d.  tindak  perlokusi:    penutur  mempengaruhi  mitra  tutur  dalam cara tertentu sesuai konteks.
4. Daya Bahasa
Meminjam  istilah  Van  Peursen  1998,  melalui  Baryadi  2012:    17, dapat  dikatakan  bahwa  tuturan  itu  seperti  manusia,  yaitu  memiliki  tubuh,
jiwa, dan roh. Tubuh tuturan adalah bentuk, jiwa tuturan adalah makna dan informasi,  sedangkan  roh  tuturan  adalah  maksud.  Di  samping  itu,  tuturan
juga memiliki roh. Roh yang dimaksud adalah roh budaya, roh budaya, roh politik,  roh  jahat,  roh  halus,  roh  kebenaran,  dan  sebagainya.  Karena
mengandung  roh,  tuturan  memiliki  daya  sehingga  mampu  berperan  dalam berbagai  bidang  dan  berbagai  konteks.  Dengan  demikian,  tuturan  adalah
bahasa yang tidak hanya hidup karena memiliki tubuh dan jiwa, tetapi juga berkarya karena memiliki roh atau daya.
Perjumpaan  antara  manusia  dalam  komunikasi  dapat  menimbulkan efek positif seperti kerja sama, suasana penuh cinta kasih, kerja sama, saling
tenggang  rasa  dan  dapat  mengakibatkan  efek  negatif,  seperti  konflik psikologis  maupun  fisik  seperti  salah  paham,  bertengkar,  mengumpat,  dll.
Jika  perjumpaan  melalui  bahasa  dapat  tersampaikan  secara  santun,  maka dapat meminimalisir dampak negatif dan apabila terjadi gesekan psikologis
masing-masing  penutur  akan  mengendalikan  diri  dan  tidak  emosional sehingga  suasana  tetap  kondusif.  Munculnya  berbagai  efek  komunikatif
yang  bersifat  positif  ataupun  negatif  bukan  sekedar  karena  pemakaian
bahasa biasa melainkan disebabkan oleh kekuatan yang terkandung di dalam bahasa. Inilah yang disebut daya bahasa Pranowo, 2009:  128.
Daya  bahasa  dalam  Pranowo  2009:  128  adalah  kekuatan  yang dimiliki bahasa untuk mengefektifkan pesan yang disampaikan kepada mitra
tutur.  Penyampaian  pesan  dengan  menggunakan  daya  bahasa  dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Efektivitas komunikasi dapat bersifat
positif  maupun  negatif.  Jika  daya  bahasa  dimanfaatkan  secara  positif komunikasi  dapat  berjalan  secara  santun.  Sebaliknya,  jika  daya  bahasa
dimanfaatkan secara
negatif, komunikasi
dapat menimbulkan
ketidaksantunan. Adapun  penelitian  yang  berhubungan  dengan  daya  bahasa  yang
dilakukan oleh Quanita Fitri Yuni 2009 yang berjudul Pemanfaatan Daya Bahasa  pada  Diksi  Pidato  Politik.  Tujuan  dari  penelitian  ini  adalah
memaparkan  jenis-jenis,  manfaat,  dan  ciri-ciri  jenis  daya  bahasa  dari  segi diksi  sebagai  alat  untuk  menyampaikan  ide  atau  gagasan  dalam  berpidato
politik, memaparkan jenis  daya bahasa  yang ditemukan pada pidato politik ketiga  politisi,  dan  mendeskripsikan  ciri-ciri  diksi  yang  berdaya  bahasa.
