Kebijakan Upah Minimum Kebijakan Ketenagakerjaan Era Otda

terlibat secara berlebihan dalam administrasi dan pelaksanaannya. Hal ini sangat berbeda dengan praktek internasional dalam hubungan industrial yang semakin mengarah pada penyelesaian perselisihan secara sukarela dan perundingan bersama di tingkat perusahaan agar diperoleh perlindungan ketenagakerjaan sekaligus pertumbuhan produktivitas. Secara umum, ada beberapa bagian dari UU ketenagakerjaan era otonomi daerah yang dalam pelaksanaannya telah mengurangi fleksibilitas pasar tenaga kerja. Hal ini disebabkan pelaksanaan UU tersebut tidak melihat kondisi perusahaan dan jenis usaha. Berbagai pelaksanaan UU tersebut dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: 1 kebijakan upah minimum, 2 ketentuan PHK dan pemberian uang pesangon serta 3 ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan ketenagakerjan di tingkat perusahaan.

5.1.1. Kebijakan Upah Minimum

Penetapan kebijakan upah minimum telah mengalami perubahan mendasar pada era otonomi daerah. Upah minimum ditetapkan gubernur berdasarkan rekomendasi walikota bupati serta komisi pengupahan. Penetapan besaran upah minimum mengacu kepada KHM pekerja lajang per bulan sebagaimana yang diputuskan Kepmenaker 8195. Komisi Pengupahan pada semua level adalah lembaga tripartit yang terdiri dari pemerintah, serikat pengusaha dan serikat pekerja, yang melakukan negoisasi untuk merekomendasikan upah minimum yang ditetapkan. Rekomendasi upah minimum oleh Komisi Pengupahan Kota Kabupaten kepada Walikota Bupati didasarkan pada survey bersama terhadap harga kebutuhan hidup minimum melalui proses dialog dan negosiasi dengan memperhatikan angka inflasi upah daerah sekitar. Perubahan-perubahan ketentuan dalam penetapan besaran upah minimum telah menyebabkan kenaikan upah minimum yang tinggi pada era otonomi daerah. Hasil penelitian Lembaga Penelitian Smeru menunjukkan bahwa secara rata-rata kenaikan upah minimum ril telah mencapai 20 persen pada era otonomi daerah. Selanjutnya dilaporkan bahwa rasio upah minimum terhadap upah rata- rata di pasar tenaga kerja telah mendekati 64 persen untuk pekerja perempuan, 70 persen untuk pekerja berpendidikan rendah dan 80 persen untuk pekerja usia muda Lembaga Penelitian Smeru, 2004. Pelaksanaan kebijakan upah minimum pada era otonomi daerah telah menyebabkan peningkatan upah minimum yang terlalu cepat tanpa melihat kondisi perekonomian, perusahaan dan produktivitas pekerja. Hasil kajian Lembaga Penelitian Smeru menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum yang relatif tinggi pada era otonomi daerah di seluruh Indonesia disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan besaran upah minimum. Faktor- faktor tersebut diantaranya: 1 ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum, 2 penetapan indeks secara kurang hati-hati sejak diberlakukannya otonomi daerah, 3 tidak adanya pedoman mengenai bagaimana menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, dan 4 rendahnya partisipasi stakeholder utamanya dalam proses penetapan upah. Beberapa pengamat ketenagakerjaan juga menyimpulkan proses penetapan upah minimum menjadi semakin rumit sejak penyerahan kewenangan penetapan upah minimum kepada pemerintah daerah di era otonomi. Kebijakan upah minimum era otonomi daerah dapat dianggap telah melebihi tujuan yang dimaksudkan sebagai jaring pengaman bagi kelompok pekerja marjinal. Kenaikan upah minimum yang tinggi pada era otonomi daerah mulai berdampak pada keunggulan komparatif Indonesia pada industri-industri padat karya. Kenaikan biaya upah yang tinggi sejak tahun 2001 dan ketidak pastian dalam lingkungan hubungan industrial telah mempengaruhi daya saing beberapa industri utama padat karya yang kemudian mulai berdampak terhadap investasi di sektor tersebut Smeru research Team, 2004. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa kebijakan upah minimum dan buruknya lingkungan hubungan industrial merupakan dua faktor penting yang mempengaruhi daya saing. Disamping itu faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi daya saing seperti yang dilaporkan hasil survey Bappenas, diantaranya: 1 hambatan infrastruktur, 2 biaya operasi pelabuhan yang tinggi, 3 korupsi dalam administrasi pabean dan pajak, dan 4 pungutan pajak yang dilakukan pemerintah daerah seperti pada Tabel 12. Hasil kajian Lembaga Penelitian Smeru melaporkan bahwa kenaikan upah minimum yang terlalu cepat pada saat kondisi pertumbuhan ekonomi rendah tidak saja berpengaruh negatif terhadap prospek pekerja memperoleh pekerjaan di sektor formal, tetapi juga terhadap pendapatan penduduk miskin yang semakin banyak memadati sektor informal. Selain itu tingkat pengangguran terbuka menjadi lebih tinggi terutama di kalangan angkatan kerja usia muda. Tabel 12. Isu-isu Kebijakan Dominan Berkenaan dengan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor Isu Pokok Persoalan Tanggapan

