61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini dipaparkan mengenai: 1 deskripsi data penelitian, 2 analisis daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya,
dan 3 pembahasan. Kedua hal tersebut diuraikan seperti pada subbab berikut ini.
A. Deskripsi Data Penelitian
Data yang dianalisis dalam penelitian ini berupa kalimat langsung dan tidak langsung yang terdapat dalam novel Arok Dedes yang mengandung gaya
bahasa dan memiliki daya bahasa bagi pembacanya. Salah satu contohnya, “Tunggul Ametung memperhatikan tubuh istrinya yang indah telentang seperti
kala dilahirkan.” I.40 Contoh data seperti di atas yang akan dianalisis dan dideskripsikan dalam penelitian ini untuk mengetahui gaya bahasa apa yang
terkandung di dalamnya dan daya bahasa apa saja yang terkandung dalam gaya bahasa tersebut. Jenis daya yang ditemukan dalam novel Arok Dedes karya
Pramoedya Ananta Toer, yaitu daya bahasa yang terdapat dalam novel Arok Dedes, yaitu daya terungkap dari data berupa kalimat meliputi daya jelas, daya
rangsang, daya simbol, daya seremoni. Sedangkan, daya bahasa yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya
ancam, daya protes, daya cemooh, daya nasihat, daya saran, daya klaim, daya deklarasi, daya sesal, daya keluh, daya pinta, daya harap, daya perintah, daya
dogma, daya magi, daya provokasi, daya persuasi, daya sumpah, daya janji.
Berikut akan dipaparkan masing-masing daya yang terungkap melalui gaya bahasa.
B. Analisis Data
Berikut peneliti sajikan analisis data bagaimana penggunaan daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta
Toer.
1. Deskripsi Gaya Bahasa yang Berdaya Bahasa
a. Daya ‘Jelas’ Informasi, Daya Rangsang, Daya Simbol, Daya
Seremoni
Daya yang terdapat dalam narasi non tutur lebih bersifat prememori yang berfungsi mengantar dan meletakkan khayal pembaca
di tempat yang diinginkan penulis, sehingga pembaca ikut terbawa dalam alur dan intrik di dalam novel. Daya jelas berfungsi salah
satunya untuk mendeskripsikan orang, mendeskripsikan apa yang dilakukan oleh tokoh, mendeskripsikan sebuah tempat. Berikut akan
dipaparkan gaya bahasa yang mengandung daya ‘jelas’ informasi,
seremoni, simbol dan rahasia. I.8
Dada telanjangnya mulai ditutup dengan sutera terawang tenunan Mesir tipis laksana selaput kabut menyapu gunung
kembar. 3
Konteks: Ken Dedes sedang dirias oleh Gede Mirah
I.17 Janur kuning dan daun beringin menyambut kedatangan
mereka. 6
Konteks: Rombongan pengantin baru menuju ke alun-alun.
I.13 Semua pekerja dapur keluar, bermandi sinar matari pagi
yang sedang mengusir kabut. Puncak pegunungan di kejauhan pun mulai berjengukan berebut dulu untuk melihat pengantin
yang baru keluar dari pura. 29
Konteks: Semua pekerja dapur keluar untuk menyaksikan pengantin baru
penguasa Tumapel.
VIII.13 Waktu pasukan Kidang Telarung membelok ke kanan
mengikuti tikungan sungai, dari kantongnya ia keluarkan sumpitan kecil dan melepaskan anak sumpit beracun pada
pemimpinnya. Telarung memekik kemudian roboh tanpa bersuara lagi. 391
Konteks: Kebo Ijo tidak mendapat tempat di belakang barisan dan ia
berada di bawah pimpinan Kidang Telarung.
I.18 Berpuluh pandita dan seluruh negeri Tumapel, yang
didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan dari gunung- gunung Arjuna, Welirang, Kawi dan Hanung, berbaris
seorang-seorang dengan jubah aneka warnadan destar sesuai dengan warna jubahnya. 6
Konteks: Seluruh pandita dari Tumapel datang dari berbagai penjuru
Tumapel sambil membawa umbul-umbul, semuanya berjumlah empat puluh.
I.2 Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuang
kotoran dan makanan. 1
Konteks: Dedes berada di dalam bilik besar.
I.6 Dan sebagai gadis yang terdidik untuk menjadi brahmani,
ia tahu Tunggul Ametung hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat untuk jabatan itu oleh Sri Kretajaya
untuk menjamin arus upeti ke Kediri. 3
Konteks: Dedes terkenang pada ayahnya.
VII.1 Kadang ia merasa takut, kadang kuatir, kadang mengalami
kegembiraan batin, kadang sendu. 323
Konteks: Suasana hati Ken Dedes yang tidak menentu terhadap
suaminya Tunggul Ametung.
IX.27 Hanya babi dan anjing dan kucing berkeliaran di jalan-
jalan. 469
Konteks: Keadaan Tumapel yang sepi.
X.48 Hanya ia sendiri kehilangan tempat di samping suami yang
dicintainya, kehilangan balatentara yang dapat diperintahnya, kehilangan kepercayaan dari orangtua yang dicintai dan
dipujanya setulus hati. 553
Konteks: Ken Dedes kehilangan kedamaiannya saat menuju pura
bersama ken Arok, Ken Umang, Bana, dan Ki Bango Samparan.
I.27 “Pada suatu kali di tahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga
Jayabasa dari Kediri mangkat. Pertentangan dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang Gendis
melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. … Di istana Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana.
Orang pun memasang racun untuk membunuhnya. Amisani
akhirnya mati termakan racun itu. .... ” 12
Konteks: Dedes teringat. dulu ayahnya menceritakan kisah tentang
Amisani dan ia baru mengerti arti cerita itu.
IX.42 Ia merindukan karang batu bata dan di pembelahan batu.
Ia merindukan salah seorang di antara mereka bakal melamarnya. Ia merindukan seorang bayi yang dapat
digendong dan ditimangnya. 32
Konteks: Setelah menyaksikan pernikahan Tunggul Ametung dan Ken
Dedes, tiba-tiba Oti merindukan sesuatu.
VIII.11 Apakah itu cukup menjadi bukti, pertempuran tidak pernah
ada? 391
Konteks: Belakangka mendapat laporan jika tidak ada mayat orang
ditemukan di pendulangan dan padang batu.
IX.20 Ia menduga ahli senjata itu sudah banyak makan garam
dan cukup rontal yang telah dipelajarinya. 461
Konteks: Arok mempelajari siasat dan pemikiran Empu Gandring untuk
menguasai Tumapel.
VIII.19 Arya Artya duduk pada sebongkah batu besar, kehilangan
lidahnya. 399
Konteks: Arya Artya lemas mengetahui jumlah emas yang sebenarnya.
III.46 Menjelang terbit, Hyang Surya, kuda itu memasuki
pekuwuan… 121 Konteks:
Tunggul Ametung sampailah ia di pekuwuan.
VIII.25 Ia berhenti di hadapan Arok dengan dendam menyala-
nyala pada matanya. 401
Konteks: Hayam bebas dari kepungan anak buahnya.
VII.13 Dan ia merasa senang karena tidak termasuk sudra
berdarah Hindu dan juga tidak senang karena akan melahirkan seorang bayi dengan semakin kurang darah mulia
itu dalam tubuhnya. 327
Konteks: Ken Dedes berusaha menghibur dirinya sendiri.
II.50 Tempat penggembalaannya ialah medan ia bermain
dengan teman-temannya. Kegesitan, kekuatan, kecerdasan, dan kekukuhan menyebabkan ia hampir selalu keluar sebagai
pemenang dalam permainan dan perkelahian. 93
Kontek: Arok mengingat kembali masa lalunya.
I.26 Airmatanya telah kering. Tapi dalam hatinya masih juga
mengucur tiada henti. 10
Konteks: Dedes berlutut menghadapi peraduan dan masih menyesali
pernikahannya dengan Ametung.
IX.21 Maka persekutuan dua orang itu ia anggap sebagai
permainan dua ekor cangcorang yang berkasih-kasihan untuk saling memangsa. 461
Konteks: Arok mempelajari siasat dan pemikiran Empu Gandring untuk
menguasai Tumapel.
IV.68 Kelud meletus. 216
Konteks:
Gunung Kelud meletus.
Pada data I.8 menggunakan gaya bahasa simile, dapat dilihat dari kata
“.. laksana selaput kabut” , tetapi secara keseluruhan daya yang diserap dari kalimat utuh adalah daya bahasa rangsang, yang
mempengaruhi indera di dalam kenyataannya Pada data I.17 menggunakan gaya bahasa personifikasi,
dimana simbol adat melakukan kegiatan manusia, sedangkan daya yang terambil dari data I.17 adalah daya simbol, dimana itu lebih
dari sekedar informasi karena membawa pembaca mengerti dan menghormati adat, budaya dan kepercayaan yang tersirat di novel
tersebut. Pada data I.13 menggunakan gaya bahasa personifikasi
karena ditemukan kata yang acuannya bukan manusia yang diberi ciri insani. Ditunjukkan dengan kata “sinar matari pagi yang sedang
mengusir kabut.” Mengusir merupakan perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Makna dari kalimat di atas ialah sinar matari pagi yang
mulai bersinar berusaha mengusir kabut yang menghalanginya untuk menampakkan sinarnya.
Gaya bahasa klimaks pada data VIII.13 merupakan gaya bahasa yang menunjukkan urut-urutan pemikiran yang semakin
meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya. Ditunjukkan dengan kata
“…membelok ke kanan …dari kantongnya ia keluarkan sumpitan kecil dan melepaskan anak sumpit beracun pada
pemimpinnya. Telarung memekik kemudian roboh tanpa bersuara
lagi. ” Makna yang terkandung dari data VIII.13 ialah menunjukkan
proses kejadian yang dilakukan Kebo Ijo saat berada di belakang Kidang Telarung sampai Kidang Telarung tewas.
Pada data I.18 penggunaan gaya bahasa antiklimaks, lawan dari gaya bahasa klimaks. Kelompok kata yang menunjukkan gaya
bahasa antiklimaks yaitu kota dan desa dan diturunkan dari gunung- gunung. Makna yang terkandung dari data I.18 ialah hadirnya para
pandita pada pesta pernikahan Tunggul Ametung dari kota yang merupakan pandita yang diakui oleh Kediri dan ditempatkan di kota,
pandita dari desa, dan pandita dari gunung yang keberadaannya tidak diakui oleh Kediri. Daya bahasa yang terkandung adalah seremoni,
sama seperti simbol, hanya saja data lebih menunjukan prosesi atau upacara adat, untuk membedakan dengan upcara
– upacara yang lain. Gaya bahasa eufemisme hadir pada data I.2. Kata yang
mengandung gaya bahasa eufemisme ialah tempat untuk membuang kotoran. Kotoran yang dimaksudkan pada data di atas adalah tempat
untuk buang air kecil dan buang air besar. Data I.6 menggunakan gaya bahasa zeugma karena
mempertentangkan dua hal yang berbeda yaitu pendekar dan penjahat yang mengandung ciri semantik yang bertentangan. Makna yang
terkandung pada data I.6 ialah Tunggul Ametung sebenarnya hanyalah seorang penjahat kelas kakap yang kemudian oleh Kediri
menjadi pendekar penyelamat untuk menjamin arus upeti dari Tumapel menuju Kediri.
Data VII.1 menggunakan gaya bahasa asidenton sebab kata takut, kuatir, kegembiraan batin, sendu merupakan kata-kata yang
memiliki posisi sederajat tentang macam-macam perasaan yang seharusnya dihubungkan dengan kata sambung atau konjungsi.
Namun, pada kalimat di atas tidak dihubungkan dengan kata sambung. Kata-kata tersebut hanya dipisahkan dengan tanda koma. Makna dari
kalimat tersebut adalah menggambarkan suasana hati Ken Dedes yang tidak menentu yang terkadang merasa takut, kuatir, sendu, gembira.
Data IX.27 menggunakan gaya bahasa polisidenton yang merupakan lawan dari gaya bahasa asidenton yakni beberapa kata,
frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Kelompok kata babi, anjing, kucing disambung dengan
konjungsi dan. Seharusnya tidak perlu digunakan konjungsi dan karena merupakan kelompok kata yang posisi setara yaitu binatang.
Gaya bahasa epizeukis muncul pada data X.48 yaitu berupa pengulangan pada kata kehilangan sekaligus memberi penegasan pada
kata tersebut. Makna yang terkandung dari data X.48 ialah menunjukkan jika Ken Dedes kehilangan banyak hal yang penting
dalam hidupnya yaitu kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya, balatentara yang dapat diperintahnya, dan kepercayaan
dari orangtua yang dicintai dan dipujanya setulus hati.
Pada data I.27 menggunakan gaya bahasa alegori karena menceritakan sebuah kisah yang berisi pesan, amanat. Amanat yang
disampaikan pada data I.27 Ken Dedes lebih berhati-hati dan tidak mengulangi peristiwa seperti Dewi Amisani yang tewas karena
diracun. Data IX.42 menggunakan gaya bahasa anofora yaitu berupa
pengulangan kata di awal kalimat dengan pengulangan kata ia merindukan. Maknanya ialah Oti merindukan karang batu, seseorang
yang akan melamarnya, merindukan seorang bayi. Daya dari data di atas adalah daya emosi rindu karena menunjukkan kerinduan yang
amat terdalam bagi Oti. Dan pengulangan kata rindu sebanyak tiga kali cukup meyakinkan perasaan apa yang membuncah di dalam
dirinya. Ia merindukan tempat yang berkarang batu, merindukan seorang lelaki yang akan melamarnya, dan merindukan seorang bayi
yang akan digendongnya kelak. Data VIII.11 menggunakan gaya bahasa erotesis yang artinya
sama saja dengan pertanyaan retoris. Pada data VIII.11 menanyakan apakah ada bukti jika pertempuran di tempat pendulangan emas tidak
pernah ada. Karena tidak ditemukan bekas perkelahian maupun bangkai mayat dan keadaan di pendulangan sepi, tanpa ada manusia.
Gaya bahasa metafora digunakan pada data IX.20. Ditunjukkan dengan kata banyak makan garam yang berarti memiliki
pengalaman yang sudah cukup banyak. Makna yang terkandung yaitu
dugaan Arok kepada Empu Gandring yang sudah memiliki banyak pengalaman dan membaca banyak rontal untuk menyiapkan taktik
menguasai Tumapel. Data VIII.19 menggunakan gaya bahasa perifrasis yang
terungkap dari penggalan kalimat kehilangan lidahnya. Seharusnya penggalan kalimat kehilangan lidahnya bisa diganti dengan kata
membisu. Makna yang terkandung pada data VIII.19 yaitu Arya Artya membisu setelah mengetahui jumlah emas yang sebenarnya.
Pada data III.46 menggunakan gaya bahasa eponim yang nampak pada kalimat
“…Hyang Surya Terbit…” Hyang Surya yang dimaksudkan adalah matahari. Makna yang terkandung pada data
III.46 ialah kuda yang ditumpangi oleh Tunggul Ametung dan Ken Dedes memasuki pekuwuan ketika matahari terbit.
Gaya bahasa hiperbola pada data VIII.25 ditunjukkan pada kata dendam menyala-nyala. Maksud dari kata di atas ialah Hayam
sangat dendam yang sangat mendalam kepada Arok. Daya yang muncul yaitu daya emosi dendam karena menunjukkan betapa
dendamnya Hayam kepada Arok yang terpancar dari tatapan matanya. Gaya bahasa oksimoron digunakan pada data VII.13 yang
nampak pada penggunaan kata senang dan tidak senang yang berada pada satu kalimat. Makna yang terkandung pada data VII.13 ialah
Dedes merasa senang karena keturunan brahmani dan ia merasa tidak
senang karena anak yang akan ia lahirkan kelas tidak murni keturunan brahmana.
