l. Daya Keluh
Keluh,  meunurut  KBBIoffline  adalah  ungkapan  yang  keluar karena  perasaan  susah  karena  menderita  sesuatu  yang  berat,
kesakitan,  dsb.  Dalam  novel  Arok  Dedes  karya  Pramoedya,  juga ditemukan  daya  bahasa  keluh  yang  ditunjukan  dalam  berbagai  gaya
bahasa. I.44
“Apakah kalian kurang menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati kalian?”
18 Konteks:
Dituturkan  oleh  Borang  kepada  seluruh  penduduk  desa  Bantar dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.47 ” Tumapel terus-menerus menyalahkan kami.” 19
Konteks:
Dituturkan  oleh  penduduk  Bantar  kepada  Borang  ketika mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Bantar.
I.106 “… Kau pandangi kakimu seperti kakimu berubah menjadi
biji mata untukku?”53 Konteks:
Dituturkan  oleh  Mundra  saat  Oti  menemuinya  dan  kaget setelah mengetahui lelaki muda itu bermata satu. Dan lelaki itu
mengetahui sikap Oti yang terkejut.
IV.61 “…,  pada  waktu  kaum  brahmana  dalam  duaratus  tahun
hanya bersilat lidah?” 213 Konteks:
Dituturkan  oleh  Lohgawe  yang  kaget  melihat  dharma  yang dilakukan lalu membandingkan dengan kaum brahmana.
V.33 “…  Yang  Mulia,  dalam  sepuluh  tahun  lagi  tak  ada  anak
muda  bisa  baca  tulis,  tak  ada  lagi  yang  mengerti  bagaimana memuliakan  para  dewa,  manusia  kembali  menjadi  hewan
rimba belantara. 241 Konteks:
Dituturkan  oleh  Belakangka  ketika  mencoba  menasihati Tunggul  Ametung  yang  murka mendengar   Lohgawe menolak
datang ke pekuwuan.
V.40 “Ketidakmampuan  itu  berasal  dari  diri  semua  yang
memerintah,  Dedes,  ketidakmampuan  mengerti  kawulanya sendiri, kebutuhannya, dan kepentingannya.” 254
Konteks:
Dituturkan oleh Lohgawe kepada Ken Dedes ketika rombongan mereka tiba di padepokan Lohgawe.
IX.5 “Anak buah saya yang delapan? Mereka bisa berkicau di
bawah lecutan cambuknya.” 444 Konteks:
Dituturkan  oleh  Kebo  Ijo  saat  mengunjungi  kediaman  Empu Gandring membahas pasukan Kebo Ijo yang ditahan Arok.
Pada  data  I.44  menggunakan  gaya  bahasa  apostrof    yang
ditunjukkan dengan Hyang Wisynu. Maksud dari tuturan I.44 Borang menanyakan  pada  penduduk  Bantar  tentang  sesambahan  dan
pengorbanan penduduk pada Hyang Wisynu. Mengandung daya keluh karena penduduk Bantar tidak berani
Pada  data  I.47  menggunakan  gaya  bahasa  sinekdok. Ditunjukkan  dari  kalimat
”Tumapel  terus-menerus  menyalahkan kami.”  Maksud  dari  tuturan  I.47  penduduk  Bantar  terus  menerus
disalahkan oleh Tumapel karena telat membayarkan upeti atau jumlah upeti  yang  kurang.  Daya  keluh  muncul  karena  penduduk  Bantar
merasa tersiksa dengan kewajiban yang harus diserahkan ke Tumapel berupa  upeti  dan  jika  terlambat  akan  disiksa  oleh  para  prajurit  dan
disalahkan oleh pemerintah Tumapel. Pada  data  I.106  menggunakan  gaya  bahasa  simile  yang
muncul  dari  kalimat  “…pandangi  kakimu  seperti  kakimu  berubah menjadi  biji  mata
…” maksud dari tuturan I.106 ialah kaki Oti bisa
menggantikan  bola  mata  untuk  Mundra  yang  akan  menemani  setiap saat.  Mengandung  daya  keluh  karena  Mundra  hanya  memiliki  satu
buah  bola  mata  dan  cara  Oti  memandang  Mundra  membuat  Mundra merasa agak tidak enak hati.
Pada  data  IV.61  menggunakan  gaya  bahasa  metafora  yang ditunjukkan  dengan  frasa  bersilat  lidah.  Bersilat  lidah  memiliki  arti
pintar bermain kata. Maksud yang terkandung pada data IV. 61 ialah kaum brahmana hanya berani bermain kata tanpa melakukan tindakan
selama  dua  ratus  tahun.  Daya  keluh  mucul  karena  selama  dua  ratus hanya bisa bersilat lidah dan kaget melakukan hal yang dilakukan oleh
Arok dan kawan-kawannya. Pada data V.33 menggunakan gaya bahasa antiklimaks yang
ditunjukkan  dengan  kelompok  kata  tidak  bisa  baca  tulis,  tidak  tahu bagaimana  cara  memuliakan  dewa,  dan  menjadi  hewan  rimba
belantara. Maksud dari tuturan V.33 jika tidak ada anak muda yang tidak bisa baca dan tulis, tidak tahu bagaimana cara  memuliakan para
dewa dan manusia menjadi  seperti  binatang lagi. Daya keluh  muncul karena menunjukkan kekhawatiran Belakangka jika Tunggul Ametung
membunuh semua brahmana sehingga pada akhirnya manusia menjadi seperti hewan lagi.
Pada data V.40 menggunakan  gaya bahasa epizeukis  berupa pengulangan kata  ketidakmampuan. Maksud dari tuturan V.40 ialah
ketidakmampuan memerintah
Tunggul Ametung
berasal
ketidakmampuan  mengerti  rakyatnya,  mengerti  kepentingannya, mengerti  apa  yang  dibutuhkan.  Daya  keluh  muncul  pada  tuturan
V.40  karena  Lohgawe  merasa  menderita  dengan  kepempimpinan sejak  Sri  Erlangga  sampai  Tunggul  Ametung  karena  tidak  mampu
dalam  banyak  hal  seperti  tidak  mampu  mengerti  kawulanya,  tidak mengerti apa yang dibutuhkan, tidak mengerti akan kepentingannya.
Pada data IX.5 menggunakan gaya bahasa ironi. Maksud dari tuturan IX.5 ialah  anak buah Kebo  Ijo  yang ditahan oleh Arok bisa
membuka  rahasia  Kebo  Ijo.  Daya  keluh  muncul  karena  Kebo  Ijo merasa  khawatir  jika  rahasia  terbongkar  oleh  anak  buahnya  yang
ditahan oleh Arok. Daya  keluh  seperti  yang  telah  diuraikan  di  atas  adalah
kekuatan bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa sinekdok seperti pada  tuturan
”Tumapel  terus-menerus  menyalahkan  kami.”  Tuturan tersebut secara langsung menunjukkan ungkapan rasa yang keluar dari
penduduk  desa  Bantar  karena  perasaan  menderita  selama  duapuluh tahun.
m. Daya Pinta