  terhadap  janjinya  dan  akan  memenuhi  janjinya
jika berhasil. Pada  tuturan  I.58  juga  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof
ditunjukkan  dengan  cuplikan  kalimat “demi  kau,  Hyang  Agni…”
karena menghadirkan sesuatu  yang tidak hadir  menjadi  hadir. Makna dari  tuturan  I.58  ialah  Lingsang  bersumpah  atas  nama  dewa
sesembahannya  Hyang  Agni  untuk  melaksanakan  tugas  yang  sudah dipercayakan  kepadanya  untuk  merawat,  melebur,  dan  menyimpan
emas,  perak,  dan  suasa.  Daya  sumpah  muncul  dengan  dituturkannya kata  Hyang  Agni  yang  merupakan  dewa  sesembahan  dari  Lingsang.
Efek  dari  tuturan  I.58  ialah  mitra  tutur  percaya  akan  kesungguhan hati penutur jika ia akan melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya.
Daya  sumpah  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  apostrof  yang
mengandung  pesan  menunjukkan  kesungguhan  hati  seseorang  untuk bersungguh-sungguh  melaksanakan  sumpah  yang  ia  ucapkan  kepada
mitra  tutur.  Perhatikan  contoh  dialog  I.57 “Demi  Hyang  Wisynu,
sahaya  akan  kembalikan  lima  kali  lipat  setelah  berhasil”.  Tuturan tersebut  secara  langsung  menunjukkan  kesanggupan  penutur  kepada
lawan  bicaranya  untuk  menunjukkan  kesanggupannya  memenuhi janjinya  dengan  menyebut  nama  dewa  sesembahan  agar  mitra  tutur
percaya  kepada  penutur  jika  ia  bersungguh-sungguh  akan  menepati janjinya.
u. Daya Janji
Janji  menunjukkan  kesanggupan  seseorang  untuk  melakukan sesuatu  yang  berupa  amanat  untuk  dilaksanakan.  Menurut
KBBIoffline,  janji  adalah  sebuah  tuturan  yang  menyatakan  kesediaan dan  kesanggupan  untuk  berbuat  sesuatu  seperti  memberi,  menolong,
bertemu, dan lain sebagainya.
III.21 “…Akan  aku  perlihatkan  pada  dunia:  kaum  brahmana
takkan  bisa  bikin  apa-apa  pada  waktu  seorang  brahmani bernama  Dedes  aku  dudukkan  di  atas  singgasana  Tumapel.
...” 113
Konteks: Dituturkan  Tunggul  Ametung  ketika  ia  berhasil  membawa
Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
V.9 “Hidup dan mati sahaya adalah milik Sri Baginda.” 225
Konteks: Dituturkan  oleh  Tunggul  Ametung  ketika  menghadap  Sri
Baginda Kretajaya melaporkan keadaan Tumapel.
V.59 “Sahaya berjanji akan  bersetia dan menjaga keselamatan
sang Akuwu dan Paramesywari dan Tumapel.” 321
Konteks: Dituturkan oleh Arok ketika ia dihadapkan kepada Akuwu oleh
Lohgawe  untuk  membantu  menumpas  pemberontakan  di Tumapel.
X.20 “...Dengan  cakra  Hyang  Wisynu,  dengarkan  Kebo  Ijo
bicara,  akan  kupelihara  Gerakan  Empu  Gandring  ini  tanpa Empu Gandring.” 508
Konteks: Dituturkan  oleh  Kebo  Ijo  di  hadapan  para  tamtama  yang
menanyakan  keberadaan  Empu  Gandring  dan  Yang  Suci Belakangka.
Gaya  bahasa  zeugma  ada  pada  data  V.9  muncul  pada  kata hidup  dan  mati.  Maksud  yang  terkandung  pada  tuturan  V.9  ialah
menunjukkan kepasrahan seorang bawahan kepada rajanya jika hidup dan  matinya  adalah  miliki  baginda.  Daya  muncul  adalah  janji  karena
Tunggul Ametung menyerahkan nyawanya sendiri pada Sri Kretajaya di mana Sri Kretajaya adalah seorang raja.