Data II.50 menggunakan gaya bahasa silepsis yang secara gramatikal benar namun secara semantik salah. Gaya bahasa silepsis
berusaha untuk mempertentangkan dua hal yang berbeda. Tercermin pada kata permainan dan perkelahian. Makna yang terkandung pada
data II.50 ialah penulis menggambarkan Arok sebagai tokoh yang selalu menang ketika bermain dan menang ketika berkelahi.
Pada data I.26 menggunakan gaya bahasa paradoks sebab mempertentangkan airmata yang telah kering dengan dalam hatinya
masih juga mengucur tiada henti. Makna yang terkandung dalam konteks ini yaitu Dedes berhenti menangis karena airmatanya telah
kering mungkin terlalu lama menangis dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun airmatanya telah kering, Dedes masih merasa
sangat sedih dan untuk mengungkapkannya Dedes hanya bisa menangis dalam hati.
Data IX.21 menggunakan gaya bahasa sarkasme karena berisi hinaan. Terungkap pada penggalan kalimat
“…permainan dua ekor cangcorang...” Data IX.21 ditunjukkan kepada Empu Gandring
dan Kebo Ijo yang sedang berusaha untuk menguasai Tumapel. Makna yang terkandung pada data IX.21 ialah persekutuan antara
Empu Gandring dan Kebo Ijo seperti cangcorang yang saling berkasih-kasihan untuk mencapai keinginan masing-masing.
Pada data IV.68 menggunakan gaya bahasa metonimia yang tampak pada kata Kelud. Yang dimaksudkan pada kata Kelud ialah
Gunung Kelud. Makna yang terkandung dari data IX.68 ialah gunung Kelud meletus.
Dari keseluruhan data diatas menunjukkan daya informasi, seremoni, simbol dan rangsang karena hanya menjelaskan situasi,
deskripsi tokoh, tempat, suasana yang ada di dalam novel Arok Dedes. Daya jelas seperti yang telah diuraikan di atas mengandung kekuatan
bahasa yang terungkap dari gaya bahasa metonimia. Pada data 104 Kelud meletus secara langsung menggambarkan keadaan saat itu
kepada pembaca. Pada data I.18 Berpuluh pandita dan seluruh negeri Tumapel, yang didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan
dari gunung-gunung Arjuna, Welirang, Kawi dan Hanung, berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warnadan destar sesuai dengan
warna jubahnya. mengandung daya seremoni karena menunjukkan prosesi upacara pernikahan adat Hindu. Sedangkan pada daya
rangsang nampak pada data I.8 Dada telanjangnya mulai ditutup dengan sutera terawang tenunan Mesir tipis laksana selaput kabut
menyapu gunung kembar. Mengandung daya rangsang karena ada rangsang yang membuat pembaca merasakan suatu rangsangan sendiri
atau bisa dikatakan sex feel. Daya simbol muncul pada data I.17 Janur kuning dan daun beringin menyambut kedatangan mereka.
Mengandung daya simbol karena menunjukkan lambang-lambang yang digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa.
b. Daya Puji
Puji adalah pernyataan rasa pengakuan dan penghargaan yang tulus akan kebaikan, keindahan KBBIoffline. Bentuk ungkapan
pujian bisa ditunjukkan kepada sesama, alam, dan Tuhan. Berikut daya puji yang terungkap melalui pemakaian gaya bahasa.
I.3 “Perawan terayu di seluruh negeri,” bisik Gede Mirah. 2
Konteks: Dituturkan oleh Gede Mirah ketika ia sedang merias Dedes.
II.3 “Sudah lama aku timbang-timbang. Kau seorang muda
yang cerdas, giat, gesit, ingatanmu sangat baik, berani, tabah menghadapi segalanya. 60
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe kepada Temu ketika semua murid
sedang berkumpul.
II.41 “… Dan kau, Temu, kau bisa jadi satria karena
kemampuanmu. Tingkah lakumu bukan lazim pada seorang sudra, tetapi satria. Matamu bukan mata satria, tetapi
brahmana…” 85
Konteks: Tantripala memuji kecerdasan Temu.
III.19 “Mulialah Sri Erlangga Bathara Wisynu, dengan titahnya
semua orang bisa jadi satria atau brahmana demi dharmanya.” 112
Konteks: Dituturkan Tunggul Ametung ketika ia berhasil membawa
Dedes, tetapi ia meronta terus.
III.45 “Bahkan rambutmu kurasai seperti belaian sorga.” 121
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung kepada Dedes ketika dalam
perjalanan menuju ke pekuwuan.
IV.17 “… Garuda Untuk kau hanya korban terbaik, hidup
terbaik, dan kalaupun punah, punah yang terbaik pula.” 176
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe yang menyuruh Arok untuk tidak
berpendapat mengenai Maithuna upacara persetubuhan untuk memuja kesuburan.
IV.57 “Bicara, kau, garuda kaum brahmana, dengan berat dan
ketajaman parasyu Hyang Ganesya, dengan ketajaman kilat Sang Muncukunda ....“ 210
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe untuk menyuruh Arok melanjutkan
kisah Salyaparwa dalam bahasa Sansekerta.
VI.5 “Kau seorang anak pandai emas yang tajam hidung. Tahu
saja kau di mana tempatnya.” 269
Konteks: Dituturkan oleh Arok kepada Hayam ketika ia sedang tertidur.
Gaya bahasa hiperbola nampak pada tuturan I.3 karena mengandung suatu pernyataan yang melebih-lebihkan keadaan
sebenarnya. Kata terayu memberi efek melebih-lebihkan kecantikan Dedes sehingga terkesan hanya Ken Dedeslah wanita yang paling
cantik di seluruh Tumapel. Daya puji nampak pada kalimat “Perawan
terayu…” Pujian yang diungkapkan Gede Mirah karena ia mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh Dedes.
Pada data II.3 menggunakan gaya bahasa asidenton yang ditunjukkan dengan kelompok kata cerdas, giat, gesit, ingatanmu
sangat baik, berani, tabah menghadapi segalanya yang memiliki posisi sederajat yaitu menyatakan sifat baik yang dimiliki Arok.
Makna yang terkandung dari data II.3 ialah Lohgawe memaparkan kebaikan yang dimiliki oleh Arok yang ia kenal selama ini. Model
gaya bahasa ini dipilih penulis untuk mengatakan sesuatu maksud secara jelas, singkat, dan padat. Meskipun tidak dihubungkan dengan
kata sambung, makna kalimat tersebut dapat diterima. Pada data II.3 mengandung daya puji dari kumpulan kata cerdas, giat, gesit,
ingatanmu sangat baik, berani, tabah menghadapi segalanya sangat jelas mengandung pujian karena tidak mengandung celaan.
Tuturan II.41 mengandung gaya bahasa klimaks karena urut- urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya. Nampak
pada kelompok kata “Kau bisa jadi satria karena kemampuanmu.
Tingkah lakumu bukan lazim pada seorang sudra, tetapi satria. Matamu bukan mata satria, tetapi brahmana.
” Makna yang terkandung dari tuturan II.41 ialah Arok bisa naik kasta menjadi
brahmana karena dharmanya. Daya puji nampak pada penggalan kalimat di atas. Pujian yang disampaikan kepada Arok sangatlah
istimewa karena tidak semua orang memiliki kemampuan seperti Arok yaitu memiliki tingkah seorang satria, mata brahmana meskipun pada
kenyataannya Arok hanyalah keturunan sudra. Data III.19 menggunakan gaya bahasa apostrof karena
menghadirkan Sri Erlangga Bathara Wisynu dalam percakapan antara Tunggul Ametung dengan Dedes. Makna yang terkandung dalam
tuturan III.19 yaitu Tunggul Ametung mengungkapkan rasa terima kasih kepada Sri Erlangga Bathara Wisynu karena titah yang
diberikan olehnya bisa membuat orang naik kasta karena dharma yang
diberikan. Daya yang dihasilkan pada tuturan III.19 ialah daya puji karena mengandung pujian kepada Sri Erlangga Bathara Wisynu yang
terungkap dari kata “Mulialah Sri Erlangga Bathara Wisynu,…” Kata
mulia merupakan salah satu bentuk ungkapan pujian. Pada data III.45 gaya bahasa simile digunakan untuk
membandingkan dua hal yang berbeda. Yang dibandingkan pada tuturan III.45 ialah rambut Dedes dan belaian surga. Makna yang
terkandung pada tuturan III.45 ialah rambut Dedes benar-benar halus sehingga jika ada orang yang menyentuhnya seperti merasakan
belaian surga. Daya yang muncul yaitu daya puji. Pujian dituturkan oleh Tunggul Ametung saat membelai rambut Ken Dedes dan yang
dirasakan Tunggul Ametung ialah rambut Dedes sangat halus dan wangi.
Pada tuturan IV.17 menggunakan gaya bahasa epizeukis yaitu pengulangan pada kata terbaik. Maksud pada tuturan IV.17
semua yang terbaik selama hidup dan sampai punah pun yang terbaik diberikan kepada Arok. Data IV.17 Mengandung daya puji yang
dituturkan oleh Lohgawe kepada Arok karena bagi Lohgawe, Arok adalah sosok yang sangat istimewa.
Pada tuturan IV.57 menggunakan gaya bahasa epitet yang ditunjukkan dengan kalimat garuda kaum brahmana yang sudah jelas
julukan itu diberikan kepada Arok. Maksud yang terkandung pada data IV.57 Arok sebagai wakil kaum brahmana mendapat berkat
berlimpah dari Hyang Ganesha dengan kilat Muncukundra. Daya IV.57 mengandung daya puji karena Arok mendapat koehormatan
menjadi bagian dari kaum brahmana meskipun ia sendiri berkasata sudra.
Pada tuturan VI.5 menggunakan gaya bahasa metafora yang ditunjukkan kepada Hayam. Kalimat yang menunjukkan pemakaian
gaya bahasa metafora ialah tajam hidung yang berarti memiliki penciuman yang kuat. Maksud yang terkandung pada tuturan VI.5
ialah Hayam memiliki indera penciuman yang kuat untuk mencari sumber emas karena jarang sekali orang yang memiliki kemampuan
seperti Hayam. Tuturan VI.50 mengandung daya puji karena dalam pembicaraan, Arok memuji Hayam yang memiliki indera penciuman
yang tajam. Daya puji seperti yang telah diuraikan di atas adalah kekuatan
bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa metafora yang mengandung pesan menunjukkan kesungguhan hati penutur untuk
memuji mitra tutur. Perhatikan contoh tuturan “Kau seorang anak
pandai emas yang tajam hidung. Tahu sa ja kau di mana tempatnya.”
Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan pujian Arok kepada Hayam atas kemampuan penciuman tajam yang dimiliki oleh Hayam.
c. Daya Optimis
Optimis adalah paham atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan, sikap yang selalu memiliki harapan baik dalam
segala hal KBBIoffline. Penggunaan gaya bahasa pada novel yang berhasil ditemukan untuk mengungkap daya optimisme ialah sebagai
berikut. III.39
… Tumpahkan airmatamu, Permata, karena setelah ini takkan dia titik lagi, seluruh kebahagiaan makhluk di atas
bumi hanya milikmu.” 119 Konteks:
Dituturkan oleh Akuwu ketika ia merasa air mata Ken Dedes jatuh menetesi lengannya.
IV.3 “Kau akan kembalikan cakrawati Bathara Guru Sang
Mahadewa Syiwa.” 165
Konteks: Dituturkan Dang Hyang Lohgawe Lohgawe saat upacara
pemberian nama.
VI.54 “… Semua brahmana di Tumapel, Kediri, di seluruh pulau
Jawa, akan menyokongmu. Dengan Tumapel di tanganmu kau akan bisa hadapi Kediri. 317
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe ketika ia mengajak Arok untuk
menemui Tunggul Ametung.
VI.55 “Dengan Tumapel di tanganmu kau akan bisa hadapi
Kediri. … “ 317 Konteks:
Dituturkan oleh Lohgawe ketika ia mengajak Arok untuk menemui Tunggul Ametung.
Gaya bahasa hiperbola ada pada data III.39 yang nampak pada
penggalan kalimat “…seluruh kebahagiaan makhluk di atas bumi hanya milikmu
…” maksud dari kalimat III.39 ialah Dedes akan menjadi seorang paramesywari tentu saja setelah ini ia akan memiliki
kekuasan mutlak untuk memiliki apapun yang ia inginkan. Daya optimis muncul karena apa yang dikatakan Tunggul Ametung akan
memberi pengetian tersendiri bagi Ken Dedes dan apa yang dikatakannya ialah berdasarkan keyakinannya.
Gaya bahasa apostrof ada pada data IV.3 muncul pada kalimat “..cakrawati Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa.” maksud
yang terkandung dari tuturan IV.3 ialah keyakinan akan kembalinya lagi cakrawati Hyang Mahadewa Syiwa. Daya optimis muncul karena
memiliki keyakinan yang tinggi akan kembalinya cakra Hyang Syiwa dengan hadirnya Arok di tengah-tengah mereka kerena kelebihan yang
dimilikinya. Gaya bahasa Klimaks ada pada data VI.54 yang nampak
pada kelompok kata di Tumapel, Kediri, di seluruh pulau Jawa. Awalnya yang mendukung hanya dari wilayah Tumapel, lama-lama
seluruh brahmana Kediri dan akhirnya brahaman seluruh pulau Jawa akan berkumpul jadi satu untuk mendukung Arok. Daya optimis
muncul karena dengan munculnya bantuan dari seluruh pulau Jawa, keinginan yang akan dicapai akan terwujud.
Gaya bahasa sinekdoke ada pada data VI.55 nampak pada kalimat
“Dengan Tumapel di tanganmu kau akan bisa hadapi Kediri” maksud dari tuturan VI.55 ialah dengan menguasai Tumapel, maka
Arok akan bisa hadapi dan menahklukkan Kediri. Daya yang terungkap yaitu daya optimis karena memiliki padangan baik akan
masa depan. Tumapel hanya bagian dari wilayah kekuasaan Kediri yang bisa dikatakan sumber emas bagi Kediri.
Daya optimis seperti yang sudah diuraikan di atas adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa apostrof
mengandung pesan yang menunjukkan jika penutur memiliki daya optimis kepada mitra tutur terhadap penyelesaian suatu masalah.
Seperti pada contoh “Kau akan kembalikan cakrawati Bathara Guru
Sang Mahadewa Syiwa.” 165 Maksud dari tuturan tersebut ialah berisi sebuah keyakinan akan pengharapan yang lebih baik karena
hadirnya Arok akan membatu kaum brahmana mengembalikan cakrawati Hyang Syiwa. tuturan tersebut secara langsung menyatakan
rasa optimis penutur kepada mitra tutur akan suatu hal.
d. Daya Ancam
Ancaman adalah salah satu usaha seseorang untuk menyelamatkan diri dari sebuah masalah. Ancaman sendiri memiliki
arti sesuatu yang diancam, perbuatan yang mengancam KBBI offline. Jika seorang mengeluarkan kalimat yang bernada mengancam
tentu saja dapat membuat takut lawan bicaranya. Ungkapan yang digunakan seseorang dalam mengeluarkan ancaman juga beragam.
Ada yang mengungkapkan secara halus, tersirat, blak-blakan, kasar, to the point, dan sebagainya. Dari ungkapan-ungkapan itu, terbentuklah
sebuah daya bahasa yang mengandung ancaman.