1. Kebijakan

Ketenagakerjaan Kebijakan upah minimum Ketentuan uang Pesangon Keberadaan lebih dari satu serikat pekerja di perusa- haan yang sama − Kenaikan upah minimum terlalu tinggi dan terlalu cepat melebihi pertumbuhan produktivitas. − Kenaikan yang terjadi baru-baru ini menyebabkan pekerja mengharapkan kenaikan yang besar di masa mendatang. − Ketidakpastian ini mendorong banyak perusahaan untuk melakukan penggunaan mesin untuk produksinya. Ketentuan uang pesangon berpotensi menimbulkan biaya tinggi. Keberadaan lebih dari satu serikat pekerja di perusahaan yang sama dipandang sebagai masalah utama asalkan ada peraturan yang jelas untuk memilih serikat pekerja yang mewakili pekerja dalam perundingan kolektif.

2. Perpajakan

Pajak barang Mewah Administrasi pajak Pajak atas barang mewah yang terlalu tinggi mendorong penyelundupan barangbarang tertentu. Ketidakpuasan terhadap petugas pajak

3. Operasi

pelabuhan Kenaikan biaya jasa pelabuhan Ketidakefisienan Pelabuhan Biaya jasa pelabuhan Tanjung Priok dewasa ini termasuk paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Produktivitas pelabuhan Tanjung Priok termasuk yang terendah di kawasan Asia Tenggara,

4. Hak kepemilikan

Kepemilikan lahan Peraturan mengenai hak guna lahan pertanian seperti jangka waktu sewa maksimum selama 30 tahun dalam jangka panjang dapat menghalangi pembangunan sektor ekspor berbasis pertanian modern.

5. Kebijakan ekspor Fasilitas

BINTEK − Memakan waktu lebih dari 12 bulan bagi eksportir untuk mendapatkan restitusi pajak pabean dan PPn. − Ketidakpastian mengenai status BINTEK Sumber : Survey Bappenas terhadap eksportir di Jabotabek pada Juli 2002. Studi yang dilakukan pada masa sebelum otonomi daerah menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum selama periode 1990 hingga 1999 tidak mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja laki-laki dewasa, pekerja berpendidikan tinggi atau para profesional. Sebaliknya kenaikan upah minimu tersebut telah mengurangi kesempatan kerja bagi para pekerja perempuan, pekerja usia muda dan pekerja kurang terdidik yaitu pekerja yang berpendidikan dasar atau lebih rendah. Sebaliknya studi yang dilakukan pada era otonomi daerah menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum riil secara rata-rata sebesar 20 persen tahun 2002 telah menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal di daerah perkotaan sebesar 2 persen. Lapangan pekerjaan bagi pekerja perempuan dan pekerja usia muda berkurang masing-masing sebesar 6 persen dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4 persen. Kenaikan upah minimum memberikan dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah mendekati tingkat upah rata-rata kelompok tersebut di pasar tenaga kerja.

5.1.2. Ketentuan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon