2.3 Kajian Empiris tentang Sistem Pertanian Integrasi
Berbagai penelitian mengenai pola-pola pertanian integrasi yang dapat diterapkan telah banyak dilakukan. Seperti Thailand, Cina, Vietnam, India dan
Bangladesh. Bangladesh telah menerapkan pertanian integrasi sesuai dengan kondisi alam dan sumberdaya yang mereka miliki. Taj-Uddin 1997 mengatakan
bahwa hampir 90 persen petani Bangladesh memiliki ternak dan unggas untuk menghasilkan pangan seperti susu, daging, telur dan keperluan lainnya seperti
kulit, bulu, wool, pupuk kandang dan bahan bakar biogas. Ternak dan unggas tersebut diintegrasikan satu sama lain dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan
menghemat biaya usahatani. Penghematan biaya yang dimaksud adalah penghematan biaya tunai. Selain itu ikan selalu menjadi bagian penting dari
usahatani integrasi yang dilakukan di daerah pedesaan Bangladesh. Di Filipina, hasil analisis ekonomi dan kelayakan usaha menunjukkan pola
integrasi ternak-ikan sangat menguntungkan Maramba et al. 1978, diacu dalam Arboleda 2004. Untuk mempromosikan teknologi ini, Philippine Council for
Aquatic and Marine Research and Development 1990 telah menerbitkan manual atau SOP Standard Operation Procedure untuk Integrated Crop-
Livestock-Fish Farming System. Walaupun pengadopsian teknologi ini masih lambat, telah ada beberapa wirausaha yang menerapkan teknologi ini yaitu
Yaptenco Farm babi-ikan dan Maya Farms ternak-biogas-ikan. Keduanya menyatakan telah mendapatkan keuntungan dari sistem integrasi ini. Alat analisis
yang digunakannya adalah analisis investasi karena kedua perusahaan menaruh investasi yang besar di mesin pengolah biogas.
Daerah-daerah di Indonesia mulai banyak yang menerapkan pertanian integrasi. Salah satunya adalah Kabupaten Lampung Utara. Analisis pendapatan
usahatani pada pertanian lada terintegrasi ternak kambing di Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara yang dilakukan oleh Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Lampung BPTP Lampung pada tahun 2002, memper- lihatkan bahwa dengan pemeliharaan ternak kambing dapat memberikan
tambahan pendapatan petani lada Rp 4.088.760,00 per hektar per tahun, yang terdiri atas pendapatan kambing Rp 1.188.760,00 dan tanaman lada Rp
2.900.000,00 per hektar per tahun dengan nilai rasio RC 1,8, sedangkan cara bertani tanpa integrasi ternak kambing hanya Rp 1.315.000,00 per hektar per
tahun dengan nilai rasio RC 1,6. Data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mengenai struktur
pendapatan usahatani tanaman pangan dipadukan dengan ternak sapi di Indonesia, tampak bahwa usahatani tersebut memiliki pendapatan yang lebih
baik dibandingkan usahatani yang dilakukan secara parsial atau berdiri sendiri Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan Penerimaan dan Keuntungan Usahatani Tanaman Pangan dan Ternak Sapi yang Dikelola Secara Parsial dan
Terpadu Menurut Agroekosistem di Indonesia, 2003
Parsial Rp 000hathn Terpadu Rp 000hathn
Uraian T. Pangan Sapi
Total T. Pangan Sapi
Total Sawah irigasi
a. Penerimaan 16.665
27.275 46.971
18.115 28.701
50.005 b. Biaya
8.458 25.523
37.012 8.068
26.235 37.492
c. Pendapatan 8.208
1.752 9.960
10.048 2.466
12.514 d. Rasio RC
1,97 1,07
1,27 2,25
1,09 1,33
Sawah tadah hujan
a. Penerimaan 13.532
25.392 38.924
14.352 27.162
41.514 b. Biaya
7.246 23.486
30.733 6.936
24.407 31.696
c. Pendapatan 6.286
1.906 8.191
7.417 2.755
9.819 d. Rasio RC
1,87 1,08
1,27 2,07
1,11 1,31
Lahan kering
a. Penerimaan 9.756
26.982 36.738
10.050 28.338
38.388 b. Biaya
6.300 25.008
31.308 5.912
24.936 30.848
c. Pendapatan 3.456
1.974 5.430
4.138 3.402
7.540 d. Rasio RC
1,55 1,08
1,17 1,70
1,14 1,24
Keterangan: pola tanam dalam setahun yang dianalisis adalah padi-padi-jagung, dan pemeliharaan sapi rata-rata 2 ekor dengan lama pemeliharaan 4 bulan.
Sumber: Kariyasa 2005
Penerimaan dan pendapatan petani lahan irigasi yang mengelola tanaman pangan diintegrasikan dengan ternak sapi lebih tinggi masing-masing
6,46 persen dan 25,64 persen dibandingkan petani yang mengelola usaha
tersebut secara parsial. Begitu pula dengan petani sawah tadah hujan mampu meningkatkan penerimaan dan pendapatan sebesar 6,65 persen dan 19,87
persen. Sementara pada lahan kering, pola integrasi tanaman-ternak mampu meningkatkan penerimaan dan pendapatan masing-masing sebesar 4,49 persen
dan 38,87 persen. Pada semua agroekosistem terlihat pola integrasi tanaman- ternak mampu meningkatkan efisiensi yang dicirikan oleh membaiknya nilai rasio
RC. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu BPTP Bengkulu
melakukan kajian sosial ekonomi pada sistem integrasi sapi dan kelapa sawit SISKA yang dilakukan PT. Agricinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adanya sapi meringankan kerja pemanen dalam mengumpulkan tandan buah segar sehingga meningkatkan kemampuan kerja pemanen dari areal kerja 10
hektar menjadi 15 hektar. Ternak sapi menghasilkan feses yang potensial untuk dijadikan kompos untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan biaya
produksi. Hasil samping perkebunan kelapa sawit pelepah, daun, rumput, solid, bungkil inti sawit dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Tahun awal usaha
adalah tahun 1997 dan tahun akhir 2003, dengan tingkat bunga 19,5 persen per tahun. Analisis kelayakan menunjukkan bahwa pada skala usaha 6 ekor induk
dan 1 ekor jantan memberikan gambaran bahwa usaha tersebut menuju usaha yang komersial dengan nilai rasio RC sebesar 3,13; NPV sebesar Rp
22.425.000,00 dan IRR diatas 50 persen. Hasil-hasil penelitian di atas memberikan gambaran bahwa dengan
integrasi komoditas yang dilakukan dapat memberikan tambahan manfaat bagi petani. Dalam penelitian ini akan dicoba untuk menganalisis pendapatan
usahatani dengan mengintegrasikan tiga komoditas usahatani yaitu sayuran, ternak sapi perah dan domba dan ikan, dimana di dalamnya terdapat proses
daur ulang limbah ternak menjadi pupuk organik. Selain itu akan dilihat apakah
integrasi dengan tiga komoditas ini masih dapat memberikan keuntungan bagi ponpes.
2.4 Pola Tanam Usahatani