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan secara  sistematis  fakta-fakta  berupa  daya  bahasa  dalam  pidato  para  tokoh
politik Megawati S.P., Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid. Hasil  penelitian  ini  adalah  ditemukannya  daya  bahasa  dalam  pidato
politik ketiga politisi, jenis daya bahasa  yang ditemukan,  yaitu daya bujuk, daya kritik meliputi daya kritik destruktif, daya kritik konstruktif, dan kritik
gempur,  daya  egosentrisme  meliputi  egosentrisme  membela  diri  dan menonjolkan  diri,  daya  ‘jelas’  informatif,  daya  bangkit  bagi  diri  sendiri
maupun  orang  lain,  daya  perintah  meliputi  perintah  larangan,  bersyarat, permintaan,  dan  ajakan,  dan  daya  provokasi  secara  eksplisit  maupun
implisit.  Selain  itu,  memanfaatkan  daya  bahasa  dapat  membantu mengungkapkan maksud yang terkadang tak dapat dikatakan.
Ada  pula  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Baryadi  2012:  28  dalam bukunya  yang  berjudul  Bahasa,  Kekuasaan,  dan  Kekerasan.  Dalam
penelitian  tersebut  meneliti  tentang  aspek-aspek  bahasa  yang  dapat dimanfaatkan  sebagai  sarana  untuk  mewujudkan  kekuasaan  antara  lain
adalah  unsur  bahasa,  ragam  bahasa,  tindak  tutur,  dan  gaya  bahasa.  Dalam pembahasan  ini  hanya  akan  dipaparkan  mengenai  representasi  kekuasaan
dalam  gaya  bahasa.  Gaya  bahasa  yang  dimanfaatkan  untuk  mewujudkan salah  satu  aspek  kekuasaan,  yaitu  membangun  kekuasaan.  Empat  gaya
bahasa  yang pernah dibahas oleh Baryadi 2005: 21-22, yaitu gaya bahasa orientasi  dua  nilai,  gaya  bahasa  eufemisme,  gaya  bahasa  hiperbola,  gaya
bahasa represif. Misalnya, pada penggunaan gaya bahasa eufemisme adalah gaya  bahasa  penghalusan  atau  gaya  yang  melembutkan  sesuatu  yang  kasar
atau jelek. Dalam hal ini ungkapan yang halus atau lembut digunakan untuk menutupi  hal  yang  sebenarnya  kasar.  Sebagai  contoh  kenyataan  yang
sebenarnya  adalah  “ditangkap”  atau  “dipenjarakan”,  tetapi  diungkapkan dengan  kata  “diamankan”.  Contoh  lainnya  adalah  penduduk  suatu  daerah
kelaparan  tetapi  hanya  dikatakan  “kekurangan  gizi”.  Gaya  eufemisme  ini,
terutama,  untuk  menyembunyikan  kesalahan  atau  ketidakmampuan penguasa  atau  menyembunyikan  keadaan  jelek  yang  tidak  terjangkau  atau
tidak mampu ditangani oleh penguasa. Daya bahasa adalah kadar kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk
menyampaikan  makna,  informasi,  atau  maksud  melalui  fungsi  komunikatif sehingga  pendengar  atau  pembaca  mampu  memahami  dan  menangkap
segala  makna,  informasi,  atau  maksud  yang  disampaikan  penutur  atau penulis  Quanita  Fitri  Yuni,  2009.  Penggunaan  bahasa  dalam
berkomunikasi  adalah  menyampaikan  pesan  berupa  menyampaikan informasi,
menolak, membujuk,
mengkritik, memberi
tanggapan, menyindir,  negosiasi,  membantah,  dll.  Oleh  karena  itu,  agar  pesan  dapat
disampaikan  secara  efektif,  penulis  dapat  memanfaatkan  daya  bahasa seefektif mungkin. Namun, penggunaan daya bahasa tidaklah mudah, daya
bahasa  hanya  dapat  muncul  jika  pemakainya  dapat  menggali  dan memanfaatkan dalam konteks pemakaian secara tepat.
