Daya ‘Jelas’ Informasi, Daya Rangsang, Daya Simbol, Daya

Berikut akan dipaparkan masing-masing daya yang terungkap melalui gaya bahasa.

B. Analisis Data

Berikut peneliti sajikan analisis data bagaimana penggunaan daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

1. Deskripsi Gaya Bahasa yang Berdaya Bahasa

a. Daya ‘Jelas’ Informasi, Daya Rangsang, Daya Simbol, Daya

Seremoni Daya yang terdapat dalam narasi non tutur lebih bersifat prememori yang berfungsi mengantar dan meletakkan khayal pembaca di tempat yang diinginkan penulis, sehingga pembaca ikut terbawa dalam alur dan intrik di dalam novel. Daya jelas berfungsi salah satunya untuk mendeskripsikan orang, mendeskripsikan apa yang dilakukan oleh tokoh, mendeskripsikan sebuah tempat. Berikut akan dipaparkan gaya bahasa yang mengandung daya ‘jelas’ informasi, seremoni, simbol dan rahasia. I.8 Dada telanjangnya mulai ditutup dengan sutera terawang tenunan Mesir tipis laksana selaput kabut menyapu gunung kembar. 3 Konteks: Ken Dedes sedang dirias oleh Gede Mirah I.17 Janur kuning dan daun beringin menyambut kedatangan mereka. 6 Konteks: Rombongan pengantin baru menuju ke alun-alun. I.13 Semua pekerja dapur keluar, bermandi sinar matari pagi yang sedang mengusir kabut. Puncak pegunungan di kejauhan pun mulai berjengukan berebut dulu untuk melihat pengantin yang baru keluar dari pura. 29 Konteks: Semua pekerja dapur keluar untuk menyaksikan pengantin baru penguasa Tumapel. VIII.13 Waktu pasukan Kidang Telarung membelok ke kanan mengikuti tikungan sungai, dari kantongnya ia keluarkan sumpitan kecil dan melepaskan anak sumpit beracun pada pemimpinnya. Telarung memekik kemudian roboh tanpa bersuara lagi. 391 Konteks: Kebo Ijo tidak mendapat tempat di belakang barisan dan ia berada di bawah pimpinan Kidang Telarung. I.18 Berpuluh pandita dan seluruh negeri Tumapel, yang didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan dari gunung- gunung Arjuna, Welirang, Kawi dan Hanung, berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warnadan destar sesuai dengan warna jubahnya. 6 Konteks: Seluruh pandita dari Tumapel datang dari berbagai penjuru Tumapel sambil membawa umbul-umbul, semuanya berjumlah empat puluh. I.2 Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuang kotoran dan makanan. 1 Konteks: Dedes berada di dalam bilik besar. I.6 Dan sebagai gadis yang terdidik untuk menjadi brahmani, ia tahu Tunggul Ametung hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat untuk jabatan itu oleh Sri Kretajaya untuk menjamin arus upeti ke Kediri. 3 Konteks: Dedes terkenang pada ayahnya. VII.1 Kadang ia merasa takut, kadang kuatir, kadang mengalami kegembiraan batin, kadang sendu. 323 Konteks: Suasana hati Ken Dedes yang tidak menentu terhadap suaminya Tunggul Ametung. IX.27 Hanya babi dan anjing dan kucing berkeliaran di jalan- jalan. 469 Konteks: Keadaan Tumapel yang sepi. X.48 Hanya ia sendiri kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya, kehilangan balatentara yang dapat diperintahnya, kehilangan kepercayaan dari orangtua yang dicintai dan dipujanya setulus hati. 553 Konteks: Ken Dedes kehilangan kedamaiannya saat menuju pura bersama ken Arok, Ken Umang, Bana, dan Ki Bango Samparan. I.27 “Pada suatu kali di tahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga Jayabasa dari Kediri mangkat. Pertentangan dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang Gendis melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. … Di istana Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana. Orang pun memasang racun untuk membunuhnya. Amisani akhirnya mati termakan racun itu. .... ” 12 Konteks: Dedes teringat. dulu ayahnya menceritakan kisah tentang Amisani dan ia baru mengerti arti cerita itu. IX.42 Ia merindukan karang batu bata dan di pembelahan batu. Ia merindukan salah seorang di antara mereka bakal melamarnya. Ia merindukan seorang bayi yang dapat digendong dan ditimangnya. 