tuturan tersebut ialah kutukan yang dilontarkan Dedes semuanya sama seperti para brahmana yang mengutuk Tunggul Ametung. Daya klaim
muncul karena  apa  yang dituturkan Tunggul  Ametung  adalah sebuah kebenaran yaitu para brahmana sering mengutukinya.
Daya  klaim  seperti  yang  telah  diuraikan  di  atas  kekuatan bahasa  yang  muncul  dari  penggunaan  gaya  bahasa  simile  yang
mengandung  pesan  jika  penutur  berhak  untuk  menyatakan  dirinya diklaim  karena  apa  yang  dikatakan  penutur  kepada  mitra  tutur
berdasarkan  fakta  yang  ada.  Tampak  seperti  pada  tuturan “Ayolah,
kutuk  aku,  seperti  semua  brahmana  mengutuk  semua  orang  di  luar kastanya.  …”  Tuturan  tersebut  secara  langsung  menyatakan  kepada
mitra  tutur  jika  penutur  sudah  sering  dikutuk  oleh  banyak  orang termasuk kaum brahmana.
j. Daya Deklarasi
Deklarasi, menurut KBBIoffline adalah pernyataan ringkas dan jela
s
.  Di  dalam  deklarasi  terdapat  pernyataan  tentang  fakta  yang mengubah suata keadaan atau fakta lain dan diakui di khalayak ramai.
Dalam  novel  Arok  Dedes  karya  Pramoedya,  juga  ditemukan  daya bahasa deklarasi yang dilakukan dalam berbagai macam gaya bahasa.
I.21 “Dewa Sang Akuwu sekarang juga dewamu.” 8
Konteks:
Dituturkan  oleh  Yang  Suci  Belakangka  ketika  memimpin upacara pernikahan.
IV.1 “Dengan namamu yang baru, Arok, Sang Pembangun, kau
adalah garuda harapan kaum brahmana.” 165
Konteks: Dituturkan oleh Dang Hyang Lohgawe saat upacara pemberian
nama.
Pada  tuturan  I.21  menggunakan  gaya  bahasa  epanalepsis yaitu  pengulangan  kata  yang  sama  pada  awal  dan  akhir  baris  yang
ditunjukkan  pada  kata  dewa.  Maksud  yang  terkandung  dari  ujaran tersebut  ialah  Belakangka  menegaskan  jika  dewa  yang  dianut  oleh
Tunggul  Ametung  juga  dewanya.  Termasuk  daya  dekalarasi  karena memberikan  pernyataan  ringan  bahwa  dewa  akuwu  juga  menjadi
dewa Ken Dedes juga. Pada  tuturan  IV.1  menggunakan  gaya  bahasa  epitet
ditunjukkan  dengan  kata  Sang  Pembangun.  Sang  Pembangun  ialah Arok sendiri. Maksud yang terkandung pada tuturan IV.1 ialah Arok
dinobatkan  oleh  Lohgawe  dengan  simbol  Sang  Pembangun  yang artinya  pembangun  kembali  Hyang  Mahadewa  Syiwa  bagi  kaum
brahmana. Daya deklarasi seperti yang sudah diungkapkan di atas adalah
kekuatan  bahasa  yang  terungkap  melalui  gaya  bahasa  epanalepsis yang mengandung pesan menyatakan sesuatu secara jelas dan singkat,
yang  nampak  pada  tuturan “Dewa  Sang  Akuwu  sekarang  juga
dewamu.”  Tuturan  tersebut  secara  langsung  memberikan  pernyataan kecil kepada mitra tutur tentang sebuah penegasan terhadap suatu hal.
k. Daya Sesal
Sesal  menurut  KBBIoffline  adalah  perasaan  tidak  senang susah,  kecewa,  dsb  karena  telah  berbuat  kurang  baik  dosa,
kesalahan,  dsb.  Kurang  baik  yang  dimaksudkan  di  sini  relatif terhadap  obyek  mitra  tutur.  Dalam  novel  Arok  Dedes  karya
Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa sesal yang ditunjukan dalam berbagai gaya bahasa.
II.6 “Ya, Bapa Mahaguru, sahaya telah menimbulkan prihatin
Bapa  mahaguru  Lohgawe  sesuatu  yang  semestinya  tidak terjadi, dan tidak perlu terjadi.” 61
Konteks:
Dituturkan Temu
kepada Lohgawe
ketika menjawab
pertanyaan dari gurunya. IV.14
“…  Ampuni  kami,  ya,  Mahadewa,  keagungan  Prambanan tidak mampu menolak pengaruh sesat itu. …” 176
Konteks:
Dituturkan  oleh  Lohgawe  ketika  mengetahui  di  depan  ada upacara Maithuna.