Sudaryanto 1989, dalam Pranowo, 2009: 132 telah menggali daya bahasa  dari  aspek  linguistik.  Hasilnya,  hampir  seluruh  tataran  bahasa
mampu    memunculkan  daya  bahasa.  Daya  bahasa  secara  linguistik,  dapat diidentifikasi  melalui  berbagai  aspek  kebahasaan,  ,  yaitu  1  tataran  bunyi
pada  tataran  bunyi,  bunyi  bahasa  dapat  menunjukkan  daya  bahasa  yang berbeda-beda. Kata  yang  mengandung bunyi o mengandung daya bahasa
yang  berkadar  makna  kata  relatif  besar,  seperti  kata  dalam  bahasa  Jawa pothol,  ambrol,  mbrojol,dsb.,  2  bentuk  kata  meliputi  kata  berafiks,  kata
majemuk, dan sinonim kata. Kata yang tidak berafiks kadang memiliki daya bahasa  yang  kuat,  contohnya  kata  “babat”  lebih  kuat  daya  bahasanya
dibandingkan  kata “membabat”  dalam  konteks  kalimat  “Perambah  hutan
itu  babat habis  semua  pohon  yang  berdiameter  10  cm  ke  atas”.  Daya
bahasa  yang digali melalui sinonim kata juga memiliki daya  yang berbeda, seperti kata ‘mantan’ dan ‘bekas’. Kata mantan memiliki daya bahasa yang
bersifat  netral,  sedangkan  kata  bekas  memiliki  daya  bahasa  yang  negatif karena  cenderung  merendahkan  seseorang.  Misalnya,  seorang  dosen  sudah
berhenti  dari  mengajar,  orang  akan  menyebutnya  mantan  dosen  karena status  sosialnya  lebih  tinggi,  sedangkan  tanpa  dosa  dan  tanpa  beban  kita
dapat  dengan  mudah  menyebut  bekas  tukang  sampah,  bekas  becak,  bekas maling  karena  status  sosialnya  rendah,  3  struktur  kalimat  atau  tuturan
daya  bahasa  memiliki  kadar  pesan  yang  berbeda  antara  struktur  kalimat satu dengan struktur kalimat yang lain. Perhatikan contoh berikut ini.
a. Aku memberi sepotong kue untuk pengemis yang kelaparan.
b. Sepotong kue aku berikan untuk pengemis yang kelaparan.
Daya  bahasa  pada  kalimat  di  atas  terletak  pada  penempatan  klausa pada awal kalimat. Kalimat a dengan menempatkan klausa “aku memberi”
memiliki  daya  bahasa  yang  berbeda  dengan  struktur  kalimat  b  yang menempatkan  frasa
“sepotong  kue”  pada  awal  kalimat.  Kalimat  a  daya bahasa  muncul  pada  kata  “pemberian”,  kalimat  b  muncul  pada  frasa
“sepotong kue”, 4 leksikon, 5 pemakaian majas daya bahasa juga dapat diungkapkan melalui penggunaan majas, contohnya.
c. Tunggul  Ametung  bermandi  keringat,  meringis  dan
merongos,  mengerutkan  gigi  dan  kening,  dan  kemudian jatuh pingsan. Arok Dedes, 2006: 156
d. Angin  meniup  dan  kainnya  tersingkap  memperlihatkan
pahanya yang seperti pualam. Arok Dedes, 2006: 330 Contoh  a  daya  jelas  yang  muncul  karena  pemakaian  gaya  bahasa
klimaks pada  kata  “bermandi  keringat,  meringis  dan  merongos,
mengerutkan  gigi  dan  kening,  dan  kemudian  jatuh  pingsan. ”  yang
menggambarkan runtutan kronologis yang ekspresi yang dirasakan Tunggul Ametung  ketika  Dalung  mengobati  Akuwu  karena  kakinya  patah.  Contoh
b daya jelas muncul karena gaya bahasa simile dengan menggunakan kata “seperti” yang menggambarkan pengarang mencoba menggambarkan paha
Ken Dedes seperti batu pualam putih, bersih, dan halus., 6 wacana daya bahasa  pada  wacana  muncul  ketika  kesatuan  makna  mengungkapkan
kesatuan pesan. Pesan yang terungkap dari kesatuan makna tersebut muncul dalam bentuk wacana. Perhatikan kutipan di bawah ini.