Pada  tuturan  V.59  menggunakan  gaya  bahasa  polisidenton yang  dihubungkan  dengan  konjungsi.  Kata  Akuwu,  Paramesywari,
Tumapel  dihubungkan  dengan  menggunakan  kata  dan.  Akuwu, Paramesywari,  Tumapel  memiliki  kata  yang  berurutan  yang
menunjukkan  unsur-unsur  dalam  pemerintahan.  Maksud  yang terkandung  dari  tuturan  tersebut  ialah  Arok  berjanji  akan  menjaga
keselamatan  akuwu,  Paramesywari,  dan  Tumapel.  Efek  dari  tuturan tersebut  ialah  lawan  tutur  mempercayai  janji  yang  diucapkan  oleh
mitra tutur. Daya  janji  seperti  yang  sudah  diuraikan  di  atas  adalah
kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  polisidenton yang  mengandung  pesan  menyatakan  janji.  Seperti  pada  tuturan
“Sahaya  berjanji  akan  bersetia  dan  menjaga  keselamatan  sang Akuwu dan
Paramesywari dan Tumapel.”maksud dari tuturan tersebut ialah Arok berjanji akan menjada keselamatan Tunggul Ametung, Ken
Dedes,  dan  Tumapel.  Secara  langsung  tuturan  tersebut  menyatakan
janji  penutur  kepada  mitra  tutur  akan  suatu  hal  yang  harus dilaksanakan di lain waktu.
C. Pembahasan
Dari  hasil  analisis  di  atas,  gaya  bahasa  yang  ditemukan  dari  masing- masing majas,  yaitu pada majas  pertentangan meliputi gaya bahasa hiperbola,
litotes,  ironi,  oksimoron,  zeugma,  silepsis,  paradoks,  klimaks,  antiklimaks, apostrof,  apofasis,  sarkasme,  dan  sinisme;  majas  perbandingan  meliputi  gaya
bahasa  simile,  metafora,  personifikasi,  alegori,  antitesis,  dan  perifrasis;  majas pertautan  meliputi  gaya  bahasa  metonimia,  sinekdok,  alusi,  eufemisme,
eponim, epitet, erotesis, asidenton, dan polisidenton; majas perulangan meliputi gaya bahasa asonansi, kiasmus, epizeukis, anafora, epistofora, epanalepsis, dan
anadiplosis. Dari penggunaan gaya bahasa bahasa yang telah dipaparkan di atas berhasil  mengungkap  bermacam-macam  daya  bahasa.  Daya  bahasa  yang
berhasil  terungkap  dalam  novel  Arok  Dedes  yaitu  daya  jelas,  daya  rangsang, daya  simbol,  daya  seremoni,  daya  puji,  daya  nasihat,  daya  klaim,  daya  sesal,
daya keluh, daya pinta, daya ancam, daya perintah, daya dogma, daya cemooh, daya  harap,  daya  protes,  daya  magi,  daya  deklarasi,  daya  optimis,  daya
provokasi,  daya  sumpah,  daya  janji,  dan  daya  saran.  Daya  bahasa  yang terungkap  melalui  penggunaan  gaya  bahasa  seperti  yang  sudah  dipaparkan  di
atas  sejalan  dengan  pendapat  Sudaryanto  1989,  dalam  Pranowo,  2009:132 telah  menggali  daya  bahasa  dari  aspek  linguistik,  yaitu  penggunaan  gaya
bahasa.
Dari semua data tuturan dialog antar tokoh dalam novel, masing-masing ucapan  mengandung  tindak  ilokusi,  yaitu  berupa  maksud  yang  ada  di  dalam
ujaran.  Dalam  kajian  pragmatik,  tindak  tutur  ilokusi  sering  menjadi  kajian utama Rahardi, 2009:17. Searle 1983 Rahardi: 2005:36-37 menggolongkan
tindak  tutur  ilokusi  dalam  lima  macam  bentuk,  teori  tersebut  menjadi  pijakan bagi peneliti untuk menentukan daya apa saja yang terungkap. Pada 1 fungsi
asertif,  daya  bahasa  yang  berhasil  ditemukan  yakni  daya  saran,  daya  klaim, daya  dogma,  dan  daya  magi.  Daya  saran,  daya  klaim,  daya  dogma,  dan  daya
magi  tergolong  ke  dalam  fungsi  asertif  karena  tuturan  yang  diucapkan  oleh penutur mengikat mitra tutur untuk percaya pada sebuah pernyataan atau fakta
kebenaran yang telah diungkapkan. Pada daya saran terungkap dari penggunaan gaya bahasa klimaks. Daya
saran ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menyampaikan pendapat yang diungkapkan untuk dipertimbangkan. Daya saran biasanya meminta mitra tutur
untuk segera melakukan tindakan yang disarankan oleh penutur. Saran dengan nasihat  memiliki  perbedaan  yaitu  di  mana  nasihat  biasanya  berisi  tentang