I.83 “Kalau aku tak berhasil menundukkan cakrawati Hyang
Syiwa di Tumapel, terkutuklah kalian Wangsa Erlangga Terkutuk Juga seluruh adipati, bupati, dan akuwunya
Terkutuk” 39 Konteks:
Dituturkan oleh Arya Arta karena tidak dapat menanggung cemburunya
kepada Wangsa
Erlangga yang
tidak mengindahkan Syiwa.
III.50 “Kepalamu akan jatuh karena peristiwa ini.” 133
Konteks: Dituturkan oleh Belakangka kepada Rimang yang menyalahkan
Rimang karena kepergian Ken Dedes saat Gunung Kelud meletus.
VI.47 “Kalau yang sepuluhribu itu tidak ada kepalamu
tergantung-
gantung di ujung pedang,”... 306 Konteks:
Dituturkan oleh Hayam saat menanyakan Rimang tentang emas yang ia sembunyikan bersama Gusti Putra.
VIII.16 “Dengan satu gelombang serangan kalian akan hancur-
binasa. …” 394
Konteks: Dituturkan oleh Arok saat mengepung perkubuan Hayam.
IX.21 “Baik. Kalau kau bohong, tubuhmu tidak akan dibakar,
akan kami serahkan pada anjing-anjing pekuwuan. Dan Tim anjingmu yang telah mati itu, akan datang ikut menyantap
tubuhmu.” 469
Konteks: Dituturkan oleh Arok ketika menyidang Empu Gandring dan
meminta keterangannya tentang penyerbuan ke pekuwuan.
Pada tuturan I.83 menggunakan gaya bahasa apostrof yaitu gaya bahasa berupa pengalihan amanat dari yang hadir menjadi tidak
hadir. Kalimat “…cakrawati Hyang Syiwa… “ menunjukkan adanya daya apoostrof. Maksud yang terkandung pada data I.83 ialah
kutukan yang diberikan oleh Arya Artya jika ia tidak bisa kembalikan cakrawati Hyang Syiwa ke Tumapel. Daya ancam masuk pada tuturan
I.83 terdapat pada kata kutuk. Kata kutuk yang dituturkan Arya Artya berupa ancaman karena belum terjadi kejadian yang tidak diharapkan.
Pada tuturan III.50 menggunakan gaya bahasa eufemisme. “Kepalamu akan jatuh…” merupakan penghalusan dari arti mati.
Dalam konteks ini, makna yang terkandung ialah Belakangka menyalahkan Rimang dengan perginya Ken Dedes yang keluar dari
pekuwuan saat Kelud meletus untuk melihat keadaan rakyatnya tanpa seizinnya dan akan memberikan hukuman mati kepada Rimang
dengan adanya peristiwa tersebut. Pada tuturan VI.47 menggunakan gaya bahasa perifrasis
yang ditunjukkan dengan kalimat “…kepalamu tergantung-gantung di ujung pedang,
…” yang seharusnya bisa diganti dengan mati. maksud yang terkandung pada data VI.47 ialah Rimang akan mati jika emas
yang jumlah sepuluh ribu saga tidak ada. Data VI.47 mengandung daya ancam karena secara terang-terangan mengancam Rimang jika ia
tidak beritahukan di mana letak emas itu. Pada tuturan VIII.16 menggunakan gaya bahasa hiperbola
yang melebih- lebihkan ditunjukkan pada kalimat “…hancur-binasa.
..” makna yang terkandung pada VIII.16 ialah serangan satu gelombang pasukan Arok bisa menghancurkan tempat persembunyian
Hayam. Termasuk daya ancam karena serangan itu belum terjadi dan dipertegas lagi dengan kata akan.
Pada tuturan IX.21 gaya bahasa yang terkandung adalah gaya bahasa sarkasme yang ditunjukkan dengan kalimat
“...tubuhmu tidak akan dibakar, akan kami serahkan pada anjing-
anjing pekuwuan…” Maksud dari data tuturan IX.21 ialah Arok tidak menganggap Empu
Gandring sebagai seorang yang tidak terhormat jika ia meninggal karena tidak mau mengakui semua kesalahan yang telah ia perbuat
karena melakukan perlawanan terhadap Tunggul Ametung. Di masanya, Empu Gandring adalah orang yang terpandang, ia ahli
membuat senjata yang sakti dan mendapat gelar Empu atas kemampuannya. Di sini, Arok menganggap Empu Gandring sangat
hina. Jika ada orang yang meninggal, mayatnya harus dibakar untuk mencapai nirwana. Bisa disimpulkan jika Arok sangat memandang
rendah Empu Gandring dan menganggapnya tidak berharga karena ia menyetarakan Empu Gandring dengan makanan anjing dan Tim
anjing kesayangan Empu Gandring yang ia pelihara sejak kecil juga turut serta memakan daging tuannya. Efek perlokusinya ialah Empu
Gandring mengakui kesalahannya dengan bukti-bukti yang ada. Daya ancam seperti yang sudah diuraikan di atas adalah
kekuatan bahasa yang muncul melalui gaya bahasa sarkasme yang mengandung pesan memberi ancaman kepada lawan tutur. Perhatikan
data IX.21 “Baik. Kalau kau bohong, tubuhmu tidak akan dibakar,
akan kami serahkan pada anjing-anjing pekuwuan. Dan Tim anjingmu yang telah mati itu, akan datang ik
ut menyantap tubuhmu”.
Tuturan tersebut secara langsung mengancam mitra tutur agar mengakui kesalahannya dan berkata jujur.
e. Daya Protes
Protes, menurut KBBIoffline adalah pernyataan tidak menyetujui, menentang. Untuk mengungkapkan rasa protes banyak
cara yang bisa dilakukan baik secara individual maupun kelompok, misalnya mogok makan, demo, membakar ban, dll. Dalam novel Arok
Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa protes yang dilakukan oleh individual maupun kelompok.
II.16 “… Juga sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para
brahmana siapa saja yang pernah saya temui, hanya mengecam-ngecam,
menyumpahi, dan
mengutuk. Tak
seorangpun berniat menghadap Sri Baginda Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya...” 66
Konteks: Dituturkan oleh Temu ketika membahas Sri Baginda Erlangga.
IV.13 “Husy. Tak aku benarkan kau ulangi pendapat busuk
seperti itu. Salah. Keliru. Tidak benar. Menyesatkan.” 175
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe yang melarang Arok untuk tidak
berpendapat mengenai Maithuna upacara persetubuhan untuk memuja kesuburan.
IV.38 “Makin lama makin banyak rontal menyesap ajaran lain
dan mendirikan dewa-dewa baru dari kaum Buddha, seakan titiah ini sengaja hendak dicairkan jadi bubur, campur aduk
tidak menentu.” 186
Konteks: Dituturkan seorang brahmana dari mataram, Resi Andaru,
menyoroti kemerosotan
penyembahan kepada
Hyang Mahadewa.
Gaya bahasa klimaks ada pada data II.17 ditunjukkan dengan kelompok kalimat mengecam-ngecam, menyumpahi, dan mengutuk
karena kepentingannya makin meningkat. Maksud dari data II.17 ialah sikap kaum brahmana yang hanya berani mengecam,
menyumpahi, mengutuk selama pemerintahan Sri Erlangga. Daya protes muncul dari Arok karena sikap kaum brahmana yang seperti
katak dalam tempurung, tak berani menunjukkan pendapatnya. Gaya bahasa tautologi berupa pengulangan kata yang sama
secara berturut-turut ada pada data IV.13 nampak pada kalimat Tak aku benarkan kau ulangi pendapat busuk seperti itu. Salah. Keliru.
Tidak benar. Maksud dari tuturan IV.13 ialah pendapat yang dikemukakan Arok pada intinya adalah salah. Daya protes muncul
karena Lohgawe tidak suka terhadap pendapat Arok mengenai maithuna.
Gaya bahasa simile ada pada data IV.38 nampak pada kalimat kaum Buddha, seakan titiah ini sengaja yang dihubungkan
dengan konjungsi seperti. Maksud dari tuturan IV.38 ialah kaum Budha yang mendirikan dewa baru dari ajaran lain seolah seolah
ajaran tersebut campur aduk. Daya protes muncul karena Resi Andaru menunjukkan rasa tidak suka banyak rontal yang salah ajarannya.
Daya protes seperti yang telah dipaparkan di atas adalah kekuaatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa klimaks yang
mengandung pesan rasa protes penutur kepada mitra tutur atas suatu
hal yang kurang mengenakkan. Nampak pada kalimat “… Juga
sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para brahmana siapa saja yang pernah saya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpahi, dan
mengutuk. Tak seorangpun berniat menghadap Sri Baginda Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya...” maksud dari tuturan
tersebut ialah secara langsung penutur menyampaikan pendapatnya kepada mitra tutur tentang hal yang tidak ia sukai. Tuturan tersebut
secara langsung memprotes mitra tutur oleh penutur karena suatu hal yang kurang berkenan.
f. Daya Cemooh
Cemooh juga salah satu bentuk ejekan tetapi lebih kasar dari pada sindiran. KBBIoffline mengatakan jika cemooh sebuah ejekan,
hinaan. Cemooh untuk menghina orang yang kedudukannya lebih rendah. Di bawah ini contoh daya perintah yang terungkap.
III.29 “Kalian kaum brahmana lebih pongah dalam pikiran, tapi
menunduk-nuduk merangkak- rangkak di hadapanku. …” 114
Konteks: Dituturkan Tunggul Ametung ketika ia berhasil membawa
Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
VI.8 “Penangis di depanmu itu, Arok, adalah gadis terganas
dari seluruh rombongannya. Tak ada di antara mereka yang dikasihnya ampun. Haus darah dia Arok. Hampir-hampir tak
pernah bicara. Lebih sering melamun.” 275
Konteks: Dituturkan Tanca kepada Arok ketika Arok bertemu kembali
dengan Umang setelah sekian lama tak berjumpa.
VI.58 “… Tidak pernah bisa menghormati orang. Juga tidak bisa
menghormati dirinya sendiri. Tak ada sesuatu pun yang perlu dihormatinya.” 319
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe ketika ia dan Arok sampai ke
pekuwuan dan menghadap Tunggul Ametung.
VII.15 “Sama dengan semua anak buahnya: gesit, kurus, dengan
mata menyala-
nyala seperti si kelaparan melihat makanan.” Konteks:
Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika Ken Dedes meminta izin untuk bertemu dengan jago Lohgawe.
VII.16 “Ada diajarkan oleh kaum Brahmana: orang kaya terkesan
pongah di mata si miskin, orang bijaksana terkesan angkuh di mata si dungu, orang gagah berani terkesan dewa di mata si
pengecut, juga sebaliknya, Kakanda: orang miskin tak berkesan apa-apa pada si kaya, orang dungu terkesan
mengibakan pada si bijaksana, orang pengecut terkesan hina pada si gagah
berani. …” 328
Konteks: Dituturkan oleh Ken Dedes ketika suaminya bertanya apa itu
kesan.
IX.7 “Kebo Ijo memang terlalu dungu, dan nama sahaya sudah
terlanjur terbawa- bawa oleh si goblok itu.” 445
Konteks: Dituturkan oleh Empu Gandring saat tengah malam ada
seorang tamtama yang datang mengunjunginya.
IX.13 “Hanya Tunggul Ametung yang berani lakukan itu. Berani
karena bodohnya.” 450
Konteks: Dituturkan oleh Belakangka saat mengunjungi Kebo Ijo dan
mengajaknya naik ke kereta.
Data III.29 menggunakan gaya bahasa antiklimaks yang ditunjukkan dengan kata merunduk-runduk, merangkak-rangkak.
Gaya bahasa antiklimasks merupakan lawan dari gaya bahas klimaks di mana urut-urutan pemikirannya semakin menurun dari gagasan
sebelumnya. Makna yang terkandung dari tuturan III.29 ialah
menunjukkan sikap kaum brahmana jika bertemu Tunggul Ametung awalnya merunduk-runduk yang lama-lama menjadi merangkak-
rangkak sebagai tanda hormat terpaksa karena takut dibunuh. Daya cemooh hadir pada tuturan III.29 yang ditunjukkan pada penggalan
kalimat tapi menunduk-nuduk merangkak-rangkak di hadapanku. Efek dari tuturan III.29 iyalah Dedes merasa tersinggung dengan ucapan
Tunggul Ametung dan semakin membencinya. Dalam tuturan III.29 daya cemooh yang dituturkan oleh Tunggul Ametung ditunjukkan
kepada Dedes yang merupakan keturunan brahmani atas sikap kaum brahmana sombong di belakang Tunggul Ametung, tetapi di depannya
tidak berani berbuat apa-apa. Tunggul Ametung menghina kaum brahmana karena mereka takut kepada Tunggul Ametung yang
terkenal kejam dan tidak bisa berkutik di hadapannya. Gaya bahasa simile muncul pada tuturan VII.15 karena
membandingkan dua hal sekaligus dan dihubungkan dengan kata seperti. Yang dibandingkan dalam tuturan ini ialah anak buah Arok
yang gesit, kurus dengan mata menyala-nyala dengan orang yang kelaparan ketika melihat makanan. Dalam konteks ini Tunggul
Ametung sebenarnya ingin mengatakan bahwa sikap anak buah Arok sama saja dengan pengemis. Makna dari tuturan VII.15 ialah
Tunggul Ametung menghina pasukan Arok yang secara fisik dilihat seperti pengemis. Efek dari tuturan VII.15 ialah Ken Dedes semakin
semakin membenci Tunggul Ametung karena sifatnya yang tidak bisa
menghormati orang lain. Daya yang muncul yaitu daya cemooh karena tujuan Tunggul Ametung memang menghina pasukan Arok
yang terlihat seperti pengemis. Pada tuturan IX.7 menggunakan gaya bahasa sarkasme
karena mengandung celaan atau hinaan kepada mitra tuturnya. Pada data IX.7 penggunaan gaya bahasa sarkasme ditunjukkan dengan
penggunaan kalimat “…terlalu dungu, terbawa-bawa oleh si goblok
itu.” Makna kalimat tersebut menyatakan hinaan kepada Kebo Ijo karena kebodohannya yang sudah membawa nama Empu Gandring
dalam perkara pembunuhan Kidang Telarung ketika menghadap Ken Dedes. Daya cemooh muncul pada data IX.7 karena menunjukkan
hinaan, celaan kepada orang lain. Pada tuturan IX.7 daya hina muncul dengan penggunaan kata dungu dan bodoh. Tergolong daya
hina karena menghina seseorang dan langsung memberi cap bahwa Kebo Ijo sangat bodoh. Dengan adanya daya hina tersebut yang
dituturkan Empu Gandring kepada orang lain maka akan mempengaruhi pemikiran orang tersebut mengenai Kebo Ijo.
Daya cemooh seperti yang sudah diuraikan di atas adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa sarkasme yang
mengandung pesan hinaan kepada mitra tutur. Seperti pada tuturan “Kebo Ijo memang terlalu dungu, dan nama sahaya sudah terlanjur
terbawa- bawa oleh si goblok itu.” 445. Maksud dari tuturan tersebut
ialah Empu Gandring marah kepada Kebo Ijo karena telah membawa
namanya di hadapan Ken Dedes selaku paramesywari. Secara langsung tuturan tersebut menunjukkan celaan penutur kepada mitra
tutur karena rasa tidak suka.
g. Daya Nasihat
Setiap orang pasti melakukan kesalahan. Ketika seseorang melakukan kesalahan, tentunya akan mendapat nasihat. Dengan diberi
nasihat, diharapkan orang tersebut menyadari kesalahannya dan berusaha tidak mengulanginya lagi karena nasihat itu sendiri berisi
anjuran, ajaran yang baik. Di bawah ini dipaparkan contoh gaya bahasa yang di dalamnya mengandung daya nasihat.
I.4 “Jangan menangis. Berterima kasihlah kepada para dewa.