e. Yen  isih  gelem  apik  karo  aku,  mbok  coba  kowe  ameng-
ameng  nyang  ngomahe  diajak  omong-omong  kanthi  alus. Nek  pancen  isih  angel  coba  amang-amangen  ben  duwe
rasa  wedi.  Dene  nek  wis  disabarke  nganggo  cara  ngono isih  tetep  mbeguguk,  kondhoa  nek  aku  ngamuk  bisa  tak
tumpes kelor. Pranowo, 2009: 137
Wacana  di  atas  memiliki  daya  yang  sangat  kuat  untuk menyampaikan  pesan.  Wacana  di  atas  dengan  pilihan  kata  yang  tepat  di
setiap  kalimatnya,  seperti  “ameng-ameng”,  disusul  “omong-omong”, “amang-amang ”, dan “ngamuk ” memiliki daya bahasa yang sangat kuat
bagi  pendengarnya.  Daya  bahasa  muncul  karena  perbedaan  vokal  dalam setiap  kata.  Lebih  terasa  kuat  lagi  ketika  masing-masing  kata  memiliki
makna  yang  berbeda  dan  memperlihatkan  gradasi  dari  kata  yang  sangat biasa ke kata yang memiliki afeksi yang sangat kuat, yaitu ngamuk.
Secara  pragmatik,  daya  bahasa  dapat  diidentifikasi  melalui pemakaian bahasa yang sengaja dikonstruk oleh penutur atau penulis untuk
tujuan  tertentu  seperti  praanggapan,  tindak  tutur,  dieksis,  dan  implikatur Pranowo, 2008 dalam Quanita Fitri Yuni, 2009 selain itu juga bisa digali
melalui  maksim-maksim  kesantunan  berbahasa  Leech  1983  dalam Pranowo,  2009:  141.  Dari  aspek  nonlinguistik,  daya  bahasa  dapat  digali
berupa  nilai-nilai  budaya  suatu  bangsa  yang  diyakini  sebagai  nilai  luhur, seperti  nilai  rendah  hati,  mampu  menjaga  perasaan  mitra  tutur,  hormat
kepada orang lain, dsb. Dalam praktiknya, kekuasaan lewat bahasa tidak hanya terjadi dalam
ruang  publik  saja,  tetapi  dalam  lingkup  keluarga,  misalnya  cara  orang  tua berbicara  kepada  anak  menunjukkan  secara  jelas  hubungan  kekuasaan
antara  orang  tua  dengan  anak.  Cara  orang  tua  berbicara  kepada  anak menciptakan  dinamika  kekuasaan  di  antara  mereka  sehingga  menguatkan
perbedaan  kekuasaan  lain  dan  anak  akan  patuh  dan  nurut  melaksanakan semua perintah orang tua.
