Konteks  situasi  tuturan  menunjuk  pada  aneka  macam  kemungkinan latar  belakang  pengetahuan  background  knowledge  yang  muncul  dan
dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun mitra tutur, serta aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi
hadirnya  sebuah  tuturan.  Maka  dengan  mendasarkan  pada  gagasan  Leech tersebut,  Wijana  1996  dengan  tegas  menyatakan  bahwa  konteks  yang
semacam  itu  dapat  disebut  juga  konteks  situasi  pertuturan  speech situasional context Rahardi, 2003: 18.
Pemaparan  berikutnya  terkait  konteks,  dipaparkan  secara  lebih mendalam  oleh  Leech  1983.  Leech  menyebut  konteks  tuturan  dengan
sebutan  aspek-aspek  situasi  ujar.  Berikut  pemaparan  Leech  1993:19 mengenai aspek-aspek situasi ujar yang meliputi lima hal.
2.1 Penutur dan Lawan Tutur
Leech  memberikan  simbol  bahwa  orang  yang  menyapa  atau ‘penutur’  dengan  n  dan  orang  yang  disapa  atau  ‘petutur’  dengan  t.
Simbol- simbol  ini  merupakan  singkatan  untuk  ‘penuturpenulis’  dan
‘petuturpembaca’.  Jadi,  penggunaan  n  dan  t  tidak  membatasi pragmatik  pada  bahasa  lisan  saja,  melainkan  juga  dapat  mencakup
ragam  bahasa  tulis.  Wijana  melalui  Rahardi,  2007:  19  menekankan bahwa  aspek-aspek  yang  mesti  dicermati  pada  diri  penutur  maupun
mitra  tutur  di  antaranya  ialah  jenis  kelamin,  umur,  daerah  asal,  dan latar  belakang  keluarga  serta  latar  belakang  sosial-budaya  lainnya
yang  dimungkinkan  akan  menjadi  penentu  hadirnya  makna  sebuah pertuturan.
Aspek  situasi  ujar  yang  dipaparkan  Leech  1983  mengenai penutur  dan  lawan  tutur  sejalan  dengan  pendapat  Verschueren  yang
disebut  dengan  ‘speaker’  and  hearer’  atau  ada  yang  menyebutnya ‘speaker  and  interlocutor’,  atau  dalam  istilah  Verschueren  dalam
Kunjana  1998  disebutkan  ‘utterer  and  interpreter’,  akan  sangat berdekatan  pula  dengan  dimensi  usia,  jenis  kelamin,  latar  belakang
pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi,  dan  juga  latar  belakang  fisik,  psikis  atau  mentalnya,  atau
yang  juga  diistilahkan  dalam  Verschueren  1998  sebagai  ‘physical world’, ‘social world’, dan ‘mental world’. Selain hadirnya ‘penutur’
dan  ‘mitra  tutur’  atau  ‘lawan  tutur’  dalam  aspek  konteks, sesungguhnya  masih  dimungkinkan  hadirnya  sebuah  pertuturan  itu
bisa lebih dari semuanya itu. Selanjutnya  Verschueren  1998:  85  menggambarkan  secara
skematik  sebagai  ‘interpreter’,  atau  yang  banyak  dipahami  sebagai ‘hearer’ atau ‘interlocutor’ atau ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’. Dalam
pandangannya,  ‘hearer’  atau  ‘interlocutor’  masih  dapat  dibedakan menjadi  ‘interpreter’  yang  berperan  sebagai  ‘participant’  dan  ‘non-
participant’.  Selanjutnya  ‘participant’  dalam  pandangan  Verschueren dibedakan menjadi ‘adressee’ dan ‘side-participant’, sedangkan untuk
‘non-participant’  masih  dapat  dibedakan  menjadi  ‘bystander’,  yakni
orang  yang  semata-mata  hadir,  dan  tidak  mengambil  peran  apapun, dan  yang  terakhir  sebagai  ‘overhearer’.  Peran  ‘overhearer’  masih
dapat dibedakan lagi menjadi ‘listener-in’ dan‘eavesdropper’. Dengan demikian,  apabila  semuanya  itu  diperhitungkan  sebagai  salah  satu
dimensi  dalam  konteks  situasi,  tentu  saja  dimensi  ‘hearer’  itu  akan menjadi  kompleks  karena  jatidiri  ‘hearer’  sesungguhnya  tidaklah
sesederhana  yang  selama  ini  banyak  dipahami  oleh  sejumlah kalangan.
Lebih lanjut dijelaskan di dalam Verschueren 1998: 76 bahwa bagi sebuah pesan message, untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’
I dari seorang ‘utterer’ U, selain akan ditentukan oleh keberadaan konteks  linguistiknya  linguistic  context,  juga  oleh  konteks  dalam
pengertian  yang  sangat  luas,  yang  mencakup  latar  belakang  fisik tuturan  physical  world  of  the  utterance,  latar  belakang  sosial  dari
tuturan  social  world  of  the  utterance,  dan  latar  belakang  mental penuturnya  mental  world  of  the  utterance.  Jadi  setidaknya,
Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam  memahami  makna  sebuah  tuturan.  Berikut  akan  dijelaskan
secara lebih rinci.
2.2 Konteks Sebuah Tuturan