Tak ada seorang wanita yang ditempatkan pada satu kedudukan oleh Yang Mulia Tunggul Ametung. …” 2
Konteks: Dituturkan oleh Gede Mirah ketika itu ia sedang merias,
mengagumi kecantikan Dedes, dan memberinya nasihat. Saat itu Dedes tertekan dengan pernikahannya dan tidak menyetujui
pernikahannya dengan Tunggul Ametung.
III.8 “Tak ada seorang pun di pekuwuan ini dapat dipercaya,
Yang Mulia. Hati- hati, waspadalah.” 102
Konteks: Dituturkan
oleh Rimang
kepada Ken
Dedes untuk
menghiburnya. III.82
“Barangsiapa tidak terlalu muda untuk jadi Paramesywari,
diapun cukup tua untuk mengetahui urusan negeri.” 158 Konteks:
Dituturkan oleh oleh Ken Dedes ketika ia meminta kepada Tunggul Ametung untuk mengetahui urusan negeri.
VII.40 “Dia memerlukan keadilan, dia harus belajar mengenalnya
dengan seluruh tubuh dan jiwanya, bukan hanya suara hampa
untuk bunga bibir dan bunga hati juga untukmu sendiri. …” 352
Konteks: Dituturkan oleh Arok kepada pengawalnya yang bertanya
tentang keputusan Arok kepada Bana.
X.15 “Belajar percaya, Kakanda, belajar mempercayai.” 502
Konteks: Dituturkan oleh Ken Dedes yang berusaha membujuk
suaminya untuk percaya kepada Arok.
Sedangkan pada data I.4 mengandung gaya bahasa apostrof karena menghadirkan dewa pada dialog tersebut. Ditunjukkan dengan
kalimat …berterima kasihlah kepada para dewa... Maksud dari
tuturan I.4 ialah supaya Ken Dedes bisa menerima pernikahannya dengan Tunggul Ametung karena hanya ia satu-satunya wanita yang
bisa menempati singgasana paramesywari Tumapel dan itu semua terjadi karena kehendak para dewa. Daya nasihat juga muncul pada
tuturan I.4 tercermin dari kalimat …jangan menangis. Berterima
kasihlah kepada para dewa… Di sini, Gede Mirah menasihat Dedes supaya jangan menangis dan bersyukur pada dewa atas karunia
pernikahannya dengan Tunggul Ametung. Gaya bahasa tautologi nampak pada tuturan III.8 pada kata
hati-hati, waspadalah. Penggunaan kata hati-hati, waspadalah bisa dikatakan berlebihan karena mengandung pengulangan dari kata yang
memiliki arti yang sama. Makna yang terkandung dari tuturan III.8 mengandung penekanan agar Ken Dedes hati-hati terhadap orang di
pekuwuan. Tuturan III.8 mengandung daya nasihat isinya
memberikan nasihat kepada mitra tutur. Pada data III.8 kata hati- hati, waspadalah mengandung daya nasihat dengan harapan Ken
Dedes dapat lebih berhati-hati dan waspada kepada orang-orang di dalam pekuwuan karena semuanya tidak dapat dipercaya.
Gaya bahasa oksimoron ada pada data III.82 tampak pada kalimat
“…tidak terlalu muda … cukup tua” yang mempertentangkan usia yang masih muda untuk menjadi paramesywari tetapi tidak terlalu
tua untuk mengetahui urusan negeri. Data III.82 mengandung daya nasihat karena Ken Dedes berusaha menasihati Tunggul Ametung
saat ia mulai belajar mengetahui urusan negeri. Gaya bahasa metafora ada pada data VII.40 pada frasa bunga
bibir dan bunga hati. Bunga bibir ialah bahan pembicaraan, sedangkan bunga hati ialah kekasih. Maksud yang terkadung dari
tuturan VII.40 ialah pengawal Arok harus belajar untuk mengenal seluruh tubuh dan jiwanya sendiri sehingga tubuh dan jiwa tidak
hanya menjadi pembicaraan dan pujaan hati. Data VIII.40 mengandung daya nasihat karena berisi nasihat supaya lebih belajar
mengenal diri sendiri sampai sekecil-kecilnya. Gaya bahasa epizeukis juga muncul pada data X.15
ditunjukkan dengan pengulangan kata belajar percaya untuk mempertegas apa yang dimaksudkan. Maksud dari tuturan X.15
ialah Ken Dedes menasihati Tunggul Ametung agar belajar percaya kepada orang lain. Data X.15 mengandung daya nasihat tercermin
melalui kalimat belajar percaya, Kakanda, belajar mempercayai. Dalam konteks ini, Ken Dedes menasihati suaminya agar percaya
kepada orang lain dalam situasi yang sedang sulit. Dan gaya bahasa oksimoron juga nampak pada data III.82.
Yang menunjukkan gaya bahasa oksimoron ialah kata tua dan muda pada satu kalimat yang sama. Makna yang terkandung dari tuturan
III.82 ialah meskipun Ken Dedes tidak terlalu muda untuk menjadi seorang paramesywari tetapi kemampuan yang ia punya cukup banyak
untuk mengetahui urusan negeri. Daya nasihat pada tuturan III.82 yakni Ken Dedes diberi kesempatan untuk turut serta mengurus
Tumapel bersama Tunggul Ametung. Daya nasihat seperti yang terlah diungkapkan di atas adalah
kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa tautologi yang mengandung pesan memberi nasihat kepada mitra tutur. Nampak pada
data III.8 “Tak ada seorang pun di pekuwuan ini dapat dipercaya,
Yang Mulia. Hati- hati, waspadalah.” Maksud dari tuturan tersebut
ialah memberi nasihat kepada Ken Dedes selaku Paramesywari supaya berhati-hati karena di seluruh Tumapel tidak ada seorang yang bisa
dipercaya. Tuturan tersebut secara langsung menasihati mitra tutur supaya mitra tutur menjadi lebih tenang.
h. Daya Saran
Saran, menurut KBBIoffline adalah pendapat usul, anjuran, cita-cita yg dikemukakan untuk dipertimbangkan. Di dalam saran
walaupun dikatakan secara langsung untuk mempengaruhi mitra tutur, tetapi tidak ada paksaan di dalamnya. Dalam novel Arok Dedes karya
Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa saran yang dilakukan dalam satu gaya bahasa.
V.31 “… Dia harus didekati, dibaiki, diambil hatinya.” 240
Konteks:
Dituturkan oleh Belakangka ketika mencoba menasihati Tunggul Ametung yang murka mendengar Lohgawe menolak
datang ke pekuwuan.
Dalam kalimat “… Dia harus didekati, dibaiki, diambil
hatinya.” V.31 sangat jelas langkah gaya bahasa klimaks yang dipakai yang ditunjukkan dengan kelompok kata didekati, dibaiki,
diambil hatinya di mana kepentingannya makin lama makin meningkat. Data tersebut mengandung daya saran karena Ametung
tidak menerima kata perintah apapun, hanya langkah klimaks untuk mencapai tujuan. Dan boleh dipilih oleh Ametung akan dipakai apa
tidak cara tersebut. Daya saran seperti yang sudah diuraikan di atas adalah
kekuatan bahasa yang muncul melalui gaya bahasa klimaks yang mengandung pesan memberi saran kepada mitra tutur. Perhatikan data
“… Dia harus didekati, dibaiki, diambil hatinya.” Tuturan tersebut
secara langsung menyarankan mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang disarankan oleh penutur.
i. Daya Klaim
Klaim, menurut KBBIoffline adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak memiliki atau mempunyai atas
sesuatu dan pengertian yang lain adalah pernyataan tentang suatu fakta atau kebenaran sesuatu. Untuk mengungkapkan klaim banyak teknik
yang bisa dipakai, dengan cara kasar, maupun halus. Dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa klaim
yang dilakukan dalam berbagai macam gaya bahasa. I.48
“Kekuasaan Akuwu Tumapel yang diberkahi oleh Hyang Wisynu telah membikin kalian mengidap kemiskinan tidak
terkira.” 19 Konteks:
Dituturkan oleh Borang kepada seluruh penduduk desa Bantar dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.49 “Dengan segala yang diambil dari kalian Akuwu Tumapel
mendapat biaya untuk bercumbu dengan perawan-perawan kalian sampai lupa pada Hyang Wisynu.” 19
Konteks: Dituturkan oleh Borang kepada seluruh penduduk desa Bantar
dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
II.11 “... Tanpa keberanian hidup adalah tanpa irama. Hidup
tanpa irama adalah samadhi tanpa pusat…” 63
Konteks: Dituturkan oleh Temu kepada Lohgawe. Temu mengagumi
Hyang Ganesha.
III.20 “Ayolah, kutuk aku, seperti semua brahmana mengutuk
semua orang di luar kastanya. …” 113
Konteks:
Dituturkan Tunggul Ametung ketika ia berhasil membawa Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
Gaya bahasa antitesis ada pada data I.48 ditunjukkan dengan kalimat
“Kekuasaan Akuwu Tumapel yang diberkahi oleh Hyang Wisynu
… mengidap kemiskinan…” maksud yang terkandung pada tuturan I.48 ialah kekuasaan Tunggul Ametung yang medapat berkat
dari Hyang Wisynu tetapi rakyat yang dipimpinnya mengalami kemiskinan. Daya klaim muncul karena yang dituturkan oleh Borang
adalah pernyataan dari sebuah kenyataan. Gaya bahasa apostrof ada pada data I.49 nampak pada kata
Hyang Wisynu. Maksud dari tuturan I.49 ialah Hyang Wisynu dilupakan oleh Tunggul Ametung karena keegoisannya yang
menikmati nikmat duniawi saja. Daya klaim muncul karena yang dikatakan Borang adalah sebuah pernyataan dari kenyataan yaitu
Tunggul Ametung mengambil semua milii rakyat hanya untuk bercumbu dengan para perawan dan lupa pada Hyang Wisynu.
Gaya bahasa anadiplosis ada pada data II.11 adalah gaya bahasa perulangan kalimat pada akhir baris digunakan lagi pada awal
baris. Muncul pada kalimat hidup adalah tanpa irama. Hidup tanpa irama. Maksud dari tuturan II.11 ialah hidup tanpa irama seperti
samadhi tanpa pusat. Daya klaim muncul dari data II.11 karena merupakan suatu pernyataan kebenaran.
Gaya bahasa simile ada pada data III.20 yang muncul pada kalimat kutuk aku, seperti semua brahmana mengutuk. Maksud dari
tuturan tersebut ialah kutukan yang dilontarkan Dedes semuanya sama seperti para brahmana yang mengutuk Tunggul Ametung. Daya klaim
muncul karena apa yang dituturkan Tunggul Ametung adalah sebuah kebenaran yaitu para brahmana sering mengutukinya.
Daya klaim seperti yang telah diuraikan di atas kekuatan bahasa yang muncul dari penggunaan gaya bahasa simile yang
mengandung pesan jika penutur berhak untuk menyatakan dirinya diklaim karena apa yang dikatakan penutur kepada mitra tutur
berdasarkan fakta yang ada. Tampak seperti pada tuturan “Ayolah,
kutuk aku, seperti semua brahmana mengutuk semua orang di luar kastanya. …” Tuturan tersebut secara langsung menyatakan kepada
mitra tutur jika penutur sudah sering dikutuk oleh banyak orang termasuk kaum brahmana.
j. Daya Deklarasi
Deklarasi, menurut KBBIoffline adalah pernyataan ringkas dan jela
s
. Di dalam deklarasi terdapat pernyataan tentang fakta yang mengubah suata keadaan atau fakta lain dan diakui di khalayak ramai.
Dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa deklarasi yang dilakukan dalam berbagai macam gaya bahasa.
I.21 “Dewa Sang Akuwu sekarang juga dewamu.” 8
Konteks:
Dituturkan oleh Yang Suci Belakangka ketika memimpin upacara pernikahan.
IV.1 “Dengan namamu yang baru, Arok, Sang Pembangun, kau
adalah garuda harapan kaum brahmana.” 165
Konteks: Dituturkan oleh Dang Hyang Lohgawe saat upacara pemberian
nama.
Pada tuturan I.21 menggunakan gaya bahasa epanalepsis yaitu pengulangan kata yang sama pada awal dan akhir baris yang
ditunjukkan pada kata dewa. Maksud yang terkandung dari ujaran tersebut ialah Belakangka menegaskan jika dewa yang dianut oleh
Tunggul Ametung juga dewanya. Termasuk daya dekalarasi karena memberikan pernyataan ringan bahwa dewa akuwu juga menjadi
dewa Ken Dedes juga. Pada tuturan IV.1 menggunakan gaya bahasa epitet
ditunjukkan dengan kata Sang Pembangun. Sang Pembangun ialah Arok sendiri. Maksud yang terkandung pada tuturan IV.1 ialah Arok
dinobatkan oleh Lohgawe dengan simbol Sang Pembangun yang artinya pembangun kembali Hyang Mahadewa Syiwa bagi kaum
brahmana. Daya deklarasi seperti yang sudah diungkapkan di atas adalah
kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa epanalepsis yang mengandung pesan menyatakan sesuatu secara jelas dan singkat,
yang nampak pada tuturan “Dewa Sang Akuwu sekarang juga
dewamu.” Tuturan tersebut secara langsung memberikan pernyataan kecil kepada mitra tutur tentang sebuah penegasan terhadap suatu hal.
k. Daya Sesal
Sesal menurut KBBIoffline adalah perasaan tidak senang susah, kecewa, dsb karena telah berbuat kurang baik dosa,
kesalahan, dsb. Kurang baik yang dimaksudkan di sini relatif terhadap obyek mitra tutur. Dalam novel Arok Dedes karya
Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa sesal yang ditunjukan dalam berbagai gaya bahasa.
II.6 “Ya, Bapa Mahaguru, sahaya telah menimbulkan prihatin
Bapa mahaguru Lohgawe sesuatu yang semestinya tidak terjadi, dan tidak perlu terjadi.” 61
Konteks:
Dituturkan Temu
kepada Lohgawe
ketika menjawab
pertanyaan dari gurunya. IV.14
“… Ampuni kami, ya, Mahadewa, keagungan Prambanan tidak mampu menolak pengaruh sesat itu. …” 176
Konteks:
Dituturkan oleh Lohgawe ketika mengetahui di depan ada upacara Maithuna.
V.37 “Betapa dungu aku telah kawini perempuan sial ini.” 248
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika ia berbincang dengan
suaminya di kebun buah.
VII.46 “Ampun, Yang Mulia Ayahanda, sejengkalpun dari
Tumapel tidak seyogianya gumpil.” 365 Konteks:
Dituturkan oleh Putra termuda Tunggul Ametung ketika dipanggil menghadap dan membahas tentang wilayah
kekuasaan Tumapel.
IX.3 “Sekiranya rencana pribadi terkutuk itu sudah saya
ketahui sebelumny a. … Semua rencana kita gagal dalam
tangan tuan. Tuan terusir dari pekuwuan seperti bukan keturunan satria. …” 441
Konteks:
Dituturkan oleh Kebo Ijo saat mengunjungi kediaman Empu Gandring membahas pasukan Kebo Ijo yang ditahan Arok.
X.34 “Mati, Arok, Sang Akuwu mati,” tangis Dedes. 525
Konteks:
Dituturkan oleh Ken Dedes yang menyadari jika suaminya telah mati.
Gaya bahasa yang terdapat pada II.6 adalah epizeukis. Epizeukis adalah gaya bahasa berupa pengulangan pada kata-kata
yang dianggap penting. Pada data II.16 pengulangan terjadi pada kata tidak terjadi. Maksud dari tuturan tersebut ialah sikap yang telah
dilakukan Arok membuat gurunya, Lohgawe menjadi sedih hati. Daya sesal muncul karena Arok telah membuat gurunya bersedih hati.