Kekuatan atau daya yang dibuat oleh bahasa juga dimanfaatkan oleh kelompok sosial yang dominan, hal ini terjadi karena orang dalam kelompok
sosial  itu  memegang  kendali  terhadap  dunia  politik  dan  hukum  serta memiliki  perusahaan  media  berskala  internasional  atau  yang  memiliki
pengaruh  besar  lainnya.  Sering  kita  melihat  iklan  yang  mengasumsikan
sejumlah nilai tertentu yang menurut kita adalah mengandung nilai negatif, misalnya seperti iklan kondom, tetapi produk yang diiklankan sukses terjual
di seluruh dunia Wearing, 2007. Dalam  buku  Kuasa  Kata:  Jelajah  Budaya-Budaya  Politik  di
Indonesia  Language  and  Power  pada  salah  satu  artikel  hasil  penelitian Anderson  1990:  298,  dikatakan  fungsi  publik  utama  bahasa  Indonesia
terletak  pada  dalam  perannya  sebagai  bahasa  pemersatu.  Pada  masa pendudukan Jepang, bahasa Indonesia secara formal menjadi bahasa negara
untuk diajarkan di sekolah-sekolah dan di kantor digunakan sebagai bahasa resmi.  Selama  revolusi  1945-1949  bahasa  Indonesia  berfungsi  sebagai
bahasa  perlawanan  untuk  menolak  kehadiran  Belanda  dan  juga  bahasa pengharapan  akan  masa  depan.  Revolusi  juga  mempercepat  pengisian
bahasa  Indonesia  dengan  kata-kata  yang  menggetarkan  secara  emosional yang  memberikan  identitas  kultural  dan  aura  pada  suatu  bangsa,  dan
mengekspresikan  pengalaman  paling  penting.  Kata-kata  seperti  rakyat, merdeka,  perjuangan,  pergerakan,  semangat,  merdeka,  dan  revolusi
semuanya  tumbuh  pada  saat  kesadaran  terdalam  sebagai  ungkapan solidaritas dan enterprise baru yang penuh harapan. Hampir semua kata-kata
yang  mengandung  makna  perjuangan,  kekerasan  fisik  revolusi,  yang memiliki  makna  heroik  politis,  hidup  dan  dan  bergetar  karena  bagian  dari
kenangan  historis  generasi  yang  masih  hidup  yang  terbentuk  dalam pengalaman terpenting kehidupan Indonesia modern.
Bahasa  Indonesia  tidak  melulu  mendapat  kosakata  baru  sehingga kata-
kata  tua  yang  mendapat  makna  “jahat”  menjadi  kebalikannya  yang mencerminkan  transisi  dari  tahun  revolusi  penuh  harapan  ke  tahun-tahun
keras  yang  mengikutinya.  Contoh  yang  paling  terkenal  dari  pembalikan tersebut  adalah  penggunaan  kata  “bung”  saudara.  Selama  revolusi,  kata
tersebut  mengekspresikan rasa persaudaraan sejati perjuangan nasional  dan bebas  dipakai  oleh  semua  aktivis  perjuangan.  Kini,  dengan  pengecualian
segelintir  tokoh  nasional  seperti  Sukarno,  Hatta,  dan  Sutomo  dalam  kasus mereka  bung  ditulis  Bung  bisa  dikatakan  tak  satu  orang  pentingpun  yang
disebut  dengan  cara  itu.  Sementara  Bung  ditempatkan  di  atas  dan  sebagai sebutan kehormatan, bung didudukkan semakin rendah dan umumnya sudah
pasti  diterapkan  sebagai  sebutan  rendahan  untuk  memanggil  tukang  becak, pelayan, pedagang rokok asongan pinggir jalan.
Dalam  wadah  panik  peleburan  metropolitan  Jakarta,  bahasa Indonesia  berkembang  dan  menunjukkan  kreativitasnya  selama  bertahun-
tahun  pasca  revolusi.  Tenaga  perkembangan  ini  berasal  dari  kelimpahan orang  mencari  peruntungan  di  Jawa  tetapi  juga  membanjiri  ibukota  tempat
yang  begitu  banyak  kekuasaan  dan  kekayaan  terhimpun.  Bahasa  Indonesia kontemporer  juga  mencerminkan  keunikan  kepribadian  Jakarta,  rasa
solidaritasnya dalam berhadapan dengan daerah, karakter kehidupan sehari- harinya  yang  brutal,  komersial,  berorientasi  pada  kekuasaan  dan  sinis.