anjuran  dan  berhubungan  dengan  nilai  moral.  Saran  biasanya  berisi  anjuran untuk dilaksanakan pada saat itu juga dan saran cenderung harus dilaksanakan
dalam waktu yang cepat karena waktu yang dibutuhkan sangat mendesak. Daya klaim terungkap dari penggunaan gaya bahasa antitesis, apostrof,
anadiplosis,  epizeukis,  klimaks,  zeugma,  hiperbola,  simile,  antiklimaks, metonimia, tautology, alusi, oksimoron, sinisme, sinekdoke, metafora, anafora,
dan  litotes.  Klaim  sendiri  memiliki  arti  tuntutan  pengakuan  atas  fakta  bahwa
seseorang berhak memiliki sesuatu, pernyataan suatu fakta. Daya klaim cukup banyak  ditemukan  karena  menunjukkan  pengakuan  bahwa  seseorang
mempunyai keyakinan bahwa ia memiliki sebuah kebenaran atas dirinya yang diyakininya  benar.  Pada  novel  Arok  Dedes  daya  klaim  muncul  untuk
menujukkan  eksistensi  diri  terutama  dari  para  tokoh  petinggi  agama  Hindu seperti  Lohgawe,  Belakangka  jika  apa  yang  dikatakannya  adalah  sebuah
kebenaran.  Jadi,  daya  klaim  adalah  kekuatan  yang  dimiliki  bahasa  untuk menujukkan  pengakuan,  hak  yang  diyakini  seseorang  atas  dirinya  adalah
sebuah kebenaran. Daya  magi  adalah  kekuatan  yang  dimiliki  oleh  bahasa  untuk
menunjukkan  bahwa  sebuah  tuturan  bisa  menunjukkan  adanya  kekuatan  gaib. Gaib yaitu sesuatu yang tidak kelihatan. Keajaiban yang terjadi pada tokoh dan
yang  diutarakan  kepada  lawan  tuturnya  merupakan  keyakinan  dari  masing- masing tokoh berdasarkan kekuatan dari yang Mahakuasa. Daya magi muncul
di dalam novel ini untuk menunjukkan jika ada kekuatan lain yang hadir di luar kemampuan  dan  akal  manusia.  Kekuatan  yang  berasal  dari  Sang  Ilahi.  Daya
magi  muncul  dari  penggunaan  gaya  bahasa  apostrof,  eponim,  hiperbola,  dan simile.
Daya  dogma  terungkap  melalui  gaya  bahas  apostrof  dan  epanalepsis. Dogma  adalah  sebuah  ajaran  agama  atau  kepercayaan  tertentu  yang  harus
diterima  sebagai  hal  yang  baik  dan  benar.  Daya  dogma  yang  muncul  pada novel Arok Dedes menunjukkan keyakinan ajaran agama Hindu di mana semua
peristiwa  kehidupan  yang  terjadi  menurut  aturan  para  dewa  yang  disembah.
Kekuatan  yang  dimiliki  bahasa  untuk  menyatakan  pokok  suatu  ajaran  atau agam tertentu ialah daya dogma.
Fungsi tindak tutur yang ke 2 ialah direktif. Direktif ialah tindak tutur yang  dipakai  oleh  penutur  untuk  menyuruh  orang  lain  melakukan  sesuatu.
Daya  bahasa  yang  tergolong  pada  fungsi  direktif  yakni  daya  perintah,  daya pinta,  daya  nasihat,  dan  daya  provokasi.  Tergolong  dalam  fungsi  direktif
karena  tuturan  yang  dikatakan  oleh  penutur  meminta  mitra  tutur  untuk melakukan suatu tindakan.
Daya  persuasi  terungkap  dari  gaya  bahasa  eponim  dan  klimaks.  Daya persuasi  di  sini  mengandung  ajakan  untuk  melakukan  sesuatu.  Ajakan  yang
dilakukan  cenderung  untuk  berbuat  baik.  Daya  persuasi  ialah  kekuatan  yang dimiliki bahasa untuk mengajak seseorang dengan cara memberikan alasan dan
prospek yang meyakinkan. Pada  daya  perintah,  terungkap  melalui  penggunaan  gaya  bahasa
apostrof, hiperbola, anafora, simile, metonimia, sarkasme, dan epizeukis. Daya perintah  adalah  kekuatan  yang  dimiliki  oleh  bahasa  untuk  memerintah  lawan
tutur supaya melakukan apa yang dikehendaki oleh penutur. Daya perintah bisa efektif berfungsi jika yang menututurkan ialah orang yang memiliki kuasa atau
memiliki  status  lebih  tinggi.  Daya  perintah  yang  muncul  dari  hasil  analisis  di atas  bisa  dibagi  menjadi  dua,  daya  perintah  secara  halus  dan  daya  perintah
secara  kasar.  Daya  perintah  secara  kasar  terungkap  melalui  penggunaan  gaya bahasa  sakasme  dan  epizeukis.  Tuturan  yang  muncul  dalam  daya  perintah,
melanggar maksim kedermawanan karena tidak memaksimalkan kerugian pada diri sendiri.