Pada data IV14 menggunakan gaya bahasa apostrof yang ditunjukkan pada kata Mahadewa. Maksud dari dari data IV.14 ialah
ungkapan permohonan ampun Lohgawe kepada Mahadewa karena keagungan Prambanan tidak mampu menolak pengaruh sesat. Daya
sesal muncul karena Lohgawe dan seluruh kaum brahmana tidak mampu berkutik saat keagungan Prambanan tidak mampu menolak
pengaruh sesat dari aliran Budha.
Pada data V.37 menggunakan gaya bahasa sarkasme mucul yang ditunjukkan dengan kalimat “…perempuan sial ini.” Maksud
dari tuturan V.37 ialah setelah menjadi istri Tunggul Ametung, Ken Dedes menjadi perempuan pembawa petaka, bukan keberuntungan.
Daya sesal muncul karena Tunggul Ametung telah menikahi Ken Dedes.
Pada data VII.46 menggunakan gaya bahasa hiperbola yang nampak pada sejengkalpun. Maksud dari tuturan VII.46 wilayah
Tumapel sudah berkurang. Daya sesal muncul karena menurut Putra termuda Tunggul Ametung pecahnya Tumapel tidak perlu terjadi dan
seharusnya ia mampu mempertahankan wilayah tersebut. Pada data IX.3 menggunakan gaya bahasa simile yang
karena ada kata pembanding seperti. Maksud dari tuturan IX.3 ialah Kebo Ijo terusir dari pekuwuan dengan tidak hormat seperti layaknya
keturunan satria. Daya sesal muncul karena Kebo Ijo melakukan kesalahan dan membuat Empu Gandring kecewa sehingga rencana
yang sudah mereka susun gagal total.
Pada data X.34 menggunakan gaya bahasa epanalepsis yaitu pengulangan kata mati pada awal dan akhir kalimat. Maksud dari
tuturan X.34 ialah memberi penegasan jika Tunggul Ametung sudah mati. Daya sesal muncul karena Tunggul Ametung mati karena
dibunuh oleh Kebo Ijo. Daya sesal seperti yang sudah diuraikan di atas ialah kekuatan
bahasa yang mengandung pesan pengungkapan hati penutur kepada mitra tutur atas kejadian yang telah terjadi dan terungkap melalui gaya
bahasa epizeukis yang nampak pada tuturan “Mati, Arok, Sang Akuwu
mati,”Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan rasa sesal penutur kepada mitra tutur atas peristiwa yang telah terjadi.
l. Daya Keluh
Keluh, meunurut KBBIoffline adalah ungkapan yang keluar karena perasaan susah karena menderita sesuatu yang berat,
kesakitan, dsb. Dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa keluh yang ditunjukan dalam berbagai gaya
bahasa. I.44
“Apakah kalian kurang menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati kalian?”
18 Konteks:
Dituturkan oleh Borang kepada seluruh penduduk desa Bantar dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.47 ” Tumapel terus-menerus menyalahkan kami.” 19
Konteks:
Dituturkan oleh penduduk Bantar kepada Borang ketika mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.106 “… Kau pandangi kakimu seperti kakimu berubah menjadi
biji mata untukku?”53 Konteks:
Dituturkan oleh Mundra saat Oti menemuinya dan kaget setelah mengetahui lelaki muda itu bermata satu. Dan lelaki itu
mengetahui sikap Oti yang terkejut.
IV.61 “…, pada waktu kaum brahmana dalam duaratus tahun
hanya bersilat lidah?” 213 Konteks:
Dituturkan oleh Lohgawe yang kaget melihat dharma yang dilakukan lalu membandingkan dengan kaum brahmana.
V.33 “… Yang Mulia, dalam sepuluh tahun lagi tak ada anak
muda bisa baca tulis, tak ada lagi yang mengerti bagaimana memuliakan para dewa, manusia kembali menjadi hewan
rimba belantara. 241 Konteks:
Dituturkan oleh Belakangka ketika mencoba menasihati Tunggul Ametung yang murka mendengar Lohgawe menolak
datang ke pekuwuan.
V.40 “Ketidakmampuan itu berasal dari diri semua yang
memerintah, Dedes, ketidakmampuan mengerti kawulanya sendiri, kebutuhannya, dan kepentingannya.” 254
Konteks:
Dituturkan oleh Lohgawe kepada Ken Dedes ketika rombongan mereka tiba di padepokan Lohgawe.
IX.5 “Anak buah saya yang delapan? Mereka bisa berkicau di
bawah lecutan cambuknya.” 444 Konteks:
Dituturkan oleh Kebo Ijo saat mengunjungi kediaman Empu Gandring membahas pasukan Kebo Ijo yang ditahan Arok.
Pada data I.44 menggunakan gaya bahasa apostrof yang
ditunjukkan dengan Hyang Wisynu. Maksud dari tuturan I.44 Borang menanyakan pada penduduk Bantar tentang sesambahan dan
pengorbanan penduduk pada Hyang Wisynu. Mengandung daya keluh karena penduduk Bantar tidak berani
Pada data I.47 menggunakan gaya bahasa sinekdok. Ditunjukkan dari kalimat
”Tumapel terus-menerus menyalahkan kami.” Maksud dari tuturan I.47 penduduk Bantar terus menerus
disalahkan oleh Tumapel karena telat membayarkan upeti atau jumlah upeti yang kurang. Daya keluh muncul karena penduduk Bantar
merasa tersiksa dengan kewajiban yang harus diserahkan ke Tumapel berupa upeti dan jika terlambat akan disiksa oleh para prajurit dan
disalahkan oleh pemerintah Tumapel. Pada data I.106 menggunakan gaya bahasa simile yang
muncul dari kalimat “…pandangi kakimu seperti kakimu berubah menjadi biji mata
…” maksud dari tuturan I.106 ialah kaki Oti bisa
menggantikan bola mata untuk Mundra yang akan menemani setiap saat. Mengandung daya keluh karena Mundra hanya memiliki satu
buah bola mata dan cara Oti memandang Mundra membuat Mundra merasa agak tidak enak hati.
Pada data IV.61 menggunakan gaya bahasa metafora yang ditunjukkan dengan frasa bersilat lidah. Bersilat lidah memiliki arti
pintar bermain kata. Maksud yang terkandung pada data IV. 61 ialah kaum brahmana hanya berani bermain kata tanpa melakukan tindakan
selama dua ratus tahun. Daya keluh mucul karena selama dua ratus hanya bisa bersilat lidah dan kaget melakukan hal yang dilakukan oleh
Arok dan kawan-kawannya. Pada data V.33 menggunakan gaya bahasa antiklimaks yang
ditunjukkan dengan kelompok kata tidak bisa baca tulis, tidak tahu bagaimana cara memuliakan dewa, dan menjadi hewan rimba
belantara. Maksud dari tuturan V.33 jika tidak ada anak muda yang tidak bisa baca dan tulis, tidak tahu bagaimana cara memuliakan para
dewa dan manusia menjadi seperti binatang lagi. Daya keluh muncul karena menunjukkan kekhawatiran Belakangka jika Tunggul Ametung
membunuh semua brahmana sehingga pada akhirnya manusia menjadi seperti hewan lagi.
Pada data V.40 menggunakan gaya bahasa epizeukis berupa pengulangan kata ketidakmampuan. Maksud dari tuturan V.40 ialah
ketidakmampuan memerintah
Tunggul Ametung
berasal
ketidakmampuan mengerti rakyatnya, mengerti kepentingannya, mengerti apa yang dibutuhkan. Daya keluh muncul pada tuturan
V.40 karena Lohgawe merasa menderita dengan kepempimpinan sejak Sri Erlangga sampai Tunggul Ametung karena tidak mampu
dalam banyak hal seperti tidak mampu mengerti kawulanya, tidak mengerti apa yang dibutuhkan, tidak mengerti akan kepentingannya.
Pada data IX.5 menggunakan gaya bahasa ironi. Maksud dari tuturan IX.5 ialah anak buah Kebo Ijo yang ditahan oleh Arok bisa
membuka rahasia Kebo Ijo. Daya keluh muncul karena Kebo Ijo merasa khawatir jika rahasia terbongkar oleh anak buahnya yang
ditahan oleh Arok. Daya keluh seperti yang telah diuraikan di atas adalah
kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa sinekdok seperti pada tuturan
”Tumapel terus-menerus menyalahkan kami.” Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan ungkapan rasa yang keluar dari
penduduk desa Bantar karena perasaan menderita selama duapuluh tahun.
m. Daya Pinta
Pinta, menurut KBBIoffline ialah permintaan. Biasanya mitra tutur meminta sesuatu kepada lawan tutur untuk melakukan atau
memberikan apa yang mitra tutur butuhkan atau inginkan. V.19
“Tolonglah leher sahaya ini, Yang Mulia Ratu.” 230
Konteks:
Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika Ratu Angabaya menahannya karena memiliki persoalan dan harus diselesaikan
mengenai pembunuhan yang ia lakukan kepada kawula Tumapel di wilayah Kediri.
VI.23
“Ya Mahadewa, beri aku kekuatan.” 294 Konteks:
Dituturkan oleh Rimang ketika ia dan Gusti Putra melawan para jajaro yang sedang memperkosa seorang wanita.
VII.23 “Coba katakan padaku yang masih bodoh ini” 334
Konteks: Dituturkan oleh Ken Dedes ketika diberi kesempatan dari
Tunggul Ametung untuk berbincang dengan Arok.
VII.35 “Duh, anakku, jangan kaget telah aku serahkan hidup dan
mati ayahmu pada musuh- musuhnya.” 345
Konteks: Dituturkan kepada Ken Dedes kepada anak di dalam rahimnya
sesampainya tiba di Bilik Agung.
X.35 “Nyatakan
sesuatu pada
kami, Arok
“NyatakanNyatakan” 543
Konteks: Dituturkan oleh pasukan dari luar kota kepada Arok
memintanya menyatakan sesuatu.
Gaya bahasa sinekdok ada pada data V.19 muncul pada kalimat
“Tolonglah leher sahaya…” maksud dari data V.19 ialah Tunggul Ametung meminta kepada Sri Ratu Angabaya untuk tidak
menghukumnya dengan hukuman pancung atas kesalahan yang telah ia lakukan. Daya pinta muncul karena Tunggul Ametung meminta
kepada ratu Angabaya untuk menyelematkan nyawanya. Gaya bahasa apostrof nampak pada tuturan VI.33 yang
ditunjukkan dengan kata Mahadewa. Makna yang terkandung dari tuturan VI.33 ialah Rimang memohon kepada Hyang Mahadewa
supaya memberinya kekuatan untuk melawan jajaro. Daya yang
muncul dari data VI.33 ialah daya pinta ditunjukkan dengan kata beri. Dalam konteks ini, Rimang meminta kekuatan kepada Hyang
Mahadewa supaya memberikannya kekuatan. Kekuatan di sini muncul dari keyakinannya kepada Hyang Mahadewa selaku dewa sesembahan
yang kedudukannya paling tinggi. Efek dari tuturan VI.33 ialah penutur merasa mendapat kekuatan baru karena kepercayaannya pada
Tuhan yang disembah. Data VII.23 menggunakan gaya bahasa litotes. Gaya bahasa
litotes digunakan untuk merendahkan diri sendiri. Kata yang menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa litotes ialah pada
penggalan kalimat “…yang masih bodoh ini...” Maksud dari tuturan ini ialah Ken Dedes meminta Arok menjelaskan padanya mengenai
wanita. Pada zamannya, Ken Dedes kategori sebagai wanita yang pandai, cerdas, dan terpelajar. Di sini Ken Dedes merendahkan diri di
hadapan Arok yang dianggapnya pandai walaupun baru pertama kali bertemu. Data VII.23 mengandung daya pinta karena meminta lawan
tutur melakukan sesuatu yang diminta oleh mitra tutur. Ditunjukkan dengan kalimat “coba katakan padaku..” Di sini Ken Dedes meminta
Arok untuk menjelaskan pengertian tentang wanita. Gaya bahasa epizeukis ada pada data X.41 ditunjukkan
dengan mengulang kata nyatakan. Maksud dari tuturan tersebut ialah pasukan Arok dari luar kota meminta Arok untuk menyatakan seuatu
kepada mereka entah apapun itu. Daya pinta muncul karena pasukan Arok memintanya untuk berbicara.
Daya pinta seperti yang sudah diuraikan di atas adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui penggunaan gaya bahasa
litotes, yang mengandung pesan supaya lawan tutur melakukan sesuatu yang dikehendaki mitra tutur. Perhatikan contoh VII.23
“Coba katakan padaku yang masih bodoh ini”. Tuturan tersebut secara langsung meminta mitra tutur agar menjelaskan padanya mengenai hal
yang belum diketahui oleh penutur.
n. Daya Harap
Dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer, peneliti menemukan beberapa tuturan baik lisan maupun tulis yang
mengandung daya bahasa harapan. Menurut KBBIoffline, harap adalah sesuatu yang yang diharapkan, suatu keinginan supaya menjadi
kenyataan. III.83
“Anak desa yang nakal itu, sebentar lagi akan lenyap bersama dengan debu
Kelud. ..”159
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika istrinya menanyakan
soal perusuh.
IV.1 “Dengan namamu yang baru, Arok, Sang Pembangun, kau
adalah garuda harapan kaum brahmana.” 165
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe saat upacara pemberian nama.
IV.33 “Dirgahayu, dirgahayu, dirgahayu, ya Mahaguru.” 182
Konteks:
Dituturkan oleh berpuluh-puluh orang para brahmana yang menyambut kedatangan Lohgawe.
VII.17 “Kau tidak akan sedungu ayahmu. Kau takkan bikin malu
ibumu. Kalau kau wanita, kau adalah dewi, kalau kau pria kau adalah dewa. Dengar, kau jabang bayi? Kau berdarah Hindu,
ayahmu sudra hina.” 32919
Konteks: Dituturkan oleh Ken Dedes kepada anak dalam kandungannya.
VIII.3 “Semoga para dewa melimpahkan kemurahan tiada
terhingga pada Yang Mulia Paramesywari.” 38218 Konteks:
Dituturkan oleh Empu Gandring ketika dipanggil oleh Ken Dedes untuk ke pendopo.
Gaya bahasa sinisme ada pada data III.83 yang ditunjukkan dengan kalimat anak desa yang nakal. Maksud yang terkadung
meremehkan seorang anak desa yang identik dengan anak desa nakal. Daya harap muncul pada data VIII.3 karena Tunggul Ametung
mengharapkan si anak desa itu lenyap bersama debu Kelud. Gaya bahasa epitet ada pada data IV.1 yang ditunjukkan
dengan kalimat “…Arok, Sang Pembangun…” Maksud dari data
IV.1 ialah Arok menjadi mendapat kepercayaan dari kaum brahmana untuk menjadi pelengkap pembangun kaum brahmana yang telah lama
terpuruk. Data IV.1 mengandung daya harap karena kaum brahmana menaruh harapan besar kepada Arok yang akan memperbaiki nasib
seluruh kaum brahmana yang terpuruk salama duaratus tahun ini. Pada tuturan IV.33 menggunakan gaya bahasa epizeukis
yang ditunjukkan dengan pengulangan kata dirgahayu. Dirgahayu sendiri memiliki arti semoga panjang umur. Maksud yang tekandung
pada tuturan IV.33 ialah semoga Lohgawe selalu panjang umur. Mengandung daya harap karena berisi harapan kepada Lohgawe
supaya panjang umur, sehat selalu seperti saat orang merayakan ulang tahun.