Aspek  yang  paling  menonjol  dari  pengaruh  Jakarta  terhadap  Indonesia adalah pinjaman-pinjaman dari bahasa Jakarta. Bahasa Jakarta atau Betawi
dianggap  bahasa  kasar,  bahasa  urban  kelas  rendah.  Namun,  dalam perjalanan  sejarahnya,  bahasa  yang  terbelakang  ini  menjadi  bahasa  yang
“in” dan populer di kalangan elite muda Jakarta, politisi, wartawan, pelajar. Kepopulerannya berasal dari karakternya yang intim, hidup dan bebas, sinis,
yang  menjadi  tandingan  memuaskan  berhadapan  dengan  bahasa  Indonesia formal
dan resmi
dalam komunikasi
publik. Bahasa
Jakarta mengekspresikan  kegentingan,  kegairahan,  humor,  dan  kekasaran  Jakarta
pasca  revolusi  yang  tidak  dapat  dilakukan  bahasa  lain.  Misalnya,  pada Koran metropolitan pada kolom pojok. Pojok adalah tulisan yang menggigit,
komentar  anonim  atau  menggambarkan  situasi  politik  ekonomi  secara umum  yang  mengacu  kepada  peristiwa  yang  menjadi  rahasia  umum,
contohnya  Hasilnye  ade  juga.  Ikan  gede  ketangkap.  Alhamdullilah  Dari ungkapan  di  atas  pembaca  akan  tanggap  bahwa  seorang  tokoh  politik
penting  telah  ditangkap  karena  korupsi  meskipun  kasusnya  tidak  pernah dipublikasikan.
Dengan  begitu  dapat  disimpulkan,  daya  bahasa  yang  ditampilkan antara  bahasa  Indonesia  dengan  bahasa  Jakarta  memiliki  kekuatan  yang
kontras.  Di mana bagian ketika menggunakan bahasa  Indonesia tampil sok tinggi, serius, dan mengkotbahi, berisi wejangan presiden, menteri, jenderal,
atau editornya. Semua diarahkan pada hierarki sosial-politik dari yang besar kepada yang kecil, dari pemimpin atau tokoh kepada rakyat, wong cilik, atau
massa.  Berbeda  dengan  bahasa  Jakarta  atau  Betawi,  memiliki  daya  bahasa yang terkesan jahil, demokratis, jenaka, akrab.
Berkaitan dengan
daya bahasa,
sebenarnya setiap
orang berkomunikasi  dapat  menggali  dan  memanfaatkan  daya  bahasa.  Daya
bahasa  dapat  berguna  untuk  a  meningkatkan  efek  komunikasi,  b mengurangi  kesenjangan  antara  apa  yang  dipikirkan  dengan  apa  yang
diungkapkan, c memperindah pemakaian bahasa, dsb. Dalam  konteks  kesantunan  berbahasa,  daya  bahasa  yang  bernada
negatif  hendaknya  hendaknya  tidak  digali  semaksimal  mungkin  agar  tidak melukai  hati  mitra  tutur.  Sebaliknya,  daya  bahasa  bahasa  yang  bernada
positif  hendaknya  digali  semaksimal  mungkin  agar  menjadikan  tuturan semakin  santun.  Dengan  demikian,  daya  bahasa  hanya  akan  muncul  jika
pemakainya  dapat  menggali  dan  memanfaatkan  dalam  konteks  pemakaian secara tepat.
Banyak  orang  mampu  berbahasa  Indonesia,  namun  ketika berkomunikasi  kadang-
kadang  “apa  yang  dikatakan  atau  dituliskan”  jauh lebih sedikit daripada ”apa yang dipikirkan”. Kadang-kadang apa yang akan
dikatakan  berbeda  dengan  “apa  yang  ingin  dikomunikasikan”  Levison, 1985 dalam Pranowo, 2009: 131.  Daya bahasa merupakan salah satu cara
untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan” dengan “apa yang  diungkapkan”  dalam  berkomunikasi.  Namun,  kadang-kadang  ketika
seseorang telah mahir menggunakan daya bahasa, ketika berkomunikasi apa yang dikatakan belum tentu sama dengan apa yang dikomunikasikan karena
apa  yang  dikomunikasikan  sering  “disembunyikan”  di  balik  apa  yang
dikatakan  untuk  menjaga  kesopanan  Grice,  1987  dalam  Pranowo,  2009: 131.
5. Gaya Bahasa