Sedangkan  pada  daya  pinta  terkuak  dari  penggunaan  gaya  bahasa apostrof,  litotes,  sinekdok,  zeugma,  dan  epizeukis.  Daya  pinta  ialah  kekuatan
yang  dimiliki  bahasa  untuk  meminta  lawan  tutur  melalukan  sesuatu  yang diminta oleh penutur. Daya pinta menjadi dua, yaitu pinta kepada manusia dan
kepada gaib. Daya pinta memiliki maksud secara langsung kepada mitra tutur termasuk  gaib supaya tujuannya terlaksana. Efek dari daya pinta ialah  mitra
tutur  yang diminta oleh  penutur akan melakukan sesuatu  yang dikendaki  oleh penutur.
Perbedaan  pinta  dan  perintah  ialah  perintah  harus  segera  dilaksanakan dan  tidak  boleh  ditolak  oleh  mitra  tutur  apa  yang  dikehendaki  oleh  penutur.
Perintah  cenderung  lebih  kasar  daripada  pinta.  Sedangkan  pinta  juga  harus dilaksanakan jika mitra tutur mengiyakan apa  yang diminta penutur dan mitra
tutur bisa saja menolak untuk melakukan apa yang diminta penutur. Gaya  bahasa  apostrof,  tautologi,  antitesis,  metafora,  epizeukis
mengungkap  penggunaan  daya  bahasa  nasihat.  Daya  nasihat  ialah  kekuatan yang  dimiliki  oleh  bahasa  untuk  memberikan  masukan,  saran,  nasihat  yang
bersifat positif kepada mitra tutur. Daya nasihat muncul jika seseorang sedang berada dalam masalah dan membutuhkan masukan dari orang terdekatnya.
Daya provokasi  terungkap dari penggunaan gaya bahasa sarkasme dan klimaks.  Daya  provokasi  ialah  kekuatan  yang  dimiliki  bahasa  untuk
mempengaruhi  mitra  tutur  berbuat  sesuatu  yang  kurang  baik.  Kekuatan  yang
dimiliki oleh daya provokasi sangatlah besar jika si mitra tutur dalam keadaan yang kurang baik. Provokasi biasanya berisi ajakan untuk berbuat tidak baik.
Daya provokasi dan daya persuasi bisa dikatakan sama-sama memiliki persamaan  yaitu  sama-sama  berupa  ajakan.  Tetapi  yang  membedakan  antara
dua  daya  tersebut  ialah  kalau  persusasi  berupa  ajakan  untuk  berbuat  sesuatu yang baik, provokasi berupa ajakan untuk berbuat sesuatu yang kurang baik.
Fungsi  yang  3  ialah  fungsi  ekspresif.  Ekspresif  ialah  bentuk  tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur
terhadap  suatu  keadaan.  Daya  puji,  daya  cemooh,  daya  optimis,  daya  keluh, daya  harap,  daya  sesal,  daya  protes  tergolong  pada  fungsi  ekspresif  karena
untuk mengungkapkan perasaan yang yang dialami penutur kepada mitra tutur. Daya  puji  hadir  dari  penggunaan  gaya  bahasa  hiperbola,  apostrof,
asidenton,  klimaks,  simile,  epizeukis,  epitet,  dan  metafora.  Daya  puji  adalah kekuatan  yang  dimiliki  oleh  bahasa  untuk  mengungkapkan  perasaaan  senang,
gembira,  bahagia.  Selain  sebagai  ungkapan  gembira,  daya  puji  juga  bisa meungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Daya puji yang ditemukan pada hasil
analisis  di  atas  berupa  bentuk  pujian  kepada  Tuhan  dan  kepada  sesama manusia.  Penggunaan  gaya  bahasa  apostrof  sudah  sangat  jelas  menunjukkan
bentuk  pujian  kepada  Tuhan  sebagai  ucapan  syukur.  Daya  puji  jika  bisa digunakan  secara  maksimal  dapat  menimbulkan  efek  komunikasi  positif.
Sejalan  dengan  teori  kesantunan  berbahasa  yang  dikemukakan  oleh  Leech 1983 dalam Pranowo, 2009: 35, penggunaan kata pujian memenuhi salah satu
prinsip kesantunan berbahasa ialah maksim pujian yang memaksimalkan pujian kepada mitra tutur.