Pada tuturan VII.17 memiliki gaya bahasa hiperbola karena melebih-
lebih suatu objek yang ditunjukkan dengan kalimat “…kau wanita, kau adalah dewi, kalau kau pria kau adalah dewa
…” maksud yang terkandung dari data VII.17 yakni ketika anak Dedes lahir, ia
seperti seorang dewi, jika laki-laki ia seperti seorang dewa. Daya harap muncul pada data VIII.17 karena mengandung harapan supaya
anak yang dilahirkannya kelak memiliki sifat seperti dewa atau dewi. Kutipan tuturan VIII.3 memiliki gaya bahasa apostrof karena
menghadirkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada terwakilkan dalam kata dewa. Dewa adalah roh yang diangan-angankan sebagai manusia
halus yang berkuasa atas alam dan manusia KBBIoffline. Dewa sosok yang kasat mata tapi bisa dirasakan kehadirannya. Pada tuturan
di atas, Empu Grandring berharap supaya Ken Dedes selalu mendapat kemurahan yang tak terhingga dari para dewa. Pramoedya
menggunakan istilah dewa karena pada saat itu masa kerajaan Kediri agama Hindu yang menjadi kepercayaan penduduk Tumapel. Daya
ilokusi yang terkandung yaitu supaya Ken Dedes mendapat banyak berkat dari para dewa. Efek yang dihasilkan dari ujaran di atas adalah
ucapan terimakasih yang dituturkan oleh Ken Dedes.
Daya harap seperti yang sudah diuraikan di atas adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa epizeukis seperti
pada data “Dirgahayu, dirgahayu, dirgahayu, ya Mahaguru.” 182
yang mengandung pesan menunjukkan sebuah harapan kepada seluruh kaum brahamana kepada Lohgawe saat menyambutnya datang yang
sudah lama ditunggu kehadirannya. Tuturan tersebut secara langsung menyampaikan harapan penutur kepada mitra tutur.
o. Daya Perintah
Perintah merupakan salah satu perkataan yang mempunyai tujuan supaya seseorang yang diperintah melakukan sesuatu. Kalimat
perintah adalah kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan suatu hal yang diinginkan oleh orang yang
memerintah. Oleh karena itu, perintah meliputi suruhan yang keras hingga ke permintaan yang sangat halus. Di bawah ini, contoh
cuplikan data dalam novel Arok Dedes yang menggunakan gaya bahasa yang berdaya perintah.
I.57 ”… Demi Hyang Wisynu, angkut semua upeti ke Kediri. ...”
22
Konteks: Dituturkan oleh Borang kepada seluruh penduduk desa Bantar
dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
II.23 “… Kumpulkan semua brahmana di atas bumi ini. …”
113
Konteks: Dituturkan Tunggul Ametung ketika ia berhasil membawa
Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
VI.43 “Inilah Ki Bango Samparan, bapakku. Hormati dia seperti
kalian menghormati aku,…” 302
Konteks: Dituturkan oleh Arok ketika ia mengumpulkan seluruh budak
di ladang batu.
VII.22 “Kalau berhasil, kau akan lanjutkan pekerjaan ke barat
daya, Kawi dan Kelud.” 333
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika Arok menghadapnya.
VII.27 Binasakan semua prajurit Tumapel yang tidak takluk
padamu. 338
Konteks: Dituturkan oleh Arok kepada pasukannya
X.16 “Yang keras Keras Lebih keras” pekiknya. 502
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketpada Ken Dedes yang
meminta dipijit kepalanya.
Gaya bahasa apostrof ada pada data I.57 karena menghadirkan Hyang Wisynu. Maksud yang terkandung pada data
I.57 ialah perintah yang diperintahkan Borang kepada penduduk Bantar seolah-olah perintah dari Hyang Wisynu sendiri. Mengadung
daya perintah karena meminta penduduk Bantar mengakut upeti ke Kediri.
Gaya bahasa hiperbola ada pada data II.23 yang ditunjukkan pada cuplikan kalimat
“…di atas bumi ini…” seolah-olah bumi itu sempit dan bisa mengumpulkan semua brahamana. Mengandung daya
perintah karena Tunggul Ametung memberi perintah untuk mengumpulkan semua brahmana yang ada di bumi ini.
Pada data VI.43 menggunakan gaya bahasa simile yang ditunjukkan dengan cuplikan kalimat
“…hormati dia seperti kalian menghormati aku…” Makna yang terkandung di dalam tuturan
VI.43 ialah Arok meminta seluruh budak untuk menghormati ayahnya sama seperti mereka menghormati Arok sebagai pemimpin
mereka. Daya perintah yang muncul dituturkan oleh Arok kepada seluruh budak yang berada di daerah pendulangan supaya
menghormati bapaknya Arok sama seperti mereka menghormati Arok. Gaya bahasa metonimia ada pada data VII.22 yaitu dengan
penggunaan kata Kawi dan Kelud. Yang dimaksudkan yaitu melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Kawi dan Gunung Kelud.
Mengandung daya perintah karena memerintahkan Arok jika ia telah selesai menyelesaikan pekerjaannya, ia akan menuju ke arah Gunung
Kawi dan Gunung Kelud untuk melaksanakan hal yang sama. Gaya bahasa sarkasme ada pada data VII.27 tampak pada
kata binasakan. Maksud yang tekandung pada tuturan VII.27 ialah perintah Arok kepada seluruh anak buahnya untuk membunuh tanpa
ampun semua prajurit Tumapel. Daya yang muncul yaitu daya perintah karena mengandung perintah untuk melakukan sesuatu yaitu
menumpas seluruh prajurit Tumapel. Gaya bahasa epizeupkis terungkap melalui data X.16 dengan
pengulangan kata keras yang memberi penegasan. Maksud yang dikandung dari tuturan X.16 ialah supaya Ken Dedes lebih keras lagi
untuk memijit kepada Tunggul Ametung. Efek dari tuturan X.16 ialah Ken Dedes memijat kepala Tunggul Ametung lebih keras
daripada sebelumnya. Pada tuturan X.16 daya perintah muncul dengan penggunaan kalimat Yang keras Keras Lebih keras dengan
harapan Ken Dedes memijati kepala Tunggul Ametung lebih keras lagi.
Daya perintah seperti yang telah diuraikan di atas adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa epizeukis yang
nampak pada data X. 16 “Yang keras Keras Lebih keras” Dalam
tuturan tersebut mengandung daya perintah karena penutur meminta mitra tutur untuk melakukan apa yang dikendakinya. Tuturan tersebut
secara langsung memberi perintah kepada mitra tutur.
p. Daya Dogma
Dogma menurut KBBIoffline pokok ajaran tt kepercayaan dsb yg harus diterima segagai hal yg benar dan baik, tidak boleh
dibantah dan diragukan. Berbeda dengan deklarasi, dogma lebih hanya bersifat ajaran, sedangkan deklarasi menitik beratkan pada pengakuan,
walaupun pengakuan tersebut berasal dari ajaran. Dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa dogma yang
dilakukan dalam berbagai gaya bahasa. I.34
“Yang Mulia, bawalah perempuan ini naik ke peraduan. Para dewa membenarkan.
...” 14
Konteks:
Dituturkan oleh Belakangka kepada Ametung ketika itu memasuki upacara menaiki peraduan pengantin yang dipimpin
oleh Yang Suci Belakangka.
Gaya bahasa yang terdapat pada I.34 adalah apostrof diawali dengan kata
“… Para dewa…” dan diakhiri dengan kata membenarkan. ...” 14, menjelaskan bahwa ‘Para dewa’ mempunyai
standar khusus untuk ‘membenarkan’, maka jelas bahwa ada sifat ajaran yang disampaikan, tidak dapat disangkal, dibantah maupun
diragukan. Daya dogma muncul pada data I.34 upacara pernikahan Ken Dedes dan Tunggul Ametung sudah menjadi kehendak para
dewa. Daya dogma seperti yang telah diuraikan di atas ialah kekuatan
bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa apostrof yang ditunjukkan dengan tuturan
“Yang Mulia, bawalah perempuan ini naik ke peraduan. Para dewa membenarkan.
...” Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan pokok ajaran tentang kepercayaan yang harus
diterima sebagai hal baik dan benar.
q. Daya Magi
Magi menurut KBBIoffline adalah sesuatu atau cara tertentu yg diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam
sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia. Dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa magi yang
ditunjukan dalam berbagai gaya bahasa.
II.23 ”Setidak-tidaknya dari Hyang Bathara Guru aku tahu, dua
hari lagi kalian akan mendapat perintah untuk mengangkut upeti ke Kediri. Dari Hyang Wisynu aku tahu, kalian akan
lakukan itu dengan patuh.” 21
Konteks: Dituturkan oleh Borang kepada seluruh penduduk desa Bantar
dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
II.2 “… Biarpun ingatanmu mendapatkan pancaran dari Hyang
Ganesya.”60
Konteks: Dituturkan
oleh salah
seorang teman
Temu yang
memperingatkannya karena sudah lama tidak belajar. II.43
“Temu”, serunya, “dengan kemampuan seperti ini, pandangmu akan menguasai manusia dan benda.” 85
Konteks: Dituturkan oleh Tantripala yang kagum akan kecerdasan Temu
saat belajar ilmu ekagrata.
Pada data I.55 menggunakan gaya bahasa apostrof karena menghadirkan Hyang Wisynu dan Hyang Batara Guru. Maksud dari
kalimat I.55 ialah Borang mendapat infomasi dari para dewa tentang penyerahan upeti yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Daya magi
muncul karena Borang mendapat kekuatan dari Hyang Wisynu dan
Hyang Batara Guru mengenai penyerahan upeti ke Kediri.
Pada data II.2 menggunakan gaya bahasa eponim yang ditunjukkan dengan Hyang Ganesha yang artinya dewa ilmu
pengetahuan. Maksud dari data II.2 ialah Arok memiliki daya ingat yang sangat baik. Daya magi muncul karena kemampuan mengingat
Arok yang sangat luar biasa, ia dapat mengingat semua mata pelajaran yang diberikan oleh Lohgawe dengan cepat karena ia mendapat berkat
dari Hyang Ganesha.
Pada data II.43 menggunakan gaya bahasa hiperbola yang nampak pada kali
mat “…pandangmu akan menguasai manusia dan benda.” Maksud dari data II.43 ialah kemampuan melihat yang
dimiliki Arok sangat hebat. Termasuk daya magi karena penglihatan mata Arok bisa menguasai alam sekitar karena ia memiliki kekuatan
ekagrata.
Daya magi seperti yang telah diuraikan di atas adalah kekuatan
bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa epitet yang seperti pada tuturan
“… Biarpun ingatanmu mendapatkan pancaran dari Hyang Ganesya.” Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan kepada
mitra tutur bahwa ada sesuatu yang diyakini penutur sehingga dapat menimbulkan hal gaib.
r. Daya Provokasi
Provokasi adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; pancingan. Sedangkan provokatif adalah bersifat
provokasi, merangsang untuk bertindak; bersifat menghasut KBBIoffline. Perbedaan antara perintah dan provokasi terletak pada
sifat yang dilakukan. Jika provokasi menimbulkan seseorang melakukan perbuatan yang berdampak negatif, sedangkan perintah
bisanya bersifat positif. Peneliti menemukan daya provokasi pada dialog antar tokoh dalam novel Arok Dedes.
I.92 “Tak ada brahmana seperti itu. Dia hanya penipu, Yang
Mulia, sepatutnya dihancurkan badannya dengan garukan
kerang.” 47 Konteks:
Dituturkan oleh Arya Artya ketika Tunggul Ametung meminta keterangan tentang Brahmana dari utara dan dalam rontal tidak
ada data mengenai brahmana dari utara itu.
X.38 “Itulah Yang Suci Belakangka, mengaku wakil dari Kediri.
Sebelum kedatangannya, Tunggul Ametung hanya penjahat biasa, perampok, perampas, penculik dan pembunuh. Setelah
kedatangannya orang Syiwa mulai dianiaya. ...” 537
Kontaks: Dituturkan oleh Belakangka kepada Lohgawe saat ia bertanya
apakah pantas menuduh wakil Kediri seperti itu.
Pada tuturan I.92 menggunakan gaya bahasa sarkasme. Ditunjukkan dengan penggalan kalimat
“…sepatutnya dihancurkan badannya dengan garukan kerang.” Hinaan tersebut ditujukan kepada
seseorang yang mengaku sebagai brahmana muda dari utara. Makna kalimat tersebut ialah tidak ada orang seperti yang diceritakan oleh
Tunggul Ametung yaitu brahmana muda dari utara dan ia hanya seorang penipu yang patut dihancurkan badannya dengan garukan
kerang. Daya bahasa yang terkandung dari tuturan I.92 ialah provokatif. Di sini Arya Artya mengompori Tunggul Ametung jika
menemukan brahmana itu langsung dibunuh secara kejam. Efek dari tuturan Arya Artya ialah Tunggul Ametung mencari pemuda yang
mengaku Brahmana dari utara itu dan menumpasnya. Daya provokasi seperti yang sudah diuraikan di atas adalah
kekuatan bahasa yang terungkap dari penggunaan gaya bahasa sarkasme dan mengandung pesan provokasi kepada mitra tutur.
Perhatikan tuturan I.92 “Tak ada brahmana seperti itu. Dia hanya
penipu, Yang Mulia, sepatutnya dihancurkan badannya dengan garukan kerang”. Tuturan tersebut secara langsung memprovokasi
mitra tutur agar melakukan yang diminta penutur dan itu perbuatan buruk.
s. Daya Persuasi
Menurut KBBIoffline, persuasi ialah ajakan dengan cara memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan. Daya persuasi
muncul dari novel Arok Dedes ialah sebagai berikut ini. III.12
“... Nanti sebentar lagi kalau Hyang Surya telah terbenam, sahaya akan iringkan Yang Mulia ke pura.” 103
Konteks:
Dituturkan oleh
Rimang kepada
Ken Dedes
untuk menghiburnya.
X.45 “Bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha.
Maka jangan ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorangpun yang merampok,
mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam hal ini aturan dari Sri Baginda Erlangga masih tetap
berlaku: hukuman mati terhadap mereka itu. …” 546
Konteks: Dituturkan Arok setelah diangkat menjadi orang pertama di
Tumapel di hadapan seluruh rakyatnya.
Gaya bahasa eponim ada pada data III.12 ditunjukkan dengan kata Hyang Surya. Hyang Surya memiliki arti dewa matahari.
Maksud dari tuturan tersebut ialah setelah senja atau setelah matahari tenggelam, Rimang akan mengajak Ken Dedes menuju ke pura. Daya
persuasi muncul pada tuturan III.12 dengan kata iringkan yang berarti Rimang mengajak Ken Dedes menuju ke pura.
Gaya bahasa klimaks ada pada data X.45 ditunjukkan dengan kelompok kalimat merampok, mencuri, merampas, menganiaya,
memperkosa. Daya klimaks muncul karena kepentingannya makin meningkat. Maksud yang terkandung pada tuturan X.45 yaitu
menjelaskan tingkat kejahatan yang makin lama makin meningkat. Daya persuasi muncul karena Arok mengajak seluruh rakyat Tumapel
untuk tidak melakukan hal buruk yang dilakukan oleh Tunggul Ametung.
Daya persuasi seperti yang sudah diuaraikan di atas adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa klimaks seperti
pada data “Bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha.
Maka jangan ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorangpun yang merampok, mencuri, merampas,
menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam hal ini aturan dari Sri Baginda Erlangga masih tetap berlaku: hukuman mati terhadap
mereka itu. …”. Tuturan tersebut secara langsung penutur mengajak mitra tutur untuk merubah kebiasaan lama yang buruk.
t. Daya Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap
suci KBBIoffline. I.57
“Demi Hyang Wisynu, sahaya akan kembalikan lima kali lipat setelah berhasil.” 456
Konteks: Dituturkan oleh Kebo Ijo saat mengunjungi Belakangka di
kediamannya. Kebo ijo menerima kantong berisi limapuluh ribu catak dan duaribu saga emas dari Belakangka.
