diusahakan sepanjang tahun. Sumberdaya dapat digunakan secara optimal.
2. Mengurangi resiko terutama yang berkaitann dengan pendapatan.
Kegagalan dari suatu cabang usaha, termasuk resiko turunnya harga dapat ditutupi oleh cabang usahatani lainnya.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wicaksono 2006 yang dilakukan di Kabupaten Cianjur. Tingkat pendapatan petani lahan luas lebih tinggi dari petani
lahan sempit, karena petani lahan luas lebih berdiversifikasi dibandingkan petani lahan sempit. Hal ini diketahui dari penghitungan indeks diversifikasi dihasilkan
nilai yang lebih tinggi pada petani lahan luas. Usahatani sayuran ponpes menerapkan pola pergiliran tanaman yang
sangat kompleks. Karena itu dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana manfaat yang diperoleh dengan menerapkan pola pergiliran tanaman.
2.5 Kajian Empiris Pendapatan Usahatani Sayuran
Pada bagian ini dipaparkan beberapa hasil penelitian mengenai usahatani sayuran. Dikarenakan belum terdapat kajian pendapatan mengenai usahatani
sayuran yang diintegrasikan dengan ternak dan ikan, nilai pendapatan yang akan digunakan sebagai pembanding bagi usahatani sayuran adalah nilai pendapatan
dari usahatani sayuran monokultur yang dilakukan di daerah Jawa Barat. Pada penelitian Ramadhani 2001 mengenai analisis pendapatan
usahatani sayuran tomat monokultur di Desa Alam Endah, usahatani tomat yang diusahakan dapat memberikan penerimaan total sebesar Rp 40.840.000,00 per
hektar pada satu musim tanam. Total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 20.202.577,00 dengan rincian 89,91 persen adalah biaya tunai dan 10,09 persen
adalah biaya tidak tunai, sehingga pendapatan bersih yang diterima adalah sebesar Rp 20.637.423,00. Sebagian besar biaya yang dikeluarkan adalah untuk
biaya tunai. Komponen biaya tunai untuk sarana produksi terbesar berturut-turut adalah biaya untuk fungisida 15,63 persen, insektisida 15,34 persen dan pupuk
kandang 14,85 persen dari total biaya tunai. Pada penelitian Zuliana 2003 mengenai analisis pendapatan usahatani
kubis di Desa Pulosari, Pengalengan Jawa Barat, usahatani kubis memberikan penerimaan total sebesar Rp 18.000.000,00 per hektar per musim tanam. Total
biaya yang dikeluarkan adalah Rp 10.401.741,88 dengan rincian 89,92 persen adalah biaya tunai dan 10,08 persen adalah biaya tidak tunai, sehingga
pendapatan bersih yang diterima adalah Rp 7.598.258,12. Komponen biaya terbesar adalah biaya tunai pupuk kandang yaitu 22,83 persen dari total biaya.
Biaya tunai untuk pembelian pupuk kandang dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali apabila petani memelihara ternak. Hal ini tentu akan
meningkatkan pendapatan dari usahatani sayuran yang dilakukan.
2.6 Usaha Peternakan
Kondisi peternakan sapi perah di Indonesia saat ini masih dalam skala usaha yang kecil 2-5 ekor dan dianggap sebagai usaha sampingan tanpa
memperhatikan laba apalagi mementingkan kualitas produk yang dihasilkan. Usahatani ternak yang dilakukan jauh dari teknologi dan tidak dikelola dengan
manajemen yang baik. Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga
di pedesaan dalam skala kecil. Komposisi peternak yang mempunyai ternak sapi perah kurang dari 4 ekor diperkirakan mencapai 80 persen, 4-7 ekor sebesar 17
persen, dan 3 persen yang memiliki lebih dari 7 ekor. Dari komposisi tersebut dapat diperkirakan bahwa 64 persen produksi susu segar di Indonesia berasal
dari peternak skala kecil, 28 persen dari peternak skala sedang, dan 8 persen dari skala besar Erwidodo 1993.