32 Konteks: Setelah menyaksikan pernikahan Tunggul Ametung dan Ken Dedes, tiba-tiba Oti merindukan sesuatu. VIII.11 Apakah itu cukup menjadi bukti, pertempuran tidak pernah ada? 391 Konteks: Belakangka mendapat laporan jika tidak ada mayat orang ditemukan di pendulangan dan padang batu. IX.20 Ia menduga ahli senjata itu sudah banyak makan garam dan cukup rontal yang telah dipelajarinya. 461 Konteks: Arok mempelajari siasat dan pemikiran Empu Gandring untuk menguasai Tumapel. VIII.19 Arya Artya duduk pada sebongkah batu besar, kehilangan lidahnya. 399 Konteks: Arya Artya lemas mengetahui jumlah emas yang sebenarnya. III.46 Menjelang terbit, Hyang Surya, kuda itu memasuki pekuwuan… 121 Konteks: Tunggul Ametung sampailah ia di pekuwuan. VIII.25 Ia berhenti di hadapan Arok dengan dendam menyala- nyala pada matanya. 401 Konteks: Hayam bebas dari kepungan anak buahnya. VII.13 Dan ia merasa senang karena tidak termasuk sudra berdarah Hindu dan juga tidak senang karena akan melahirkan seorang bayi dengan semakin kurang darah mulia itu dalam tubuhnya. 327 Konteks: Ken Dedes berusaha menghibur dirinya sendiri. II.50 Tempat penggembalaannya ialah medan ia bermain dengan teman-temannya. Kegesitan, kekuatan, kecerdasan, dan kekukuhan menyebabkan ia hampir selalu keluar sebagai pemenang dalam permainan dan perkelahian. 93 Kontek: Arok mengingat kembali masa lalunya. I.26 Airmatanya telah kering. Tapi dalam hatinya masih juga mengucur tiada henti. 10 Konteks: Dedes berlutut menghadapi peraduan dan masih menyesali pernikahannya dengan Ametung. IX.21 Maka persekutuan dua orang itu ia anggap sebagai permainan dua ekor cangcorang yang berkasih-kasihan untuk saling memangsa. 461 Konteks: Arok mempelajari siasat dan pemikiran Empu Gandring untuk menguasai Tumapel. IV.68 Kelud meletus. 216 Konteks: Gunung Kelud meletus. Pada data I.8 menggunakan gaya bahasa simile, dapat dilihat dari kata “.. laksana selaput kabut” , tetapi secara keseluruhan daya yang diserap dari kalimat utuh adalah daya bahasa rangsang, yang mempengaruhi indera di dalam kenyataannya Pada data I.17 menggunakan gaya bahasa personifikasi, dimana simbol adat melakukan kegiatan manusia, sedangkan daya yang terambil dari data I.17 adalah daya simbol, dimana itu lebih dari sekedar informasi karena membawa pembaca mengerti dan menghormati adat, budaya dan kepercayaan yang tersirat di novel tersebut. Pada data I.13 menggunakan gaya bahasa personifikasi karena ditemukan kata yang acuannya bukan manusia yang diberi ciri insani. Ditunjukkan dengan kata “sinar matari pagi yang sedang mengusir kabut.” Mengusir merupakan perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Makna dari kalimat di atas ialah sinar matari pagi yang mulai bersinar berusaha mengusir kabut yang menghalanginya untuk menampakkan sinarnya. Gaya bahasa klimaks pada data VIII.13 merupakan gaya bahasa yang menunjukkan urut-urutan pemikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya. Ditunjukkan dengan kata “…membelok ke kanan …dari kantongnya ia keluarkan sumpitan kecil dan melepaskan anak sumpit beracun pada pemimpinnya. Telarung memekik kemudian roboh tanpa bersuara lagi. ” Makna yang terkandung dari data VIII.13 ialah menunjukkan proses kejadian yang dilakukan Kebo Ijo saat berada di belakang Kidang Telarung sampai Kidang Telarung tewas. Pada data I.18 penggunaan gaya bahasa antiklimaks, lawan dari gaya bahasa klimaks. Kelompok kata yang menunjukkan gaya bahasa antiklimaks yaitu kota dan desa dan diturunkan dari gunung- gunung. Makna yang terkandung dari data I.18 ialah hadirnya para pandita pada pesta pernikahan Tunggul Ametung dari kota yang merupakan pandita yang diakui oleh