Tuturan tersebut secara langsung mengancam mitra tutur agar mengakui kesalahannya dan berkata jujur.
e. Daya Protes
Protes, menurut KBBIoffline adalah pernyataan tidak menyetujui, menentang. Untuk mengungkapkan rasa protes banyak
cara yang bisa dilakukan baik secara individual maupun kelompok, misalnya mogok makan, demo, membakar ban, dll. Dalam novel Arok
Dedes karya Pramoedya, juga ditemukan daya bahasa protes yang dilakukan oleh individual maupun kelompok.
II.16 “… Juga sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para
brahmana siapa saja yang pernah saya temui, hanya mengecam-ngecam,
menyumpahi, dan
mengutuk. Tak
seorangpun berniat menghadap Sri Baginda Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya...” 66
Konteks: Dituturkan oleh Temu ketika membahas Sri Baginda Erlangga.
IV.13 “Husy. Tak aku benarkan kau ulangi pendapat busuk
seperti itu. Salah. Keliru. Tidak benar. Menyesatkan.” 175
Konteks: Dituturkan oleh Lohgawe yang melarang Arok untuk tidak
berpendapat mengenai Maithuna upacara persetubuhan untuk memuja kesuburan.
IV.38 “Makin lama makin banyak rontal menyesap ajaran lain
dan mendirikan dewa-dewa baru dari kaum Buddha, seakan titiah ini sengaja hendak dicairkan jadi bubur, campur aduk
tidak menentu.” 186
Konteks: Dituturkan seorang brahmana dari mataram, Resi Andaru,
menyoroti kemerosotan
penyembahan kepada
Hyang Mahadewa.
Gaya bahasa klimaks ada pada data II.17 ditunjukkan dengan kelompok kalimat mengecam-ngecam, menyumpahi, dan mengutuk
karena kepentingannya makin meningkat. Maksud dari data II.17 ialah sikap kaum brahmana yang hanya berani mengecam,
menyumpahi, mengutuk selama pemerintahan Sri Erlangga. Daya protes muncul dari Arok karena sikap kaum brahmana yang seperti
katak dalam tempurung, tak berani menunjukkan pendapatnya. Gaya bahasa tautologi berupa pengulangan kata yang sama
secara berturut-turut ada pada data IV.13 nampak pada kalimat Tak aku benarkan kau ulangi pendapat busuk seperti itu. Salah. Keliru.
Tidak benar. Maksud dari tuturan IV.13 ialah pendapat yang dikemukakan Arok pada intinya adalah salah. Daya protes muncul
karena Lohgawe tidak suka terhadap pendapat Arok mengenai maithuna.
Gaya bahasa simile ada pada data IV.38 nampak pada kalimat kaum Buddha, seakan titiah ini sengaja yang dihubungkan
dengan konjungsi seperti. Maksud dari tuturan IV.38 ialah kaum Budha yang mendirikan dewa baru dari ajaran lain seolah seolah
ajaran tersebut campur aduk. Daya protes muncul karena Resi Andaru menunjukkan rasa tidak suka banyak rontal yang salah ajarannya.
Daya protes seperti yang telah dipaparkan di atas adalah kekuaatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa klimaks yang
mengandung pesan rasa protes penutur kepada mitra tutur atas suatu
hal yang kurang mengenakkan. Nampak pada kalimat “… Juga
sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para brahmana siapa saja yang pernah saya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpahi, dan
mengutuk. Tak seorangpun berniat menghadap Sri Baginda Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya...” maksud dari tuturan
tersebut ialah secara langsung penutur menyampaikan pendapatnya kepada mitra tutur tentang hal yang tidak ia sukai. Tuturan tersebut
secara langsung memprotes mitra tutur oleh penutur karena suatu hal yang kurang berkenan.
f. Daya Cemooh