2.6.1 Ternak Sapi Perah
Di Indonesia sapi perah yang umum diternakkan adalah bangsa sapi Frisian Holstein FH dan peranakannya Sudono 1999. Bangsa sapi perah FH
memiliki sifat jinak, mudah dikuasai, dan tidak tahan panas. Sapi FH merupakan bangsa sapi yang tertinggi produksi susunya dibandingkan dengan bangsa-
bangsa sapi perah yang lainnya baik di daerah tropis maupun daerah iklim sedang. Suhu kritis untuk sapi FH adalah 27°C Ratnawati 2002.
Sapi FH mampu memproduksi susu sebanyak 7.245 kg dalam satu kali masa laktasi, yaitu sekitar sepuluh bulan. Sapi Jersey menghasilkan 4.957 kg,
sapi Guersney menghasilkan 5.205 kg, dan sapi Ayrshire menghasilkan 5.685 kg dalam satu kali masa laktasi Sudono 1999. Sapi yang telah dikawinkan dan
bunting akan menghasilkan susu yang lebih sedikit dibandingkan dengan sapi yang tidak bunting. Hal ini akan terlihat jelas jika sapi bunting 7 bulan sampai
beranak, maka produksi susu akan menurun. Susu dihasilkan oleh sapi yang sedang mengalami laktasi. Masa laktasi
adalah masa sapi menghasilkan susu, yaitu masa antara waktu beranak dengan masa kering. Produksi susu seekor sapi sedikit demi sedikit akan naik sampai
bulan ke dua masa laktasi, kemudian produksi akan menjadi konstan kembali pada bulan ketiga dan selanjutnya berangsur-angsur menurun sampai
berakhirnya masa laktasi sekitar bulan kesepuluh jika sapi beranak tiap tahun. Rataan produksi susu sapi laktasi adalah 13 kg per hari Sudono 1999.
Penelitian menunjukkan bahwa sapi-sapi yang bertubuh lebih besar akan menghasilkan susu yang lebih banyak daripada sapi yang bertubuh kecil
berumur sama. Hal ini disebabkan sapi bertubuh besar, makan lebih banyak sehingga bermetabolisme tinggi dan menghasilkan susu yang lebih banyak.
2.6.2 Ternak Domba Potong
Domba merupakan ternak yang telah lama dikembangkan di Indonesia, karena tergolong mudah untuk membudidayakannya. Domba memiliki toleransi
yang tinggi terhadap bermacam-macam hijauan pakan ternak dan memiliki daya adaptasi yang baik terhadap berbagai keadaan lingkungan sehingga dapat
diternakkan di mana saja dan dapat berkembang biak sepanjang tahun Mulyono 2005. Sedangkan menurut Sugeng 2000 domba memberikan beberapa
keuntungan, antara lain: amudah beradaptasi dengan lingkungan, bmemiliki sifat hidup berkelompok, ccepat berkembang biak, dmodal kecil.
Salah satu domba yang biasa dipelihara di Indonesia adalah domba ekor tipis. Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia. Sekitar 80 persen
populasinya ada di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah yang gersang. Tubuh domba ini tidak berlemak sehingga daging
yang dihasilkan pun sedikit. Namun beberapa orang menyatakan bahwa daging domba ini lebih enak daripada domba bangsa lainnya Mulyono 2005. Dalam
usaha penggemukan domba potong dihasilkan beberapa produk sampingan berupa domba afkir dan feses domba yang dapat dijual kembali. Sehingga dapat
memberikan tambahan pendapatan bagi petani.
2.6.3 Kajian Empiris Pendapatan Usahatani Ternak
Penelitian mengenai pendapatan usahatani ternak sapi perah pernah dilakukan sebelumnya oleh Vidiayanti 2004 pada usaha peternakan sapi perah
di Kawasan Usaha Peternakan KUNAK sapi perah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui total
penerimaan yang diperoleh keluarga yang mengusahakan sapi perah dalam satu masa laktasi 305 hari adalah sebesar Rp 69.086.100,00. Produksi susu sapi
untuk satu periode laktasi adalah 2.874,05 liter per ekor. Rata-rata kepemilikan
sapi adalah 9 ekor per petani. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 61.395.100,00 dengan rincian 72,05 persen adalah biaya tunai dan 27,95 persen
adalah biaya tidak tunai, sehingga pendapatan bersih yang diterima adalah sebesar Rp 7.691.000,00. Komponen biaya terbesar adalah biaya untuk pakan
ternak, yaitu konsentrat, ampas tahu dan hijauan tidak tunai yaitu masing- masing sebesar 25,81 persen, 20,29 persen dan 11,92 persen dari total biaya.
Biaya-biaya ini tentu dapat diminimalisir apabila petani dapat mencari alternatif pakan ternak yang lebih murah. Dalam penelitian ini akan dilihat tambahan
manfaat yang didapat dengan mengintegrasikan ternak dengan tanaman dan ikan.
2.6.4 Pakan Ternak
Secara garis besar pakan ternak dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif
banyak pada bahan keringnya. Kelompok hijauan terdiri dari hijauan kering dan hijauan segar. Konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan
dan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit Williamson 1993.
Menurut Sudono 1999 sapi laktasi dengan bobot 450 kg dan rataan produksi susunya 13 kg per hari dapat diberikan pakan hijauan sebesar 20,75 kg
atau rumput gajah 7,6 kg dan konsentrat 6,05 kg. Hijauan dapat berupa rumput, gulma atau hasil samping tanaman. Hasil samping tanaman dapat berupa
brangkasan atau serasah sisa panen. Tanaman kacang-kacangan dan umbi- umbian biasanya menghasilkan hasil samping berupa serasah dan dedaunan
yang cukup tinggi. Menurut Thahir 1982 kandungan protein pada daun kacang-kacangan
dan daun tanaman umbi lebih tinggi daripada jerami dan daun jagung yaitu
masing-masing sebesar 6,3 kg dan 8,6 kg protein tiap 100 kg Tabel 4. Jika produksi limbah tanaman dapat dihitung, maka dapat dihitung pula sumbangan
tanaman terhadap pengadaan pakan ternak. Sebaliknya dapat diperkirakan juga jumlah ternak yang dapat diusahakan dengan menggunakan limbah tanaman
sebagai sumber makanannya.
Tabel 4 Susunan Bahan Makanan yang Terkandung pada Hasil Samping Tanaman Setiap 100 kg
No Hasil Samping
Kandungan Protein Tiap 100 kg
kg Bahan Makanan
yang dicerna tiap 100 kg
kg Bahan Kering
tiap 100 kg kg
1 Padijerami
0,9 39,4
92,5 2
Daun jagung 1,2
16,3 24,0
3 Daun kacang-kacangan
6,3 57,8
91,4 4
Daun tanaman umbi 8,6
51,4 90,7
Sumber: Thahir 1982
2.6.5 Produksi Feses Ternak
Jumlah kotoran padat feses dan cair urine yang dihasilkan masing- masing ternak dalam sehari berbeda-beda. Perbedaan ini ditentukan oleh kondisi
dan jenis hewan serta jumlah dan jenis pakan hewan tersebut Musnamar 2003. Jumlah kotoran per hari beberapa jenis ternak disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Produksi Kotoran Padat dan Cair dari Beberapa Jenis Ternak Dewasa
Jumlah Kotoran kghari No
Jenis Ternak Kotoran Padat feses
Kotoran Cair urine
1 Sapi
23,59 9,07
2 Kuda
16,10 3,63
3 Babi
2,72 1,59
4 Kambing
1,13 0,68
5 Ayama
0,05 -
Sumber: Musnamar 2003
Sedangkan hasil uji coba pembuatan kompos oleh BPTP Jawa Barat di Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, dari 15.400 kg
feses sapi diperoleh sebanyak 7.200 kg kompos siap pakai. Berarti penyusutan yang terjadi adalah 53 persen. Karena itu diperlukan feses yang cukup banyak
untuk dapat memenuhi kebutuhan kompos.