I.58 “Demi kau, Hyang Agni, inilah Lingsang yang akan merawat,
melebur, dan menyimpan emas, perak, dan suasa ini…” 266 Konteks:
Dituturkan oleh Lingsang saat Arok memintanya bersumpah kepada Hyang Agni untuk menjaga emas hasil rampasan
karena Lingsang memiliki keahlian menghitung emas.
Pada tuturan I.57 menggunakan gaya bahasa apostrof dan dibuktikan dengan penggalan kalimat
“…demi Hyang Wisynu...” Maksud yang terkandung dari tuturan ini ialah Kebo Ijo menunjukkan
janjinya dengan menyebut Hyang Wisynu, yang merupakan dewa sesembahan Kebo Ijo kepada Yang Suci Belakangka jika ia berhasil
melaksanakan tugasnya akan mengembalikan uang Yang Suci Belakangka sebanyak lima kali lipat. Pada data I.57 daya sumpah
ditunjukkan dengan menggunakan nama Hyang Wisynu dan ditunjukkan dengan cuplikan kalimat
“demi Hyang Wisynu, sahaya akan kembalikan…” Daya sumpah muncul karena Kebo Ijo
menggunakan nama dewa sesembahannya yang menunjukkan kesungguhan hatinya untuk mengganti uang Belakangka jika ia sudah
berhasil. Efek dari tuturan I.57 ialah Belakangka percaya jika Kebo Ijo tidak akan ingkar terhadap janjinya dan akan memenuhi janjinya
jika berhasil. Pada tuturan I.58 juga menggunakan gaya bahasa apostrof
ditunjukkan dengan cuplikan kalimat “demi kau, Hyang Agni…”
karena menghadirkan sesuatu yang tidak hadir menjadi hadir. Makna dari tuturan I.58 ialah Lingsang bersumpah atas nama dewa
sesembahannya Hyang Agni untuk melaksanakan tugas yang sudah dipercayakan kepadanya untuk merawat, melebur, dan menyimpan
emas, perak, dan suasa. Daya sumpah muncul dengan dituturkannya kata Hyang Agni yang merupakan dewa sesembahan dari Lingsang.
Efek dari tuturan I.58 ialah mitra tutur percaya akan kesungguhan hati penutur jika ia akan melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya.
Daya sumpah seperti yang sudah diuraikan di atas adalah kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa apostrof yang
mengandung pesan menunjukkan kesungguhan hati seseorang untuk bersungguh-sungguh melaksanakan sumpah yang ia ucapkan kepada
mitra tutur. Perhatikan contoh dialog I.57 “Demi Hyang Wisynu,
sahaya akan kembalikan lima kali lipat setelah berhasil”. Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan kesanggupan penutur kepada
lawan bicaranya untuk menunjukkan kesanggupannya memenuhi janjinya dengan menyebut nama dewa sesembahan agar mitra tutur
percaya kepada penutur jika ia bersungguh-sungguh akan menepati janjinya.
u. Daya Janji
Janji menunjukkan kesanggupan seseorang untuk melakukan sesuatu yang berupa amanat untuk dilaksanakan. Menurut
KBBIoffline, janji adalah sebuah tuturan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu seperti memberi, menolong,
bertemu, dan lain sebagainya.
III.21 “…Akan aku perlihatkan pada dunia: kaum brahmana
takkan bisa bikin apa-apa pada waktu seorang brahmani bernama Dedes aku dudukkan di atas singgasana Tumapel.
...” 113
Konteks: Dituturkan Tunggul Ametung ketika ia berhasil membawa
Dedes, tetapi ia meronta, mengumpat terus.
V.9 “Hidup dan mati sahaya adalah milik Sri Baginda.” 225
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika menghadap Sri
Baginda Kretajaya melaporkan keadaan Tumapel.
V.59 “Sahaya berjanji akan bersetia dan menjaga keselamatan
sang Akuwu dan Paramesywari dan Tumapel.” 321
Konteks: Dituturkan oleh Arok ketika ia dihadapkan kepada Akuwu oleh
Lohgawe untuk membantu menumpas pemberontakan di Tumapel.
X.20 “...Dengan cakra Hyang Wisynu, dengarkan Kebo Ijo
bicara, akan kupelihara Gerakan Empu Gandring ini tanpa Empu Gandring.” 508
Konteks: Dituturkan oleh Kebo Ijo di hadapan para tamtama yang
menanyakan keberadaan Empu Gandring dan Yang Suci Belakangka.
Gaya bahasa zeugma ada pada data V.9 muncul pada kata hidup dan mati. Maksud yang terkandung pada tuturan V.9 ialah
menunjukkan kepasrahan seorang bawahan kepada rajanya jika hidup dan matinya adalah miliki baginda. Daya muncul adalah janji karena
Tunggul Ametung menyerahkan nyawanya sendiri pada Sri Kretajaya di mana Sri Kretajaya adalah seorang raja.
Pada tuturan V.59 menggunakan gaya bahasa polisidenton yang dihubungkan dengan konjungsi. Kata Akuwu, Paramesywari,
Tumapel dihubungkan dengan menggunakan kata dan. Akuwu, Paramesywari, Tumapel memiliki kata yang berurutan yang
menunjukkan unsur-unsur dalam pemerintahan. Maksud yang terkandung dari tuturan tersebut ialah Arok berjanji akan menjaga
keselamatan akuwu, Paramesywari, dan Tumapel. Efek dari tuturan tersebut ialah lawan tutur mempercayai janji yang diucapkan oleh
mitra tutur. Daya janji seperti yang sudah diuraikan di atas adalah
kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa polisidenton yang mengandung pesan menyatakan janji. Seperti pada tuturan
“Sahaya berjanji akan bersetia dan menjaga keselamatan sang Akuwu dan
Paramesywari dan Tumapel.”maksud dari tuturan tersebut ialah Arok berjanji akan menjada keselamatan Tunggul Ametung, Ken
Dedes, dan Tumapel. Secara langsung tuturan tersebut menyatakan
janji penutur kepada mitra tutur akan suatu hal yang harus dilaksanakan di lain waktu.
C. Pembahasan
Dari hasil analisis di atas, gaya bahasa yang ditemukan dari masing- masing majas, yaitu pada majas pertentangan meliputi gaya bahasa hiperbola,
litotes, ironi, oksimoron, zeugma, silepsis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, apofasis, sarkasme, dan sinisme; majas perbandingan meliputi gaya
bahasa simile, metafora, personifikasi, alegori, antitesis, dan perifrasis; majas pertautan meliputi gaya bahasa metonimia, sinekdok, alusi, eufemisme,
eponim, epitet, erotesis, asidenton, dan polisidenton; majas perulangan meliputi gaya bahasa asonansi, kiasmus, epizeukis, anafora, epistofora, epanalepsis, dan
anadiplosis. Dari penggunaan gaya bahasa bahasa yang telah dipaparkan di atas berhasil mengungkap bermacam-macam daya bahasa. Daya bahasa yang
berhasil terungkap dalam novel Arok Dedes yaitu daya jelas, daya rangsang, daya simbol, daya seremoni, daya puji, daya nasihat, daya klaim, daya sesal,
daya keluh, daya pinta, daya ancam, daya perintah, daya dogma, daya cemooh, daya harap, daya protes, daya magi, daya deklarasi, daya optimis, daya
provokasi, daya sumpah, daya janji, dan daya saran. Daya bahasa yang terungkap melalui penggunaan gaya bahasa seperti yang sudah dipaparkan di
atas sejalan dengan pendapat Sudaryanto 1989, dalam Pranowo, 2009:132 telah menggali daya bahasa dari aspek linguistik, yaitu penggunaan gaya
bahasa.
Dari semua data tuturan dialog antar tokoh dalam novel, masing-masing ucapan mengandung tindak ilokusi, yaitu berupa maksud yang ada di dalam
ujaran. Dalam kajian pragmatik, tindak tutur ilokusi sering menjadi kajian utama Rahardi, 2009:17. Searle 1983 Rahardi: 2005:36-37 menggolongkan
tindak tutur ilokusi dalam lima macam bentuk, teori tersebut menjadi pijakan bagi peneliti untuk menentukan daya apa saja yang terungkap. Pada 1 fungsi
asertif, daya bahasa yang berhasil ditemukan yakni daya saran, daya klaim, daya dogma, dan daya magi. Daya saran, daya klaim, daya dogma, dan daya
magi tergolong ke dalam fungsi asertif karena tuturan yang diucapkan oleh penutur mengikat mitra tutur untuk percaya pada sebuah pernyataan atau fakta
kebenaran yang telah diungkapkan. Pada daya saran terungkap dari penggunaan gaya bahasa klimaks. Daya
saran ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menyampaikan pendapat yang diungkapkan untuk dipertimbangkan. Daya saran biasanya meminta mitra tutur
untuk segera melakukan tindakan yang disarankan oleh penutur. Saran dengan nasihat memiliki perbedaan yaitu di mana nasihat biasanya berisi tentang
anjuran dan berhubungan dengan nilai moral. Saran biasanya berisi anjuran untuk dilaksanakan pada saat itu juga dan saran cenderung harus dilaksanakan
dalam waktu yang cepat karena waktu yang dibutuhkan sangat mendesak. Daya klaim terungkap dari penggunaan gaya bahasa antitesis, apostrof,
anadiplosis, epizeukis, klimaks, zeugma, hiperbola, simile, antiklimaks, metonimia, tautology, alusi, oksimoron, sinisme, sinekdoke, metafora, anafora,
dan litotes. Klaim sendiri memiliki arti tuntutan pengakuan atas fakta bahwa
seseorang berhak memiliki sesuatu, pernyataan suatu fakta. Daya klaim cukup banyak ditemukan karena menunjukkan pengakuan bahwa seseorang
mempunyai keyakinan bahwa ia memiliki sebuah kebenaran atas dirinya yang diyakininya benar. Pada novel Arok Dedes daya klaim muncul untuk
menujukkan eksistensi diri terutama dari para tokoh petinggi agama Hindu seperti Lohgawe, Belakangka jika apa yang dikatakannya adalah sebuah
kebenaran. Jadi, daya klaim adalah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menujukkan pengakuan, hak yang diyakini seseorang atas dirinya adalah
sebuah kebenaran. Daya magi adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk
menunjukkan bahwa sebuah tuturan bisa menunjukkan adanya kekuatan gaib. Gaib yaitu sesuatu yang tidak kelihatan. Keajaiban yang terjadi pada tokoh dan
yang diutarakan kepada lawan tuturnya merupakan keyakinan dari masing- masing tokoh berdasarkan kekuatan dari yang Mahakuasa. Daya magi muncul
di dalam novel ini untuk menunjukkan jika ada kekuatan lain yang hadir di luar kemampuan dan akal manusia. Kekuatan yang berasal dari Sang Ilahi. Daya
magi muncul dari penggunaan gaya bahasa apostrof, eponim, hiperbola, dan simile.
Daya dogma terungkap melalui gaya bahas apostrof dan epanalepsis. Dogma adalah sebuah ajaran agama atau kepercayaan tertentu yang harus
diterima sebagai hal yang baik dan benar. Daya dogma yang muncul pada novel Arok Dedes menunjukkan keyakinan ajaran agama Hindu di mana semua
peristiwa kehidupan yang terjadi menurut aturan para dewa yang disembah.
Kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menyatakan pokok suatu ajaran atau agam tertentu ialah daya dogma.
Fungsi tindak tutur yang ke 2 ialah direktif. Direktif ialah tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu.
Daya bahasa yang tergolong pada fungsi direktif yakni daya perintah, daya pinta, daya nasihat, dan daya provokasi. Tergolong dalam fungsi direktif
karena tuturan yang dikatakan oleh penutur meminta mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan.
Daya persuasi terungkap dari gaya bahasa eponim dan klimaks. Daya persuasi di sini mengandung ajakan untuk melakukan sesuatu. Ajakan yang
dilakukan cenderung untuk berbuat baik. Daya persuasi ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk mengajak seseorang dengan cara memberikan alasan dan
prospek yang meyakinkan. Pada daya perintah, terungkap melalui penggunaan gaya bahasa
apostrof, hiperbola, anafora, simile, metonimia, sarkasme, dan epizeukis. Daya perintah adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk memerintah lawan
tutur supaya melakukan apa yang dikehendaki oleh penutur. Daya perintah bisa efektif berfungsi jika yang menututurkan ialah orang yang memiliki kuasa atau
memiliki status lebih tinggi. Daya perintah yang muncul dari hasil analisis di atas bisa dibagi menjadi dua, daya perintah secara halus dan daya perintah
secara kasar. Daya perintah secara kasar terungkap melalui penggunaan gaya bahasa sakasme dan epizeukis. Tuturan yang muncul dalam daya perintah,
melanggar maksim kedermawanan karena tidak memaksimalkan kerugian pada diri sendiri.
Sedangkan pada daya pinta terkuak dari penggunaan gaya bahasa apostrof, litotes, sinekdok, zeugma, dan epizeukis. Daya pinta ialah kekuatan
yang dimiliki bahasa untuk meminta lawan tutur melalukan sesuatu yang diminta oleh penutur. Daya pinta menjadi dua, yaitu pinta kepada manusia dan
kepada gaib. Daya pinta memiliki maksud secara langsung kepada mitra tutur termasuk gaib supaya tujuannya terlaksana. Efek dari daya pinta ialah mitra
tutur yang diminta oleh penutur akan melakukan sesuatu yang dikendaki oleh penutur.
Perbedaan pinta dan perintah ialah perintah harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditolak oleh mitra tutur apa yang dikehendaki oleh penutur.
Perintah cenderung lebih kasar daripada pinta. Sedangkan pinta juga harus dilaksanakan jika mitra tutur mengiyakan apa yang diminta penutur dan mitra
tutur bisa saja menolak untuk melakukan apa yang diminta penutur. Gaya bahasa apostrof, tautologi, antitesis, metafora, epizeukis
mengungkap penggunaan daya bahasa nasihat. Daya nasihat ialah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk memberikan masukan, saran, nasihat yang
bersifat positif kepada mitra tutur. Daya nasihat muncul jika seseorang sedang berada dalam masalah dan membutuhkan masukan dari orang terdekatnya.
Daya provokasi terungkap dari penggunaan gaya bahasa sarkasme dan klimaks. Daya provokasi ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk
mempengaruhi mitra tutur berbuat sesuatu yang kurang baik. Kekuatan yang
dimiliki oleh daya provokasi sangatlah besar jika si mitra tutur dalam keadaan yang kurang baik. Provokasi biasanya berisi ajakan untuk berbuat tidak baik.
Daya provokasi dan daya persuasi bisa dikatakan sama-sama memiliki persamaan yaitu sama-sama berupa ajakan. Tetapi yang membedakan antara
dua daya tersebut ialah kalau persusasi berupa ajakan untuk berbuat sesuatu yang baik, provokasi berupa ajakan untuk berbuat sesuatu yang kurang baik.
Fungsi yang 3 ialah fungsi ekspresif. Ekspresif ialah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur
terhadap suatu keadaan. Daya puji, daya cemooh, daya optimis, daya keluh, daya harap, daya sesal, daya protes tergolong pada fungsi ekspresif karena
untuk mengungkapkan perasaan yang yang dialami penutur kepada mitra tutur. Daya puji hadir dari penggunaan gaya bahasa hiperbola, apostrof,
asidenton, klimaks, simile, epizeukis, epitet, dan metafora. Daya puji adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengungkapkan perasaaan senang,
gembira, bahagia. Selain sebagai ungkapan gembira, daya puji juga bisa meungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Daya puji yang ditemukan pada hasil
analisis di atas berupa bentuk pujian kepada Tuhan dan kepada sesama manusia. Penggunaan gaya bahasa apostrof sudah sangat jelas menunjukkan
bentuk pujian kepada Tuhan sebagai ucapan syukur. Daya puji jika bisa digunakan secara maksimal dapat menimbulkan efek komunikasi positif.
Sejalan dengan teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech 1983 dalam Pranowo, 2009: 35, penggunaan kata pujian memenuhi salah satu
prinsip kesantunan berbahasa ialah maksim pujian yang memaksimalkan pujian kepada mitra tutur.
Daya sesal muncul dari penggunaan gaya bahasa epizeukis, apostrof, sarkasme, apostrof, hiperbola, sinisme, simile, dan epanalepsis. Sesal ialah
perasaan tidak senang karena telah berbuat tidak baik. Daya sesal ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menungkapkan perasaan tidak senang,
kecewa, karena melakukan yang tidak baik. Daya sesal muncul karena sebuah penyesalan pada diri penutur yang disampaikan kepada mitra tutur karena ia
telah melakukan perbuatan yang tidak baik. Bisa dikatakan perasaan menyesal atau kecewa.
Daya keluh muncul dari penggunaan gaya bahasa apostrof, sinekdok, simile, zeugma, epizeukis, metafora, dan antiklimaks. Daya keluh muncul
untuk mengungkapkan perasaan susah karena menderita sesuatu yang berat. Kekuatan yang dimiliki bahasa untuk mengungkapkan perasaan susah karena
sakit, sedang menderita. Daya keluh muncul karena penutur mengalami sebuah penderitaan yang disampaikan kepada mitra tutur. Penutur mengungkapkan
keluhannya karena ia tidak tahan terhadap suatu masalah atau kondisi tidak menyenangkan yang sedang dihadapi.
Gaya bahasa sarkasme, sinisme, ironi, simile, antiklimaks, hiperbola, epizeukis, kiasmus mengungkap penggunaan daya bahasa cemooh. Daya
cemooh memiliki kekuatan bahasa untuk merendahkan pribadi seseorang. Cemooh muncul karena rasa tidak suka tau rasa tidak puas terhadap sesuatu.
Jadi, daya cemooh adalah kekuatan yang ada di dalam bahasa untuk
mengungkapkan ejekan atau hinaan kepada seseorang. Sejalan dengan teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech 1983 dalam Pranowo,
2009: 35, penggunaan kata sindir melanggar salah satu prinsip kesantunan berbahasa ialah maksim pujian karena tidak memaksimalkan pujian kepada
mitra tutur. Daya harap muncul dari penggunaan gaya bahasa apostrof, sinisme,
epizeukis, dan hiperbola. Daya harap ialah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengungkapkan keinginan pribadi supaya sesuatu terjadi. Daya harap
dalam novel Arok Dedes yang dituturkan oleh para tokoh untuk mengharapkan karunia dari para dewa.
Daya protes ialah kekuatan bahasa yang dimiliki bahasa yang muncul untuk menujukkan ungkapan perasaan tidak menyetujui, menentang perihal
yang tidak disukai. Daya protes pada novel Arok Dedes terungkap pada penggunaan gaya bahasa apostrof, epizeukis, silepsis, oksimoron, klimaks,
sinisme, tautologi, simile erotesis, zeugma, metafora, dan hiperbola. Daya optimisme terungkap melalui gaya bahasa apostrof, hiperbola,
polisidenton, klimak, dan sinekdok. Daya optimisme adalah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk untuk selalu memiliki harapan yang baik dalam segala
hal. Daya optimisme ini membuat seseorang akan selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Fungsi yang ke 4, yaitu komisif. Komisif ialah bentuk tutur yang berfungsi untuk mengikatkan diri penutur kepada mitra tutur terhadap tindakan
di masa yang akan datang, misalnya berjanji. Daya janji, daya sumpah, daya
ancam tergolong pada fungsi komisif karena tuturan yang dikatakan oleh penutur kepada mitra tutur secara langsung maupun tidak langsung mengikat
untuk waktu yang akan datang. Daya janji ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menyatakan
kesanggupan penutur kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu di waktu yang akan datang. Daya janji muncul karena penggunaan gaya bahasa
hiperbola, zeugma, dan polisidenton. Daya janji diucapkan penutur kepada mitra tutur untuk berjanji akan suatu hal yang harus dilaksanakan pada waktu
yang mendatang. Janji merupakan sebuah pernyataan yang mengikat tetapi terhadap sesama.
Daya sumpah terungkap melalui gaya bahasa apostrof, zeugma, dan silepsis. Daya sumpah ialah kekuatan yang dimiliki bahasa untuk menunjukkan
kesediaan dan kesanggupan untuk melakukan sesuatu tetapi di hadapan Tuhan. Daya sumpah memiliki kekuatan magi karena langsung berhubungan dengan
Sang Maha Pencipta dan menunjukkan kesungguhan hati untuk secara tulus ikhlas melaksanakannya. Daya sumpah diucapkan dihadapan mitra tutur oelh
penutur dengan menyebut nama Tuhan. Daya ancam juga terungkap melalui gaya bahasa sarkasme, apostrof,
eufemisme, metonimia, dan perifrasis. Daya ancam ialah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk memberikan ancaman kepada seseorang. Bentuk
ancaman yang terungkap dari penggunaan gaya bahasa ialah ancaman secara terang-terang dan ancaman secara halus. Bentuk ancaman secara halus atau
tersirat nampak pada penggunaan gaya bahasa eufemisme, metonimia, dan
perifrasis. Bentuk ancaman secara halus, si penutur tidak secara langsung mengancam dengan kata-kata yang jelas dan tegas. Sedangkan bentuk
ancaman secara terang-terangan muncul pada gaya bahasa apostrof dan sarkasme. Bentuk daya ancam bisa dikatakan melanggar maksim
kebijaksanaan karena tidak memberikan keuntungan kepada mitra tutur Leech, 1983 dalam Pranowo, 2009: 35.
Fungsi yang ke 5 , yaitu fungsi deklaratif. Dekalratif ialah bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. Daya deklarasi
termasuk pada fungsi deklaratif karena tuturan yang diucapakan oleh penutur kepada mitra tutur menyatakan sebuah kebenaran. Daya deklarasi muncul dari
penggunaan gaya bahasa epanalepsis, apostrof, epizeupkis, sinekdok, anafora, dan epitet. Daya deklarasi ialah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk
memberi sebuah pernyataan ringkas. Selain halnya data tuturan dialog antar tokoh, data narasipun juga
memiliki sebuah daya. Daya yang dihasilkan ada empat, y aitu 1 daya ‘jelas’
informatif, 2 daya rangsang, 3 daya simbol, 4 daya seremoni. Untuk menemukan daya yang muncul pada data narasi, peneliti menggunakan cara
dengan melihat penekanan yang ada pada tiap kalimat. Pada daya ‘jelas’ informatif terungkap melalui penggunaan gaya bahasa
klimaks, eufemisme, perifrasis, zeugma, asidenton, simile, personifikasi, hiperbola, asidenton, epistofora, erotesis, klimaks, eponim, antitesis, anafora,
metafora, paradoks, epizeukis, silepsis, apofasis, antiklimaks, alegori, antitesis, oksimoron, metonimia, sinekdok, dan polisidenton. Penggunaan gaya bahasa
yang digunakan untuk mengungkap daya jelas ditemukan dalam novel Arok Dedes lebih beragam dan lebih banyak karena menggambarkan situasi dan
kondisi dalam cerita tersebut, serta untuk mendeskripsikan bentuk benda dan ciri orang sehingga memudahkan pembaca mengimajinasikan bagaimana
situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan bagimana bentuk benda, orang yang dikisahkan dalam novel Arok Dedes.
Daya rangsang muncul pada penggunaan gaya bahasa simile, personifikasi, metafora, asonansi, hiperbola, dan klimaks. Daya rangsang yang
dimaksudkan di sini ialah daya yang mempengaruhi panca indera pembaca dan membangkitkan perasaan ketika membaca. Indera yang bekerja meliputi indera
penciuman, pendengaran, penglihatan, perabaan, dan penciuman. Daya simbol terungkap dari penggunaan gaya bahasa asidenton,
personifikasi, simile, dan apofasis. Penggunaan daya simbol pada analisis novel Arok Dedes menunjukkan pralambang adat. Sedangkan pada daya
seremoni atau upacara hadir dengan penggunaan gaya bahasa simile, klimaks, antiklimaks, epizeukis, dan apostrof. Daya seremoni di sini melambangkan
prosesi upacara keagamaan atau adat. Dari keseluruhan daya bahasa yang berhasil terungkap melalui gaya
bahasa, gaya bahasa apostrof paling bang nyak ditemukan pada setiap daya, yaitu pada daya kritik, daya ancam, daya puji, daya harap, daya nasihat, daya
perintah, daya optimisme, daya pinta, daya sumpah, daya emosi, daya kutuk, dan daya syukur. Gaya bahasa apostrof menurut Tarigan 1985:83 ialah gaya
bahasa yang isinya pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir
muncul dalam berbagai situasi. Hal ini dikarenakan latar belakang novel ini sarat dengan ajaran agama Hindu. Kepercayaan yang sangat kuat kepada dewa-
dewi yang mereka sembah seperti Hyang Wisynu, Hyang Mahadewa Syiwa, membuat para tokoh yang ada di dalam novel merasa jika dewa-dewi yang
mereka sembah selalu berada di dekat mereka. Setiap tuturan yang dituturkan oleh penutur dengan menyebut nama dewa mempunyai kekuatan tersendiri
bagi lawan tutur. Dari hasil pembahasan di atas, daya-daya yang ditemukan memiliki
efek positf dan negatif jika dipraktikkan dalam sebuah komunikasi. Daya yang mengandung efek positif dalam komunikasi ialah daya puji, daya harap, daya
nasihat, daya optimis, daya janji, daya sumpah, daya persuasi, daya deklarasi dan daya syukur. Sedangkan daya yang mengandung efek negatif jika
dipraktikan dalam sebuah komunikasi, yaitu daya kritik, daya sindir, daya cemooh, daya kutuk, daya ancam, daya provokasi, dan daya protes. Ada pula
daya yang muncul bisa menimbulkan efek positif atau negatif tergantung dari konteks yang dibicarakan antara penutur dan mitar tutur ialah daya emosi dan
daya pinta. Sesuai dengan pendapat van Peursen 1998, melalui Baryadi 2012: 17, dapat dikatakan bahwa tuturan itu seperti manusia, yaitu memiliki tubuh,
jiwa, dan roh. Tubuh tuturan adalah bentuk, jiwa tuturan adalah makna dan informasi, sedangkan roh tuturan adalah maksud. Di samping itu, tuturan juga
memiliki roh. Roh yang dimaksud adalah roh budaya, roh budaya, roh politik, roh jahat, roh halus, roh kebenaran, dan sebagainya. Karena mengandung roh,
tuturan memiliki daya sehingga mampu berperan dalam berbagai bidang dan
berbagai konteks. Dengan demikian, tuturan adalah bahasa yang tidak hanya hidup karena memiliki tubuh dan jiwa, tetapi juga berkarya karena memiliki
roh atau daya. Sesuai dengan teori fungsi komunikasi bahasa menurut Austin dan
Searle dalam Pranowo, 1996: 92, tuturan yang diucapkan para tokoh dalam novel Arok Dedes juga tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi komunikatif bahasa
yang dibagi menjadi lima, yakni 1 fungsi direktif, yaitu bahasa digunakan untuk memerintah secara halus, nampak dari tuturan “Coba katakan padaku
yang ma sih bodoh ini” yang dituturkan oleh Ken Dedes kepada Arok
memintanya untuk menjelaskan arti wanita, 2 fungsi komisif, yaitu bahasa digunakan untuk membuat janji atau penolakan untuk berbuat sesuatu, nampak
pada tuturan “Sahaya berjanji akan bersetia dan menjaga keselamatan sang Akuwu dan Paramesywari dan Tumapel.” yang diucapkan oleh Arok yang
berjanji menjada keselamatan Tunggul Ametung, Ken Dedes, dan Tumapel, 3 fungsi representasional yaitu bahasa digunakan untuk menyatakan kebenaran,
yang nampak pad a tuturan “Mati, Arok, Sang Akuwu mati.” yang diucapkan
oleh Ken Dedes dan memberi tahu jika Tunggul Ametung sudah mati, 4 fungsi deklaratif atau performatif, yaitu bahasa digunakan untuk
mendeklarasikan atau menyatakan sesuatu, misalnya “… Dia mendapat pancaran sepenuhnya dari Hyang Bathara Guru. Dia adalah orang terbaik di
antara kalian. Dia adalah titisan Hyang Wisynu, karena dialah yang memelihara kalian dari bencana Tunggul Ametung dan bala tentaranya. Dia
adalah Akuwu- mu, Akuwu Tumapel” diucapkan oleh Dang Hyang Lohgawe
di hadapan seluruh rakyat Tumapel dan menyatakan jika Arok adalah pemimpin mereka yang baru, 5 fungsi ekspresif, yaitu bahasa digunakan
untuk mengungkapkan perasaan kecewa, senang, sedih, puas, dan lain-lain secara spontan, misalny
a pada tuturan “Terkutuk dia oleh semua dewa” yang dituturkan oleh Ken Dedes yang merupakan ungkapan perasaan sangat marah.
Penggunaan gaya bahasa yang digoreskan Pramoedya dalam setiap karyanya termasuk novel Arok Dedes memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda
dengan pengarang yang lain serta memberi efek estetis pada setiap karyanya. Hal itu sejalan dengan pendapat Keraf 2010: 113 yang menyatakan gaya
bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Penggunaan gaya bahasa juga
tidak dapat lepas dari makna yang terkandung di dalamnya karena makna yang terkadung di dalam gaya bahasa memiliki kekuatan atau daya tersendiri yang
mampu menghipnotis pembacanya. Oleh karena itu, daya yang terkandung di dalam gaya bahasa merupakan kekuatan bagi sastrawan untuk menyampaikan
makna, informasi, maksud melalui fungsi komunikatif bahasa sehingga pembaca mampu menangkap segala informasi yang ingin disampaikan Yuni,
2009.
139
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemanfaatan gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam berkarya pada masing-masing gaya bahasa memiliki makna dan fungsi berbeda dalam
mendukung keberhasilan suatu karya. Manfaat gaya bahasa tersebut beragam antara lain mampu menciptakan efek estetis dalam sebuah kalimat,
memberikan efek penegasan, memberikan kekhasan atau mengikuti trend tertentu pada sebuah tulisan, memberikan penguatan pada isi cerita,
mengkonkretkan hal-hal yang bersifat abstrak, memperjelas maksud, menciptakan citraan yang nyata dalam jalinan cerita, serta membantu daya
imajinasi pembaca. Hadirnya gaya bahasa dalam sebuah novel bisa menimbulkan daya
bahasa. Daya bahasa yang muncul dari penggunaan gaya bahasa yang ada dalam novel Arok Dedes yaitu daya bahasa yang terdapat dalam novel Arok
Dedes yaitu daya bahasa yang terungkap dari data berupa kalimat meliputi daya jelas, daya rangsang, daya simbol, daya seremoni. Sedangkan, daya
bahasa yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya ancam, daya protes, daya cemooh, daya nasihat, daya saran, daya
klaim, daya deklarasi, daya sesal, daya keluh, daya pinta, daya harap, daya perintah, daya dogma, daya magi, daya provokasi, daya persuasi,daya sumpah,
daya janji. Pada dasarnya semua gaya bahasa menghasilkan daya bahasa tetapi