Daya  sesal  muncul  dari  penggunaan  gaya  bahasa  epizeukis,  apostrof, sarkasme,  apostrof,  hiperbola,  sinisme,  simile,  dan  epanalepsis.  Sesal  ialah
perasaan  tidak  senang  karena  telah  berbuat  tidak  baik.  Daya  sesal  ialah kekuatan  yang  dimiliki  bahasa  untuk  menungkapkan  perasaan  tidak  senang,
kecewa, karena melakukan yang tidak baik. Daya sesal  muncul karena sebuah penyesalan  pada  diri  penutur  yang  disampaikan  kepada  mitra  tutur  karena  ia
telah melakukan perbuatan yang tidak baik. Bisa dikatakan perasaan menyesal atau kecewa.
Daya  keluh  muncul  dari  penggunaan  gaya  bahasa  apostrof,  sinekdok, simile,  zeugma,  epizeukis,  metafora,  dan  antiklimaks.  Daya  keluh  muncul
untuk  mengungkapkan  perasaan  susah  karena  menderita  sesuatu  yang  berat. Kekuatan  yang  dimiliki  bahasa  untuk  mengungkapkan  perasaan  susah  karena
sakit, sedang menderita. Daya keluh muncul karena penutur mengalami sebuah penderitaan  yang  disampaikan  kepada  mitra  tutur.  Penutur  mengungkapkan
keluhannya  karena  ia  tidak  tahan  terhadap  suatu  masalah  atau  kondisi  tidak menyenangkan yang sedang dihadapi.
Gaya  bahasa  sarkasme,  sinisme,  ironi,  simile,  antiklimaks,  hiperbola, epizeukis,  kiasmus  mengungkap  penggunaan  daya  bahasa  cemooh.  Daya
cemooh  memiliki  kekuatan  bahasa  untuk  merendahkan  pribadi  seseorang. Cemooh  muncul  karena  rasa  tidak  suka  tau  rasa  tidak  puas  terhadap  sesuatu.
Jadi,  daya  cemooh  adalah  kekuatan  yang  ada  di  dalam  bahasa  untuk
mengungkapkan  ejekan  atau  hinaan  kepada  seseorang.  Sejalan  dengan  teori kesantunan  berbahasa  yang  dikemukakan  oleh  Leech  1983  dalam  Pranowo,
2009:  35,  penggunaan  kata  sindir  melanggar  salah  satu  prinsip  kesantunan berbahasa  ialah  maksim  pujian  karena  tidak  memaksimalkan  pujian  kepada
mitra tutur. Daya  harap  muncul  dari  penggunaan  gaya  bahasa  apostrof,  sinisme,
epizeukis, dan hiperbola. Daya harap ialah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk  mengungkapkan  keinginan  pribadi  supaya  sesuatu  terjadi.  Daya  harap
dalam novel Arok Dedes yang dituturkan oleh para tokoh untuk mengharapkan karunia dari para dewa.
Daya protes ialah kekuatan bahasa  yang dimiliki bahasa  yang  muncul untuk  menujukkan  ungkapan  perasaan  tidak  menyetujui,  menentang  perihal
yang  tidak  disukai.  Daya  protes  pada  novel  Arok  Dedes  terungkap  pada penggunaan  gaya  bahasa  apostrof,  epizeukis,  silepsis,  oksimoron,  klimaks,
sinisme, tautologi, simile erotesis, zeugma, metafora, dan hiperbola. Daya  optimisme  terungkap  melalui  gaya  bahasa  apostrof,  hiperbola,
polisidenton,  klimak,  dan  sinekdok.  Daya  optimisme  adalah  kekuatan  yang dimiliki  bahasa  untuk  untuk  selalu  memiliki  harapan  yang  baik  dalam  segala
hal. Daya optimisme ini membuat seseorang akan selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Fungsi  yang  ke  4,  yaitu  komisif.  Komisif  ialah  bentuk  tutur  yang berfungsi untuk mengikatkan diri penutur kepada mitra tutur terhadap tindakan
di  masa  yang  akan  datang,  misalnya  berjanji.  Daya  janji,  daya  sumpah,  daya
ancam  tergolong  pada  fungsi  komisif  karena  tuturan  yang  dikatakan  oleh penutur  kepada  mitra  tutur  secara  langsung  maupun  tidak  langsung  mengikat
untuk waktu yang akan datang. Daya  janji  ialah  kekuatan  yang  dimiliki  bahasa  untuk  menyatakan
kesanggupan  penutur  kepada  mitra  tutur  untuk  melakukan  sesuatu  di  waktu yang  akan  datang.  Daya  janji  muncul  karena  penggunaan  gaya  bahasa
hiperbola,  zeugma,  dan  polisidenton.  Daya  janji  diucapkan  penutur  kepada mitra tutur untuk berjanji akan suatu hal  yang harus dilaksanakan pada waktu
yang  mendatang.  Janji  merupakan  sebuah  pernyataan  yang  mengikat  tetapi terhadap sesama.