Untuk menghitung produksi feses pada jenis ternak lain dapat digunakan angka konversi satuan ternak. Dalam penelitian ini yang dipakai menjadi dasar
adalah satuan ternak dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2006 Tabel 6.
Tabel 6 Satuan Hitung Ternak
Jenis Ternak Satuan Hitung Ternak ST
Sapi dewasa 1,000
Sapi dara 0,500
Sapi pedet 0,250
Domba dewasa 0,140
Domba muda 0,070
Domba anak 0,035
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2006
Feses sapi memiliki kandungan CN rasio yang masih tinggi sehingga apabila diberikan secara langsung belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh
tanaman. Umumnya feses sapi masih banyak mengandung bahan organik segar yang sangat kasar sehingga akan mempengaruhi daya retensi terhadap air. Oleh
karena itu perlu dilakukan upaya fermentasi untuk merombak bahan-bahan yang sukar diserap tanaman agar menjadi siap diserap secara langsung oleh tanaman
Ishaq 2002. Proses fermentasi yang dimaksud misalnya adalah proses pengomposan.
Sebagian feses ternak yang dihasilkan sapi milik ponpes telah tercampur dengan sisa pakan hijauan yang terdapat di dalam kandang. Campuran feses
dan sisa pakan ini juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat kompos. Menurut Gunawan et al. 2000, diacu dalam Ishaq 2002 feses ternak yang
tercampur dengan sisa-sisa makanan dari pakan dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik yang sangat baik bagi tanaman sayuran, karena memiliki nitrogen,
potasium dan serat kasar tinggi.
2.6.6 Pupuk Organik
Menurut Musnamar 2003 pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang
terkandung secara alami. Dapat dikatakan bahwa pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan
tanah. Pupuk organik yang dipadukan dengan pupuk kimia dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan efisiensi penggunaan pupuk, baik pada lahan sawah
maupun lahan kering. Kandungan unsur hara dalam pupuk organik lebih sedikit daripada pupuk
kimia. Namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik dibanding pupuk kimia
Musnamar 2003. Pupuk organik tidak meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi konsumen. Beberapa jenis pupuk organik berdasarkan
bahan dasarnya antara lain pupuk kandang dan kompos. Pupuk kandang merupakan pupuk organik yang paling umum dan sering
digunakan oleh petani. Pupuk kandang merupakan pupuk organik dari hasil fermentasi feses padat dan cair hewan ternak. Menurut Musnamar 2003
Jumlah feses padat dan cair yang dihasilkan masing-masing ternak dalam sehari berbeda-beda. Perbedaan ini ditentukan oleh kondisi dan jenis hewan serta
jumlah dan jenis pakan hewan tersebut. Komposisi kandungan unsur hara pupuk kandang sangat dipengaruhi oleh jenis ternak, umur dan kondisi ternak, macam
pakan, bahan hamparan yang digunakan, serta perlakukan dan penyimpanan pupuk sebelum diaplikasikan ke lahan.
Kompos ialah pupuk organik dari hasil pelapukan jaringan atau bahan- bahan tanaman atau limbah organik Musnamar, 2003. Menurut Gaur 1977
tujuan dari pengomposan adalah memperbaiki dan mendaur ulang sisa-sisa hasil pertanian, melindungi kesehatan masyarakat umum dan mempertahankan atau
memperbaiki kualitas lingkungan. Di lingkungan alam terbuka kompos bisa terbentuk sendiri melalui proses alami. Kompos alami ini biasanya disebut
humus. Tetapi proses tersebut bisa dipercepat dengan bantuan manusia, sehingga menghasilkan kompos yang berkualitas lebih baik dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Ada dua cara untuk mempercepat terjadinya pelapukan bahan organik, yaitu pengaturan suhu dan kelembaban atau dengan pemberian
mikroorganisme pengurai sebagai starter atau aktivator. Selain itu dengan adanya pupuk organik, penggunaan pupuk kimia dapat
dikurangi. Berdasarkan rekomendasi pemupukan yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian bulan Januari 2007,
disebutkan bahwa pemakaian 2 ton kompos atau 2 ton pupuk kandang per hektar dapat mengurangi penggunaan urea sebesar 50 kgha.