Kediri dan ditempatkan di kota, pandita dari desa, dan pandita dari gunung yang keberadaannya tidak diakui oleh Kediri. Daya bahasa yang terkandung adalah seremoni, sama seperti simbol, hanya saja data lebih menunjukan prosesi atau upacara adat, untuk membedakan dengan upcara – upacara yang lain. Gaya bahasa eufemisme hadir pada data I.2. Kata yang mengandung gaya bahasa eufemisme ialah tempat untuk membuang kotoran. Kotoran yang dimaksudkan pada data di atas adalah tempat untuk buang air kecil dan buang air besar. Data I.6 menggunakan gaya bahasa zeugma karena mempertentangkan dua hal yang berbeda yaitu pendekar dan penjahat yang mengandung ciri semantik yang bertentangan. Makna yang terkandung pada data I.6 ialah Tunggul Ametung sebenarnya hanyalah seorang penjahat kelas kakap yang kemudian oleh Kediri menjadi pendekar penyelamat untuk menjamin arus upeti dari Tumapel menuju Kediri. Data VII.1 menggunakan gaya bahasa asidenton sebab kata takut, kuatir, kegembiraan batin, sendu merupakan kata-kata yang memiliki posisi sederajat tentang macam-macam perasaan yang seharusnya dihubungkan dengan kata sambung atau konjungsi. Namun, pada kalimat di atas tidak dihubungkan dengan kata sambung. Kata-kata tersebut hanya dipisahkan dengan tanda koma. Makna dari kalimat tersebut adalah menggambarkan suasana hati Ken Dedes yang tidak menentu yang terkadang merasa takut, kuatir, sendu, gembira. Data IX.27 menggunakan gaya bahasa polisidenton yang merupakan lawan dari gaya bahasa asidenton yakni beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Kelompok kata babi, anjing, kucing disambung dengan konjungsi dan. Seharusnya tidak perlu digunakan konjungsi dan karena merupakan kelompok kata yang posisi setara yaitu binatang. Gaya bahasa epizeukis muncul pada data X.48 yaitu berupa pengulangan pada kata kehilangan sekaligus memberi penegasan pada kata tersebut. Makna yang terkandung dari data X.48 ialah menunjukkan jika Ken Dedes kehilangan banyak hal yang penting dalam hidupnya yaitu kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya, balatentara yang dapat diperintahnya, dan kepercayaan dari orangtua yang dicintai dan dipujanya setulus hati. Pada data I.27 menggunakan gaya bahasa alegori karena menceritakan sebuah kisah yang berisi pesan, amanat. Amanat yang disampaikan pada data I.27 Ken Dedes lebih berhati-hati dan tidak mengulangi peristiwa seperti Dewi Amisani yang tewas karena diracun. Data IX.42 menggunakan gaya bahasa anofora yaitu berupa pengulangan kata di awal kalimat dengan pengulangan kata ia merindukan. Maknanya ialah Oti merindukan karang batu, seseorang yang akan melamarnya, merindukan seorang bayi. Daya dari data di atas adalah daya emosi rindu karena menunjukkan kerinduan yang amat terdalam bagi Oti. Dan pengulangan kata rindu sebanyak tiga kali cukup meyakinkan perasaan apa yang membuncah di dalam dirinya. Ia merindukan tempat yang berkarang batu, merindukan seorang lelaki yang akan melamarnya, dan merindukan seorang bayi yang akan digendongnya kelak. Data VIII.11 menggunakan gaya bahasa erotesis yang artinya sama saja dengan pertanyaan retoris. Pada data VIII.11 menanyakan apakah ada bukti jika pertempuran di tempat pendulangan emas tidak pernah ada. Karena tidak ditemukan bekas perkelahian maupun bangkai mayat dan keadaan di pendulangan sepi, tanpa ada manusia. Gaya bahasa metafora digunakan pada data IX.20. Ditunjukkan dengan kata banyak makan garam yang berarti memiliki pengalaman yang sudah cukup banyak. Makna yang terkandung yaitu dugaan Arok kepada Empu Gandring yang sudah memiliki banyak pengalaman dan membaca banyak rontal untuk menyiapkan taktik menguasai Tumapel. Data VIII.19 menggunakan gaya bahasa perifrasis yang terungkap dari penggalan kalimat kehilangan lidahnya. Seharusnya penggalan kalimat kehilangan