Daya  sumpah  terungkap  melalui  gaya  bahasa  apostrof,  zeugma,  dan silepsis. Daya sumpah ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menunjukkan
kesediaan dan kesanggupan untuk melakukan sesuatu tetapi di hadapan Tuhan. Daya  sumpah  memiliki  kekuatan  magi  karena  langsung  berhubungan  dengan
Sang  Maha  Pencipta  dan  menunjukkan  kesungguhan  hati  untuk  secara  tulus ikhlas  melaksanakannya.  Daya  sumpah  diucapkan  dihadapan  mitra  tutur  oelh
penutur dengan menyebut nama Tuhan. Daya  ancam  juga  terungkap  melalui  gaya  bahasa  sarkasme,  apostrof,
eufemisme,  metonimia,  dan  perifrasis.  Daya  ancam  ialah  kekuatan  yang dimiliki  oleh  bahasa  untuk  memberikan  ancaman  kepada  seseorang.  Bentuk
ancaman  yang  terungkap  dari  penggunaan  gaya  bahasa  ialah  ancaman  secara terang-terang  dan  ancaman  secara  halus.  Bentuk  ancaman  secara  halus  atau
tersirat  nampak  pada  penggunaan  gaya  bahasa  eufemisme,  metonimia,  dan
perifrasis.  Bentuk  ancaman  secara  halus,  si  penutur  tidak  secara  langsung mengancam  dengan    kata-kata  yang  jelas  dan  tegas.  Sedangkan  bentuk
ancaman  secara  terang-terangan  muncul  pada  gaya  bahasa  apostrof  dan sarkasme.  Bentuk  daya  ancam  bisa  dikatakan  melanggar  maksim
kebijaksanaan karena tidak memberikan keuntungan kepada mitra tutur Leech, 1983 dalam Pranowo, 2009: 35.
Fungsi  yang  ke  5  ,  yaitu  fungsi  deklaratif.  Dekalratif  ialah  bentuk tutur  yang  menghubungkan  isi  tuturan  dengan  kenyataan.  Daya  deklarasi
termasuk  pada  fungsi  deklaratif  karena  tuturan  yang  diucapakan  oleh  penutur kepada mitra tutur menyatakan sebuah kebenaran. Daya deklarasi muncul dari
penggunaan  gaya  bahasa  epanalepsis,  apostrof,  epizeupkis,  sinekdok,  anafora, dan  epitet.  Daya  deklarasi  ialah  kekuatan  yang  dimiliki  oleh  bahasa  untuk
memberi sebuah pernyataan ringkas. Selain  halnya  data  tuturan  dialog  antar  tokoh,  data  narasipun  juga
memiliki sebuah daya. Daya yang dihasilkan ada empat, y aitu 1 daya ‘jelas’
informatif,  2  daya  rangsang,  3  daya  simbol,  4  daya  seremoni.  Untuk menemukan  daya  yang  muncul  pada  data  narasi,  peneliti  menggunakan  cara
dengan melihat penekanan yang ada pada tiap kalimat. Pada daya ‘jelas’ informatif terungkap melalui penggunaan gaya bahasa
klimaks,  eufemisme,  perifrasis,  zeugma,  asidenton,  simile,  personifikasi, hiperbola,  asidenton,  epistofora,  erotesis,  klimaks,  eponim,  antitesis,  anafora,
metafora, paradoks, epizeukis, silepsis, apofasis, antiklimaks, alegori, antitesis, oksimoron,  metonimia,  sinekdok,  dan  polisidenton.  Penggunaan  gaya  bahasa
yang  digunakan  untuk  mengungkap  daya  jelas  ditemukan  dalam  novel  Arok Dedes  lebih  beragam  dan  lebih  banyak  karena  menggambarkan  situasi  dan
kondisi  dalam  cerita  tersebut,  serta  untuk  mendeskripsikan  bentuk  benda  dan ciri  orang  sehingga  memudahkan  pembaca  mengimajinasikan  bagaimana
situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan bagimana bentuk benda, orang yang dikisahkan dalam novel Arok Dedes.