3
Tabel 7 Perbandingan Penggunaan Pupuk Anorganik dengan dan Tanpa Penggunaan Pupuk Organik pada Usahatani Padi pada Petani
Contoh Menurut Agroekosistem, 2003
Agroekosistem Lahan Uraian
Sawah Irigasi
Sawah Tadah Hujan
Kering Agregat
Tanpa Pupuk Kandang kg
a. Urea 278,50
264,83 200,33
247,89 b. SP 36TSP
106,50 88,83
46,67 80,67
c. KCl 104,50
87,67 41,67
77,94
Total 489,50
441,33 288,67
406,50 Dengan Pupuk Kandang kg
a. Urea 168,50
181,33 126,67
158,83 b. SP 36TSP
70,50 60,83
16,67 49,33
c. KCl 56,50
43,50 11,67
37,22
Total 295,50
285,67 155,00
245,39 Perubahan
a. Urea -39,50
-31,53 -36,77
-35,93 b. SP 36TSP
-33,80 -31,52
-64,29 -38,84
c. KCl -45,93
-50,38 -72,00
-52,25
Total -39,63
-35,27 -46,30
-39,63 Sumber: Kariyasa 2005
Data empiris perbedaan penggunaan pupuk anorganik sebelum dan sesudah adanya pemakaian pupuk kandang pada usahatani padi pada tiga jenis
agroekosistem disajikan pada Tabel 7. Sebelum adanya penggunaan pupuk
3
Harian Kompas, 6 April 2006
kandang, total penggunaan pupuk anorganik di tingkat petani berkisar 2,8-4,9 kwintal per hektar, sedangkan sesudah penggunaan pupuk kandang,
penggunaan pupuk anorganik hanya 1,6-3,0 kwintal per hektar. Dengan demikian penggunaan pupuk kandang telah mampu menghemat penggunaan pupuk
organik berkisar 35-46 persen. Penggunaan pupuk organik juga terbukti memberikan hasil pertumbuhan
yang lebih baik bagi tanaman. Penelitian BPTP Jawa Barat di Desa Alam Endah pada tahun 2002, didapatkan hasil bahwa dengan menggunakan pupuk kompos
pertumbuhan bawang daun pada fase vegetatif pada petani kooperator lebih baik dibandingkan pertumbuhan bawang daun yang ditanam petani non kooperator.
Hal ini dapat dilihat dari tinggi tanaman dan jumlah tunas daun, dimana bawang daun yang ditanam petani kooperator lebih tinggi 9 persen, lebih banyak
tunasnya 17 persen, dan meningkat hasilnya 35,7 persen dibandingkan dengan tanaman bawang daun yang ditanam petani non kooperator.
Pondok pesantren memproduksi beberapa jenis pupuk organik yang digunakan untuk input usahataninya. Pupuk-pupuk yang diproduksi adalah pupuk
daun, pupuk kompos, dan pupuk kandang. Dengan memproduksi pupuk organik sendiri, ponpes dapat menghemat biaya pembelian input pupuk.
Dari penelitian BPTP Jawa Barat di Desa Alam Endah pada tahun 2002, diketahui bahwa setiap musim tanam petani membeli pupuk kandang dari Bogor
dan Tangerang, dan mengaplikasikan 10 ton per hektar pupuk kandang, dengan harga Rp 170,00 per kg, sehingga nilainya sebesar Rp 1.700.000,00 per hektar.
Sedangkan petani yang menggunakan pupuk kompos buatan sendiri, hanya mengaplikasikan 7,5 ton per hektar kompos dengan biaya yang dihabiskan
sebesar Rp 98,00 per kg, atau bernilai Rp 735.000,00 per hektar. Sehingga penghematan yang dilakukan dengan menggunakan kompos adalah sebesar Rp
965.000,00 per hektar.