V.37 “Betapa dungu aku telah kawini perempuan sial ini.” 248
Konteks: Dituturkan oleh Tunggul Ametung ketika ia berbincang dengan
suaminya di kebun buah.
VII.46 “Ampun,  Yang  Mulia  Ayahanda,  sejengkalpun  dari
Tumapel tidak seyogianya gumpil.” 365 Konteks:
Dituturkan  oleh  Putra  termuda  Tunggul  Ametung  ketika dipanggil  menghadap  dan  membahas  tentang  wilayah
kekuasaan Tumapel.
IX.3 “Sekiranya  rencana  pribadi  terkutuk  itu  sudah  saya
ketahui  sebelumny a.  …  Semua  rencana  kita  gagal  dalam
tangan  tuan.  Tuan  terusir  dari  pekuwuan  seperti  bukan keturunan satria. …” 441
Konteks:
Dituturkan  oleh  Kebo  Ijo  saat  mengunjungi  kediaman  Empu Gandring membahas pasukan Kebo Ijo yang ditahan Arok.
X.34 “Mati, Arok, Sang Akuwu mati,” tangis Dedes. 525
Konteks:
Dituturkan  oleh  Ken  Dedes  yang  menyadari  jika  suaminya telah mati.
Gaya  bahasa  yang  terdapat  pada  II.6  adalah  epizeukis. Epizeukis  adalah  gaya  bahasa  berupa  pengulangan  pada  kata-kata
yang  dianggap  penting.  Pada  data  II.16  pengulangan  terjadi  pada kata tidak terjadi. Maksud dari tuturan tersebut ialah sikap yang telah
dilakukan Arok membuat gurunya, Lohgawe menjadi sedih hati. Daya sesal muncul karena Arok telah membuat gurunya bersedih hati.
Pada  data  IV14  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof  yang ditunjukkan pada kata Mahadewa. Maksud dari dari data IV.14 ialah
ungkapan  permohonan  ampun  Lohgawe  kepada  Mahadewa  karena keagungan  Prambanan  tidak  mampu  menolak  pengaruh  sesat.  Daya
sesal  muncul  karena  Lohgawe  dan  seluruh  kaum  brahmana  tidak mampu  berkutik  saat  keagungan  Prambanan  tidak  mampu  menolak
pengaruh sesat dari aliran Budha.
Pada  data  V.37  menggunakan  gaya  bahasa  sarkasme  mucul yang  ditunjukkan  dengan  kalimat  “…perempuan  sial  ini.”  Maksud
dari tuturan V.37 ialah setelah menjadi istri Tunggul Ametung, Ken Dedes  menjadi  perempuan  pembawa  petaka,  bukan  keberuntungan.
Daya  sesal  muncul  karena  Tunggul  Ametung  telah  menikahi  Ken Dedes.
Pada  data  VII.46  menggunakan  gaya  bahasa  hiperbola  yang nampak  pada  sejengkalpun.  Maksud  dari  tuturan  VII.46  wilayah
Tumapel  sudah  berkurang.  Daya  sesal  muncul  karena  menurut  Putra termuda Tunggul Ametung pecahnya Tumapel tidak perlu terjadi dan
seharusnya ia mampu mempertahankan wilayah tersebut. Pada  data  IX.3  menggunakan  gaya  bahasa  simile  yang
karena ada kata pembanding seperti. Maksud dari tuturan IX.3 ialah Kebo Ijo terusir dari pekuwuan dengan tidak hormat seperti layaknya
keturunan  satria.  Daya  sesal  muncul  karena  Kebo  Ijo  melakukan kesalahan  dan  membuat  Empu  Gandring  kecewa  sehingga  rencana
yang sudah mereka susun gagal total.
Pada data X.34 menggunakan gaya bahasa epanalepsis  yaitu pengulangan  kata  mati  pada  awal  dan  akhir  kalimat.  Maksud  dari
tuturan X.34 ialah memberi penegasan jika Tunggul Ametung sudah mati.  Daya  sesal  muncul  karena  Tunggul  Ametung  mati  karena
dibunuh oleh Kebo Ijo. Daya sesal seperti yang sudah diuraikan di atas ialah kekuatan
bahasa  yang  mengandung  pesan  pengungkapan  hati  penutur  kepada mitra tutur atas kejadian yang telah terjadi dan terungkap melalui gaya
bahasa epizeukis yang nampak pada tuturan “Mati, Arok, Sang Akuwu
mati,”Tuturan  tersebut  secara  langsung  menunjukkan  rasa  sesal penutur kepada mitra tutur atas peristiwa yang telah terjadi.
l. Daya Keluh