lidahnya bisa diganti dengan kata membisu. Makna yang terkandung pada data VIII.19 yaitu Arya Artya membisu setelah mengetahui jumlah emas yang sebenarnya. Pada data III.46 menggunakan gaya bahasa eponim yang nampak pada kalimat “…Hyang Surya Terbit…” Hyang Surya yang dimaksudkan adalah matahari. Makna yang terkandung pada data III.46 ialah kuda yang ditumpangi oleh Tunggul Ametung dan Ken Dedes memasuki pekuwuan ketika matahari terbit. Gaya bahasa hiperbola pada data VIII.25 ditunjukkan pada kata dendam menyala-nyala. Maksud dari kata di atas ialah Hayam sangat dendam yang sangat mendalam kepada Arok. Daya yang muncul yaitu daya emosi dendam karena menunjukkan betapa dendamnya Hayam kepada Arok yang terpancar dari tatapan matanya. Gaya bahasa oksimoron digunakan pada data VII.13 yang nampak pada penggunaan kata senang dan tidak senang yang berada pada satu kalimat. Makna yang terkandung pada data VII.13 ialah Dedes merasa senang karena keturunan brahmani dan ia merasa tidak senang karena anak yang akan ia lahirkan kelas tidak murni keturunan brahmana. Data II.50 menggunakan gaya bahasa silepsis yang secara gramatikal benar namun secara semantik salah. Gaya bahasa silepsis berusaha untuk mempertentangkan dua hal yang berbeda. Tercermin pada kata permainan dan perkelahian. Makna yang terkandung pada data II.50 ialah penulis menggambarkan Arok sebagai tokoh yang selalu menang ketika bermain dan menang ketika berkelahi. Pada data I.26 menggunakan gaya bahasa paradoks sebab mempertentangkan airmata yang telah kering dengan dalam hatinya masih juga mengucur tiada henti. Makna yang terkandung dalam konteks ini yaitu Dedes berhenti menangis karena airmatanya telah kering mungkin terlalu lama menangis dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun airmatanya telah kering, Dedes masih merasa sangat sedih dan untuk mengungkapkannya Dedes hanya bisa menangis dalam hati. Data IX.21 menggunakan gaya bahasa sarkasme karena berisi hinaan. Terungkap pada penggalan kalimat “…permainan dua ekor cangcorang...” Data IX.21 ditunjukkan kepada Empu Gandring dan Kebo Ijo yang sedang berusaha untuk menguasai Tumapel. Makna yang terkandung pada data IX.21 ialah persekutuan antara Empu Gandring dan Kebo Ijo seperti cangcorang yang saling berkasih-kasihan untuk mencapai keinginan masing-masing. Pada data IV.68 menggunakan gaya bahasa metonimia yang tampak pada kata Kelud. Yang dimaksudkan pada kata Kelud ialah Gunung Kelud. Makna yang terkandung dari data IX.68 ialah gunung Kelud meletus. Dari keseluruhan data diatas menunjukkan daya informasi, seremoni, simbol dan rangsang karena hanya menjelaskan situasi, deskripsi tokoh, tempat, suasana yang ada di dalam novel Arok Dedes. Daya jelas seperti yang telah diuraikan di atas mengandung kekuatan bahasa yang terungkap dari gaya bahasa metonimia. Pada data 104 Kelud meletus secara langsung menggambarkan keadaan saat itu kepada pembaca. Pada data I.18 Berpuluh pandita dan seluruh negeri Tumapel, yang didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan dari gunung-gunung Arjuna, Welirang, Kawi dan Hanung, berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warnadan destar sesuai dengan warna jubahnya. mengandung daya seremoni karena menunjukkan prosesi upacara pernikahan adat Hindu. Sedangkan pada daya rangsang nampak pada data I.8 Dada telanjangnya mulai ditutup dengan sutera terawang tenunan Mesir tipis laksana selaput kabut menyapu gunung kembar. Mengandung daya rangsang karena ada rangsang yang membuat pembaca merasakan suatu rangsangan sendiri atau bisa dikatakan sex feel. Daya simbol muncul pada data I.17 Janur kuning dan daun beringin menyambut kedatangan mereka. Mengandung daya simbol karena menunjukkan lambang-lambang yang digunakan dalam upacara pernikahan adat Jawa.

b. Daya Puji