Daya  rangsang  muncul  pada  penggunaan  gaya  bahasa  simile, personifikasi, metafora, asonansi, hiperbola, dan klimaks. Daya rangsang yang
dimaksudkan di sini ialah daya yang mempengaruhi panca indera pembaca dan membangkitkan perasaan ketika membaca. Indera yang bekerja meliputi indera
penciuman, pendengaran, penglihatan, perabaan, dan penciuman. Daya  simbol  terungkap  dari  penggunaan  gaya  bahasa  asidenton,
personifikasi,  simile,  dan  apofasis.  Penggunaan  daya  simbol  pada  analisis novel  Arok  Dedes  menunjukkan  pralambang  adat.  Sedangkan  pada  daya
seremoni atau upacara hadir dengan penggunaan gaya bahasa simile, klimaks, antiklimaks,  epizeukis,  dan  apostrof.  Daya  seremoni  di  sini  melambangkan
prosesi upacara keagamaan atau adat. Dari  keseluruhan  daya  bahasa  yang  berhasil  terungkap  melalui  gaya
bahasa,  gaya  bahasa  apostrof  paling  bang  nyak  ditemukan  pada  setiap  daya, yaitu pada daya kritik, daya  ancam,  daya puji, daya harap, daya nasihat,  daya
perintah,  daya  optimisme,  daya  pinta,  daya  sumpah,  daya  emosi,  daya  kutuk, dan daya syukur. Gaya bahasa apostrof menurut Tarigan 1985:83 ialah gaya
bahasa yang isinya pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir
muncul  dalam  berbagai  situasi.  Hal  ini  dikarenakan  latar  belakang  novel  ini sarat dengan ajaran agama Hindu. Kepercayaan yang sangat kuat kepada dewa-
dewi  yang  mereka  sembah  seperti  Hyang  Wisynu,  Hyang  Mahadewa  Syiwa, membuat  para  tokoh  yang  ada  di  dalam  novel  merasa  jika  dewa-dewi  yang
mereka sembah selalu berada di  dekat  mereka. Setiap tuturan  yang dituturkan oleh  penutur  dengan  menyebut  nama  dewa  mempunyai  kekuatan  tersendiri
bagi lawan tutur. Dari  hasil  pembahasan  di  atas,  daya-daya  yang  ditemukan  memiliki
efek positf dan negatif jika dipraktikkan dalam sebuah komunikasi. Daya yang mengandung  efek  positif  dalam  komunikasi  ialah  daya  puji,  daya  harap,  daya
nasihat,  daya  optimis,  daya  janji,  daya  sumpah,  daya  persuasi,  daya  deklarasi dan  daya  syukur.  Sedangkan  daya  yang  mengandung  efek  negatif  jika
dipraktikan  dalam  sebuah  komunikasi,  yaitu  daya  kritik,  daya  sindir,  daya cemooh,  daya  kutuk,  daya  ancam,  daya  provokasi,  dan  daya  protes.  Ada  pula
daya  yang muncul bisa  menimbulkan efek positif atau negatif tergantung dari konteks yang dibicarakan antara penutur dan mitar tutur  ialah daya emosi dan
daya pinta. Sesuai dengan pendapat van Peursen 1998, melalui Baryadi 2012: 17, dapat  dikatakan bahwa tuturan itu seperti  manusia,  yaitu memiliki tubuh,
jiwa,  dan  roh.  Tubuh  tuturan  adalah  bentuk,  jiwa  tuturan  adalah  makna  dan informasi, sedangkan roh tuturan adalah maksud. Di samping itu, tuturan juga
memiliki roh. Roh yang dimaksud adalah roh budaya, roh budaya, roh politik, roh jahat, roh halus, roh kebenaran, dan sebagainya. Karena mengandung roh,
tuturan  memiliki  daya  sehingga  mampu  berperan  dalam  berbagai  bidang  dan
berbagai  konteks.  Dengan  demikian,  tuturan  adalah  bahasa  yang  tidak  hanya hidup  karena  memiliki  tubuh  dan  jiwa,  tetapi  juga  berkarya  karena  memiliki
roh atau daya. Sesuai  dengan  teori  fungsi  komunikasi  bahasa  menurut  Austin  dan
Searle  dalam  Pranowo,  1996:  92,  tuturan  yang  diucapkan  para  tokoh  dalam novel Arok Dedes juga tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi komunikatif bahasa
yang  dibagi  menjadi  lima,  yakni  1  fungsi  direktif,  yaitu  bahasa  digunakan untuk  memerintah  secara  halus,  nampak  dari  tuturan  “Coba  katakan  padaku
yang  ma sih  bodoh  ini”  yang  dituturkan  oleh  Ken  Dedes  kepada  Arok
memintanya  untuk  menjelaskan  arti  wanita,  2  fungsi  komisif,  yaitu  bahasa digunakan untuk membuat janji atau penolakan untuk berbuat sesuatu, nampak
pada  tuturan  “Sahaya  berjanji  akan  bersetia  dan  menjaga  keselamatan  sang Akuwu  dan  Paramesywari  dan  Tumapel.”  yang  diucapkan  oleh  Arok  yang
berjanji menjada keselamatan Tunggul Ametung, Ken Dedes, dan Tumapel, 3 fungsi  representasional  yaitu  bahasa  digunakan  untuk  menyatakan  kebenaran,
yang  nampak  pad a tuturan “Mati, Arok, Sang Akuwu mati.” yang diucapkan
oleh  Ken  Dedes  dan  memberi  tahu  jika  Tunggul  Ametung  sudah  mati,  4 fungsi  deklaratif  atau  performatif,  yaitu  bahasa  digunakan  untuk
mendeklarasikan  atau  menyatakan  sesuatu,  misalnya  “…  Dia  mendapat pancaran  sepenuhnya  dari  Hyang  Bathara  Guru.  Dia  adalah  orang  terbaik  di
antara  kalian.  Dia  adalah  titisan  Hyang  Wisynu,  karena  dialah  yang memelihara  kalian  dari  bencana  Tunggul  Ametung  dan  bala  tentaranya.  Dia
adalah  Akuwu- mu, Akuwu Tumapel” diucapkan oleh Dang Hyang Lohgawe
di  hadapan  seluruh  rakyat  Tumapel  dan  menyatakan  jika  Arok  adalah pemimpin  mereka  yang  baru,  5  fungsi  ekspresif,  yaitu  bahasa  digunakan
untuk  mengungkapkan  perasaan  kecewa,  senang,  sedih,  puas,  dan  lain-lain secara spontan, misalny
a pada tuturan “Terkutuk dia oleh semua dewa” yang dituturkan oleh Ken Dedes yang merupakan ungkapan perasaan sangat marah.
Penggunaan  gaya  bahasa  yang  digoreskan  Pramoedya  dalam  setiap karyanya termasuk novel Arok Dedes memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda
dengan  pengarang  yang  lain  serta  memberi  efek  estetis  pada  setiap  karyanya. Hal  itu  sejalan  dengan  pendapat  Keraf  2010:  113  yang  menyatakan  gaya
bahasa sebagai  cara mengungkapkan pikiran melalui  bahasa secara khas  yang memperlihatkan  jiwa  dan  kepribadian  penulis.  Penggunaan  gaya  bahasa  juga
tidak dapat lepas dari makna yang terkandung di dalamnya karena makna yang terkadung  di  dalam  gaya  bahasa  memiliki  kekuatan  atau  daya  tersendiri  yang
mampu  menghipnotis  pembacanya.  Oleh  karena  itu,  daya  yang  terkandung  di dalam  gaya bahasa merupakan kekuatan bagi  sastrawan untuk  menyampaikan
makna,  informasi,  maksud  melalui  fungsi  komunikatif  bahasa  sehingga pembaca  mampu  menangkap  segala  informasi  yang  ingin  disampaikan  Yuni,
2009.
139
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemanfaatan  gaya  bahasa  yang  digunakan  pengarang  dalam  berkarya pada  masing-masing  gaya  bahasa  memiliki  makna  dan  fungsi  berbeda  dalam
mendukung  keberhasilan  suatu  karya.  Manfaat  gaya  bahasa  tersebut  beragam antara  lain  mampu  menciptakan  efek  estetis  dalam  sebuah  kalimat,
memberikan  efek  penegasan,  memberikan  kekhasan  atau  mengikuti  trend tertentu  pada  sebuah  tulisan,  memberikan  penguatan  pada  isi  cerita,
mengkonkretkan  hal-hal  yang  bersifat  abstrak,  memperjelas  maksud, menciptakan  citraan  yang  nyata  dalam  jalinan  cerita,  serta  membantu  daya
imajinasi pembaca. Hadirnya  gaya  bahasa  dalam  sebuah  novel  bisa  menimbulkan  daya
bahasa.  Daya  bahasa  yang  muncul  dari  penggunaan  gaya  bahasa  yang  ada dalam  novel  Arok  Dedes  yaitu  daya  bahasa  yang  terdapat  dalam  novel  Arok
Dedes  yaitu  daya  bahasa  yang  terungkap  dari  data  berupa  kalimat  meliputi daya  jelas,  daya  rangsang,  daya  simbol,  daya  seremoni.  Sedangkan,  daya
bahasa  yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya ancam, daya protes, daya cemooh, daya nasihat, daya saran, daya
klaim,  daya  deklarasi,  daya  sesal,  daya  keluh,  daya  pinta,  daya  harap,  daya perintah, daya dogma, daya magi, daya provokasi, daya persuasi,daya sumpah,
daya janji. Pada dasarnya semua gaya bahasa menghasilkan daya bahasa tetapi