Dalam penelitian ini akan dihitung harga pokok produksi dari pupuk-pupuk organik yang diproduksi ponpes. Dari harga pokok produksi ini akan dapat
dirumuskan sebuah nilai penghematan yang didapat dengan memproduksi sendiri pupuk organiknya.
2.7 Usahatani Ikan
Jenis kolam berbeda-beda jika dilihat dari fungsinya, salah satu jenis kolam yang paling banyak dibuat oleh petani adalah kolam pembesaran. Menurut
Susanto 2005 kolam pembesaran adalah kolam yang digunakan untuk membesarkan ikan hingga siap jual atau siap konsumsi. Ikan yang sudah melalui
tahap pendederan biasanya akan dipelihara dalam kolam pembesaran. Kolam pembesaran ikan tradisional biasanya berukuran sama atau lebih besar
dibandingkan dengan kolam pendederan. Menurut Prihatman 2000 pemupukan dilakukan satu tahun sekali pada
saat kolam dikeringkan. Pemupukan kolam bertujuan untuk meningkatkan dan produktivitas kolam, yaitu dengan cara merangsang pertumbuhan makanan
alami sebanyak-banyaknya. Pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk kandang atau pupuk hijau dengan dosis 500-700 gram per m
2
. Berdasarkan hasil penelitian Edward et al. 1985, diacu dalam Dewi
1992 integrasi ternak dengan ikan mungkin akan menguntungkan jika dipilih jenis ternak dan ikan yang mampu menggunakan bahan pakan yang murah dan
mudah diperoleh. Jenis ikan yang cocok untuk diintegrasikan dengan ternak adalah ikan mujair dan ikan lele.
Pemeliharaan pembesaran ikan mujair dapat dilakukan secara polikultur maupun monokultur. Polikultur dengan proporsi ikan mujair 50 persen, ikan
tawes 20 persen, dan mas 30 persen, atau ikan mujair 50 persen, ikan gurame 20 persen dan ikan mas 30 persen. Pemeliharaan sistem monokultur merupakan
pemeliharaan terbaik dibandingkan dengan polikultur dan pada sistem ini dilakukan pemisahan antara induk jantan dan betina. Pembesaran ikan mujair
pun dapat pula dilakukan di jaring apung, berupa hapa berukuran 1 x 2 m sampai 2 x 3 m dengan kedalaman 75-100 cm. Ukuran hapa dapat disesuaikan dengan
kedalaman kolam Soeseno 1982. Makanan alami ikan lele berupa zooplankton, fitoplankton, larva, cacing-
cacing, dan serangga air. Ikan lele juga menyukai makanan busuk yang berprotein dan kotoran yang berasal dari kakus. Makanan tambahan juga
diperlukan oleh lele, berupa sisa-sisa makanan keluarga, daun kubis, tulang ikan, tulang ayam yang dihancurkan, usus ayam, dan bangkai Prihatman 2000.
Pemanenan ikan mujair dapat dilakukan dengan cara panen total dan panen sebagian. Panen selektif dilakukan tanpa pengeringan kolam, ikan yang
akan dipanen dipilih dengan ukuran tertentu untuk pemanenan benih. Panen total dilakukan untuk menangkap atau memanen ikan hasil pembesaran.
Umumnya umur ikan mujair yang dipanen berkisar antara 5 bulan dengan berat berkisar antara 30-45 gram per ekor. Lele dipanen pada umur 6-8 bulan, ataupun
sewaktu-waktu jika diperlukan. Berat rata-rata pada umur tersebut sekitar 200 gram per ekor. Pemanenan dilakukan pagi hari saat keadaan tidak panas dengan
menggunakan waring yang halus. Lakukan pemanenan secepatnya dan hati-hati untuk menghindari lukanya ikan Prihatman 2000.
Pembahasan tentang usahatani ikan dalam penelitian ini tidak akan dibahas secara rinci. Bagian terpenting yang akan dijelaskan adalah mengenai
tambahan manfaat yang diperoleh apabila ikan diintegrasikan dengan tanaman dan ternak.
III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian