Upah Minimum Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja PHK ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran berat.

2.4.1. Upah Minimum

Kondisi ketenagakerjaan yang ditandai oleh masih tingginya jumlah pengangguran terbuka antara lain menyebabkan melemahnya posisi tawar bargaining power pekerja dalam negosiasi upah. Hal ini tercermin dari relatif kecilnya kenaikan UMP yang ditetapkan. Upah minimum di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara rata-rata UMP tahun 2004 mencapai Rp.476932 per bulan atau meningkat 7.4 persen dibanding tahun 2003. Meskipun terjadi peningkatan UMP di tahun 2004, namun peningkatan ini secara riil masih lebih rendah dibandingkan peningkatan Kebutuhan Hidup Minimum KHM yang pada tahun 2004 mencapai sekitar Rp 500763 per bulan atau meningkat 8.6 persen dibanding tahun 2003. Relatif tingginya indeks harga konsumen menyebabkan terjadinya penurunan daya beli pekerja sebagaimana terlihat dari kenaikan UMP riil yang melambat dari 22.4 persen pada tahun 2003 menjadi 7.3 persen pada tahun 2004. Secara sektoral, UMP sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor keuangan menempati urutan teratas. Sementara untuk propinsi, UMP tertinggi ada di beberapa propinsi seperti Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Maluku, dan Maluku Utara pada sektor pertambangan.

2.4.2. Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-undang no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah diberlakukan pada bulan April tahun 2004. UU ini ditetapkan sebagai dasar hukum baru setelah UU N0. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dianggap sudah tidak sesuai denga kebutuhan masyarakat. UU lama dianggap oleh berbagai pihak terlalu didominasi pemerintah dalam hubungan industrial sehingga tidak sesuai bagi Indonesia yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Disamping itu UU baru ini dilatar belakangi era industrialisasi yang ditandai dengan semakin kompleksnya masalah perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja serikat buruh dalam satu perusahaan. Ada banyak kontroversi panjang seputar UU No. 2 tahun 2004 ini. Kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak buruh sama-sama keberatan dengan argumen yang berbeda. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Sementara pihak buruh yang diwakili oleh Komite Anti Penindasan Buruh KAPB merasa UU ini tidak berpihak pada buruh dan masih bernuansa legalisasi perbudakan modern. Menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Saepul Tavip dalam Kompas ada beberapa alasan yang mendasari KAPB tidak sepakat dengan UU No. 2 tahun 2004, diantaranya secara substansi perlindungan terhadap buruh masih rendah. Di satu sisi, kebijakan dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja. Namun, di sisi lain kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat mengurangi daya serap pasar kerja. Pada akhirnya hal tersebut justru akan berdampak negatif bagi pekerja.

2.4.3. Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja